“Nafi, nanti sore main di sungai, yok,” seru Dian, sahabat Nafi sambil naik ke boncengan motor ibunya.
“Oke, tapi setelah Bundaku selesai makan dan mandi, ya,” balas Nafi tak kalah semangat dengan mata berbinar.
Bu Romlah, ibunda Dian menoleh lalu bertanya dengan nada prihatin.
“Bagaimana kondisi Bundamu, Nak?”
“Alhamdulillah, Tante, setelah kemo dua hari lalu, Bunda nggak lemas kayak biasanya. Tapi aku dan Ayah tetap jagain ketat. Bunda nggak boleh capek.”
“Semoga kanker Bundamu cepat teratasi bahkan hilang. Kamu harus kuat, ya. Telepon Tante kalau perlu bantuan,” ujar Bu Romlah tulus, menatap wajah Nafi yang cantik dengan pipi kemerahan.
“Aamiin. Terima kasih doanya, Tante. Nafi pulang dulu, ya. Assalamualaykum …”
“Kita barengan aja.” Dian meminta persetujuan ibunya.
“Astaghfirullah, Tante sampe lupa mau sekalian anter makanan buat Bundamu. Nggak apa, kan, boncengan bertiga?”
Nafi dan Dian saling melempar senyum.
“Nggak apa-apa, Tante. Makasi udah masakin buat Bunda dan Nafi dapat tebengan pulang.”
Romlah dengan hati-hati melajukan motornya menyusuri jalan kampung menuju rumah Nafi yang agak jauh dari musala tempat anak-anak belajar mengaji selepas sekolah.
Nafi dan Dian sibuk bercerita tentang kejadian di sekolah. Mengalahkan bunyi motor tua dan semilir angin yang menerpa wajah. Romlah senyum-senyum sendiri mendengarkan celoteh dua anak berusia sembilan tahun, panjang pendek menggosip tentang guru dan teman-teman mereka.
Tak lama, ketiganya tiba di depan rumah Nafi yang sejuk dan asri. Nafi dan Dian masih bercanda sambil turun dari boncengan motor ketika Romlah berseru, “Astaghfirullah, Jamila!”
Nafi tertegun mendengar nama ibunya dipanggil.
“Bunda!” Teriaknya melihat seorang wanita terbaring telungkup di teras rumah.
“Nafi tolong Bundamu. Dian, bantu Nafi, Ibu mau telepon dokter di puskesmas.”
“Bunda … Bunda!” Teriak Nafi yang berusaha membalik tubuh Bundanya.
“Dian, teleponkan Ayah. Tolong, pakai hapeku.” Nafi mengulurkan hape dengan tangan gemetar.
Wajah Jamila terlihat pucat, bibirnya membiru. Nafi mengusap wajah ibunya.
“Bunda … bangun Bunda, plis. Nafi udah di sini.”
Air mata bercucuran dan jatuh ke wajah Bundanya. Nafisa terus menepuk pelan wajah wanita yang melahirkannya, bibir kecilnya terus memanggil.
Tiba-tiba, Jamila mengerjap lalu membuka mata.
“Alhamdulillah, Bunda … Bunda ini Nafi. Kita pindah ke kamar, yuk.”
Jamila tersenyum lemah sembari menatap wajah cantik yang berurai air mata. Tangannya menyentuh pipi Nafisa dan mengusapnya lembut.
Lirih Jamila berpesan pada putri satu-satunya, “Sayang, maaf Bunda udah nggak kuat nemenin Mbak Nafi. Rajin shalat ya, Mbak. Jadilah anak yang tegar dan baik hati. Jaga ayahmu. Bunda sayang banget sama kalian berdua.”
“Kalau gitu Bunda nggak boleh pergi. Bunda … Bunda harus sembuh. Kita akan terus sama-sama. Bunda, Nafi mohon.”
Romlah lari mendekat. Ia melihat wajah Jamila yang sudah tak berdaya.
“Jamila …” Panggilnya pelan.
Tangan Nafisa terus mengelus wajah ibunya, keduanya lekat saling menatap.
Dengan punggung jari Jamila mengeringkan air mata dari wajah Nafisa. Bibirnya menyungging senyum terindah sebelum berucap, “Laa ilaaha illallah …”
Kemudian kedua matanya terpejam, untuk selamanya.
***
“Mbak Nafi, pulang, yuk,” ajak Yusuf sambil merangkul pundak putrinya.
“Nafi, pulang yuk. Kita semua akan nemenin kamu malam ini,” ucap Dian yang berjongkok di samping Nafisa disambut dengan anggukan teman-teman sebaya.
“Aku masih pengin nemenin Bunda.” Nafisa menghapus air mata.
“Kamu ingat pesan Bundamu? Harus tegar. Yuk gandeng tangan aku,” bujuk Dian lagi.
Nafisa mengusap kasar wajahnya, mengeringkan air mata yang terus mengalir padahal dia sudah berjanji tidak akan menangis.
Yusuf merengkuh tubuh kecil yang sedang berduka. Nafisa menangis di dada ayahnya.
Netra Yusuf menatap nanar ke gundukan tanah merah dengan taburan bunga di atasnya. Hatinya hancur namun ia harus kuat demi Nafisa.
“Bunda udah nggak kesakitan lagi sekarang, Mbak. Tapi Bunda bakal sedih kalau Mbak Nafi kayak gini. Kita harus kuat,” ucapnya dengan suara bergetar.
Satu tangan kokoh Yusuf membelai kepala Nafisa yang tertutup kerudung sementara tangan lain memeluk erat.
“Pulang yuk, langit sudah sangat mendung,” ajaknya lagi.
Berat hati Nafisa melihat ke pusara Bundanya.
“Bunda, Nafi pulang dulu. Jangan khawatir, Nafi akan rajin sholat dan doakan Bunda. Nafi juga berusaha untuk tegar dan jadi orang baik seperti pesan Bunda.”
Tangan kecil Nafisa mengelus nisan di depannya. Pedih rasanya karena belum bisa mengikhlaskan nama yang tertulis di sana.
Akhirnya dengan langkah berat, Nafisa diiringi Yusuf beranjak meninggalkan wanita yang begitu mereka cintai.
Diiringi rintik hujan, para pelayat pun berangsur meninggalkan area pemakaman menuju rumah duka untuk tahlilan.
***
Hari-hari berjalan. Kini hampir tiga bulan Nafisa kehilangan ibunya. Setiap hari sepulang sekolah, ditemani Dian, Nafisa selalu mengunjungi makam. Tak jarang Dian harus memaksa Nafisa agar mau pulang sebelum matahari beranjak turun.
Di rumah, Nafisa sering berdiri di depan kamar kedua orang tuanya, menatap sisi ranjang yang kini selalu kosong.
Lamunan membawa Nafisa ke dua tahun ke belakang saat Jamila mulai berjuang melawan kanker ovarium. Karena ayahnya, Yusuf, adalah seorang TKI yang bekerja di Timur Tengah, maka Nafisa-lah yang selalu menemani Jamila untuk berobat.
Kadang ditemani paman atau bibinya, namun lebih sering Nafisa sendiri karena kerabatnya juga memiliki tanggung jawab di tempat mereka bekerja.
Tak jarang, malam-malam gadis kecil itu mengetuk rumah tetangga karena ibunya mengalami pendarahan. Beruntung mereka memiliki tetangga - tetangga yang sangat pengertian dan langsung bahu membahu menolong Nafisa dan ibunya.
Setiap malam, ayahnya melakukan video call dengan istri dan anaknya, kemudian mereka bercanda ria melepas rindu.
Ketika kanker menyebar, ayahnya memutuskan untuk pulang. Penghasilan selama bekerja di luar negeri cukup bagus untuk membayar pengobatan.
Nafisa melihat betapa telaten ayahnya merawat ibunya. Nafisa bisa merasakan betapa kedua orang tuanya saling mencintai. Sesekali ia mendengar ibunya merasa bersalah dan meminta maaf karena sakit, namun Yusuf selalu menenangkan dan memeluk Jamila, menciumi wajah cantik yang kerap menyembunyikan rasa sakit.
Terkadang Nafisa melihat ibunya tersipu malu saat digendong ke kamar mandi atau ayahnya yang selalu memandang Jamila dengan binar-binar cinta. Keduanya juga melimpahkan kasih sayang yang sangat besar pada Nafisa.
Hari-hari diisi kebahagiaan untuk menikmati kebersamaan yang entah sampai kapan.
Saat kemoterapi terakhir, Jamila tidak merasakan pusing atau mual. Malah terlihat segar dan berseri-seri. Ia bahkan mulai bisa jalan walau perlahan. Kanker memang membuat Jamila sulit untuk menggerakkan kaki apalagi untuk melangkah.
Lamunan Nafisa buyar ketika mendengar motor ayahnya memasuki pekarangan.
Gegas Nafisa menyiapkan kopi dan cemilan pisang goreng yang sudah dibuat seperti yang diajarkan ibunya.
Yusuf masuk ke dalam rumah disambut Nafisa yang langsung mencium punggung tangannya. Laki-laki itu tersenyum melihat secangkir kopi dan pisang goreng sudah siap di meja makan. Persis seperti saat Jamila masih hidup.
“Assalamualaykum, Ayah.”
“Waalaykumussalam, Mbak Nafi.”
“Ayah mau mandi? Air di bak sudah Nafi isi. Bajunya juga sudah ada di tempat tidur. Buruan mandi setelah itu kita makan pisang goreng.”
Yusuf tersenyum mengingat dulu Jamila pun selalu sudah menyiapkan segala sesuatu. Bahkan jika ia pulang dari luar negeri namun harus pergi untuk keperluan singkat, Jamila selalu menyambut dengan kopi panas dan cemilan.
Nafisa terus menatap ayahnya yang malah termenung.
“Yah, haloooo, Nafisa to Ayah …”
“Eh iya, Sayang. Terima kasih. Ayah mandi dulu nanti kita makan pisang goreng bareng-bareng.”
“Oke, boss!” Sahut Nafisa dengan gembira.
Yusuf melangkah ke ruangan yang paling ia takuti. Kamarnya bersama Jamila. Begitu banyak kenangan yang tersisa di sana. Namun melihat Nafisa yang berusaha untuk tegar, Yusuf pun menguatkan hatinya.
Setelah selesai mandi dan memakai baju yang disiapkan Nafisa, Yusuf ke luar dari kamar. Nafisa sedang belajar di meja makan.
“Akhirnya Ayah selesai juga, ayo, Nafi udah lapar.”
“Iiih … Mbak Nafi kenapa nggak makan duluan?”
“Kata Bunda harus nunggu Ayah.” Suara Nafisa bergetar namun disembunyikan dengan senyum konyol ke ayahnya.
Yusuf memalingkan wajah, tidak ingin terlihat bahwa dirinya pun masih sangat berduka. Ia buru-buru duduk lalu menyeruput kopi.
“Maa syaa Allah, anak Ayah udah pinter bikin kopi.”
“Makasi. Ayo cobain pisangnya.”
Yusuf tersenyum lalu mengambil pisang dan mengulurkan ke Nafisa.
“Nih, Ayah ambilin buat Mbak. Kayaknya enak ya, legit.”
“Enak, tadi Nafi yang pilihin sendiri pisang lalu digoreng pake rese yang diajarin sama Bunda..” Tenggorongan Nafisa tercekat.
Yusuf menatap anak kecil yang berusaha tegar sambil mengigit pelan-pelan pisang goreng legit di tangannya.
“Mba Nafi, Ayah juga kangen Bunda.”
Nafisa berhenti sebentar lalu kembali menyantap pisang goreng, tidak mau menampakkan kesedihan.
“Bunda pesan Nafi harus jadi anak yang tegar dan baik hati. Nafi juga kangen sama Bunda, tapi nggak mau nangis, takut Bunda sedih di sana.”
Yusuf tersenyum dipaksakan lalu mengambil pisang goreng dan menyantap dengan lahap.
Mengibas rasa sedih, Yusuf mengigit pisang goreng lalu berkata, “Enak, Ayah suka.”
Nafisa hanya mengangguk sembari berusaha keras agar air matanya tidak tumpah.
***
Malam hari, Yusuf berbaring di ranjang sambil menatap bantal tempat istrinya dulu biasa merebahkan kepala.
“How are you, Sayang? If only I can see you smile for me for the very last time.”
Yusuf merutuki dirinya yang pergi meninggalkan Jamila hari itu untuk mengambil obat.
Tangannya meraih bantal Jamila lalu mendekapnya erat.
“Aku kangen banget sama kamu, Mil. Walau kita sering berjauhan tapi aku tau kamu akan selalu ada buat aku. Sekarang kamu nggak ada, Mil.“
Dari balik pintu, Nafisa mendengarkan ayahnya. Ia pun mengusap air mata yang berhasil lolos.
“Nggak boleh nangis, aku harus tegar. Kuat, Nafisa!”
Nafisa lalu melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan menjalankan sholat malam.
Lirih ia bermunajat, “Allah, tolong jaga Bunda di sana. Tolong kuatkan hamba dan Ayah.”
***
“Suf, apa nggak bisa kamu cari kerja di kampung aja? Nanti Nafisa siapa yang jaga?” Tanya Siti, adik dari Jamila begitu mendengar kakak iparnya berencana membawa Nafisa ke Malaysia.
“Betul, Suf, setidaknya di sini Nafi bisa dititip ke kami,” sahut Ridwan, suaminya.
Yusuf menggeleng. “Aku nggak akan tenang kerja kalau Nafi nggak ikut. Maaf, sebetulnya aku ke sini mau pamit, bukan berunding.”
“Memangnya kamu sudah tanya Nafi? Apa dia mau?”
Lagi-lagi Yusuf menggeleng. “Nafi nggak mau jauh dari makam Jamila. Menurutku larut dalam kesedihan nggak sehat buat kami. Moga-moga di Malaysia kami bisa membuka lembaran baru.”
Siti masih tidak setuju, lalu bertanya, “Kalau kamu kerja, lalu Nafi siapa yang jaga? Kamu kan buruh tambang minyak, bisa berminggu-minggu kerja.”
“Sekarang aku kerja kantoran, jadi tiap sore bisa pulang. Paling Nafi bakal sendirian setiap pulang sekolah sampai aku pulang. Tapi karena kami tinggal di kompleks pertambangan jadi nggak sembarang orang bisa keluar masuk.”
“Suf, kami ikhlas Nafi tinggal di sini. Dia kan sebaya dan akrab dengan sepupu-sepupunya juga,” tegas Ridwan sambil melirik Siti, istrinya.
“Keputusanku sudah buat, Ridwan. Nafi akan ke Malaysia bersamaku. In syaa Allah kami akan pulang setiap lebaran.”
Ridwan dan Siti bersitatap.
“Kapan berangkat?”
“Nanti malam, in syaa Allah.”
“Loh, kok Nafi nggak diajak ke sini? Kami kan pengin ketemu.”
“Nanti malah dia sedih. Aku nggak mau nambah beban buat Nafi.”
“Ya sudah, kalian yang baik-baik. Kabarin jika perlu bantuan.”
Yusuf mengangguk ke arah Ridwan lalu mengatup tangan ke dada sambil melihat ke arah Siti. Setelah mengobrol sejenak, ia pun pulang.
Di rumah, teman-teman Nafisa sedang berkumpul. Wajah Nafisa dan Dian nampak sembap.
Nafisa menatap rumahnya yang kini sudah kosong. Yusuf menjual rumah dan pemilik baru sudah mengangkut barang-barang lama karena akan membawa miliknya sendiri.
Nafisa berteriak kencang ketika tempat tidur ibunya dibawa. Yusuf dibantu para tetangga harus menenangkan Nafisa.
Kesedihannya bertambah karena kini harus berpisah dengan Dian.
“Janji kita akan terus telponan, kasih kabar,” isak Dian. Air matanya berlinang.
“Aku janji. Kamu jangan lupa sama aku.”
“Nggak akan, bestie,” sahut Dian lalu memeluk erat Nafisa.
“Nafi, kita harus berangkat. Taksinya sudah datang,” ujar Yusuf yang sudah membawa beberapa tas dan koper dibantu bapak-bapak tetangga.
Nafisa berpamitan pada semua tetangga yang datang untuk mengucapkan salam perpisahan. Semasa hidup, Jamila sangat ramah dan tak segan membantu siapapun. Begitu juga Nafisa tumbuh menjadi anak yang menyenangkan.
Para ibu menyeka air mata yang menggenang sambil berpesan agar Nafisa tidak lupa shalat dan rajin belajar.
Tak lama taksi burung hijau membawa pergi Nafisa dan Yusuf meninggalkan rumah penuh kenangan.
“Yah, kita mampir makam Bunda sebentar, ya, plis.”
Yusuf mengangguk sambil mengelus pipi Nafisa, mengeringkan sisa air mata. Ia lalu memerintahkan supir menuju pemakaman di ujung desa.
Di depan makam ibunya, Nafisa berpamitan, “Bunda, Nafi akan pergi jauh. Kayaknya nggak bakal bisa tiap hari nengokin Bunda. Tapi Nafi janji tiap usai shalat akan doakan Bunda.”
Yusuf juga duduk di samping Nafi sambil meletakkan tangan di atas peristirahatan istrinya.
“Semoga tempat ini adalah taman surga buat kamu, Mil. Aku janji akan jaga Nafisa. Kamu baik-baik di sana, ya.”
Setelah mendoakan Jamila, keduanya berdiam sejenak kemudian bergandengan menuju taksi.
Melewati pagar pemakaman terdengar teriakan sekelompok anak.
“Dadah Nafi … jangan lupa sama aku, ya …” Nafisa menoleh dan mendapati teman-temannya berlarian di samping mobil. Dian berada tepat di samping jendelanya.
Dari dalam mobil Nafisa melambaikan tangan hingga mereka harus berpisah di persimpangan jalan besar menuju kota.
“Ayah …” Nafisa terisak lalu memeluk Yusuf.
“Menangislah, Sayang. Setelah ini kita buka lembaran baru bersama.”
***
“Nafi, ayahmu baru pulang.”
“Alhamdulillah, Nafi kangen. Makcik, Nafi pulang dulu ya, assalamualaykum.”
Nafisa lari melintasi jalan kompleks menuju rumahnya.
Tak terasa sudah setahun mereka tinggal di Malaysia. Nafisa sangat terhibur dengan teman-teman baru dari berbagai bangsa yang tinggal di kompleks perminyakan.
Pekan itu ayahnya pamit untuk pergi ke kota lain dan menitipkan Nafisa ke tetangga depan rumah untuk beberapa hari.
“Assalamualaykum, Ayah …”
Nafisa tertegun melihat seorang wanita hamil dan wanita lain yang lebih tua duduk di ruang keluarga.
“Nafi! Waalaykumussalam … ayah kangen!”
Mereka berpelukan lama meski Nafisa bertanya-tanya tentang keberadaan dua wanita itu.
Wanita yang sedang mengandung berdehem. Yusuf memandangnya sambil tersenyum.
“Nafi, ini Bunda Nina. Mmm, tiga bulan yang lalu, Ayah menikah dengan Bunda Nina dan sekarang Bunda sedang mengandung anak Ayah. Ini Oma Meli. Mulai hari ini mereka akan tinggal di sini jadi Nafi nggak sendirian lagi.”
Nafisa berusaha mencerna kalimat yang keluar dari bibir ayahnya.
“Hai Nafi, kita akan jadi sahabat baik. Ayah banyak cerita tentang Nafi,” ujar wanita bernama Nina sambil tersenyum.
“Cium tangan ke Bunda dan Oma,” titah Yusuf dengan lembut.
Walau masih bingung, tapi Nafisa menuruti perintah ayahnya.
“Nah, in syaa Allah kita akan jadi keluarga bahagia, ya Sayang. Nafi nggak usah khawatir. Ayah akan selalu sayang dan jagain kamu,” ujar Yusuf lalu memeluk putrinya.
Nafisa hanya mengangguk.
“Oya besok, Ayah akan bantu pindahin barang ke kamar depan. Kasihan Oma kalau tidur di sana karena kamarnya kecil. Nafi nggak keberatan kan?”
Nafisa melirik ke kamar yang saat ini dijadikan gudang penyimpanan.
Dengan senyum dipaksa ia mengangguk.
“Besok kita ke Likea untuk beli perabot baru. Ayah akan bantu Fisa dekorasi kamar yang cantik. Ayah juga sudah pesan AC supaya besok dipasang.”
Lagi-lagi Nafisa tak punya pilihan lain selain setuju dengan semua rencana Ayahnya.
***
“Nafisa! Kan sudah Bunda bilang, kalau seterika seprei harus rapi. Ulang lagi!”
Menahan tangis, Nafisa berkata, “Bunda, tangan Nafi capek dan belum bikin PR.”
“Capek? Baru bersihin rumah sama nyuci aja udah capek. Dasar anak pemalas! Pokoknya setrika sampe licin atau besok nggak usah sekolah!”
Nafisa menghela napas, tangannya sudah sangat pegal karena harus menyetrika tiga set seprei lengkap beserta sarung bantal, guling, dan selimut.
Begitulah kehidupan Nafisa setelah ayahnya dipindahtugaskan menjadi supervisor di tambang sehingga hanya pulang setiap akhir pekan.
Nafisa menjadi pembantu untuk ibu tiri dan omanya yang setiap hari hanya di depan televisi atau pergi ke mall. Sebelum sekolah, Nafisa harus menyiapkan makanan dan sepulang sekolah harus membereskan rumah hingga larut.
Beruntung Nafisa memiliki otak encer sehingga PR dan ulangan dapat dikerjakan dengan baik walau waktu belajarnya tersita untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Jika ayahnya pulang maka Nafisa akan diperlakukan bak putri raja oleh Nina dan Oma. Tentu saja setelah keduanya mengancam akan membuat Nafisa dibuang jika berani mengadu.
Tanpa kehadiran ayahnya, hidup Nafisa bagaikan di neraka. Semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawabnya.
Belum lagi hukuman yang diterima jika saking lelah ia ketiduran. Sudah pasti Nina tidak memberinya makan. Nina juga melarang Nafisa untuk memakai AC padahal kamar depan tidak ada jendela, hanya lobang angin yang tidak begitu besar.
Para tetangga keheranan karena Nafisa yang tadinya ceria kini menjadi pendiam dan jarang mau diajak main, namun Nina menjelaskan bahwa Nafisa sedang mengalami transisi dari anak-anak ke remaja.
Mereka pun memaklumi dan percaya pada Nina karena di hadapan banyak orang, Nina bertingkah seolah sangat menyayangi anak tirinya.
***
“Nafi, tolong liat adek Farrel, apa perlu ganti popo atau tidak,” pinta Ayahnya yang sedang menikmati libur akhir pekan di rumah.
“Iya, Ayah.”
Jika ada yang membahagiakan adalah kelahiran Farrel. Bayi tampan yang merupakan adik tiri Nafisa.
Perlahan, Nafisa meraba popok Farrel agar tidak terbangun dari tidurnya. Tak sengaja, Nafisa menyenggol pinggiran tempat tidur sehingga Farrel terkejut dan menangis.
“Sssssh, bobo lagi yuk, Dek,” ucap Nafisa sambil menepuk-nepuk adiknya.
Nina masuk untuk memeriksa. Tak disangka ia membentak, “NAFISA! KENAPA KAMU CUBIT ADIKMU?”
Nafisa terjingkat dan mundur beberapa langkah. Tak lama, Ayahnya masuk dan menatapnya dengan marah.
“Nafisa? Kenapa sih kamu? Adek kan lagi tidur.”
“Mas, ini udah kesekian kali. Kadang Nafi nggak segan memukul Farrel. Dia iri sama Farrel. Pokoknya aku nggak mau ada dia di sini. Nanti anakku celaka!”
Terbelalak, Nafisa mendengar tuduhan ibunya.
“Enggak, Ayah, Nafi nggak pernah sakitin Adek. Nafi sayang sama Farrel.”
Yusuf mendekati Nafisa lalu menampar pipi putrinya. Begitu keras hingga Nafisa tersungkur.
Dalam hitungan detik, Yusuf menyesal dan langsung memeluk Nafisa.
“Nafi, maaf, Ayah minta maaf. Maafin Ayah.”
Tangan Nafisa memegang pipinya yang panas dan merah. Matanya menyorotkan kekecewaan teramat dalam pada ayahnya.
“Mas, pokoknya nggak mau tau, malam ini Nafisa harus pergi dari rumah ini!”
“Nin, sabar dulu. Emang Farrel terluka?”
“Tapi bisa membahayakan. Mama juga beberapa kali melihat Nafi ingin menyakiti adiknya. Dia belum siap punya adik setelah sepuluh tahun jadi anak tunggal.” Oma ikut mendukung anaknya.
“Nafi pergi atau Aku, Mama, dan Farrel yang akan pergi.”
“Nin, sebentar, jangan seperti itu. Nafi anakku juga.”
“Lalu Farrel siapa?”
Netra Yusuf beralih ke Nafisa. Ia duduk di atas lututnya untuk menyamakan tinggi dengan putrinya.
“Sayang, Ayah minta maaf. Tapi sepertinya Ayah akan mengirimu ke asrama. Sampai Bunda tenang. Nafi ngerti, kan?”
“Nggak. Nafi nggak ngerti dimana salahnya. Selama ini Nafi sayang sama Farrel nggak pernah sekali pun sakitin seperti yang Bunda Nina bilang.”
“Anak brengsek! Kamu bilang Bunda dan Oma bohong? Mas, tolong tegas dong sama anakmu. Fine kalau kamu nggak sanggup. Aku aja yang pergi.”
“Nin, sebentar.”
“Nafi please kasih Ayah waktu untuk membicarakan ini sama Bunda. Mungkin di asrama kamu bisa lebih tenang.”
Nafisa tidak berkata apa-apa. Anak berumur sepuluh tahun itu berusaha menguatkan diri melawan badai kekecewaan yang terus melanda hatinya.
“Yuk, Ayah temani berkemas. Biar Bunda menyusui adek di sini.”
Yusuf menggandeng Nafisa menuju kamarnya.
“Heh, Mas, kok Nafi nggak minta maaf?”
“Sayang, minta maaf sama Bunda dan Oma, lalu cium adiknya.”
Dengan hati terluka, Nafisa menuruti perintah ayahnya lalu menjauh menuju kamarnya.
“Oya Nafi, remote AC ada di laci tadi tukangnya baru selesai perbaiki,” ucap Oma dengan lembut.
“AC kamar kamu rusak? Kan panas di sana kalau nggak ada AC.”
“Nafi tidur sama Oma, ya, kan?” Tanpa terlihat Yusuf, Oma mendelik ke arah Nafisa.
“Iya,” jawab Nafisa lirih.
“Ya sudah, dimana, Mah?”
“Tuh di situ.” Tunjuk Oma ke laci paling atas.
Tanpa banyak bicara, Yusuf mengambil remote AC lalu menggandeng Nafisa ke kamarnya.
“Mas, pokoknya Nafisa harus keluar malam ini. Aku udah khawatir dia makin membahayakan Farrel,” tegas Nina lagi.
Di kamar, Nafisa mengemasi pakaiannya dalam diam. Tidak ada air mata karena ia sudah lelah menangis.
Yusuf berulang kali melirik anaknya. Bingung harus percaya siapa. Nafisa memiliki hati lembut namun Nina juga tidak mungkin tega melontarkan fitnah.
“Bawa secukupnya saja. Kamu nggak akan lama kok di sana. Kalau Bunda sudah tenang, Ayah akan jemput lagi.”
Tangan Nafisa meraih foto ibunya yang tersimpan di laci nakas. Nina tidak membolehkan ada foto Jamila di kamarnya.
Yusuf tertegun.
“Kenapa foto Bunda nggak dipasang?”
“Mmm … karena bikin kangen dan nangis,” jawabnya singkat.
“Kalau foto kita bertiga pas di Dufan?”
“Nafi simpan juga.”
“Mbak Nafi,” ucap Ayahnya.
Nafisa terkesiap, sudah lama ayahnya tidak memanggil dirinya dengan sebutan Mbak Nafi seperti yang dulu biasa dilakukan sebelum kehadiran Nina dan ibunya.
“Peluk Ayah,” pinta Yusuf sambil merentangkam tangan.
Tak tahan, Nafisa menghambur ke pelukan ayahnya. Sekuat tenaga menahan tangis karena ingin menuruti nasihat ibunya harus menjadi manusia yang kuat dan tegar.
“Mba Nafi nggak usah khawatir. Ayah akan segera jemput dan kita akan hidup bahagia seperti waktu Bunda Mila masih ada.”
Nafisa menggigit bibir. Dalam hati ia berkata, “Tidak ada yang bisa mendatangkan kebahagiaan buat Nafi kecuali Bunda Mila.”
Mereka berpelukan cukup lama sampai Nina muncul di pintu.
“Ayo Mas, cepet antar Nafisa. Nanti keburu kemalaman.”
Yusuf menghela napas lalu mengurai pelukannya. Mengambil tas Nafisa lalu menggandengnya ke luar rumah menuju mobil.
***
“Bu Reni, ini Nafi. Saya pernah datang bersama istri saya beberapa minggu lalu menanyakan akomodasi dan sekolah untuk putri saya. Sepertinya mulai malam ini, Nafisa akan ada di sini.”
“Oh baik. Tadi Bu Mila juga sudah sampaikan.”
Kening Nafisa berkerut mendengar percakapan Yusuf dan wanita bernama Reni.
“Ayah, memang sebelumnya Ayah dan Bunda ingin mengirimku ke sini?” Tanya Nafisa dengan suara tercekat.
“Betul, Sayang. Asrama ini salah satu yang terbaik. Makanya Bunda ingin mengirimu ke sini.”
“Nafi, sekarang sudah malam. Besok, Ibu akan antar kamu melihat fasilitas di sini. Pasti kamu suka.”
Yusuf menoleh ke anaknya.
“Mbak Nafi, Ayah janji akan jemput secepatnya. Selalu rajin shalat ya. Jangan lupa doakan Bunda Mila.”
“In syaa Allah, Nafi nggak akan pernah lupa doakan Ayah dan Bunda.”
“Terima kasih buat pengertiannya. Ayah yakin bisa bicara dengan Bunda Nina.”
“Ayah, nggak pernah sedikit pun Nafi sakitin Adek Farrel. Nafi cuma berharap Ayah percaya.”
Yusuf mengeratkan pelukannya. Enggan rasanya meninggalkan putrinya di sana.
“Sayang, sabar, ya.”
“In syaa Allah, Ayah.”
Tak sanggup menatap wajah Nafisa, Yusuf langsung berbalik meninggalkan putrinya tanpa mau menoleh lagi.
Bu Reni menggamit Nafisa yang masih mematung menatap ayahnya yang lurus berjalan ke parkiran.
“Ayo, Ibu tunjuki kamarmu. Nanti kamu berbagi dengan tiga orang teman sebaya. Hampir lupa. Ini uang saku mingguan. Diirit karena baru akan dibagikan lagi minggu depan.”
Bu Reni merangkul Nafisa dan membimbingnya menaiki tangga.
Di dalam mobil Yusuf memukul-mukul stir. Entah apa, tapi ia memiliki firasat bahwa ia tidak akan bertemu putrinya lagi.
Hapenya kembali berdering.
“Assalamualaykum, Mas dimana? Cepat pulang Farrel demam.”
“Waalaykumussalam,” jawab Yusuf dengan suara serak.
“Mas …”
“Iya sebentar. Mas baru mau berangkat. Berapa panasnya?”
“Lumayan, aku nggak berani kasih parasetamol. Kita harus bawa ke balai emergency.”
“Ya ya, Mas otw.”
Yusuf menyalakan mobil, ia menoleh ke arah lobby berharap Nafisa masih berdiri di sana. Tak melihat seorang pun, Yusuf menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan asrama.
Di rumah, Nina berkata pada ibunya, “Mah, siapin selimut hangat. Nanti aku akan pakaikan ke Farrel jadi badannya seolah demam.”
“Sudah Mamah siapkan. Apakah kamu sudah kasih instruksi untuk besok?”
“Sudah, Mah. Besok, anak sialan itu nggak akan ganggu kita lagi.”
***
“Nafi, tolong ambilkan bola volley di gudang.”
“Baik Pak Cik.”
“Aku mau bantuin Nafi,” seru beberapa anak penuh semangat. Begitulah Nafi, baru beberapa jam di asrama namun ia sudah menjalin pertemanan dengan beberapa siswi.
“Eeeh, Nafi aja yang ambil. Kalian mau Pak Cik kasih tugas.”
“Aaah Pak Cik, kami kan pengin bantuin Nafi,” sungut salah seorang siswi sambil merangkul pundak Nafi yang membalas dengan merangkul balik.
“Hish. Nafi, please ambil dua bola volley. Yang lain ikut Pak Cik.”
“Abis itu kita main, Nafi,” seru siswi lain antusias.
“Beres, aku nggak lama, kok. Gudangnya yang deket pintu gerbang belakang itu kan?”
“Iya,” balas Pak Cik guru olah raga sambil menunjuk ke arah gudang .
Sambil berdendang, Nafisa berjalan menuju gudang. Meski masih sedih dengan kejadian semalam, tapi setidaknya dia bertemu dengan teman-teman baru dan kini bisa fokus belajar. Terbebas dari tugas rumah yang selalu dibebankan padanya.
Sesampai di gudang, Nafisa membuka pintu lalu masuk untuk mencari bola volley. Matanya memicing karena ruangan itu gelap. Ia berusaha mencari steker lampu.
“Ah ketemu. Gelap bener.”
Belum sempat tangan meraih steker tiba-tiba ia merasa sepasang tangan kekar membekapnya. Nafisa berusaha berteriak namun sapu tangan berbau menyengat ditutupkan ke hidung dan mulutnya.
Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi.
***
Dengan perasaan kacau, Yusuf mendengarkan Polisi Diraja yang memberikan keterangan bahwa Nafisa hilang.
Nina terus menggenggam tangan suaminya. Air mata mengalir di pipi.
Bu Reni tidak mampu menatap Yusuf karena merasa bersalah. Puluhan tahun menjadi kepala asrama, tidak pernah ia kehilangan seorang pun.
“Pak, kami menduga Nafisa kabur. Tidak ada tanda-tanda penculikan. Kami sudah memeriksa CCTV,” terang Komandan Polisi Diraja.
“Saya mau lihat rekaman CCTV.”
“Silakan.”
Bu Reni langsung menyalakan rekaman CCTV. Ia pun berharap ada titik terang dari hilangnya Nafisa.
Dari CCTV, terlihat dari belakang Nafisa sambil menunduk berjalan ke arah pintu gerbang, membukanya lalu lari menuju jalan besar.
Polisi Diraja kemudian mengalihkan ke CCTV lalu lintas yang memperlihatkan Nafisa menaiki kendaraan umum dengan tujuan Kota Baru.
“Kami sudah mengerahkan petugas di sana untuk mencari Nafisa.”
“Nggak, nggak mungkin. Bahkan di rumah, Nafisa belum pernah saya ajari keluar dari kompleks sendirian. Apalagi di tempat yang masih baru. Mana dia ngerti harus pergi kemana? Mungkin itu bukan Nafisa. Mungkin dia tertidur di satu tempat,” cetus Yusuf penuh harap.
Diliputi rasa bersalah Bu Reni menjelaskan, “Kami sudah tiga kali memeriksa seluruh penjuru asrama putri dan putra bersama polisi, Pak.”
“Saya minta kalian tanggung jawab! Ini bukan barang yang hilang. Anak saya hilang, Bu Reni!” Bentak Yusuf sambil menggebrak meja.
“Mas, tenang. Aku yakin Nafisa akan segera ditemukan. Coba aku telepon Mamah. Moga-moga Nafisa cuma kangen lalu ingin pulang.”
Nina menelepon ibunya.
“Mah, gimana? Apakah Nafisa ada di sana?”
Melalui speaker terdengar, “Nggak ada, Nin. Aduh Mamah takut dan khawatir. Mana Farrel sedari tadi rewel.”
“Titip Farrel dulu ya, Mah. Kabarin juga kalau Nafisa sampai di rumah,” ucap Nina dengan nada yang terdengar sangat khawatir.
“Iya Nin. Kabarin Mamah juga, ya. Di sini Mamah juga berdoa terus supaya Nafi segera ketemu.”
Tulang-tulang Yusuf terasa meluruh.
“Nin, kamu bawa mobil dan langsung pulang. Aku akan cari Nafisa.”
“Mas, lebih baik Mas pulang. Siapa tau Nafi memang sedang cari jalan untuk ke rumah. Sudah ada polisi yang mencari.”
Polisi yang lebih senior berkata, “Betul, Pak. Kami yakin ini bukan penculikan. Kami sudah menyebarkan pemberitahuan juga ke armada angkutan umum untuk melapor jika melihat anak dengan ciri-ciri seperti Nafisa.”
“Aku yakin Nafi hanya kangen sama kita semua dan nekat kabur dari asrama supaya bisa pulang. Yuk, Mas, kita tunggu di rumah.”
Yusuf mengangguk. Setelah berpesan untuk terus mengabarinya, ia melangkah gontai. Di belakangnya diam-diam Nina tersenyum karena rencananya sukses.
***
Di dalam sebuah perahu tongkang, Nafisa terbaring tak sadarkan diri.
“Siapkan surat-suratnya, sebentar lagi pemeriksaan,” titah seorang laki-laki yang terlihat memimpin di perahu itu.
Sepasang suami istri dan anak seusia Nafisa terlihat gugup. Sang Suami bernama Abduh, menggenggam tangan istrinya, sorot matanya cemas.
“Nur, kita lakukan ini demi Salman,” lirih Abduh kepada istrinya.
“Ayah … Zura takut,” lirih anak perempuan yang sebelumnya menyamar menjadi Nafisa dan keluar dari pintu belakang asrama.
“Sini duduk dekat Ayah. Nur, pangku anak itu, buat seolah dia tertidur karena mabuk laut,” bisik Abduh sambil menunjuk ke arah Nafisa. Istrinya patuh dan meletakkan kepala Nafisa ke pangkuannya.
Tak berapa lama kapal berhenti sesuai perintah kapal patroli maritim.
Kapten kapal memperlihatkan surat-surat, setelah semua beres, para petugas masuk ke area penumpang dan memeriksa satu persatu dengan teliti dan seksama.
Akhir-akhir ini banyak imigran gelap keluar masuk melalui perairan yang menghubungkan Malaysia dan Indonesia.
“Selamat malam Pak Cik. Nak travel ke Indonesie?”
“Selamat malam. Betul. Visit keluarge.”
Petugas mengamati wajah Abduh, Nur, Zura, dan Nafisa yang masih terlelap.
“Kenape die?”
“Motion sickness. Sudah minum obat biar tidur.”
Petugas membaca surat-surat yang diserahkan lalu membandingkan antara wajah mereka dan foto yang ada di paspor.
Tak diduga Nafisa bergerak lalu menggumam, “Ayah …”
Sekejap wajah ketiga orang itu menegang. Abduh langsung mengelus kepala Nafisa sambil berbisik, “Sssh, Ayah di sini, go back to sleep.”
Petugas mengamati wajah Nafisa yang tertutup kerudung.
“Buke, please. Saye nak liat wajah.”
Nur menyibak kerudung Nafisa. Petugas mengamati lalu mengangguk.
“Anak saye juge selalu mabuk laut. Ini surat-suratnye. All of you passes.”
Setelah semua petugas kembali ke kapa patroli, Abduh merangkul pundak istri dan anaknya sembari bernapas lega.
Dalam hati pria itu berkata, “Salman, sebentar lagi Ayah akan bebaskan awak.”
Dua jam kemudian kapten kembali menyuruh semua menyiapkan surat-surat karena kini patroli dari Indonesia akan memeriksa.
Tiba-tiba terdengar sirine keras dan lampu sorot menerangi kapal tongkang.
Abduh, Nur, dan Zura bersitatap dengan sorot ketakutan. Mereka saling berpegangan tangan.
“Ayah …” Lirih Zura yang kemudian merapatkan tubuh ke ayahnya.
Abduh yang walau ketakutan setengah mati berusaha tetap tenang.
Petugas polisi menyerbu masuk dan menuju ke arah mereka. Abduh menggengam erat satu tangan istrinya sementara Zura memejamkan mata. Butir-butir keringat membasahi kening.
“You! Stand up!”
Abduh berusaha menenangkan diri. Dia tidak boleh terlihat panik.
“Berdiri! Awak dengar, tak?”
Seorang laki-laki berkulit sawo matang yang duduk di samping Zura berdiri. Tak sampai hitungan detik, dia meraih Zura yang masih memejamkan mata kemudian menempelkan sebilah pisau ke leher gadis kecil itu.
Zura terpekik ketakutan, “Ayah! Bonde!”
“Zura!” Teriak Abduh dan Nur bersamaan dengan nada panik.
Petugas polisi menyuruh keduanya tetap duduk.
Kini pistol diarahkan ke arah laki-laki yang terus menatap nyalang ke arah para petugas.
“She will die. You will watch her die!” Bentaknya.
“Ayaah …” Pekik Zura lagi.
“Shut up! Just shut up you little b*tch! You wanna die in front of your parents?”
“Lepaske die. Awak dah tak bisa lari kemane-mane. Awak hanya buat tambah masalah,” perintah petugas yang memimpin.
Dada laki-laki itu naik turun. Pisau masih terhunus ke leher Zura.
Satu petugas terus menatap Zura lalu menggerakkan bibir, tanpa suara berkata, “Look at me.”
Zura tak punya pilihan lain. Ia merasa ada cairan mengalir dari lehernya.
“Berdarah, die berdarah!” Seru salah seorang penumpang.
Petugas yang tadi terus menatap Zura, “Look at me.”
Zura mengangguk.
Tiba-tiba ia mendengar letusan halus disusul desiran udara di samping wajah. Pria buronan langsung roboh begitu timbal panas menembus jantungnya.
Dengan gesit para petugas menarik Zura dan menangkap tubuh laki-laki yang kini sudah tak bernyawa.
Zura menghambur ke ayahnya.
Tanpa ribut, para petugas polisi maritim membawa jenazah penjahat itu keluar kapal. Paramedik kepolisian maritim gegas mengobati Zura.
Komandan polisi berkata, “Maaf atas gangguan tadi. Semoga perjalanan lancar.”
Salah seorang penumpang bertanya, “Siape die?”
“Buronan human traffickers. Jadi begitulah nasib human traffickers jika berhadapan dengan kami. Jangan ada yang coba-coba, ya.”
Nur merasakan tubuh Abduh gemetar.
Sebelum meninggalkan kapal, komandan melihat ke arah Nafisa yang masih terlelap di pangkuan Nur.
“Apakah dia baik-baik saja? Dia tidak bangun sepanjang insiden tadi. Kami ada dokter jika anak Pak Cik perlu diperiksa.”
“Ti .. tidak. Tadi saya kasih Nouvoumine sebelum berangkat. Terima kasih Pak Cik.”
Komandan mengangguk lalu bersama anak buahnya kembali ke kapal patroli yang langsung bergerak menjauh.
Abduh merasakan tubuh Zura yang masih gemetar hebat. Ada noda merah di kerudungnya.
Salah seorang penumpang menyodorkan teh dari termos.
“Minum, Dek.”
Teh manis hangat berhasil membuat Zura tenang namun tetap bersandar ke ayahnya meminta perlindungan dan mengusir rasa takut.
Nur menatap Nafisa yang masih terlelap.
Wanita itu membatin, “Kamu pasti akan sangat ketakutan saat bangun dan melihat wajah-wajah yang tak dikenal.”
Naluri keibuan membuat dia merapatkan Nafisa ke tubuhnya.
“Maafkan Mak Cik. Kalau tidak harus membebaskan kakaknya Zura dari penjara, Mak Cik tidak mau menjauhkan kamu dari keluargamu. Maaf,” gumamnya lirih.
***
Di rumah, Yusuf bersimpuh di atas sajadah. Istri, mertua, dan bayinya sudah terlelap. Belum ada kabar menggembirakan tentang putri sulungnya.
Tak sedikit pun Yusuf bisa memejamkan mata. Puluhan kali ia menelepon Polisi Diraja menanyakan perkembangan kasus Nafisa.
Setiap kali juga Yusuf harus menelan pil penyesalan telah meninggalkan Nafisa di asrama.
“Ya Allah, dimana pun anak hamba, lindungilah dia. Kelilingi anak hamba dengan orang-orang yang sayang padanya. Hamba sungguh berdosa. Tangan ini sudah memukul Nafi, hati ini sudah meragukannya. Hamba meninggalkannya saat dia sangat ketakutan dan bingung. Ampuni hamba yang tidak mampu melindungi Nafi. Hamba adalah ayah yang dzalim. Ampuni hamba ya Allah.”
Setelah selesai menumpahkan rasa bersalahnya, ia membuka tas Nafisa yang dikembalikan oleh pihak asrama.
Dadanya sesak melihat foto dirinya, Jamila, dan Nafisa kala menikmati komedi putar di Dufan. Ketiganya tertawa ceria.
Yusuf menangis tergugu sambil memeluk erat foto tersebut.
“Maafkan, aku sudah gagal menjalankan pesanmu untuk menjaga anak kita, Mil. Maaf.”
Berurai air mata Yusuf menyebut nama istrinya yang sudah wafat berulang kali.
***
Abduh menerima pukulan demi pukulan tanpa melawan.
“Ini hukuman karena tidak becus membawa barang dagangan. Masih untung aku tidak menjual anak atau istrimu.”
Laki-laki yang leher dan wajahnya dipenuhi tato sarang laba-laba terus menendangi dan melayangkan pukulan ke wajah Abduh. Nur dan Azura menangis sambil memohon agar laki-laki itu berhenti menyiksa Abduh.
“Boss, kita harus pergi. Sebentar lagi patroli lewat.” Salah seorang preman yang memegang alat komunikasi berseru.
Laki-laki tadi menjambak rambut Abduh. Antara sadar dan tidak, Abduh mendengar, “Kamu harus merasa beruntung karena istrimu jelek dan rupa anakmu cacat, kalau tidak mereka sudah kujual dengan harga tinggi.”
Nur mengeratkan pelukan ke Zura sambil menatap suaminya yang sedang meregang nyawa.
Si Bengis bertato melayangkan pukulan sekuat tenaga hingga membuat Abduh terjengkang. Bersama anak buahnya kemudian menaiki jeep lalu menghilang dari tempat itu.
“Abang …”
Di sela nafas yang tinggal satu-satu, Abduh berpesan, “Kalau aku nggak selamat, tolong bebaskan Salman. Didik dia dan Zura supaya jadi orang baik, jangan gagal seperti ayahnya.”
“Ayah, ayah bertahan. Zura akan cari bantuan.”
“Zura jangaaan!” Teriak Nur dengan panik melihat Zura lari melesat menerobos ke semak belukar.
Nur memeluk Abduh yang makin lama makin terasa berat.
“Abang jangan tinggalin Nur.”
Abduh menggerakkan jarinya, matanya terbuka sekejap lalu terpenjam.
“Abang … Abaaang …”
Nur menggerak-gerakkan tubuh suaminya. Tidak ada pergerakan sampai menit-menit berlalu.
“Bonde, Zura bawe bale bantuan.”
Anak perempuan itu datang diikuti beberapa pemuda dan seorang berpakaian dokter.
“Zura!” Seru Nur, antara lega dan khawatir. Dokter atau para pemuda itu pasti akan melaporkan kejadian ini ke polisi setempat.
Tak menutup kemungkinan mereka diinterogasi mengenai penyebab pemukulan yang dialami suaminya.
Zura mendekat ke ibunya. Tatapannya khawatir.
“Ayah masih hidup?” Bisiknya.
“Alhamdulillah masih,” sahut dokter muda yang memeriksa Abduh menjawab Zura.
“Bawa ke puskesmas, kita rawat di sana,” sambungnya lagi.
Seorang pemuda membantu Nur untuk berdiri. Wanita itu sedikit terhuyung lalu ambruk disertai teriakan ketakutan Zura.
Dokter dan para pemuda membawa keluarga kecil itu ke sebuah puskesmas terpencil di pinggir hutan.
Setelah dua hari dirawat, ketika polisi datang hendak memeriksa korban penganiayaan, dokter dan perawat puskesmas tidak bisa menemukan Abduh dan keluarganya yang telah kabur menuju Malaysia.
***
Flash Back On
Setelah turun di pelabuhan, Abduh menyewa kendaraan menuju perbukitan di barat Pulau Sumatera. Dini hari menembus gelapnya malam yang masih betah bertahta.
Mereka bertiga berkendara dalam diam, hanya suara napas Nafisa yang terdengar lembut teratur.
“Abang, Nur tak mau lepas budak ni sendirian. Zura tadi tu sudah ketakutan waktu disandera human trafficker. Apa lagi budak ni kalau sudah sadar, die tak kenal siape-siape,” pinta Nur setelah bolak-balik menimbang sebelum mengatakan keberatannya pada Abduh.
“Kite tak punye pilihan Nur. Kite harus bebaskan Salman. Antara budak ini atau anak kite, Abang lebih pilih Salman.”
Nafisa masih tertidur lelap. Zura memerhatikan raut cantik yang terpejam di pangkuan bundanya. Mereka terus berkendara menuju tempat seseorang akan membeli Nafisa.
“Kakak ni cantik nian. Zura ingin wajah seperti Kakak,” gumamnya lirih.
Nur menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Lahir dengan kelainan di bibir, Zura beruntung mendapat donor untuk membiayai operasi. Walau bekas operasi masih terlihat, namun paling tidak sudah menutup kelainan bawaannya.
“Zura juge cantik,” ujar Nur membesarkan gati putrinya.
Refleks, Zura menutup bekas jahitan di bibir. Tak meyakini sedikit pun pernyataan ibunya. Netranya terus menatap Nafisa.
“Ayah, Kakak ini mau kita kasih siape?” Gumam Zura yang tak sanggup membayangkan hidup tanpa kedua orang tuanya.
“Die sudah ditunggu sama Markus, mau dibawa ke Thailand atau Vietnam.”
“Innalillaahi! Child trafficker?” Nur terbelalak.
Netra Abduh lurus menatap jalanan yang terbentang di depannya. Tangannya meremas kemudi. Dengan wajah secantik Nafisa, sudah pasti ia akan dijual kepada germo pelacuran anak.
“Ayah, kita harus bawa Kakak pulang lagi ke Malaysia,” cetus Zura sambil menggoyang-goyangkan pundak ayahnya yang masih memegang kemudi.
Air mata membasahi pelupuk Abduh. Buru-buru diusap dengan kasar karena tak mau kelihatan goyah.
“No, Sayang. Nanti kita diadukan dan ditangkap.”
“Bang, apa better kita tinggal anak ini di panti asuhan? Toh kita sudah dapat bayaran.”
“Kita dibayar untuk ambil budak ni dari asrama. Tapi uang itu masih kurang untuk membebaskan Salman. Maka dari itu Abang kontak Markus. Die mau beli dengan harga mahal.”
“Bang, jangan. Ada hukum tabur tuai. Bise jadi nanti Zura tu yang kena bala dari perbuatan kite. Sudah buruk nian kite ni culik die dari asrama.”
“Ayah, no Ayah. Kata ustadzah nggak berkah…” Ucap Zura lirih.
Abduh menghentikan mobilnya. Tangannya menutup wajah terbayang wajah Salman, putra sulungnya, yang babak belur saat dirinya menjenguk di penjara.
“Kakakmu harus segera keluar dari penjara. Kite harus bayar jaminan lima ribu ringgit. Kita baru punya uang dua ribu ringgit. Markus menjanjikan enam ribu ringgit untuk budak ni.”
“Bang, ini salah. Nur setuju dengan kate Zura tu. Kite cari panti asuhan, tinggalke budak ni di sana. Dia baru sadar dua sampai tiga jam lagi.”
“Ayah, itu ada panti asuhan.” Tiba-tiba Zura menunjuk sebuah rumah sederhana berlantai dua di pinggir jalan.
Nur menatap wajah suaminya dengan pandangan memohon. Walau ia juga ingin anaknya bebas dari penjara namun tak ingin gadis kecil di pangkuannya dijual dan dijadikan budak ****.
Terdengar suara Nafisa menggumam sesuatu. Abduh menoleh ke belakang lalu menghela napas panjang.
“Abang setuju. Periksa lagi pakaian anak itu, pastikan surat-surat tidak ada yang dibawa. Juga hape jangan sampai ketinggalan. Kita harus bakar semua dokumen tentang anak ini.”
Nur bertukar pandang dengan Zura yang mengangguk. Tangannya kemudian memeriksa kantong-kantong baju Nafisa. Setelah tidak menemukan apa-apa wanita itu memberi tahu suaminya.
Di depan panti asuhan, mobil yang mereka kendarai berhenti. Abduh turun lalu membopong Nafisa yang masih terlelap, lalu dengan hati-hati meletakkan di lantai teras.
“Maafke Pak Cik, semoga Allah selalu jaga kamu,” gumamnya sebelum meninggalkan Nafisa dan pergi untuk menemui Markus.
Flash back Off.
***
“Astaghfirullahaladzim, Bu Intan, ada anak di depan. Buuuu ….”
Nafisa menatap gadis yang terlihat bingung di hadapannya. Dalam hitungan detik, beberapa orang gadis sebayanya berebut keluar untuk melihat Nafisa.
Seorang wanita yang dipanggil Bu Intan gegas keluar dari rumah dan mendekati Nafisa.
Panik, Nafisa mundur dan bersiap untuk kabur.
“Assalamualaykum, Nak. Aku Bu Intan, siapa namamu?”
Nafisa menggeleng.
“Waalaykumussalam, aku … aku nggak ingat.” Suaranya lirih bergetar.
“Ibu, dia takut. Kita ajak masuk, yuk. Sandra udah bikin teh manis anget,” ujar anak yang iba melihat kondisi Nafisa.
“Pisang goreng dan bubur gandum juga sudah jadi, Bu. Yuk kita ajak masuk,” usul anak yang lain.
“Nak, semoga setelah perutmu terisi, ingatanmu kembali.” Bu Intan perlahan mengulurkan tangannya ke arah Nafi.
Nafisa memandang curiga ke semuanya. Tapi mereka semua mengangguk dan meyakinkan. Masih ragu namun Nafisa akhirnya meraih tangan Bu Intan.
“Dimi, kamu ambilin piring. Kita makan rame-rame aja di ruang tengah,” ucap anak yang paling besar.
Ruangan tengah yang tidak terlalu besar namun tertata apik dan nyaman itu langsung dipenuhi beberapa anak yang baru turun dari lantai atas. Semua memandang Nafisa dengan rasa ingin tahu.
Sebagian memahami apa yang dirasakan Nafisa karena begitulah mereka dulu tiba di pantai asuhan itu. Ditinggalkan.
“Sini, Nak, duduk samping Ibu. Jangan takut.”
Anak bernama Dimi menuangkan teh hangat ke dalam gelas lalu mengulurkan ke Nafisa.
“Aku Dimi, minumlah, in syaa Allah kamu akan lebih tenang.”
Dengan tangan yang masih gemetar, Nafisa meraih gelas lalu minum perlahan. Hangatnya teh terasa nikmat membasahi tenggorokan yang sudah berjam-jam kering.
“Te … terima kasih.”
Anak lain menyodorkan piring berisi pisang goreng.
“Makanlah.”
Nafisa ragu namun melihat sorot mata bersahabat ia mengambil sepotong pisang goreng.
Perlahan ia mengigit pisang legit dan mengenali rasa yang tidak asing.
“Sepertinya sebelum ini aku sering makan pisang goreng,” ujarnya lirih.
“Ssssh sudah tidak usah dipikirkan dulu. Kamu aman di sini, Nak. Makan yang enak. Yuk semuanya, kita juga sarapan,” ajak Bu Intan lalu mengisi mangkuk-mangkuk dengan bubur gandum.
“Hai aku Sandra, ini adiku Naima.”
“Aku Karin.”
“Aku Leli.”
Tiap anak berebut untuk berkenalan. Nafisa yang tadinya ketakutan kini menjadi lebih tenang menatap wajah-wajah ramah dan penuh kehangatan mengelilinginya.
***
HALO SEMUA
Jumpa lagi.
Karena masih Syawal jadi aku mendoakan semoga Allah menerima semua ibadah-badah kita di bulan Ramadhan lalu dan kita semua bertemu dengan Ramadhan-Ramadhan berikutnya.
Moga enjoy novel baruku ini. Maaf jika apdet nda rutin krn skrg kegiatan sdh banyak offline ya. Jadi jatah munghalu berkurang 😁.
Please, like, fave, komen ya kakak-kakak.
Love,
Freya Alana
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!