Tahun berganti tahun. Nafisa tumbuh di panti bersama para gadis sebayanya. Mereka benar-benar menjalankan tekat untuk tegar menghadapi hidup dan berusaha sekuat tenaga mencapai cita-cita.
Tidak sedikit teman-teman menjuluki Nafisa dengan nama-nama yang menyakitkan, misalnya Nafisa binti Anak Buangan atau Nafisa binti Si Hilang Ingatan.
Setiap kali Nafisa hanya mengendik lalu mengindahkan teman-temannya. Ia tidak pernah bersedih hati karena lebih banyak lagi teman baik yang selalu mendukungnya. Belum lagi teman-teman panti yang sudah layaknya saudara.
Dua hal yang menghentikan olokan adalah kecerdasan dan kecantikan Nafisa.
Tidak dapat dipungkiri, Nafisa memiliki kecantikan yang hakiki. Alisnya tebal dengan bentuk sempurna. Manik matanya berwarna abu-abu, menghanyutkan lawan bicara namun tetap menyorotkan ketegasan.
Rambutnya coklat tua bergelombang tertutup hijab. Tubuhnya tinggi semampai hingga menimbulkan spekulasi bahwa dirinya adalah anak blasteran Indonesia dan bule.
Satu lagi yang tidak perlu diragukan adalah kecerdasan Nafisa.
Teman-teman yang kerap mengganggunya terpaksa bungkam karena nilai-nilai Nafisa yang cenderung spektakuler di atas rata-rata normal.
Dengan kecerdasannya, Nafisa sering diundang ikut lomba antarsekolah dan setiap kali dia selalu memenangi. Sedikit demi sedikit ia bisa menabung jika beruntung hadiah berupa uang diberikan atau tidak disunat oleh panitia.
Nafisa beberapa kali mendapat beasiswa termasuk juga undangan untuk masuk ke salah satu universitas negeri di Sumatera.
Dorongan hati membuat Nafisa memilih fakultas ilmu keperawatan. Meskipun tidak mengetahui penyebab pastinya karena ingatan yang belum kembali, namun Nafisa merasa di masa lalunya pernah merawat seseorang yang sangat dia cintai.
Wisuda Nafisa dihadiri Bu Reni dan beberapa kawan panti yang masih menetap di Sumatera. Bagi Bu Reni yang sudah menganggap Nafisa sebagai anak, ini adalah hadiah terindah.
Beberapa bulan kemudian wanita baik hati itu meninggal dunia. Menorehkan kesedihan di hati Nafisa.
Tak mau lama-lama berduka, Nafisa menerima tawaran untuk menjadi perawat di sebuah rumah sakit swasta ternama di sebuah kota besar.
Di sana ia bertemu Umi Yeti, seorang pasien yang kemudian menjadi ibu mertuanya.
Nafisa yang lembut dan menenangkan membuat Umi Yeti jatuh hati. Pasien yang hidupnya divonis tinggal menghitung hari itu mengenalkan Nafisa pada putranya Reno Barlian.
Umi Yeti berharap putra semata wayangnya mendapatkan pendamping hidup yang shalihah, cantik, cerdas, dan memiliki akhlak baik. Seperti Nafisa.
Gayung bersambut. Reno pun ternyata sudah tertarik pada Nafisa. Beberapa kali mencoba berkenalan namun Nafisa selalu menghindar.
Hidup sebatang kara, Nafisa harus ekstra ketat menjaga diri. Terhadap kaum Adam, ia tidak gampang berkenalan atau membuka diri. Kadang dia dijuluki Putri Salju oleh dokter maupun rekan di tempatnya bekerja.
Lagi-lagi Nafisa mengabaikan. Pikirnya lebih fokus merawat pasien ketimbang mendengar olokan-olokan tidak penting.
Paling banter, Nafisa hanya cengengesan kemudian menjawab sekenanya.
Reno di lain pihak gigih berjuang untuk mengenal Nafisa lebih jauh. Mendapatkan dukungan seratus persen dari ibunya yang kerap kali minta diperiksa ini itu saat Reno berkunjung. Dan harus Nafisa yang memeriksa.
Akhirnya Nafisa setuju untuk berkenalan walau belum terbersit keinginan untuk menikah.
Usianya masih dua puluh satu tahun. Ia ingin mencari pengalaman, melanjutkan passionnya merawat pasien di rumah sakit.
Rencananya buyar ketika kondisi Umi Yeti tiba-tiba drop. Umi Yeti memohon pada Nafisa agar mau menjadi menantunya.
Reno pun memohon pada Nafisa demi mengabulkan permintaan ibunda tercinta.
Nafisa dan Reno menikah dalam situasi darurat. Tangan-tangan baik berebut membantu Nafisa. Mulai dari mencari kebaya secepat kilat hingga wali nikah.
Di rumah sakit, Reno menikahi Nafisa, disaksikan beberapa teman panti dan rekan-rekan kerja.
Kondisi Umi Yeti sempat membaik. Reno memutuskan untuk membawa pulang ibunya. Di rumah, Nafisa merawat dengan penuh kasih sayang.
Seminggu kemudian, mertuanya berpulang. Lagi-lagi Nafisa kehilangan sosok yang dianggapnya sebagai ibu.
Beberapa bulan berjalan, Reno memutuskan untuk mengajak Nafisa pindah ke ibu kota karena ada tawaran bisnis.
Bermodal hasil penjualan rumah dan tanah warisan, mereka pun berangkat ke Jakarta.
Bisnis Reno berkembang. Awalnya sebagai kontraktor kecil-kecilan, lambat laun ia diserahi tanggung jawab membangun town house hingga akhirnya memberanikan diri mencari investor untuk membangun perumahan.
Karena Nafisa langsung hamil ketika sampai di Jakarta, Reno tidak mengijinkan Nafisa untuk mencari kerja di rumah sakit.
Nafisa membuka usaha kecil-kecilan dengan menerima order snack untuk pengajian di sekitar rumah. Pisang gorengnya terkenal legit dan renyah.
Setapak demi setapak, Nafisa dan Reno menjalani pernikahan. Bergandengan tangan mewujudkan bahagia selamanya.
***
Lima tahun kemudian.
“Papa, bangun Papa,” sapa Nafisa menirukan suara anak-anak sambil menoel-noel pipi Reno dengan jari gendut milik Milo Si Bungsu yang berusia tiga tahun.
Mata Reno mengerjap. Bibirnya tersenyum melihat pemandangan indah di depannya.
Nafisa, istrinya terlihat cantik dengan rambut digelung ke atas menampakkan leher jenjang. Manik mata berwarna abu-abu, menatap lembut penuh cinta. Bibirnya penuh, membuat Reno ingin menyesapnya jika tidak ingat ada Milo di antara mereka.
Meski mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendirian, namun Nafisa tidak pernah kelihatan berantakan. Reno berharap malam segera tiba hingga ia bisa menikmati kecantikan Nafisa seutuhnya.
“Papa, Papa …” Kini Milo ikutan memanggil ayahnya.
Senyum Nafisa makin lebar melihat Reno yang terus menatapnya.
Perlahan, tangannya diam-diam mencubit perut Reno.
“Ouch! Kok Abang dicubit?”
“Abis gitu banget ngeliatinnya,” sahut Nafisa malu-malu tapi mau.
“Cantik …” Reno menoel cuping hidung dengan lekuk sempurna milik istrinya. Semburat merah merekah di pipi Nafisa membuat Reno harus menahan hasrat.
“Papa …” Rengek Milo yang putus asa karena yang dipanggil tidak juga memberi perhatian.
“Apa, Sayang. Pengin sama Papa, ya?”
Milo kini dipeluk Reno sambil terkekeh kegelian karena Reno menghujaninya dengan ciuman membabi buta.
“Mama … Mama …” Panggil Aurelie Si Sulung yang berusia empat tahun langsung menomplok Nafisa dari belakang.
Tak sanggup menahan, Nafisa terguling dan Reno langsung menangkapnya dengan senang hati.
Nafisa tertawa dengan kelakuan modus suaminya. Aurelie menyusup di antara ibu dan adiknya.
Tangan Reno yang kokoh memeluk keluarga kecilnya.
“Papa, kita jadi jalan-jalan ke Mall?”
“Jadi, dong. Kan mau beli kado buat Mama.”
“Yaay, beli kado buat Mama. Beli kado buat Mama.” Aurelie dan Milo melonjak-lonjak di atas tempat tidur.
Nafisa yang masih tidak bisa beringsut dari Reno tersenyum bahagia melihat kelakuan anak-anaknya.
“Are you happy, Love?” Bisik Reno lembut di telinga istrinya.
“So happy, Bang. Alhamdulillah.”
Kembali suami mesum itu berbisik, “Kamu akan lebih happy lagi nanti malam.”
Netra mereka bersitatap dengan pandangan penuh cinta.
“Muah, muah, muah,” goda Aurelie melihat begitu dekatnya wajah Reno dan Nafisa.
“E apa muah, muah? Tau dari dimana muah muah muah?” Nafisa menarik putrinya lalu menciuminya bertubi-tubi.
“Kitikin Kakak!”
Milo dengan jari-jari gendutnya ikut mengelitiki Aurelie yang kini terpekik-pekik kegelian.
Suasana ceria dan bahagia sangat terasa di keluarga Reno dan Nafisa. Pasangan muda yang sudah menikah selama lima tahun.
***
“Papa, liat baju itu bagus untuk Mama!” Teriak Aurelie melihat baju pengantin gaya princess.
“Ya Allah, Aurelie, Mama pakai baju pengantin sekali aja nggak boleh lagi,” balas Reno. Nafisa terkekeh melihat Aurelie tidak mengerti ucapan ayahnya.
“Emang Mama udah punya baju kayak gitu? Kok nggak pernah lihat?”
Nafisa menjelaskan, “Itu namanya baju pengantin. Dulu waktu Mama menikah dengan Papa, pakai baju pengantin. Kamu sering liat, kok, yang ada di lemari gantungan warna putih. Walau modelnya beda, tapi sama-sama baju pengantin.”
“Terus kenapa nggak boleh beli lagi?”
Giliran Reno menjelaskan, “Karena, Mama dan Papa inginnya hanya menikah satu kali aja. Sampai tua bareng-bareng.”
Mendengar ucapan suaminya, hati Nafisa terasa hangat. Refleks dia mencium pipi lalu berbisik di telinga Reno, “Aamiin aamiin.”
“Papa dan Mama meshya,” celetuk Milo yang masih belum terlalu jelas bicaranya.
Reno pun mencium pipi gembil Milo saking gemasnya.
Aurelie masih bersikeukeuh dengan pendapatnya. Terlebih anak pintar itu merasa kedua orang tuanya belum menjawab pertanyaan.
“Emang kalau sudah menikah tidak boleh pakai baju pengantin lagi?”
“Biasanya baju pengantin dipakai saat menikah dan aneh kalau dipakai kalau datang ke pesta,” jelas Nafisa lagi sementara Aurelie manggut-manggut.
“Aku pengin liat Mama pakai baju pengantin yang di rumah.”
“Ya Allah, masih cukup nggak, ya? Ya udah kapan-kapan kita coba,” gumam Nafisa ragu.
Benak Reno langsung membayangkan tubuh polos istrinya yang tidak ada perubahan meski sudah melahirkan dua anak. Bahkan bukit kembarnya makin memberikan kepuasan karena ukurannya yang membesar.
“Sssh, jangan ngelamun jorok,” bisik Nafisa melihat perubahan raut suaminya.
“Eh nggak jorok ya, aku cuma bayangin kamu, kok. Mmmm kan jadi pengin.” Reno merasakan gelenyar di bawah sana.
“Awas kamu macem-macem. Nanti malam aja. Live show,” bisik Nafisa mengerling genit.
“Mama dan Papa mau ngapain nanti malam?” Mereka tak sadar Milo bisa mendengar percakapan mereka.
“Mmmm mau itu mau apa namanya …” jawab Reno gelagapan.
Matanya menemukan sebuah gamis berwarna sage dengan bordiran bunga-bunga bernuansa pastel.
“Naaah, itu baru baju cocok buat Mama.” Tunjuknya lega karena dua anaknya tidak membahas rencana dengan Nafisa malam itu.
“Milo suka. Mama cantik pakai itu,” jawab Milo yang perhatiannya teralih.
Gegas Reno mengarah ke toko diikuti Nafisa yang menatap sambil menggelengkan kepala.
“Reno!” Sapa seorang wanita cantik yang kebetulan berdiri di dekat toko.
“Eh, Del, apakabar?” Reno membalas setelah terdiam beberapa sembari menatap sosok yang memanggilnya.
Nafisa mendekat sambil tersenyum ramah.
“Waaah kamu udah nikah, ya? Ini istrimu?”
“I-iya,” jawab Reno tiba-tiba merasa gugup.
“Hai, aku Dela. Aku dan Reno dulu sekampus.”
“Nafisa, Uni.” Nafisa mengulurkan tangan dan berkenalan dengan wanita bernama Delia.
“Aurel, Milo, yuk salam sama Tante Dela,” ucap Nafisa pada anak-anaknya yang langsung patuh.
“Kapan balik, Del?” Tanya Reno berusaha melawan gelombang memori masa lalu.
“Baru sebulan. Kangen Indonesia dan udah bosen sama Amerika. Sekarang aku kerja di perusahaan almarhum Papa di Bandung.”
“Oh gitu. Ya udah take care, Del.” Reno buru-buru menyudahi percakapannya.
“You too, Ren.”
Reno dan keluarganya masuk ke toko untuk membeli gamis.
Tanpa sepengetahuan istrinya, Reno menoleh ke arah Dela. Wanita yang sejak SMA hingga kuliah menjadi kekasih hatinya, namun pergi tanpa pamit untuk meneruskan sekolah ke luar negeri.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Yunia Spm
bau bau aneh sudah tercium....
2023-12-15
0
🟡𓆉︎ᵐᵈˡ 𝐀⃝🥀sthe⏤͟͟͞R🔰¢ᖱ'D⃤
nah loh mulai ada yang lirik2
2023-07-02
0