Bab 2. Janda Pirang

"Ya ampun dia kenapa Dad?" tanya Ara yang sedang melangkah ke arah mereka sambil membawa kopi dan gorengan panas. Hidangan itu sangatlah cocok di suasana dingin dimana malam itu baru saja turun hujan.

Kadang Leona hanya bisa menggeleng mengingat Gaffi dan teman-temannya malah balapan liar saat jalanan licin.

"Hanya luka kecil Mom, bentar lagi juga sembuh," ucap Leona sambil tersenyum tenang.

"Sayang biasanya mama punya langganan tukang urut, kamu tahu nggak alamatnya?" Lexi menghentikan pekerjaan membebat perban di kaki Leona yang luka, lalu menatap wajah istrinya.

Ara yang ditanya langsung mengerutkan dahi.

"Memang kenapa?" tanyanya kemudian menaruh nampan di atas meja dan dirinya langsung duduk si samping Leona.

"Putri kita habis terjatuh tadi." Terpaksa Lexi berbohong karena tidak ingin membuat Ara khawatir. Dia paham dengan sikap sang istri yang mudah gusar jika mendengar kabar yang tidak baik, apalagi kalau sudah menyangkut putra-putri mereka.

"Leona, Leona! Kenapa tidak hati-hati sih? Sudah tahu jalanan licin," keluh Ara.

"Lagian kalau cuma kepingin bakso bisa minta kurir untuk mengantar ke sini, kan bisa," tambah Ara lagi.

"Namanya sudah takdir Mom, mau bagaimana lagi?" Leona berucap dengan nada suara yang enteng.

"Lagian kalau makan bakso enakan makan di tempat dan tempatnya juga tidak terlalu jauh dari rumah oma," tambahnya.

"Dan nggak tahu ya Na, kalau bakal jatuh seperti tadi?" Lexi menimpali.

"Nah itu Daddy paham," ucap Leona sambil tersenyum ke arah sang ayah.

"Yasudah deh saya tanya mama dulu." Ara berdiri kembali lalu meninggalkan anak dan ayah yang terlihat akrab itu.

Beberapa saat kemudian Ara muncul dengan Lana dan mengajak keduanya untuk pergi bersama ke rumah tukang urut karena kasihan jika harus memanggil wanita itu ke rumahnya dalam suasana yang dingin itu.

"Ayo Nak Lexi kita berangkat sekarang, biar nggak kemalaman!" ajak Lana.

"Nggak bisa ditunda besok ya Oma?" Rasanya Leona malas untuk bepergian saat ini.

"Nggak bisa Na. Kalau besok kita perginya, nanti semalaman kamu tidak bisa tidur karena badan kamu akan terasa sangat remuk."

"Hah, baiklah Oma," ujar Leona pasrah.

Lexi membantu Leona bangkit lalu gantian Ara yang membantu putrinya berjalan.

Di rumah, sakit Gaffi tersadar setelah ditangani oleh dokter.

"Gin, ponselku mana?"

"Ada pada Dirga di luar biar aku ambil dulu."

Gaffi mengangguk dan Gino langsung melangkah keluar ruangan. Setelahnya kembali dengan ponsel Gaffi di tangan.

"Thanks," ujar Gaffi lalu menggeser-geser jari telunjuk di layar ponsel.

"Mau ngapain, kenapa tidak istirahat saja?" Gino pikir Gaffi ingin main game seperti biasanya.

"Telepon mami, mau ngasih tahu kalau aku nginep di rumah kamu."

"Nginep di rumahku?" tanya Gino bingung.

"Iya, tidak mungkin, kan aku ngasih tahu jika aku jatuh. Bisa-bisa curiga nih mami kalau aku habis speeding motor."

Mendengar kalimat itu wajah Gino menjadi pucat.

"Kenapa ekspresimu seperti itu? Kayak mayat aja!" Yang tadinya ingin memencet nomor ponsel akhirnya ditunda karena melihat raut wajah Gino yang berubah seketika.

Bersamaan dengan itu kedua orang tua Gaffi muncul di pintu sambil mengucapkan salam.

"Assalamualaikum!"

Sontak saja Gaffi langsung menatap ke arah pintu dimana Sarah dan Gala berdiri di sana dengan raut wajah khawatir. Gaffi lalu mengalihkan wajah, menatap tajam mata Gino yang tampak ketakutan.

"Jadi, kau–!"

"Assalamualaikum!" ulang Sarah karena salam yang diucapkannya tak berbalas.

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh," jawab keduanya serempak.

"Kenapa bisa jatuh Gaffi?" tanya Sarah sambil duduk di pinggir ranjang diikuti oleh Gala.

"Tadi mau pulang dari rumah Gino Mami, tapi tiba-tiba di jalan licin ditambah lagi ada wanita yang menyebrang tidak lihat-lihat. Jadi, terpaksa Gaffi banting setir agar tidak menabrak orang itu."

"Oh begitu ya, lain kali lebih hati-hati. Ingat jangan kebut-kebutan di jalan!"

"Iya Mami." Akhirnya Gaffi bernafas lega karena Sarah tidak curiga dan bertanya macam-macam.

Gino pun ikut lega karena artinya Gaffi tidak akan memarahi dirinya akibat telah melapor tentang keadaan Gaffi sekarang.

***

Beberapa hari kemudian di kelas 12 IPA 1, seorang guru Matematika berhenti mengajar tatkala pintu kelas yang terbuka terdengar di ketuk seseorang.

"Ada apa Bu Ida?" tanya Pak Hordi selaku guru Matematika kelas 12 sekaligus wali kelas 12 IPA 1 kepada Bu Ida yang merupakan guru BK di sekolah itu.

"Ini Pak, ada murid baru. Dia pindahan dari Paris. Pak kepala sekolah menyuruh mengantar ke kelas ini dan mohon bimbingannya!"

"Baik Bu, terima kasih."

"Nak, kamu silahkan masuk!" Pak Hordi memberi kode pada Leona dengan gerakan tangan agar mendekat.

"Terima kasih Pak, kalau begitu saya pamit dulu," ujar Bu Ida dijawab anggukan dari pak Hordi.

"Silahkan perkenalkan namamu!" perintah Pak Hordi sebelum mempersilahkan Leona duduk.

"Hai teman-teman perkenalkan nama saya Leona, saya baru beberapa hari pindah dari Prancis ke negara ini. Sebenarnya mommy saya orang Indonesia, tapi karena beliau menikah dengan Daddy yang orang Prancis, kami semua sebelumnya tinggal di sana." Leona memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah.

Seperti pada umumnya, warga negara asing akan disambut dengan antusias oleh warga negara kita. Begitu pula dengan Leona kali ini. Semua teman-teman sekelasnya heboh dan satu persatu maju untuk memperkenalkan dirinya.

Namun, diantara siswa kelas 12 IPA 1 itu, ada satu siswa yang sama sekali tidak tertarik dengan sesi perkenalan tersebut.

Gaffi, ya Gaffi tidak pernah tertarik untuk memperkenalkan diri pada gadis yang acuh padanya malam itu.

"Gaffi semua teman-temanmu sudah memperkenalkan diri, sekarang giliranmu!" perintah Pak Hordi pada Gaffi yang terlihat acuh tak acuh dengan keadaan.

"Wajib ya, Pak?" tanya Gaffi tak bersemangat sedangkan Leona masih nampak mengobrol dengan salah satu siswi.

"Harus, itu sebagai tanda kita menghargai orang lain yang sudah memperkenalkan diri!"

Gaffi mengangguk dan dengan lesu berjalan ke depan.

Sampai di hadapan Leona dia mengulurkan tangan. Gadis yang diajak mengobrol tadi oleh Leona kembali ke bangkunya, sehingga kini Leona menyambut uluran tangan Gaffi dan langsung kaget saat menyadari pria itu adalah yang menabraknya beberapa malam yang lalu.

"Kau–!" Leona terbelalak.

Namun, kemudian bersikap ramah sambil tersenyum.

"Namaku Leona."

"Gaffi," ujar Gaffi kemudian.

Leona mengangguk sambil terus menyunggingkan senyuman.

"Jangan senang dulu, sebenarnya aku tidak suka berkenalan dengan Anda." Gaffi tersenyum kecut.

Leona tampak kaget.

"Janda pirang!" tambah Gaffi dengan nada suara tegas, tetapi seperti orang berbisik. Dia menatap tidak suka ke arah rambut Leona yang cokelat kemerahan itu sehingga membuat Leona terbelalak kembali.

"Kau boleh tidak suka padaku, tapi aku tidak suka dengan sebutan yang kamu berikan padaku. Sekali lagi kamu bilang aku janda pirang, kusumpal mulutmu dengan tisu-tisu ini!" geram Leona sambil melirik tisu di saku baju seragamnya lalu matanya menatap tajam ke arah mata Gaffi.

"Aku tidak suka dihina, camkan itu!" tegas Leona dengan suara yang hanya bisa di dengar mereka berdua.

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Ir Syanda

Ir Syanda

Terus kenapa dibilang janda coba🤣🤣

2023-06-03

1

Ir Syanda

Ir Syanda

Yap, itu pasti Leona😁

2023-06-03

0

Ir Syanda

Ir Syanda

Ahh aku mah tim bungkus dimakan di rumah🤣🤣

2023-06-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!