NovelToon NovelToon

Pria Labil dan Gadis Galak

Bab 1. Punya Mata Tidak?

Brak!

Sebuah motor terbentur aspal setelah menyerempet seorang wanita yang menyebrang dan membuat laptop yang dipegangnya retak.

Muhammad Almair Gaffi Pradiatama, itulah nama panjang pemilik motor yang kini sedang tergeletak di tengah jalan dengan tubuh tertindih badan sepeda motornya sendiri.

Leona, gadis blasteran Prancis-Indonesia mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap lengan, kaki, dan betisnya yang perih dan panas akibat tergores jalanan beraspal. Sesekali meniup-niup goresan keras yang menimbulkan luka.

Dia mengedarkan pandangan ke segala arah untuk mencari benda yang dipegangnya tadi.

"Astaghfirullahaladzim, kok jadi retak begini sih?" Leona mengusap rambutnya kasar lalu tangannya terulur meraih laptop yang berada tidak jauh dari motor Gaffi tergeletak.

"Punya mata nggak sih? Gara-gara kamu nih laptop saya jadi begini." Leona menatap dengan ekspresi kesal ke arah Gaffi, lalu sedetik kemudian beralih menatap sayang pada laptop miliknya.

Gaffi yang tertindih badan sepeda motor terbelalak. Gadis di sampingnya bukannya menolong, malah mengoceh tidak jelas.

"Kesampingkan masalah laptop dulu nanti aku ganti yang lebih baik, tolong angkat motor dari tubuhku ini!" pinta Gaffi sambil tangannya mencoba mengangkat badan motor, tapi karena moge itu berat, dia tidak berhasil mengangkatnya.

"Ugh, berat sekali sih," keluhnya.

"Enak aja diganti yang lebih. Nggak bakal ada yang lebih baik dari ini," bantah Leona sambil menatap tajam mata Gaffi.

"Tolonglah aku, please!" mohon Gaffi lagi.

"Tolong saja dirimu sendiri. Tadi pinter, kan main kebut-kebutan? Nah kenapa sekarang hanya mengangkat motor tidak bisa? Malah terlihat lemah seperti itu!" Setelah mengatakan kalimat itu Leona balik badan dan langsung pergi dengan langkah yang pincang.

"Hei kamu tadi yang salah, menyebrang tidak lihat-lihat!" teriak Gaffi dengan nada suara yang amat kesal.

"Kamu yang buta, tidak lihat apa lampu rambu-rambu lalu lintas berwarna apa? Merah Tuan, atau kau buta warna?" Leona tersenyum sinis lalu melanjutkan langkahnya kembali.

"Dasar anak jalanan, bisanya cuma nyusahin orang saja," kesal Leona.

"Arrgh sial kenapa aku bertemu dia? Dasar gadis si ratu tega!" geram Gaffi. Beberapa saat teman-temannya berbalik dan membantu Gaffi. Ada yang mengangkat sepeda motor dan ada pula yang membantu Gaffi bangun.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Gino sahabat dekatnya.

Gaffi menggeleng. "Hanya saja badanku rasanya remuk." Gaffi memijit bahunya yang terasa pegal sekaligus kebas.

"Tidak apa-apa bagaimana?" tanya Gino melihat darah mengucur dari dahi lelaki itu.

"Kita bawa ke rumah sakit sekarang!" Seorang teman yang lain mengambil keputusan.

"Aku tidak apa-apa," lirih Gaffi. Namun, sesaat kemudian malah jatuh pingsan.

"Ayo angkat dia!" teriak Gino panik.

Salah seorang dari mereka mengangkat tubuh Gaffi dan meletakkan di atas badan sepeda motor. Tubuh Gaffi diapit kedua temannya di depan dan belakang.

"Kamu urus sepeda motor ini, jangan sampai ketahuan polisi!" perintah Gino. Melihat salah seorang teman mengangguk yang artinya sanggup menjalankan perintah, Gino langsung naik ke atas sepeda motornya sendiri kemudian menyusul teman yang membawa Gaffi ke rumah sakit.

Di salah satu rumah besar dan megah, seorang pria mengernyit melihat putrinya kembali dengan langkah yang tidak seperti biasa.

"Leona, kau kenapa?"

"Biasa Dad ada kecelakaan kecil, tadi kena srempet sama anak-anak motor hingga Leona terjungkal ke samping. Nggak tahu kena apa nih kaki, tiba-tiba pas dibawa berjalan kok begini, tadi pas bangun dari jatuh nggak," jelas Leona lalu menghempaskan tubuhnya dengan kasar di atas sofa.

"Nasib-nasib! Baru pindah ke negara ini sudah begini," keluh Leona sambil memijit kakinya sendiri.

"Auuw!" Gadis itu meringis kesakitan.

"Terkilir kali," ucap Lexi lalu duduk di samping Leona dan gadis itu hanya mengangguk.

"Kau terluka Leona," ucap Lexi baru menyadari kaki Leona ada lukanya.

"Iya Dad, tapi hanya luka kecil, mungkin rasa sakit ini lebih besar dari yang terkilir saja."

"Nanti Daddy akan meminta oma untuk memanggilkan tukang urut. Semoga dengan begitu kakimu akan kembali seperti sediakala. Oh ya, sekarang Daddy akan mengobati luka-lukamu," ucap Lexi lalu bangkit berdiri dan meraih kotak obat yang berada di samping televisi.

"Iya Dad, terima kasih." Leona menyandarkan bahunya pada sandaran sofa lalu memejamkan mata.

"Ya ampun! Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada dia?" Tiba-tiba saja Leona mengingat akan nasib Gaffi.

"Bagaimana kalau tidak ada yang menolong dia dan pria itu malah tertabrak kendaraan lain yang melintas?" Yang tadinya mata terpejam kini malah terbelalak.

"Oh God, kenapa aku malah mengabaikannya?" Seketika gadis itu bangkit dari duduknya dan melangkah keluar rumah dengan tertatih.

"Leona, kau akan kemana dengan kakimu yang seperti itu?"

"Ada yang genting Dad, biar Leona periksa dulu!"

Lexi tidak menjawab hanya menatap Leona dengan bingung.

Dengan susah payah akhirnya Leona kembali ke jalanan. Kebetulan tempat Gaffi terjatuh tadi tidak begitu jauh dari kediamannya.

"Mas, Mas! Pria yang jatuh di sana tadi kemana?" tanya Leona pada seorang pemuda yang melintas.

"Sudah dibawa teman-temannya, Mbak."

"Keadaannya bagaimana?"

"Oh kalau itu sih, saya tidak tahu, Mbak."

"Baiklah kalau begitu terima kasih banyak."

"Sama-sama, Mbak."

Leona kembali ke dalam rumah lalu duduk kembali ke tempatnya semula.

"Semoga dia tidak apa-apa. Aku akan merasa bersalah kalau sampai terjadi hal buruk padanya karena sikapku yang abai tadi," batin Leona.

"Ayo Daddy obati!" seru Lexi.

"Oke, Dad."

Dengan hati-hati Lexi mengangkat kaki Leona hingga berselonjor di atas sofa. Tangannya cekatan membersihkan luka-luka putrinya lalu mengoleskan povidon iodine dengan kapas.

"Auw perih Dad, pelan-pelan! Jangan ditekan!"

"Iya Na, ini Daddy sudah pelan, pelan sekali malah, yang namanya obat merah kena luka, ya meskipun dioleskan secara lembut ataupun ditekan-tekan tetap saja terasa perih."

Leona hanya mengangguk lalu menghembuskan nafas panjang. Gadis itu memejamkan mata, menikmati sensasi rasa perih sambil memikirkan keadaan Gaffi saat ini.

"Bagaimana kondisi dia, ya? Jangan-jangan dia kritis atau bahkan meninggal," lirih Leona sedikit takut karena kini baru menyadari dari kepala Gaffi mengucur darah segar.

Entah karena terlalu kesal dengan Gaffi atau karena syok, pikirannya jadi tidak sinkron padahal sudah jelas-jelas melihat Gaffi mengeluarkan darah, tetapi dia tidak cekatan menolong, bahkan sampai Graffi memohon pun dia tidak mau melakukannya. Padahal hal itu bertentangan dengan hati nurani Leona sendiri yang pada dasarnya adalah gadis yang suka menolong.

"Aku hanya bisa berharap ia baik," baik saja," gumamnya.

"Siapa yang kamu doakan baik-baik saja? Anak yang suka balapan liar tidak perlu dikasihani apalagi didoakan karena selamanya keberadaan mereka akan meresahkan masyarakat," ujar Lexi sambil menutup luka Leona dengan perban.

"Mereka bisa saja insyaf kan, Dad?" Leona merasa sayang jika orang setampan Gaffi selamanya akan menjadi sampah masyarakat.

Bersambung.

Bab 2. Janda Pirang

"Ya ampun dia kenapa Dad?" tanya Ara yang sedang melangkah ke arah mereka sambil membawa kopi dan gorengan panas. Hidangan itu sangatlah cocok di suasana dingin dimana malam itu baru saja turun hujan.

Kadang Leona hanya bisa menggeleng mengingat Gaffi dan teman-temannya malah balapan liar saat jalanan licin.

"Hanya luka kecil Mom, bentar lagi juga sembuh," ucap Leona sambil tersenyum tenang.

"Sayang biasanya mama punya langganan tukang urut, kamu tahu nggak alamatnya?" Lexi menghentikan pekerjaan membebat perban di kaki Leona yang luka, lalu menatap wajah istrinya.

Ara yang ditanya langsung mengerutkan dahi.

"Memang kenapa?" tanyanya kemudian menaruh nampan di atas meja dan dirinya langsung duduk si samping Leona.

"Putri kita habis terjatuh tadi." Terpaksa Lexi berbohong karena tidak ingin membuat Ara khawatir. Dia paham dengan sikap sang istri yang mudah gusar jika mendengar kabar yang tidak baik, apalagi kalau sudah menyangkut putra-putri mereka.

"Leona, Leona! Kenapa tidak hati-hati sih? Sudah tahu jalanan licin," keluh Ara.

"Lagian kalau cuma kepingin bakso bisa minta kurir untuk mengantar ke sini, kan bisa," tambah Ara lagi.

"Namanya sudah takdir Mom, mau bagaimana lagi?" Leona berucap dengan nada suara yang enteng.

"Lagian kalau makan bakso enakan makan di tempat dan tempatnya juga tidak terlalu jauh dari rumah oma," tambahnya.

"Dan nggak tahu ya Na, kalau bakal jatuh seperti tadi?" Lexi menimpali.

"Nah itu Daddy paham," ucap Leona sambil tersenyum ke arah sang ayah.

"Yasudah deh saya tanya mama dulu." Ara berdiri kembali lalu meninggalkan anak dan ayah yang terlihat akrab itu.

Beberapa saat kemudian Ara muncul dengan Lana dan mengajak keduanya untuk pergi bersama ke rumah tukang urut karena kasihan jika harus memanggil wanita itu ke rumahnya dalam suasana yang dingin itu.

"Ayo Nak Lexi kita berangkat sekarang, biar nggak kemalaman!" ajak Lana.

"Nggak bisa ditunda besok ya Oma?" Rasanya Leona malas untuk bepergian saat ini.

"Nggak bisa Na. Kalau besok kita perginya, nanti semalaman kamu tidak bisa tidur karena badan kamu akan terasa sangat remuk."

"Hah, baiklah Oma," ujar Leona pasrah.

Lexi membantu Leona bangkit lalu gantian Ara yang membantu putrinya berjalan.

Di rumah, sakit Gaffi tersadar setelah ditangani oleh dokter.

"Gin, ponselku mana?"

"Ada pada Dirga di luar biar aku ambil dulu."

Gaffi mengangguk dan Gino langsung melangkah keluar ruangan. Setelahnya kembali dengan ponsel Gaffi di tangan.

"Thanks," ujar Gaffi lalu menggeser-geser jari telunjuk di layar ponsel.

"Mau ngapain, kenapa tidak istirahat saja?" Gino pikir Gaffi ingin main game seperti biasanya.

"Telepon mami, mau ngasih tahu kalau aku nginep di rumah kamu."

"Nginep di rumahku?" tanya Gino bingung.

"Iya, tidak mungkin, kan aku ngasih tahu jika aku jatuh. Bisa-bisa curiga nih mami kalau aku habis speeding motor."

Mendengar kalimat itu wajah Gino menjadi pucat.

"Kenapa ekspresimu seperti itu? Kayak mayat aja!" Yang tadinya ingin memencet nomor ponsel akhirnya ditunda karena melihat raut wajah Gino yang berubah seketika.

Bersamaan dengan itu kedua orang tua Gaffi muncul di pintu sambil mengucapkan salam.

"Assalamualaikum!"

Sontak saja Gaffi langsung menatap ke arah pintu dimana Sarah dan Gala berdiri di sana dengan raut wajah khawatir. Gaffi lalu mengalihkan wajah, menatap tajam mata Gino yang tampak ketakutan.

"Jadi, kau–!"

"Assalamualaikum!" ulang Sarah karena salam yang diucapkannya tak berbalas.

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh," jawab keduanya serempak.

"Kenapa bisa jatuh Gaffi?" tanya Sarah sambil duduk di pinggir ranjang diikuti oleh Gala.

"Tadi mau pulang dari rumah Gino Mami, tapi tiba-tiba di jalan licin ditambah lagi ada wanita yang menyebrang tidak lihat-lihat. Jadi, terpaksa Gaffi banting setir agar tidak menabrak orang itu."

"Oh begitu ya, lain kali lebih hati-hati. Ingat jangan kebut-kebutan di jalan!"

"Iya Mami." Akhirnya Gaffi bernafas lega karena Sarah tidak curiga dan bertanya macam-macam.

Gino pun ikut lega karena artinya Gaffi tidak akan memarahi dirinya akibat telah melapor tentang keadaan Gaffi sekarang.

***

Beberapa hari kemudian di kelas 12 IPA 1, seorang guru Matematika berhenti mengajar tatkala pintu kelas yang terbuka terdengar di ketuk seseorang.

"Ada apa Bu Ida?" tanya Pak Hordi selaku guru Matematika kelas 12 sekaligus wali kelas 12 IPA 1 kepada Bu Ida yang merupakan guru BK di sekolah itu.

"Ini Pak, ada murid baru. Dia pindahan dari Paris. Pak kepala sekolah menyuruh mengantar ke kelas ini dan mohon bimbingannya!"

"Baik Bu, terima kasih."

"Nak, kamu silahkan masuk!" Pak Hordi memberi kode pada Leona dengan gerakan tangan agar mendekat.

"Terima kasih Pak, kalau begitu saya pamit dulu," ujar Bu Ida dijawab anggukan dari pak Hordi.

"Silahkan perkenalkan namamu!" perintah Pak Hordi sebelum mempersilahkan Leona duduk.

"Hai teman-teman perkenalkan nama saya Leona, saya baru beberapa hari pindah dari Prancis ke negara ini. Sebenarnya mommy saya orang Indonesia, tapi karena beliau menikah dengan Daddy yang orang Prancis, kami semua sebelumnya tinggal di sana." Leona memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah.

Seperti pada umumnya, warga negara asing akan disambut dengan antusias oleh warga negara kita. Begitu pula dengan Leona kali ini. Semua teman-teman sekelasnya heboh dan satu persatu maju untuk memperkenalkan dirinya.

Namun, diantara siswa kelas 12 IPA 1 itu, ada satu siswa yang sama sekali tidak tertarik dengan sesi perkenalan tersebut.

Gaffi, ya Gaffi tidak pernah tertarik untuk memperkenalkan diri pada gadis yang acuh padanya malam itu.

"Gaffi semua teman-temanmu sudah memperkenalkan diri, sekarang giliranmu!" perintah Pak Hordi pada Gaffi yang terlihat acuh tak acuh dengan keadaan.

"Wajib ya, Pak?" tanya Gaffi tak bersemangat sedangkan Leona masih nampak mengobrol dengan salah satu siswi.

"Harus, itu sebagai tanda kita menghargai orang lain yang sudah memperkenalkan diri!"

Gaffi mengangguk dan dengan lesu berjalan ke depan.

Sampai di hadapan Leona dia mengulurkan tangan. Gadis yang diajak mengobrol tadi oleh Leona kembali ke bangkunya, sehingga kini Leona menyambut uluran tangan Gaffi dan langsung kaget saat menyadari pria itu adalah yang menabraknya beberapa malam yang lalu.

"Kau–!" Leona terbelalak.

Namun, kemudian bersikap ramah sambil tersenyum.

"Namaku Leona."

"Gaffi," ujar Gaffi kemudian.

Leona mengangguk sambil terus menyunggingkan senyuman.

"Jangan senang dulu, sebenarnya aku tidak suka berkenalan dengan Anda." Gaffi tersenyum kecut.

Leona tampak kaget.

"Janda pirang!" tambah Gaffi dengan nada suara tegas, tetapi seperti orang berbisik. Dia menatap tidak suka ke arah rambut Leona yang cokelat kemerahan itu sehingga membuat Leona terbelalak kembali.

"Kau boleh tidak suka padaku, tapi aku tidak suka dengan sebutan yang kamu berikan padaku. Sekali lagi kamu bilang aku janda pirang, kusumpal mulutmu dengan tisu-tisu ini!" geram Leona sambil melirik tisu di saku baju seragamnya lalu matanya menatap tajam ke arah mata Gaffi.

"Aku tidak suka dihina, camkan itu!" tegas Leona dengan suara yang hanya bisa di dengar mereka berdua.

Bersambung.

Bab 3. Rencana Taruhan

"Gaf, pulang sekolah nanti tolong belikan kado untuk adikmu ya!" pesan Sarah sambil bersiap-siap untuk meninjau beberapa toko kuenya. Begitupun Gaffi yang sudah siap dengan tas sekolah.

"Hari ini Ghaida ultah Mi?" tanya Gaffi yang kini tampak membenahi tali sepatunya.

"Nggak, hari ini adikmu dapat peringkat kelas dan Mami sudah berjanji untuk membelikan boneka yang besar untuknya, cuma Mami kayaknya nggak bisa kemana-mana karena sibuk banget hari ini."

"Baik Mi."

Jawaban Gaffi membuat Sarah tersenyum bangga. Gaffi di mata orang tuanya adalah anak yang baik dan penurut selain itu juga berpredikat di sekolah.

Mereka tidak tahu saja bahwa Gaffi mulai masuk dalam pergaulan yang sudah tidak aman, dan penyebab itu adalah karena kecewa dengan sikap kedua orang tuanya yang begitu protektif dalam mencampuri urusan Gaffi dengan gadis yang menjadi kekasihnya sekarang. Hubungan Gaffi ditentang karena dia dan kekasihnya berbeda keyakinan.

"Bagaimana sudah siap?" tanya Gala yang sudah menunggu di depan pintu.

"Siap Mas," ucap Sarah lalu menarik tasnya.

"Gaffi mau ikut papi juga?" tanya Gala, dan Gaffi menggeleng.

"Entar repot pulangnya, Pi."

Gala mengangguk dan menepuk bahu putranya.

"Kalau begitu kami berangkat duluan dan kamu hati-hati ya!"

"Iya Pi."

Sarah dan Gala mengangguk lalu beranjak keluar rumah.

Gaffi pun menyusul keluar rumah dan mengeluarkan motor dari dalam garasi.

"Sudah mau berangkat Nak?" sapa Tama yang baru saja datang dari berjalan-jalan di luar.

"Iya Opa," sahut Gaffi sambil mengulurkan tangan menyalami Tama.

"Gaffi berangkat dulu ya Opa." Gaffi berucap sambil menaiki motor.

"Ya hati-hati!" seru Tama karena kini Gaffi sudah berkendara.

Sampai di sekolah seperti biasa Gaffi menemui sang kekasih yang berbeda kelas dan berjarak tiga kelas karena Jessica adalah penghuni kelas 12 IPA 5.

"Hai Jes!" Baru saja Gaffi menyapa dia dikagetkan dengan keberadaan seorang pria di hadapan Jessica yang tampak memandang wajah Jessica tak berkedip dengan tangan yang menggenggam erat kedua tangan Jessica.

"Ngapain kamu ganggu cewekku?!" bentak Gaffi, lalu dengan tergesa-gesa masuk ke dalam kelas dan mengibaskan tangan Dean.

"Berani ya kamu denganku?!" Dean menatap tajam mata Gaffi dan pandangan itu memancarkan aura permusuhan.

"Aku tidak takut dengan siapapun apalagi dengan orang yang telah berani mengganggu cewekku!" Gaffi sama sekali tidak gentar menghadapi Dean.

"Hahaha ... kau kata, dia masih cewekmu? Ngaca Bro, dia sampai kapan tidak akan bisa bersatu denganmu. Ada dinding besar yang menjadi penghalang antara kau dan dia. Lagipula kedua orang tuamu tidak memberikan restu, bukan?"

"Persetan dengan semuanya sampai kapanpun dia akan tetap menjadi milikku!" tegas Gaffi sementara Jessica yang melihat keduanya berdebat hanya melihat tanpa mau ikut campur.

Dia dan Gaffi saling mencintai, tetapi dia kecewa dengan penolakan orang tua Gaffi yang meminta dirinya hanya menjadi teman saja.

"Baiklah, aku tidak akan menganggu Jessica lagi tapi dengan satu syarat," ucap Dean sambil tersenyum licik.

"Apa syaratnya?"

"Kau harus menang balapan denganku!"

"Aku terima tantanganmu," ucap Gaffi dengan bersemangat.

"Waw ternyata nyalimu tinggi juga Bro," ucap Dean dengan seringai senyuman.

"Tentu saja, tapi aku juga punya syarat," ucap Gaffi. Lelaki itu tersenyum penuh arti.

"Katakan apa syaratnya?" tanya Dean.

"Jika kau kalah maka posisi ketua geng motor akan beralih padaku."

Sontak saja Dean terbelalak mendengar apa yang dikatakan oleh Gaffi.

"Cerdas juga kau, tapi anak baru mana bisa melawan kecepatan berkendaraku?" Dean begitu menyepelekan kemampuan Gaffi.

"Bagaimana, terima tidak? Kalau tidak ya, bagiku tidak masalah, berarti kau kalah sebelum bertarung dan sebagai hukumannya kau tidak boleh mendekati Jessica tanpa izinku."

"Hah percaya diri sekali dirimu Gaffi, aku terima tantanganmu," tukas Dean sambil mengulurkan tangan ke hadapan Gaffi.

Gaffi pun melakukan hal yang sama, mengulurkan tangan ke depan dan menjabat tangan Dean lalu menggerakkan ke atas dan ke bawah.

"Deal," ucap keduanya serentak.

"Oke, kau tentukan kapan dan dimana kita akan balapan!" seru Dean kemudian.

"Malam Minggu, di tempat seperti biasa," jawab Gaffi dengan ekspresi begitu tenang.

Dean mengangguk lalu keduanya sama-sama keluar dari kelas 12 IPA 5 mendengar bel tanda masuk kelas berbunyi.

"Aku harus menang," tekad Gaffi dalam hati, lalu dengan setengah berlari dia melangkah ke arah kelas 12 IPA 1.

Di dalam kelas 12 IPA 1 semua teman-temannya sudah lengkap dan duduk di bangku masing-masing. Gaffi pun melangkah ke arah bangku sendiri dan duduk tanpa perduli dengan sekitar.

Tidak menunggu lama, guru fisika datang dan menyapa mereka semua.

"Bagaimana sudah siap untuk belajar hari ini?" tanya pak guru setelah mengucapkan salam.

"Siap Pak!" seru mereka serempak.

"Bagus. Tugas tiga hari yang lalu sudah dikerjakan?"

"Sudah Pak!" jawab mereka serempak.

Leona mengacungkan tangan.

"Ya, kamu kenapa?" tanya guru Fisika.

"Saya murid baru Pak, belum masuk di sekolah ini saat bapak memberikan tugas. Jadi belum mengerjakan tugas."

"Oh murid baru ya? Oke kalau begitu saya berikan waktu setengah jam. Untuk soalnya bisa minta pada teman sebangkumu!"

"Baik Pak, terima kasih atas perhatian dan waktu yang diberikan," ucap Leona sambil tersenyum ke arah guru Fisika.

"Sama-sama," sahut guru tersebut lalu duduk di meja guru.

"Buang-buang waktu aja nih cewek, kenapa tidak sebelumnya tanya ada tugas apa nggak dan minta sama yang lain ada tugas apa saja?" Gaffi menghembuskan nafas berat lalu menyandarkan bahunya pada sandaran bangku.

"Yang lain, sambil menunggu bisa koreksi tugas kalian barangkali ada yang salah. Teliti lagi!"

"Iya Pak."

"Baik Pak."

Detik demi detik dan menit pun berlalu. Dalam ruangan tersebut tampak beberapa siswa yang saling berdiskusi karena jawaban mereka tidak sama. Diantara semua siswa hanya Gaffi yang enggan mengoreksi tugasnya karena sudah yakin benar semua.

Leona sendiri tampak berpikir keras.

"Aduh kenapa jawabannya salah ya, dia berbalik dan berkata, "Pinjam tipe x!" Tanpa persetujuan pemiliknya dia langsung mengambil benda tersebut.

"Ah, akhirnya kelar juga." Leona menghembuskan nafas lega. Dia menjadi menoleh ke belakang untuk mengembalikan benda yang dipinjamnya tadi.

"Terima kasih," ucapnya lalu terbelalak saat menyadari yang duduk di belakang dirinya adalah Gaffi.

"Enak ya ambil barang orang tanpa persetujuan pemiliknya," ucap Gaffi tersenyum miris.

Leona tersenyum kaku karena sepertinya Gaffi tidak ikhlas.

"Heh!" Gaffi tersenyum meremehkan.

"Ckk, kalau kutahu ini milikmu, lebih baik aku pinjem sama yang lain aja," keluh Leona.

"Terlambat! Semua sudah terjadi," ucap Gaffi dengan nada suara ketus.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!