Pria Labil dan Gadis Galak

Pria Labil dan Gadis Galak

Bab 1. Punya Mata Tidak?

Brak!

Sebuah motor terbentur aspal setelah menyerempet seorang wanita yang menyebrang dan membuat laptop yang dipegangnya retak.

Muhammad Almair Gaffi Pradiatama, itulah nama panjang pemilik motor yang kini sedang tergeletak di tengah jalan dengan tubuh tertindih badan sepeda motornya sendiri.

Leona, gadis blasteran Prancis-Indonesia mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap lengan, kaki, dan betisnya yang perih dan panas akibat tergores jalanan beraspal. Sesekali meniup-niup goresan keras yang menimbulkan luka.

Dia mengedarkan pandangan ke segala arah untuk mencari benda yang dipegangnya tadi.

"Astaghfirullahaladzim, kok jadi retak begini sih?" Leona mengusap rambutnya kasar lalu tangannya terulur meraih laptop yang berada tidak jauh dari motor Gaffi tergeletak.

"Punya mata nggak sih? Gara-gara kamu nih laptop saya jadi begini." Leona menatap dengan ekspresi kesal ke arah Gaffi, lalu sedetik kemudian beralih menatap sayang pada laptop miliknya.

Gaffi yang tertindih badan sepeda motor terbelalak. Gadis di sampingnya bukannya menolong, malah mengoceh tidak jelas.

"Kesampingkan masalah laptop dulu nanti aku ganti yang lebih baik, tolong angkat motor dari tubuhku ini!" pinta Gaffi sambil tangannya mencoba mengangkat badan motor, tapi karena moge itu berat, dia tidak berhasil mengangkatnya.

"Ugh, berat sekali sih," keluhnya.

"Enak aja diganti yang lebih. Nggak bakal ada yang lebih baik dari ini," bantah Leona sambil menatap tajam mata Gaffi.

"Tolonglah aku, please!" mohon Gaffi lagi.

"Tolong saja dirimu sendiri. Tadi pinter, kan main kebut-kebutan? Nah kenapa sekarang hanya mengangkat motor tidak bisa? Malah terlihat lemah seperti itu!" Setelah mengatakan kalimat itu Leona balik badan dan langsung pergi dengan langkah yang pincang.

"Hei kamu tadi yang salah, menyebrang tidak lihat-lihat!" teriak Gaffi dengan nada suara yang amat kesal.

"Kamu yang buta, tidak lihat apa lampu rambu-rambu lalu lintas berwarna apa? Merah Tuan, atau kau buta warna?" Leona tersenyum sinis lalu melanjutkan langkahnya kembali.

"Dasar anak jalanan, bisanya cuma nyusahin orang saja," kesal Leona.

"Arrgh sial kenapa aku bertemu dia? Dasar gadis si ratu tega!" geram Gaffi. Beberapa saat teman-temannya berbalik dan membantu Gaffi. Ada yang mengangkat sepeda motor dan ada pula yang membantu Gaffi bangun.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Gino sahabat dekatnya.

Gaffi menggeleng. "Hanya saja badanku rasanya remuk." Gaffi memijit bahunya yang terasa pegal sekaligus kebas.

"Tidak apa-apa bagaimana?" tanya Gino melihat darah mengucur dari dahi lelaki itu.

"Kita bawa ke rumah sakit sekarang!" Seorang teman yang lain mengambil keputusan.

"Aku tidak apa-apa," lirih Gaffi. Namun, sesaat kemudian malah jatuh pingsan.

"Ayo angkat dia!" teriak Gino panik.

Salah seorang dari mereka mengangkat tubuh Gaffi dan meletakkan di atas badan sepeda motor. Tubuh Gaffi diapit kedua temannya di depan dan belakang.

"Kamu urus sepeda motor ini, jangan sampai ketahuan polisi!" perintah Gino. Melihat salah seorang teman mengangguk yang artinya sanggup menjalankan perintah, Gino langsung naik ke atas sepeda motornya sendiri kemudian menyusul teman yang membawa Gaffi ke rumah sakit.

Di salah satu rumah besar dan megah, seorang pria mengernyit melihat putrinya kembali dengan langkah yang tidak seperti biasa.

"Leona, kau kenapa?"

"Biasa Dad ada kecelakaan kecil, tadi kena srempet sama anak-anak motor hingga Leona terjungkal ke samping. Nggak tahu kena apa nih kaki, tiba-tiba pas dibawa berjalan kok begini, tadi pas bangun dari jatuh nggak," jelas Leona lalu menghempaskan tubuhnya dengan kasar di atas sofa.

"Nasib-nasib! Baru pindah ke negara ini sudah begini," keluh Leona sambil memijit kakinya sendiri.

"Auuw!" Gadis itu meringis kesakitan.

"Terkilir kali," ucap Lexi lalu duduk di samping Leona dan gadis itu hanya mengangguk.

"Kau terluka Leona," ucap Lexi baru menyadari kaki Leona ada lukanya.

"Iya Dad, tapi hanya luka kecil, mungkin rasa sakit ini lebih besar dari yang terkilir saja."

"Nanti Daddy akan meminta oma untuk memanggilkan tukang urut. Semoga dengan begitu kakimu akan kembali seperti sediakala. Oh ya, sekarang Daddy akan mengobati luka-lukamu," ucap Lexi lalu bangkit berdiri dan meraih kotak obat yang berada di samping televisi.

"Iya Dad, terima kasih." Leona menyandarkan bahunya pada sandaran sofa lalu memejamkan mata.

"Ya ampun! Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada dia?" Tiba-tiba saja Leona mengingat akan nasib Gaffi.

"Bagaimana kalau tidak ada yang menolong dia dan pria itu malah tertabrak kendaraan lain yang melintas?" Yang tadinya mata terpejam kini malah terbelalak.

"Oh God, kenapa aku malah mengabaikannya?" Seketika gadis itu bangkit dari duduknya dan melangkah keluar rumah dengan tertatih.

"Leona, kau akan kemana dengan kakimu yang seperti itu?"

"Ada yang genting Dad, biar Leona periksa dulu!"

Lexi tidak menjawab hanya menatap Leona dengan bingung.

Dengan susah payah akhirnya Leona kembali ke jalanan. Kebetulan tempat Gaffi terjatuh tadi tidak begitu jauh dari kediamannya.

"Mas, Mas! Pria yang jatuh di sana tadi kemana?" tanya Leona pada seorang pemuda yang melintas.

"Sudah dibawa teman-temannya, Mbak."

"Keadaannya bagaimana?"

"Oh kalau itu sih, saya tidak tahu, Mbak."

"Baiklah kalau begitu terima kasih banyak."

"Sama-sama, Mbak."

Leona kembali ke dalam rumah lalu duduk kembali ke tempatnya semula.

"Semoga dia tidak apa-apa. Aku akan merasa bersalah kalau sampai terjadi hal buruk padanya karena sikapku yang abai tadi," batin Leona.

"Ayo Daddy obati!" seru Lexi.

"Oke, Dad."

Dengan hati-hati Lexi mengangkat kaki Leona hingga berselonjor di atas sofa. Tangannya cekatan membersihkan luka-luka putrinya lalu mengoleskan povidon iodine dengan kapas.

"Auw perih Dad, pelan-pelan! Jangan ditekan!"

"Iya Na, ini Daddy sudah pelan, pelan sekali malah, yang namanya obat merah kena luka, ya meskipun dioleskan secara lembut ataupun ditekan-tekan tetap saja terasa perih."

Leona hanya mengangguk lalu menghembuskan nafas panjang. Gadis itu memejamkan mata, menikmati sensasi rasa perih sambil memikirkan keadaan Gaffi saat ini.

"Bagaimana kondisi dia, ya? Jangan-jangan dia kritis atau bahkan meninggal," lirih Leona sedikit takut karena kini baru menyadari dari kepala Gaffi mengucur darah segar.

Entah karena terlalu kesal dengan Gaffi atau karena syok, pikirannya jadi tidak sinkron padahal sudah jelas-jelas melihat Gaffi mengeluarkan darah, tetapi dia tidak cekatan menolong, bahkan sampai Graffi memohon pun dia tidak mau melakukannya. Padahal hal itu bertentangan dengan hati nurani Leona sendiri yang pada dasarnya adalah gadis yang suka menolong.

"Aku hanya bisa berharap ia baik," baik saja," gumamnya.

"Siapa yang kamu doakan baik-baik saja? Anak yang suka balapan liar tidak perlu dikasihani apalagi didoakan karena selamanya keberadaan mereka akan meresahkan masyarakat," ujar Lexi sambil menutup luka Leona dengan perban.

"Mereka bisa saja insyaf kan, Dad?" Leona merasa sayang jika orang setampan Gaffi selamanya akan menjadi sampah masyarakat.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Ir Syanda

Ir Syanda

Kamunya terlalu emosi yang nyeroscos terus, jadi melupakan hal terpenting🤣🤣

2023-06-03

1

Ir Syanda

Ir Syanda

Cowok dideti, lucu liatnya 🤣

2023-06-03

1

Ir Syanda

Ir Syanda

Betul itu betul🤣 Pake sok2an ngebut, pas jatuh baru tahu rasa 🤣

2023-06-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!