Terurai

Tiga bulan berlalu. Kepolisian Diraja masih belum bisa menemukan titik terang hilangnya Nafisa.

Yusuf tenggelam dalam kesedihan. Nina sering mengamuk karena sejak Nafisa hilang, suaminya jadi kurang perhatian terhadap dirinya dan Farrel.

Namun Yusuf tak mengindahkan, baginya menemukan Nafisa adalah prioritas. Terlebih lagi dia juga menyalahkan Nina yang menyuruh Nafisa pergi malam itu.

Siang itu di akhir pekan, Yusuf baru pulang dari kantor polisi yang masih mengusut kasus Nafisa.

Nina langsung memberondongnya dengan omelan.

“Mas, kamu nggak bisa kayak gini terus. Tiap libur kamu seharian di kantor polisi. Kamu bahkan udah jarang main sama Farrel.”

Lelah lahir batin, Yusuf tidak menanggapi namun langsung mengambil Farrel dari gendongan istrinya dan bercanda dengan bayi tampan yang langsung terkekeh-kekeh.

Dengan nada lebih lembut dan merayu, Nina melanjutkan, “Lebih baik kita berlibur, supaya nggak stress mikirin Nafi. Temen-temenku baru pada pulang dari Hongkong, di sana mereka belanja …”

Kening Yusuf berkerut.

“Berlibur? Dalam suasana begini kamu minta kita berlibur? Kamu ini seorang ibu atau bukan, sih?” Potong Yusuf menahan emosi.

“Apa karena Nafisa bukan darah dagingmu maka sikapmu acuh seperti ini? Bagaimana kalau Farrel yang hilang?” Lanjut Yusuf setengah membentak.

Farrel kaget mendengar perubahan nada suara ayahnya langsung menangis. Neneknya keluar dari kamar lalu menggendong cucu begitu melihat Yusuf dan Nina nampak sedang bersitegang.

Kehadiran ibunya membuat Nina merasa mendapat angin.

“Iya Nafisa memang bukan anakku! Lagi pula aku muak melihat wajahmu yang seperti orang mau dihukum mati. Di sini ada anak dan istri yang perlu perhatian kamu, Mas!” Balas Nina dengan nada menyentak.

“Keterlaluan kamu! Sudah tiga bulan darah dagingku hilang, Nin! Anakku! Itukah sebabnya malam itu kamu memaksa Nafisa dikirim ke asrama?”

“Aku menyuruh pergi karena dia udah beberapa kali sakitin Farrel! Dia itu baik cuma kalau ada kamu aja, Mas! Setiap hari maunya nonton TV nggak mau bantu-bantu.”

“Oh gitu. Nafi nonton TV terus? Bukannya kebalik?” Tanya Yusuf dengan nada sinis.

Wajah Nina terlihat gugup.

“Yusuf, masak iya Nina bohong,” sahut ibu mertua membela anaknya.

“Sudahlah, jangan mungkir. Kalian mau tahu apa yang bikin saya curiga?”

Nina melotot meski benar adanya, namun ia tidak terima dituding oleh suaminya.

“Mendiang istriku mengajari Nafi semua hal tentang pekerjaan rumah tangga. Bagaimana cara memasak, menyusun perabot dapur, melipat baju dan sprei. Semuanya. Karena sakit, maka ia mengajari Nafi untuk kelak bisa menjaga Ayahnya.”

Yusuf beranjak ke kamarnya, membuka lemari lalu mengambil 2 potong pakaiannya dan pakaian Nina.

Dilemparkannya ke sofa.

“Lipat!”

“Mas!”

“Lipat!”

Dengan setengah hati Nina melipat, merutuki kenapa selama Nafisa mengerjakan ia tidak memerhatikan.

Yusuf tersenyum miris melihat betapa asalnya Nina melipat.

“Semenjak Nafisa hilang, rumah ini kacau. Jangan pikir karena pulang seminggu sekali aku tidak memerhatikan apa yang terjadi. Tadinya aku mengesampingkan dugaanku, karena kalian nampak akrab setiap aku pulang. Ternyata itu semua sandiwara kalian. Rumah sangat berantakan sejak Nafi pergi, aku menduga kalian telah semena-mena terhadap anakku.”

Gigi geligi Nina menggeletuk, “Tuduhanmu tanpa dasar.”

“Satu lagi. Siang ini sebelum ke kantor polisi, aku dipanggil ke markas sekuriti kantor. Aku baru tahu bahwa ruang tengah dan dapur rumah ini dilengkapi CCTV oleh perusahaan. Sungguh menyakitkan apa yang kulihat tadi.”

Wajah Nina dan ibunya berubah pucat.

“Bagaimana kamu dan Mamah memperlakukan Nafisa sangat keterluan. Sungguh aku menyesal menghadirkan kamu di rumah ini.”

Nina menampar Yusuf.

“Brengsek kamu, Mas. Dayyuts!”

Tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu.

“Kepolisian Diraja, buka pintu!”

Yusuf gegas membuka pintu berharap mereka membawa Nafisa pulang padanya.

“Nafisa!” Yusuf kecewa mendapati hanya beberapa petugas berdiri di hadapannya.

“Selamat siang, Pak Cik. Kami perlu bicara dengan istri Pak Cik.”

Netra Nina terbelalak, ia mundur beberapa langkah.

Keheranan, Yusuf bertanya, “Ada apa, Pak?”

“Tangkap dia dan ibunya!” Perintah komandan Polisi Diraja.

Nina dan ibunya terpekik dan berusaha kabur melalui pintu belakang, namun mereka sudah dikepung.

Seorang polisi wanita mengambil Farrel dari neneknya kemudian menyerahkan ke Yusuf yang masih tidak mengerti duduk perkara.

“Tunggu, apa kesalahan istri dan mertua saya?”

Komandan menjelaskan, “Kami menginterogasi ulang guru olah raga yang terakhir melihat Nafisa. Dia akhirnya mengaku menjadi bagian dari hilangnya Nafisa atas perintah istri dan mertua Anda. Bukti-bukti sudah kami pegang.”

Nina berteriak, “Bohong! Semua bohong! Aku nggak mungkin melakukan itu ke Nafisa. Mas, tolong aku! Jangan percaya mereka!”

Tenggorokan Yusuf tercekat, tubuhnya gemetar menahan marah.

“Dimana Nafisa sekarang?” Tanyanya penuh harap.

“Kami sudah mengantongi nama satu keluarga yang menculik Nafisa, tapi hingga saat ini mereka belum ditemukan. Kami … kami belum menemukan Nafisa. Ikutlah kami ke kantor di sana bukti-bukti sudah terkumpul.”

“Mas, enggak, Mas. Ini semua salah paham. Aku dan Mama sangat menyayangi Nafisa!” Jerit Nina sia-sia, tidak terima dirinya diborgol.

“Bawa mereka!” Perintah komandan.

Nina dan ibunya terus meronta. Yusuf diam mematung dengan Farrel yang menangis digendongannya.

“Mas! Tolong aku! Ini semua Mamah yang suruh.”

“Diam, Nina! Dasar anak tak tahu diuntung!”

“Mas, aku dipaksa Mamah melakukan ini!” Teriak Nina lagi.

“NINA! DIAM!” Bentak Ibunda Nina lalu meronta hendak menerjang putrinya namun berhasil ditahan oleh petugas.

Jika tidak mengingat ada Farrel dalam dekapannya, Yusuf pasti jatuh terduduk karena shock.

***

Yusuf menatap Nina dan ibunya yang kini sudah memakai baju tahanan.

Bantahan keras mereka dipatahkan dengan kesaksian guru olah raga yang menyuruh Nafisa mengambil bola volley ke gudang. Nina-lah yang memberi perintah penculikan atas Nafisa.

Guru olah raga itu kemudian mengontak Abduh yang beraksi bersama Nur dan Zura. Untuk membuat seolah-olah Nafisa kabur, mereka menyuruh Zura memakai seragam Nafisa dan keluar dari pintu belakang kemudian menaiki kendaraan umum.

Abduh adalah tetangga di kampung yang butuh uang untuk membebaskan putra sulungnya dari penjara. Salman, putra sulungnya dituduh mencuri dari tempatnya bekerja.

Walau Abduh bukan penjahat, namun demi membebaskan Salman, ia langsung setuju.

Selain dengan Abduh, guru itu juga bekerja sama dengan salah seorang security untuk menghapus rekaman CCTV saat Nafisa digendong dalam keadaan tertidur.

Bukti pembayaran yang dilakukan Nina melalui rekening Ibunya juga jelas. Walau awalnya dia berkilah bahwa ini semua adalah perbuatan ibunya.

Tak mau menanggung akibat sendirian, Sang Ibu memperdengarkan rekaman yang dibuat bersama anaknya saat mereka bersekongkol agar Nafisa pergi dari kehidupan mereka.

Yusuf termangu mendengarkan betapa kejam istri dan ibu mertuanya.

Penyesalan menghantam bertubi-tubi. Yusuf mengenal Nina yang bekerja di salah satu rekanan perusahaan. Wanita berhijab itu nampak santun dan penyayang. Seseorang yang dia harapkan menjadi ibu pengganti untuk Nafisa.

Pintu ruang tahanan dibuka. Nina dan ibunya melangkah keluar.

“Mas, titip Farrel. Dia anakmu juga,” ucap Nina singkat sebelum digiring masuk ke dalam mobil yang akan membawa mereka ke rumah tahanan.

“Nin, kenapa?” Putus asa dan kecewa, Yusuf memberanikan diri untuk bertanya.

Sinis, Nina menjawab, “Aku dan Ibuku sangat membenci Nafisa. Kuharap dia sudah mati atau dijual ke pelacuran.”

Yusuf tersentak. Ia menatap dari belakang ketika istri dan mertuanya berlalu keluar dari kantor polisi dan menaiki mobil tahanan.

Komandan mendekati lalu berkata, “Saya yakin Nafisa masih hidup. Jika putri Pak Cik sudah meninggal, pasti jasadnya akan ditemukan.”

Yusuf tidak sanggup mencerna kalimat Komandan. Hatinya terlalu sedih memikirkan nasib Nafisa.

Komandan masih berdiri di hadapan Yusuf. Sambil menatap wajah Farrel yang tertidur di gendongan, Komandan itu berkata lagi, “Jika saya jadi Anda, saya akan periksa DNA anak ini. Maaf jika saya lancang.”

Refleks, Yusuf menatap raut wajah Farrel yang memang tidak memiliki kemiripan dengannya.

Dirinya dan Nina memiliki garis wajah Melayu, sementara Farrel memiliki hidung mancung dan mata belok.

Mertuanya selalu mengatakan bahwa ayah Nina adalah keturunan India dan Yusuf langsung memercayai.

Kacau, Yusuf mengambil tas bayi lalu berjalan keluar meninggalkan kantor polisi. Nafisa hilang karena ibu tiri dan oma tirinya. Farrel belum tentu darah dagingnya. Keluarga yang tahu keberadaan putrinya masih belum ditemukan.

Pikirannya kalut.

Yusuf menyeberang jalan menuju mobil yang diparkir di seberang kantor polisi. Terlalu larut dalam pikiran, pria itu tak melihat bahwa sebuah mobil melintas kencang. Tabrakan keras tak terhindarkan.

Yusuf terpental bersama bayi Farrel.

Dalam mobil tahanan, Nina berteriak kencang melihat suami dan bayinya terlempar kemudian terkapar di jalan. Darah segar mengalir dari bawah kepala Yusuf.

Beberapa petugas dan dokter klinik polisi yang kebetulan melihat kejadian segera menghambur untuk memberikan pertolongan.

Nina dan ibunya berteriak-teriak namun pintu mobil tahanan masih terkunci.

Demi rasa kemanusiaan, Komandan mengijinkan Nina mendekat. Ia dan ibunya langsung lari ke arah Yusuf dan Farrel.

Dokter sudah memeriksa kondisi Yusuf dan bayi Farrel.

Nina meraung melihat kondisi suami dan bayinya. Komandan membuka borgol.

“Gendong bayimu, jangan coba berbuat macam-macam.”

Nina mengangguk, tak sabar menggendong Farrel.

Dokter menyerahkan sambil berkata, “Bayi Anda selamat, Bu. Sepertinya tadi suami Ibu sempat menangkapnya. Tapi kami tetap akan membawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Kondisi suami Ibu kritis karena kepalanya terantuk keras ke aspal dan harus cepat dioperasi untuk menghentikan pendarahan.”

Petugas medis sudah membantu suaminya untuk naik ke ambulans.

“Ijinkan saya, menemani suami dan bayi saya Pak,” mohon Nina pada Komandan.

“Tidak! Sekarang kembali ke mobil tahanan.”

“Saya mohon, Pak. Suami dan bayi saya tidak ada siapa-siapa yang menunggui. Saya tidak punya keluarga lain.”

“Kami akan menjaganya. Kondisi bayi ibu masih jauh lebih baik dari pada Kakaknya yang tidak diketahui keberadaannya. Cepat kembali ke mobil tahanan!” Titah komandan dengan nada dingin lalu menggiring Nina dan ibunya.

Nina tertegun.

“Inikah balasan kejahatanku pada Nafisa? Bayiku seorang diri dan tak berdaya. Suamiku di antara hidup dan mati.”

***

Di saat yang bersamaan dengan Yusuf mengalami kecelakaan, sekelompok anak perempuan sedang asik bekerja di dapur.

Mereka mengobrol dan bercanda akrab sembari memotong sayuran untuk persiapan makan malam.

“Aaaah!” Teriak Nafisa mengagetkan teman-temannya.

“Tanganku kena pisau.” Darah merah mengalir dari ujung jari telunjuk.

“Sini, Kak Salsa, aku bantu bersihkan pake air matang,” ucap Dimi yang dengan sigap mengambil baskom dan termos.

Nafisa meringis menahan perih.

“Perasaanku kok nggak enak, ya,” lirih Nafisa sambil menghela napas.

Sandra yang usianya dua tahun lebih tua namun tubuhnya lebih kecil dari Nafisa menghampiri.

“Istighfar, Dek. Walau kamu belum ingat dimana dan siapa orang tuamu, tapi in syaa Allah doamu terkabul. Allah akan jaga mereka.”

“In syaa Allah, Kak. Kalau gitu Salsa ijin sholat sebentar, ya.” Nafisa berjalan menuju ruang shalat tak jauh dari dapur.

Tiba-tiba Nafisa berhenti dan tertegun.

“Namaku Nafisa. Kak, aku ingat, namaku Nafisa.”

“Alhamdulillah …” Sahut teman-teman Nafisa berbarengan.

Mereka ikut prihatin Nafisa tidak bisa mengingat masa lalunya. Walau masing-masing hidup tanpa orang tua dan namun setidaknya wajah ayah dan ibunda mereka masih lekat di benak.

“Padahal kami juga senang panggil kamu Salsabila loh. Nama yang dipilihkan Dimi buat kamu,” celetuk salah seorang gadis cilik sambil tersenyum. Ikut merasakan kelegaan Nafisa.

“Nggak apa-apa. Jadi namaku Nafisa Salsabila aja. Nanti aku ngomong ke Bu Reni supaya dibuatin surat-surat. Aku ijin sholat dulu ya, Kak. Sekalian mau sujud syukur.”

Wajah Nafisa kini nampak lebih ceria karena berhasil mengingat namanya. Dia menyukai nama Salsabila namun rasanya Nafisa lebih pas.

Semenjak Nafisa tiba di panti, Bu Reni langsung melapor ke kepolisian. Khawatir jika Nafisa adalah korban penculikan. Ingatan yang hilang membuat para polisi sulit mencari keterangan mengenai Nafisa.

Foto Nafisa sudah disebar namun ciri fisiknya tidak cocok dengan laporan anak hilang di wilayah Indonesia. Karena Nafisa juga tidak memiliki logat Melayu, pencarian tidak dilebarkan ke negeri jiran.

Akhirnya setelah cukup lama tanpa titik terang, Nafisa pasrah dan menerima kenyataan bahwa mungkin dia memang dibuang oleh keluarganya.

Panti mereka terletak di lokasi yang terpencil. Sekelilingnya adalah bukit dan lembah. Jalan di depan panti adalah jalan alternatif yang sudah jarang dilalui kendaraan semenjak trans Sumatera selesai dibangun.

Panti dihuni dua belas anak-anak gadis yang hampir sebaya. Walau tidak begitu besar namun Bu Reni menanta dengan nyaman. Tentunya dibantu oleh tangan-tangan kecil yang sudah menganggapnya sebagai ibu pengganti.

Mereka hidup dari gaji Bu Reni sebagai guru SMA, dibantu dengan dagangan kue-kue kecil di pasar malam di kampung sebelah. Bergantian, anak-anak menjaga warung jika tidak ada tugas sekolah.

Anak-anak panti hidup rukun. Sesekali terjadi pertengkaran namun tak lama sudah berbaikan lagi.

Siang itu, Nafisa hendak mengusir gundah yang terus menyelimuti hati dan pikirannya.

Usai mengambil wudhu Nafisa memakai mukena yang didapat dari bazaar barang bekas berkualitas beberapa hari lalu.

Meski datang ke panti tanpa ingatan yang melekat, Nafisa bersyukur ia tidak lupa bacaan dan cara sholat. Entah kenapa dirinya merasa ada seseorang yang berpesan untuk tidak meninggalkan sholat.

Usai mengucapkan salam, Nafisa bermunajat,” Ya Allah Yang Maha Besar, terima kasih karena aku sudah bisa mengingat nama. Jaga aku, ya Allah. Aku takut. Jaga orang tuaku juga ya Allah, sayangi mereka. Perkenankan aku bertemu mereka lagi, ya Allah. Aamiin…”

Sebutir kristal mengalir di pipinya.

Kakak beradik Sandra dan Naima mendekat. Mereka khawatir akan keadaan Nafisa sehingga menunggunya sampai selesai sholat.

“Dek …” Sapa Sandra dari belakangnya.

Nafisa menoleh. Naima, si adik, langsung bergeser dan memeluk.

“Jalan hidup kita memang nggak normal, tapi kita harus tegar dan jadi orang baik,” ucap Sandra untuk menguatkan Nafisa, dirinya sendiri, dan Naima.

Nafisa mengangguk setuju, dalam hatinya seperti pernah mendengar seseorang memberi nasihat yang sama, namun ia tidak bisa mengingat.

Sandra melanjutkan, “Kakak ngerti perasaan kamu. Kamu mau tau bagaimana Kakak dan Naima sampai di sini?”

Kini tiga gadis remaja itu duduk menyandar ke dinding yang menghadap jendela. Barisan bukit dan lembah memanjakan mata. Awan turun dan menebal membuat suasana semakin syahdu.

“Hari itu, Kak Sandra dan Naima diajak ayah dan bunda ke pasar. Kami bercanda di perjalanan. Bunda duduk bersama kami di belakang. Ayah berlagak jadi supirnya.”

Terdengar hela napas Naima.

“Kami happy banget banget pokoknya, Kak. Ayah bilang kita mau beli baju baru,” lanjut Naika dengan suara bergetar menahan sedih.

Sandra meneruskan, “Sebelum masuk ke pasar, ayah dan bunda meminta kami membeli kue-kue di toko langganan sementara mereka menunggu di mobil. Pas kami keluar, mobilnya udah nggak ada. Berjam-jam kami menunggu di toko sebelum akhirnya mencari mereka hingga pasar.”

Suara Sandra terdengar tercekat.

Nafisa kemudian menggenggam tangan Sandra dan Naima, ikut merasakah kepedihan mereka.

“Kami nggak bisa pulang karena rumah kami jauh di bukit. Ongkos naik kendaraan juga nggak punya. Akhirnya ada orang baik yang mengantarkan pulang. Sampai di rumah, sudah ada orang lain di sana. Katanya, rumah itu sudah dijual dan mereka lah yang tinggal di situ.”

Bulir-bulir air mata menetes dari netra Sandra dan Naima.

Karena Sandra tak sanggup melanjutkan, Naima meneruskan cerita kakaknya.

“Untuk beberapa hari kami ditampung di rumah paman dan bibi. Namun mereka juga hidup pas-pasan, akhirnya kami dititipkan di sini. Setiap hari kami menunggu ayah dan bunda datang untuk menjemput.”

“Sudah lima tahun dan kami masih di sini,” pungkas Sandra menahan rasa kecewa.

“Kami semua di sini punya cerita. Dan pastinya semua sedih,” jawab Lely disetujui anak-anak lain yang akhirnya ikut bergabung. Mereka duduk berdekatan di ruang sholat.

Nafisa menghapus air matanya. Wajahnya berubah penuh tekad.

“Sudah, aku nggak mau mikirin yang sedih-sedih. Pokoknya aku mau belajar yang pinter supaya bisa mandiri. Betewe kemaren pas nemenin Bu Reni, aku denger lagu ini di pasar malam. Liriknya bagus. Aku pasang, ya.”

Tangan kecil Nafisa meraih hape rame-rame yang memang disediakan Bu Reni di atas meja kecil. Sebuah hape jadul hasil lungsuran saudaranya namun berjasa banyak buat menghibur anak-anak panti.

“Kalau nggak salah yang nyanyi Oom Virgoun. Judulnya Saat Kau Telah Mengerti.”

Alunan gitar terdengar dari speaker hape yang selalu sember jika mengeluarkan nada tinggi. Sura merdu nan empuk melantunkan lirik yang membuat hampir semua anak menitikkan air mata.

Bila bentakan kecilku
patahkan hatimu..
Lebih keras dari itu..
Dunia kan menghakimimu..
Ku bentuk dirimu menjadi
engkau hari ini..
Kau harus KUAT..
Kau harus HEBAT..
PERMATA HATIKU...

“Hanya saja kalau kita nggak ada bentakan dari ayah atau bunda, ya …” Ujar Lely tersenyum miris, matanya menerawang ke perbukitan.

Dimi berkata lirih, “Aku mau loh, dibentak sama ayah atau bunda. Sekaliiii aja, cuma biar tau mereka ada dekat aku.”

Dengan mata terpejam, Nafisa mendengarkan lirik yang menyentuh kalbunya.

Nafisa menghela napas lalu berkata, “Gaes, yuk janji sama diri sendiri bahwa kita harus KUAT, kita harus HEBAT!”

“Ya betul. Kita akan saling dukung dan selalu saling bantu. Ikuti aku; Kami, anak panti Bu Reni berjanji, akan selalu kuat dan jadi hebat,” seru Sandra, bagaikan mendapatkan semangat baru.

Nafisa langsung berdiri diikuti teman-teman. Mereka mengucapkan janji penuh semangat dan harapan.

Diam-diam Bu Reni terharu dengan semangat anak-anak yang dia asuh.

“Ibu akan berusaha sekuat tenaga agar kalian menjadi orang yang berguna di masa depan,” gumamnya sambil tersenyum.

“Kita KUAT! Kita HEBAT!” Seru Nafisa dengan antusias menyambut masa depan diikuti sorak sorai teman-temannya.

***

Seorang laki-laki berbaring dengan kabel-kabel malang melintang di tubuhnya.

Tak ada sanak keluarga yang menjenguk karena Yusuf memang tidak menyantumkan nama-nama saudara di emergency contact. Pihak kedutaan juga masih mencari kerabat di Indonesia.

Sudah seminggu sejak operasi dilakukan dan Yusuf belum juga sadar.

Berita tentang kasus ibu tiri yang menjadi dalang penculikan anak tirinya viral di Malaysia. Sayangnya berita itu tidak sampai di Indonesia.

Asuransi perusahaan tidak mengcover biaya karena Yusuf terbukti lalai saat menyeberang jalan. Namun si pengemudi pun tidak lepas dari kesalahan karena kecepatan mobilnya di atas batas yang diijinkan.

Pihak rumah sakit mulai ketar-ketir karena Yusuf bukanlah warga lokal yang dijamin kesehatannya oleh pemerintah. Mereka sedang berunding dengan pihak kedutaan Indonesia untuk menentukan langkah terbaik bagi Yusuf.

Dokter sedang membicarakan kondisi Yusuf dengan petugas kesehatan ketika seorang laki-laki setengah umur memakai jas mendekat diikuti beberapa bodyguard.

“Selamat siang, saya Syeikh Rashedi. Saya yang akan menanggung semua biaya pengobatan Pak Yusuf. Anak buah saya juga sedang minta ijin istrinya yang masih di penjara agar bisa membawa pasien pulang bersama saya ke Dubai.”

Dokter dan perawat menatap heran.

“Maaf, tapi Syeikh ini siapanya Pak Yusuf?”

“Saya yang menabraknya. Saya diplomat jadi punya kekebalan diplomatik. Tapi sebagai bentuk tanggung jawab, saya akan bawa pulang dan beri perawatan terbaik di sana.”

“Jika sudah mendapat surat ijin dari istri, kami akan melepas pasien. Kasian, belum ada kabar tentang kerabat dari Indonesia. Anak sulungnya pun hilang karena perbuatan ibu tirinya,” sahut Dokter seraya mengamati kondisi Yusuf yang masih kritis.

“Bagaimana dengan bayinya?” Tanya Syeikh itu lagi.

Seorang perawat menjawab, “Alhamdulillah Bayi Farrel dalam kondisi baik. Hanya saja ternyata setelah pemeriksaan DNA dia bukan putra dari Pak Yusuf.“

Syeikh tertegun. Matanya lekat menatap Yusuf yang masih nampak lemah tak berdaya.

“Seminggu ini saya sudah mengerahkan anak buah saya untuk mencari putrinya yang hilang. Bahkan sampai ke Indonesia. Kami yakin putrinya masih hidup. Kasihan Pak Yusuf dikerjai habis oleh istrinya.”

Dokter dan perawat menatap iba.

Lirih Syeikh kembali bertanya, “Lalu dimana bayi Farrel itu sekarang?”

“Sudah dimasukkan ke panti asuhan. Dalam kasus seperti ini pemerintah akan mencarikan keluarga angkat ketimbang menyatukan dengan ibunya di penjara.”

Seorang pria anak buah mendekati Syeikh kemudian berbisik.

Setelah mendengar laporan anak buahnya, Syeikh berkata kepada dokter, “Asisten saya sedang menemui istrinya. Saya akan menunggu di luar, jika sudah mendapat ijin, malam ini akan saya berangkatkan Pak Yusuf ke Dubai.”

***

Nina menatap pria Arab di depannya yang menyodorkan surat ijin untuk membawa Yusuf ke Dubai untuk mendapat perawatan medis.

Mata Nina sembab karena terus menangis dan memikirkan kondisi anak, ibu, dan suaminya.

Sama sekali tak menyangka, rencana menyingkirkan Nafisa dari kehidupan mereka berbuah fatal.

“Bagaimana kondisi bayi saya?”

“Maaf, Madam, saya tidak tahu. Jadi bagaimana, apakah Anda mengijinkan?”

“Siapa yang akan membayar biaya perawatan suami saya?”

“Jika Anda setuju, maka Syeikh Rashedi yang akan membayar semuanya. Termasuk biaya perawatan selama di Malaysia. Tapi jika tidak, maka Anda sebagai kerabat terdekat yang akan menanggungnya.”

Nina mendengus kesal, “Dengan apa saya membayar?”

Tangannya meraih surat yang harus ditandatangani.

“Kalau saya bisa bercerai, lebih baik saya urus. Gara-gara dia bayi saya celaka,” ujarnya sambil membubuhkan tanda tangan.

Tak menanggapi, laki-laki tadi menyimpan berkas.

“Anda ingin melihat kondisi suami? Saya putar videonya.”

“Nggak perlu. Sudah cepat bawa saja, nanti saya tanyakan bagaimana cara mengurus perceraian sama sipir.”

“Saya pamit, Madam.”

Laki-laki tadi mengangguk sopan lalu berdiri dan melangkah meninggalkan Nina.

Di ambang pintu dia berhenti, “Saya pikir-pikir, penyebab celakanya suami dan bayi Anda bukan lah Pak Yusuf. Akar masalah ini adalah Anda dan ibu Anda. Cobalah untuk bertobat selama berada di sini.”

“Cih! Tau apa! Saya berharap anak bernama Nafisa itu sedang disiksa sekarang di mana pun dia berada.”

“Terserah Anda, saya hanya mengingatkan. Satu lagi, sering doa itu berbalik pada yang mendoakan. Permisi.”

Malam itu, Yusuf dibawa dengan pesawat pribadi lengkap dengan dokter dan perawat dari Dubai.

Syeikh Rashedi mengamati wajahnya.

“Maafkan aku, Nak. Dua hal yang aku janjikan pada diriku sendiri adalah membuatmu sembuh dan menemukan anakmu.”

Asisten yang paling senior berdiri di samping Syeikh lalu berkata, “Orang-orang kita belum mendapat petunjuk keberadaan keluarga Abduh. Dia lah yang paling tahu dimana Nafisa sekarang. Nina hanya menyuruh Abduh menculik namun sepertinya Abduh punya rencana lain.”

“Menculik lalu mau diapakan?”

“Entahlah. Yang jelas Abduh dan keluarganya bagai lenyap ditelan bumi setelah membebaskan Salman putra sulung mereka.”

“Aku khawatir Nafisa dibawa ke Indonesia. Negeri itu sangat luas, masih banyak daerah terpencil.”

Syeikh menerawang lalu melanjutkan, “Lanjutkan pencarian, berapa pun biaya bukan masalah. Kau tau itu. Aku akan fokus pada kesembuhan Yusuf.”

“Siap, laksanakan, Syeikh.”

***

Terpopuler

Comments

🟡𓆉︎ᵐᵈˡ 𝐀⃝🥀sthe⏤͟͟͞R🔰¢ᖱ'D⃤

🟡𓆉︎ᵐᵈˡ 𝐀⃝🥀sthe⏤͟͟͞R🔰¢ᖱ'D⃤

nafisa akhirnya inget namanya
kejahatannya berbalik kena sendiri

2023-07-02

1

lihat semua
Episodes
1 Kehilangan
2 Lembaran Baru
3 Sesal Tak Bertepi
4 Terurai
5 Bahagia Selamanya?
6 Gonjang Ganjing
7 Dela Mayangsari
8 Ingin Berhenti
9 Pasangan yang Diuji
10 Pernikahan Yang Tergadaikan
11 Berpisah
12 Tegar dan Baik Hati
13 Pebinor?
14 Tergantikan
15 Ini Bercanda, Kan?
16 Tak Cinta Lagi
17 Pasangan Sampah
18 Menolak Lemah
19 Tak Kan Kubiarkan
20 Terjebak
21 Valerie Malik
22 Hukum Mati
23 Ku Fayakun
24 Jiwa Yang Rusak
25 Bangun, Sayang
26 Pantang Menyerah
27 Pria Misterius
28 Merajut Hidup yang Terurai
29 Belum Janur Kuning
30 PDKT
31 Telat, Minggir
32 Berjuang
33 Ulah Dela
34 Demi Kamu
35 Bendera Kuning
36 Gerbang Kebahagiaan
37 Malam Pertama
38 Rasa Cinta Ini
39 Tiga Bulan
40 Takdir Cinta Nafisa
41 Menyingkir
42 Menemukan Keluarga
43 Pasti Bisa
44 Ketika Cinta Tak Bertasbih
45 Ayah
46 (Bukan) Bidadari Surga
47 Jomblo Fisabilillah
48 Manten Anyar
49 Bayiku …
50 Kamu Punya Aku
51 Bayi Cinta
52 Pertautan Cinta 1
53 Pertautan Cinta 2
54 Pertautan Cinta 3
55 Dimiko Malik
56 Bertemu Oom Bupati
57 Jangan Ke Sini!
58 Mau Sama Mama
59 Ancaman Baru
60 Backstreet
61 Dingdong
62 Rungkad
63 Mengejar
64 Mencari
65 Gelud
66 Pelakon Takdir
67 Papa Perkasa
68 Tumbang
69 Tabur Tuai Itu Ada
70 Daniah Maryam Malik
71 Penganten Somplak
Episodes

Updated 71 Episodes

1
Kehilangan
2
Lembaran Baru
3
Sesal Tak Bertepi
4
Terurai
5
Bahagia Selamanya?
6
Gonjang Ganjing
7
Dela Mayangsari
8
Ingin Berhenti
9
Pasangan yang Diuji
10
Pernikahan Yang Tergadaikan
11
Berpisah
12
Tegar dan Baik Hati
13
Pebinor?
14
Tergantikan
15
Ini Bercanda, Kan?
16
Tak Cinta Lagi
17
Pasangan Sampah
18
Menolak Lemah
19
Tak Kan Kubiarkan
20
Terjebak
21
Valerie Malik
22
Hukum Mati
23
Ku Fayakun
24
Jiwa Yang Rusak
25
Bangun, Sayang
26
Pantang Menyerah
27
Pria Misterius
28
Merajut Hidup yang Terurai
29
Belum Janur Kuning
30
PDKT
31
Telat, Minggir
32
Berjuang
33
Ulah Dela
34
Demi Kamu
35
Bendera Kuning
36
Gerbang Kebahagiaan
37
Malam Pertama
38
Rasa Cinta Ini
39
Tiga Bulan
40
Takdir Cinta Nafisa
41
Menyingkir
42
Menemukan Keluarga
43
Pasti Bisa
44
Ketika Cinta Tak Bertasbih
45
Ayah
46
(Bukan) Bidadari Surga
47
Jomblo Fisabilillah
48
Manten Anyar
49
Bayiku …
50
Kamu Punya Aku
51
Bayi Cinta
52
Pertautan Cinta 1
53
Pertautan Cinta 2
54
Pertautan Cinta 3
55
Dimiko Malik
56
Bertemu Oom Bupati
57
Jangan Ke Sini!
58
Mau Sama Mama
59
Ancaman Baru
60
Backstreet
61
Dingdong
62
Rungkad
63
Mengejar
64
Mencari
65
Gelud
66
Pelakon Takdir
67
Papa Perkasa
68
Tumbang
69
Tabur Tuai Itu Ada
70
Daniah Maryam Malik
71
Penganten Somplak

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!