Kedai Kopi Berondong
"Mbak! Mbak ngamen, Mbak?"
"Cappuccino-nya dong, satu!"
"Ah—oke, siap!"
Terdengar suara berdebuk tumit sepatu yang beradu dengan lantai, disusul suara berkeresak, berkeriut dan… akhirnya suara berdesing mesin peracik kopi.
"Mbak! Cakep-cakep kok ngemen sih, Mbak?"
"Kopinya di cup aja, ya!"
"Ah—oke, siap!"
Hening.
Lalu terdengar suara berkeresak lagi.
Wajah lancip putih porselen itu tersenyum, kemudian tangannya yang ramping dan putih mulus mengulurkan satu cup kopi cappuccino yang kupesan tadi. "Mbak…"
"Berapa?"
"Ah—dua puluh satu!" Sepasang mata rubahnya mengerjap dan menatapku.
Aku merogoh ke dalam saku celanaku dan mengulurkan selembar uang pecahan lima puluh ribu.
Pemuda tanggung itu tersenyum lagi, lalu tertunduk sesaat, menarik laci kasir, merapikan uang lima puluh ribuan tadi dan menyelipkannya ke dalam laci, lalu menarik selembar uang pecahan dua puluh ribu, lima ribu dan dua lembar dua ribuan, kemudian mengulurkannya padaku sambil tersenyum lagi.
Aku menyambar uang kembalian itu dan berbalik.
"Mbak!"
"Sekali lagi manggil gua mbak, gua tabok lu!"
GLEK!
Pemuda itu mengerjap sambil mengatupkan mulutnya.
Usianya mungkin sekitar dua puluh tahun. Rambutnya yang lurus sebahu dikuncir sebagian dalam gaya hun. Tampan, manis dan imut meski garis wajahnya terkesan sedikit ketus.
Kelak, dia bisa saja menjadi pria arogan setelah mapan.
Tidak begitu untuk saat ini!
Terlihat sekali ia sangat berusaha bersikap ramah, mungkin juga sok asyik.
Coffee shop itu baru dibuka beberapa hari yang lalu dan masih sangat sepi.
Benar-benar senggang!
Aku menyampirkan softcase gitarku dan bergegas keluar.
Pemuda itu keluar dari balik meja racik dan mengekor di belakangku seperti anak anjing. "Teh!" panggilannya sambil cengengesan.
Aku menoleh padanya dengan intensitas tatapan yang bisa membakar. "Teh?" geramku.
"Ah—Mpok…"
Aku paling benci dipanggil, Mbak, Teteh, apalagi Mpok. "Gua bukan orang Betawi," geramku tak senang.
"Ya udah, Neng!" Pemuda itu menyeringai.
"Gosah ngeledek lu, ya!" semburku makin tak senang. Ngelunjak! pikirku dongkol.
Pemuda itu mengernyit sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang—aku yakin---tidak terasa gatal. "Dipanggil Mbak, gak mau. Dipanggil Teteh, melotot. Dipanggil Mpok, merongos. Dipanggil Neng, makin nge-NOS…"
Aku mendelik sekilas dan melanjutkan langkah. Sejujurnya aku tak suka sapaan untuk wanita mana pun ditautkan padaku. Tapi aku juga tak mungkin disapa Abang!
Kakak—itu adalah sapaan yang paling netral menurutku.
"E---eh! Sayang…"
Aku menyentakkan kepalaku ke samping, memutar tubuhku ke belakang dan melontarkan tatapan tajam, "Ape lu kate?"
Pemuda itu tersenyum lagi, lebih lebar dari sebelumnya. Lebih konyol. "Sayang!" ulangnya.
"Panggil gue kakak!" hardikku sambil melotot. Lalu berbalik dan bergegas pergi.
"Ah—oke, Kakak Sayang!" teriak pemuda itu sambil melambaikan tangan dan menyeringai. "Makasih udah mampir!"
Temannya terkekeh tipis sambil menggeleng-geleng.
Aku tak kenal siapa mereka. Aku baru pertama kali memasuki Coffee Shop itu sejak mereka buka. Namanya "Kedai Kopi Berondong" dan sesuai dengan namanya, kedai kopi itu dikelola oleh dua berondong. Pemuda tengil tadi bertugas meracik dan menjaga kasir, temannya bertugas melayani para customer---menyambut, menyiapkan meja, menawarkan menu, menerima dan mengantarkan pesanan. Aku tak pernah melihat owner-nya berada di sana.
Sebelum direnovasi, kios itu dulunya kedai serabi bernuansa pondok bambu sederhana dengan konsep lesehan. Di samping kedai itu, terdapat gang sempit yang disisipi gerobak rokok yang di seberangnya, terdapat balai bambu, tepat di teras samping kedai serabi. Tempat mangkal-ku!
Sekarang bangunan itu sudah dirombak sepenuhnya dengan design modern ala kedai kopi kekinian. Balai bambu dan gerobak rokok itu sudah tidak berada di sana, dan sebagai gantinya, mereka menaruh dua bangku taman tanpa meja yang berhadap-hadapan di gang sempit itu. Dan aku tak yakin apakah mereka mengizinkanku mangkal di sana.
Aku tak mau repot-repot bertanya mengenai hal itu. Cepat atau lambat, mereka akan menghalauku dari sana kalau memang mereka tak mengizinkan pengamen duduk di sana. Jadi aku menurunkan gitarku di sana, kemudian duduk dan mengeluarkan gitarku dari softcase-nya. Menyetem senarnya sambil menikmati kopi yang kupesan tadi.
Bukan semata-mata alasan membeli secangkir kopi supaya aku diizinkan duduk di bangku itu, tapi pada dasarnya aku adalah pecinta kopi.
Aku sedang mencoba mencicipinya. Jika citarasa 'Berondong' benar-benar bagus, aku tak akan segan-segan mencari uang lebih demi bisa berlangganan di sana.
Harga kopi kekinian sedikit terlalu mahal untuk kantong uang pengamen jalanan. Tapi kadang hal itu bisa memotivasiku lebih giat mencari uang.
Menikmati secangkir kopi bagiku terasa seperti gaya hidup berkelas, sekaligus satu-satunya caraku bersenang-senang. Kadang aku rela tak makan keesokan harinya akibat kepuasan semacam ini.
Sebuah pepatah seni jalanan mengatakan, "Secangkir kopi, sebatang rokok, sejuta inspirasi!"
Aku setuju dengan hal itu. Itu adalah kesenanganku.
Namaku Galatia Permana—aku perempuan, tapi kebanyakan orang memanggilku Galang.
Usiaku sekarang dua puluh lima tahun. Aku berambut cokelat madu dengan mata cokelat keemasan, sayangnya kulitku tak pernah ikut cokelat meski sering terpanggang matahari. Kulitku pucat dan berbintik-bintik. Semua warna itu kuwarisi dari ibuku yang berasal dari Belanda.
Aku kurus, tetapi tidak sekurus model. Pakaian menggantung di tubuhku dengan cara yang aneh, jadi aku memakai baju yang sama setiap hari: jins hitam dan T-shirt lengan panjang, baju tebal berkerah tinggi di musim dingin dan sepatu bot tinggi semata kaki.
Aku menggelung rambutku dengan sumpit yang aku curi dari restoran. Aku sudah mempertimbangkan untuk membuat tato panter hitam yang siap menerkam di lengan bawahku.
Dan…
Ya!
Aku seorang pengamen.
Sebagai seorang musisi jalanan, Queen adalah idolaku. Tetapi aku tidak punya kecenderungan menyimpang seperti mereka.
Aku terlalu pemalu dan tidak punya wibawa atau kemampuan untuk berinteraksi dengan audiens.
Ironisnya menyanyi adalah satu-satunya keahlianku.
Jadi, ketika realita tak sejalan dengan ekspektasiku, aku pun dipaksa bertahan hidup tanpa bantuan siapa pun, dan menjadi penyanyi jalanan pada akhirnya menjadi satu-satunya jalan.
Tetapi rangkaian cerita sedih itu membuatku merasa seperti seorang pengemis atau pemalak, mengganggu di tengah kesenangan orang lain, menunggu waktu yang tepat untuk menadahkan tangan atau menodong mereka.
Ketika aku sedang memetik senar gitarku untuk menyelaraskan nada, pemuda tengil peracik kopi itu menghampiriku, lengkap dengan celemek 'Kopi Berondong'-nya. Tapi tidak mengusirku.
Itu tak aneh!
Beberapa pemuda tanggung lainnya di kafe-kafe lain yang berderet di sepanjang pusat kuliner itu juga terkadang berbaik hati mengizinkanku beristirahat sebentar di teras kafe mereka saat manager atau owner kafe tersebut tidak sedang berada di tempat. Beberapa dari mereka bahkan menggelapkan segelas minuman untukku.
Setelah bertahun-tahun beroperasi di pusat kuliner ini, aku sudah cukup hafal dengan karakteristik pemuda tanggung yang baru lulus sekolah dan bekerja di kafe-kafe.
Rata-rata mereka pendatang dari berbagai daerah dengan segala sesuatu yang benar-benar baru bagi mereka, tempat baru, teman baru, dan tentunya peradaban baru. Jadi, sebisa mungkin mereka akan berusaha menyesuaikan diri, termasuk bersikap ramah pada 'yang punya wilayah' seperti pengamen yang terkadang dipandang sama seperti preman. Dan sebagai satu-satunya pengamen wanita, aku sering kali menjadi sasaran empuk mereka untuk dijadikan batu loncatan.
Pemuda tengil ini juga bukan pengecualian.
Tapi dia terlalu kepo!
Sekarang dia mulai cengar-cengir sambil mengendap-endap untuk kemudian menyelinap duduk di sampingku.
Aku mendelik padanya dengan mulut terkatup.
Pemuda tengil itu memalingkan wajahnya sedikit sambil mengulum senyumnya. Pura-pura meneliti sekeliling sambil sesekali melirikku melalui sudut matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
NA_SaRi
Ji, gw pen baca ini, tp blm sempat🤧
2023-07-28
0
Ichi
hahahahahahaha, Jan sampe dah 🤧
2023-05-09
0
Ichi
sama kek sales juga begono, KLO ga ngupi gada inspirasi 🙈
2023-05-09
0