“Nafi, tolong ambilkan bola volley di gudang.”
“Baik Pak Cik.”
“Aku mau bantuin Nafi,” seru beberapa anak penuh semangat. Begitulah Nafi, baru beberapa jam di asrama namun ia sudah menjalin pertemanan dengan beberapa siswi.
“Eeeh, Nafi aja yang ambil. Kalian mau Pak Cik kasih tugas.”
“Aaah Pak Cik, kami kan pengin bantuin Nafi,” sungut salah seorang siswi sambil merangkul pundak Nafi yang membalas dengan merangkul balik.
“Hish. Nafi, please ambil dua bola volley. Yang lain ikut Pak Cik.”
“Abis itu kita main, Nafi,” seru siswi lain antusias.
“Beres, aku nggak lama, kok. Gudangnya yang deket pintu gerbang belakang itu kan?”
“Iya,” balas Pak Cik guru olah raga sambil menunjuk ke arah gudang .
Sambil berdendang, Nafisa berjalan menuju gudang. Meski masih sedih dengan kejadian semalam, tapi setidaknya dia bertemu dengan teman-teman baru dan kini bisa fokus belajar. Terbebas dari tugas rumah yang selalu dibebankan padanya.
Sesampai di gudang, Nafisa membuka pintu lalu masuk untuk mencari bola volley. Matanya memicing karena ruangan itu gelap. Ia berusaha mencari steker lampu.
“Ah ketemu. Gelap bener.”
Belum sempat tangan meraih steker tiba-tiba ia merasa sepasang tangan kekar membekapnya. Nafisa berusaha berteriak namun sapu tangan berbau menyengat ditutupkan ke hidung dan mulutnya.
Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi.
***
Dengan perasaan kacau, Yusuf mendengarkan Polisi Diraja yang memberikan keterangan bahwa Nafisa hilang.
Nina terus menggenggam tangan suaminya. Air mata mengalir di pipi.
Bu Reni tidak mampu menatap Yusuf karena merasa bersalah. Puluhan tahun menjadi kepala asrama, tidak pernah ia kehilangan seorang pun.
“Pak, kami menduga Nafisa kabur. Tidak ada tanda-tanda penculikan. Kami sudah memeriksa CCTV,” terang Komandan Polisi Diraja.
“Saya mau lihat rekaman CCTV.”
“Silakan.”
Bu Reni langsung menyalakan rekaman CCTV. Ia pun berharap ada titik terang dari hilangnya Nafisa.
Dari CCTV, terlihat dari belakang Nafisa sambil menunduk berjalan ke arah pintu gerbang, membukanya lalu lari menuju jalan besar.
Polisi Diraja kemudian mengalihkan ke CCTV lalu lintas yang memperlihatkan Nafisa menaiki kendaraan umum dengan tujuan Kota Baru.
“Kami sudah mengerahkan petugas di sana untuk mencari Nafisa.”
“Nggak, nggak mungkin. Bahkan di rumah, Nafisa belum pernah saya ajari keluar dari kompleks sendirian. Apalagi di tempat yang masih baru. Mana dia ngerti harus pergi kemana? Mungkin itu bukan Nafisa. Mungkin dia tertidur di satu tempat,” cetus Yusuf penuh harap.
Diliputi rasa bersalah Bu Reni menjelaskan, “Kami sudah tiga kali memeriksa seluruh penjuru asrama putri dan putra bersama polisi, Pak.”
“Saya minta kalian tanggung jawab! Ini bukan barang yang hilang. Anak saya hilang, Bu Reni!” Bentak Yusuf sambil menggebrak meja.
“Mas, tenang. Aku yakin Nafisa akan segera ditemukan. Coba aku telepon Mamah. Moga-moga Nafisa cuma kangen lalu ingin pulang.”
Nina menelepon ibunya.
“Mah, gimana? Apakah Nafisa ada di sana?”
Melalui speaker terdengar, “Nggak ada, Nin. Aduh Mamah takut dan khawatir. Mana Farrel sedari tadi rewel.”
“Titip Farrel dulu ya, Mah. Kabarin juga kalau Nafisa sampai di rumah,” ucap Nina dengan nada yang terdengar sangat khawatir.
“Iya Nin. Kabarin Mamah juga, ya. Di sini Mamah juga berdoa terus supaya Nafi segera ketemu.”
Tulang-tulang Yusuf terasa meluruh.
“Nin, kamu bawa mobil dan langsung pulang. Aku akan cari Nafisa.”
“Mas, lebih baik Mas pulang. Siapa tau Nafi memang sedang cari jalan untuk ke rumah. Sudah ada polisi yang mencari.”
Polisi yang lebih senior berkata, “Betul, Pak. Kami yakin ini bukan penculikan. Kami sudah menyebarkan pemberitahuan juga ke armada angkutan umum untuk melapor jika melihat anak dengan ciri-ciri seperti Nafisa.”
“Aku yakin Nafi hanya kangen sama kita semua dan nekat kabur dari asrama supaya bisa pulang. Yuk, Mas, kita tunggu di rumah.”
Yusuf mengangguk. Setelah berpesan untuk terus mengabarinya, ia melangkah gontai. Di belakangnya diam-diam Nina tersenyum karena rencananya sukses.
***
Di dalam sebuah perahu tongkang, Nafisa terbaring tak sadarkan diri.
“Siapkan surat-suratnya, sebentar lagi pemeriksaan,” titah seorang laki-laki yang terlihat memimpin di perahu itu.
Sepasang suami istri dan anak seusia Nafisa terlihat gugup. Sang Suami bernama Abduh, menggenggam tangan istrinya, sorot matanya cemas.
“Nur, kita lakukan ini demi Salman,” lirih Abduh kepada istrinya.
“Ayah … Zura takut,” lirih anak perempuan yang sebelumnya menyamar menjadi Nafisa dan keluar dari pintu belakang asrama.
“Sini duduk dekat Ayah. Nur, pangku anak itu, buat seolah dia tertidur karena mabuk laut,” bisik Abduh sambil menunjuk ke arah Nafisa. Istrinya patuh dan meletakkan kepala Nafisa ke pangkuannya.
Tak berapa lama kapal berhenti sesuai perintah kapal patroli maritim.
Kapten kapal memperlihatkan surat-surat, setelah semua beres, para petugas masuk ke area penumpang dan memeriksa satu persatu dengan teliti dan seksama.
Akhir-akhir ini banyak imigran gelap keluar masuk melalui perairan yang menghubungkan Malaysia dan Indonesia.
“Selamat malam Pak Cik. Nak travel ke Indonesie?”
“Selamat malam. Betul. Visit keluarge.”
Petugas mengamati wajah Abduh, Nur, Zura, dan Nafisa yang masih terlelap.
“Kenape die?”
“Motion sickness. Sudah minum obat biar tidur.”
Petugas membaca surat-surat yang diserahkan lalu membandingkan antara wajah mereka dan foto yang ada di paspor.
Tak diduga Nafisa bergerak lalu menggumam, “Ayah …”
Sekejap wajah ketiga orang itu menegang. Abduh langsung mengelus kepala Nafisa sambil berbisik, “Sssh, Ayah di sini, go back to sleep.”
Petugas mengamati wajah Nafisa yang tertutup kerudung.
“Buke, please. Saye nak liat wajah.”
Nur menyibak kerudung Nafisa. Petugas mengamati lalu mengangguk.
“Anak saye juge selalu mabuk laut. Ini surat-suratnye. All of you passes.”
Setelah semua petugas kembali ke kapa patroli, Abduh merangkul pundak istri dan anaknya sembari bernapas lega.
Dalam hati pria itu berkata, “Salman, sebentar lagi Ayah akan bebaskan awak.”
Dua jam kemudian kapten kembali menyuruh semua menyiapkan surat-surat karena kini patroli dari Indonesia akan memeriksa.
Tiba-tiba terdengar sirine keras dan lampu sorot menerangi kapal tongkang.
Abduh, Nur, dan Zura bersitatap dengan sorot ketakutan. Mereka saling berpegangan tangan.
“Ayah …” Lirih Zura yang kemudian merapatkan tubuh ke ayahnya.
Abduh yang walau ketakutan setengah mati berusaha tetap tenang.
Petugas polisi menyerbu masuk dan menuju ke arah mereka. Abduh menggengam erat satu tangan istrinya sementara Zura memejamkan mata. Butir-butir keringat membasahi kening.
“You! Stand up!”
Abduh berusaha menenangkan diri. Dia tidak boleh terlihat panik.
“Berdiri! Awak dengar, tak?”
Seorang laki-laki berkulit sawo matang yang duduk di samping Zura berdiri. Tak sampai hitungan detik, dia meraih Zura yang masih memejamkan mata kemudian menempelkan sebilah pisau ke leher gadis kecil itu.
Zura terpekik ketakutan, “Ayah! Bonde!”
“Zura!” Teriak Abduh dan Nur bersamaan dengan nada panik.
Petugas polisi menyuruh keduanya tetap duduk.
Kini pistol diarahkan ke arah laki-laki yang terus menatap nyalang ke arah para petugas.
“She will die. You will watch her die!” Bentaknya.
“Ayaah …” Pekik Zura lagi.
“Shut up! Just shut up you little b*tch! You wanna die in front of your parents?”
“Lepaske die. Awak dah tak bisa lari kemane-mane. Awak hanya buat tambah masalah,” perintah petugas yang memimpin.
Dada laki-laki itu naik turun. Pisau masih terhunus ke leher Zura.
Satu petugas terus menatap Zura lalu menggerakkan bibir, tanpa suara berkata, “Look at me.”
Zura tak punya pilihan lain. Ia merasa ada cairan mengalir dari lehernya.
“Berdarah, die berdarah!” Seru salah seorang penumpang.
Petugas yang tadi terus menatap Zura, “Look at me.”
Zura mengangguk.
Tiba-tiba ia mendengar letusan halus disusul desiran udara di samping wajah. Pria buronan langsung roboh begitu timbal panas menembus jantungnya.
Dengan gesit para petugas menarik Zura dan menangkap tubuh laki-laki yang kini sudah tak bernyawa.
Zura menghambur ke ayahnya.
Tanpa ribut, para petugas polisi maritim membawa jenazah penjahat itu keluar kapal. Paramedik kepolisian maritim gegas mengobati Zura.
Komandan polisi berkata, “Maaf atas gangguan tadi. Semoga perjalanan lancar.”
Salah seorang penumpang bertanya, “Siape die?”
“Buronan human traffickers. Jadi begitulah nasib human traffickers jika berhadapan dengan kami. Jangan ada yang coba-coba, ya.”
Nur merasakan tubuh Abduh gemetar.
Sebelum meninggalkan kapal, komandan melihat ke arah Nafisa yang masih terlelap di pangkuan Nur.
“Apakah dia baik-baik saja? Dia tidak bangun sepanjang insiden tadi. Kami ada dokter jika anak Pak Cik perlu diperiksa.”
“Ti .. tidak. Tadi saya kasih Nouvoumine sebelum berangkat. Terima kasih Pak Cik.”
Komandan mengangguk lalu bersama anak buahnya kembali ke kapal patroli yang langsung bergerak menjauh.
Abduh merasakan tubuh Zura yang masih gemetar hebat. Ada noda merah di kerudungnya.
Salah seorang penumpang menyodorkan teh dari termos.
“Minum, Dek.”
Teh manis hangat berhasil membuat Zura tenang namun tetap bersandar ke ayahnya meminta perlindungan dan mengusir rasa takut.
Nur menatap Nafisa yang masih terlelap.
Wanita itu membatin, “Kamu pasti akan sangat ketakutan saat bangun dan melihat wajah-wajah yang tak dikenal.”
Naluri keibuan membuat dia merapatkan Nafisa ke tubuhnya.
“Maafkan Mak Cik. Kalau tidak harus membebaskan kakaknya Zura dari penjara, Mak Cik tidak mau menjauhkan kamu dari keluargamu. Maaf,” gumamnya lirih.
***
Di rumah, Yusuf bersimpuh di atas sajadah. Istri, mertua, dan bayinya sudah terlelap. Belum ada kabar menggembirakan tentang putri sulungnya.
Tak sedikit pun Yusuf bisa memejamkan mata. Puluhan kali ia menelepon Polisi Diraja menanyakan perkembangan kasus Nafisa.
Setiap kali juga Yusuf harus menelan pil penyesalan telah meninggalkan Nafisa di asrama.
“Ya Allah, dimana pun anak hamba, lindungilah dia. Kelilingi anak hamba dengan orang-orang yang sayang padanya. Hamba sungguh berdosa. Tangan ini sudah memukul Nafi, hati ini sudah meragukannya. Hamba meninggalkannya saat dia sangat ketakutan dan bingung. Ampuni hamba yang tidak mampu melindungi Nafi. Hamba adalah ayah yang dzalim. Ampuni hamba ya Allah.”
Setelah selesai menumpahkan rasa bersalahnya, ia membuka tas Nafisa yang dikembalikan oleh pihak asrama.
Dadanya sesak melihat foto dirinya, Jamila, dan Nafisa kala menikmati komedi putar di Dufan. Ketiganya tertawa ceria.
Yusuf menangis tergugu sambil memeluk erat foto tersebut.
“Maafkan, aku sudah gagal menjalankan pesanmu untuk menjaga anak kita, Mil. Maaf.”
Berurai air mata Yusuf menyebut nama istrinya yang sudah wafat berulang kali.
***
Abduh menerima pukulan demi pukulan tanpa melawan.
“Ini hukuman karena tidak becus membawa barang dagangan. Masih untung aku tidak menjual anak atau istrimu.”
Laki-laki yang leher dan wajahnya dipenuhi tato sarang laba-laba terus menendangi dan melayangkan pukulan ke wajah Abduh. Nur dan Azura menangis sambil memohon agar laki-laki itu berhenti menyiksa Abduh.
“Boss, kita harus pergi. Sebentar lagi patroli lewat.” Salah seorang preman yang memegang alat komunikasi berseru.
Laki-laki tadi menjambak rambut Abduh. Antara sadar dan tidak, Abduh mendengar, “Kamu harus merasa beruntung karena istrimu jelek dan rupa anakmu cacat, kalau tidak mereka sudah kujual dengan harga tinggi.”
Nur mengeratkan pelukan ke Zura sambil menatap suaminya yang sedang meregang nyawa.
Si Bengis bertato melayangkan pukulan sekuat tenaga hingga membuat Abduh terjengkang. Bersama anak buahnya kemudian menaiki jeep lalu menghilang dari tempat itu.
“Abang …”
Di sela nafas yang tinggal satu-satu, Abduh berpesan, “Kalau aku nggak selamat, tolong bebaskan Salman. Didik dia dan Zura supaya jadi orang baik, jangan gagal seperti ayahnya.”
“Ayah, ayah bertahan. Zura akan cari bantuan.”
“Zura jangaaan!” Teriak Nur dengan panik melihat Zura lari melesat menerobos ke semak belukar.
Nur memeluk Abduh yang makin lama makin terasa berat.
“Abang jangan tinggalin Nur.”
Abduh menggerakkan jarinya, matanya terbuka sekejap lalu terpenjam.
“Abang … Abaaang …”
Nur menggerak-gerakkan tubuh suaminya. Tidak ada pergerakan sampai menit-menit berlalu.
“Bonde, Zura bawe bale bantuan.”
Anak perempuan itu datang diikuti beberapa pemuda dan seorang berpakaian dokter.
“Zura!” Seru Nur, antara lega dan khawatir. Dokter atau para pemuda itu pasti akan melaporkan kejadian ini ke polisi setempat.
Tak menutup kemungkinan mereka diinterogasi mengenai penyebab pemukulan yang dialami suaminya.
Zura mendekat ke ibunya. Tatapannya khawatir.
“Ayah masih hidup?” Bisiknya.
“Alhamdulillah masih,” sahut dokter muda yang memeriksa Abduh menjawab Zura.
“Bawa ke puskesmas, kita rawat di sana,” sambungnya lagi.
Seorang pemuda membantu Nur untuk berdiri. Wanita itu sedikit terhuyung lalu ambruk disertai teriakan ketakutan Zura.
Dokter dan para pemuda membawa keluarga kecil itu ke sebuah puskesmas terpencil di pinggir hutan.
Setelah dua hari dirawat, ketika polisi datang hendak memeriksa korban penganiayaan, dokter dan perawat puskesmas tidak bisa menemukan Abduh dan keluarganya yang telah kabur menuju Malaysia.
***
Flash Back On
Setelah turun di pelabuhan, Abduh menyewa kendaraan menuju perbukitan di barat Pulau Sumatera. Dini hari menembus gelapnya malam yang masih betah bertahta.
Mereka bertiga berkendara dalam diam, hanya suara napas Nafisa yang terdengar lembut teratur.
“Abang, Nur tak mau lepas budak ni sendirian. Zura tadi tu sudah ketakutan waktu disandera human trafficker. Apa lagi budak ni kalau sudah sadar, die tak kenal siape-siape,” pinta Nur setelah bolak-balik menimbang sebelum mengatakan keberatannya pada Abduh.
“Kite tak punye pilihan Nur. Kite harus bebaskan Salman. Antara budak ini atau anak kite, Abang lebih pilih Salman.”
Nafisa masih tertidur lelap. Zura memerhatikan raut cantik yang terpejam di pangkuan bundanya. Mereka terus berkendara menuju tempat seseorang akan membeli Nafisa.
“Kakak ni cantik nian. Zura ingin wajah seperti Kakak,” gumamnya lirih.
Nur menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Lahir dengan kelainan di bibir, Zura beruntung mendapat donor untuk membiayai operasi. Walau bekas operasi masih terlihat, namun paling tidak sudah menutup kelainan bawaannya.
“Zura juge cantik,” ujar Nur membesarkan gati putrinya.
Refleks, Zura menutup bekas jahitan di bibir. Tak meyakini sedikit pun pernyataan ibunya. Netranya terus menatap Nafisa.
“Ayah, Kakak ini mau kita kasih siape?” Gumam Zura yang tak sanggup membayangkan hidup tanpa kedua orang tuanya.
“Die sudah ditunggu sama Markus, mau dibawa ke Thailand atau Vietnam.”
“Innalillaahi! Child trafficker?” Nur terbelalak.
Netra Abduh lurus menatap jalanan yang terbentang di depannya. Tangannya meremas kemudi. Dengan wajah secantik Nafisa, sudah pasti ia akan dijual kepada germo pelacuran anak.
“Ayah, kita harus bawa Kakak pulang lagi ke Malaysia,” cetus Zura sambil menggoyang-goyangkan pundak ayahnya yang masih memegang kemudi.
Air mata membasahi pelupuk Abduh. Buru-buru diusap dengan kasar karena tak mau kelihatan goyah.
“No, Sayang. Nanti kita diadukan dan ditangkap.”
“Bang, apa better kita tinggal anak ini di panti asuhan? Toh kita sudah dapat bayaran.”
“Kita dibayar untuk ambil budak ni dari asrama. Tapi uang itu masih kurang untuk membebaskan Salman. Maka dari itu Abang kontak Markus. Die mau beli dengan harga mahal.”
“Bang, jangan. Ada hukum tabur tuai. Bise jadi nanti Zura tu yang kena bala dari perbuatan kite. Sudah buruk nian kite ni culik die dari asrama.”
“Ayah, no Ayah. Kata ustadzah nggak berkah…” Ucap Zura lirih.
Abduh menghentikan mobilnya. Tangannya menutup wajah terbayang wajah Salman, putra sulungnya, yang babak belur saat dirinya menjenguk di penjara.
“Kakakmu harus segera keluar dari penjara. Kite harus bayar jaminan lima ribu ringgit. Kita baru punya uang dua ribu ringgit. Markus menjanjikan enam ribu ringgit untuk budak ni.”
“Bang, ini salah. Nur setuju dengan kate Zura tu. Kite cari panti asuhan, tinggalke budak ni di sana. Dia baru sadar dua sampai tiga jam lagi.”
“Ayah, itu ada panti asuhan.” Tiba-tiba Zura menunjuk sebuah rumah sederhana berlantai dua di pinggir jalan.
Nur menatap wajah suaminya dengan pandangan memohon. Walau ia juga ingin anaknya bebas dari penjara namun tak ingin gadis kecil di pangkuannya dijual dan dijadikan budak ****.
Terdengar suara Nafisa menggumam sesuatu. Abduh menoleh ke belakang lalu menghela napas panjang.
“Abang setuju. Periksa lagi pakaian anak itu, pastikan surat-surat tidak ada yang dibawa. Juga hape jangan sampai ketinggalan. Kita harus bakar semua dokumen tentang anak ini.”
Nur bertukar pandang dengan Zura yang mengangguk. Tangannya kemudian memeriksa kantong-kantong baju Nafisa. Setelah tidak menemukan apa-apa wanita itu memberi tahu suaminya.
Di depan panti asuhan, mobil yang mereka kendarai berhenti. Abduh turun lalu membopong Nafisa yang masih terlelap, lalu dengan hati-hati meletakkan di lantai teras.
“Maafke Pak Cik, semoga Allah selalu jaga kamu,” gumamnya sebelum meninggalkan Nafisa dan pergi untuk menemui Markus.
Flash back Off.
***
“Astaghfirullahaladzim, Bu Intan, ada anak di depan. Buuuu ….”
Nafisa menatap gadis yang terlihat bingung di hadapannya. Dalam hitungan detik, beberapa orang gadis sebayanya berebut keluar untuk melihat Nafisa.
Seorang wanita yang dipanggil Bu Intan gegas keluar dari rumah dan mendekati Nafisa.
Panik, Nafisa mundur dan bersiap untuk kabur.
“Assalamualaykum, Nak. Aku Bu Intan, siapa namamu?”
Nafisa menggeleng.
“Waalaykumussalam, aku … aku nggak ingat.” Suaranya lirih bergetar.
“Ibu, dia takut. Kita ajak masuk, yuk. Sandra udah bikin teh manis anget,” ujar anak yang iba melihat kondisi Nafisa.
“Pisang goreng dan bubur gandum juga sudah jadi, Bu. Yuk kita ajak masuk,” usul anak yang lain.
“Nak, semoga setelah perutmu terisi, ingatanmu kembali.” Bu Intan perlahan mengulurkan tangannya ke arah Nafi.
Nafisa memandang curiga ke semuanya. Tapi mereka semua mengangguk dan meyakinkan. Masih ragu namun Nafisa akhirnya meraih tangan Bu Intan.
“Dimi, kamu ambilin piring. Kita makan rame-rame aja di ruang tengah,” ucap anak yang paling besar.
Ruangan tengah yang tidak terlalu besar namun tertata apik dan nyaman itu langsung dipenuhi beberapa anak yang baru turun dari lantai atas. Semua memandang Nafisa dengan rasa ingin tahu.
Sebagian memahami apa yang dirasakan Nafisa karena begitulah mereka dulu tiba di pantai asuhan itu. Ditinggalkan.
“Sini, Nak, duduk samping Ibu. Jangan takut.”
Anak bernama Dimi menuangkan teh hangat ke dalam gelas lalu mengulurkan ke Nafisa.
“Aku Dimi, minumlah, in syaa Allah kamu akan lebih tenang.”
Dengan tangan yang masih gemetar, Nafisa meraih gelas lalu minum perlahan. Hangatnya teh terasa nikmat membasahi tenggorokan yang sudah berjam-jam kering.
“Te … terima kasih.”
Anak lain menyodorkan piring berisi pisang goreng.
“Makanlah.”
Nafisa ragu namun melihat sorot mata bersahabat ia mengambil sepotong pisang goreng.
Perlahan ia mengigit pisang legit dan mengenali rasa yang tidak asing.
“Sepertinya sebelum ini aku sering makan pisang goreng,” ujarnya lirih.
“Ssssh sudah tidak usah dipikirkan dulu. Kamu aman di sini, Nak. Makan yang enak. Yuk semuanya, kita juga sarapan,” ajak Bu Intan lalu mengisi mangkuk-mangkuk dengan bubur gandum.
“Hai aku Sandra, ini adiku Naima.”
“Aku Karin.”
“Aku Leli.”
Tiap anak berebut untuk berkenalan. Nafisa yang tadinya ketakutan kini menjadi lebih tenang menatap wajah-wajah ramah dan penuh kehangatan mengelilinginya.
***
HALO SEMUA
Jumpa lagi.
Karena masih Syawal jadi aku mendoakan semoga Allah menerima semua ibadah-badah kita di bulan Ramadhan lalu dan kita semua bertemu dengan Ramadhan-Ramadhan berikutnya.
Moga enjoy novel baruku ini. Maaf jika apdet nda rutin krn skrg kegiatan sdh banyak offline ya. Jadi jatah munghalu berkurang 😁.
Please, like, fave, komen ya kakak-kakak.
Love,
Freya Alana
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
🟡𓆉︎ᵐᵈˡ 𝐀⃝🥀sthe⏤͟͟͞R🔰¢ᖱ'D⃤
untung yang culik baik
2023-07-02
1