Kayak Cewek

"Ngapain lu?" tanyaku bernada ketus.

Pemuda tengil itu memalingkan wajahnya lagi, "Liat-liat aja," jawabnya sambil pura-pura memperhatikan sekeliling, tapi matanya melirikku. "Pemandangannya bagus ya, di sini?"

Aku mengikuti arah pandangnya dengan mata terpicing.

Pemandangan yang bisa dilihat di sekeliling kami hanya deretan toko dan kafe-kafe, barisan pedagang kaki lima di sepanjang trotoar, antrean mobil dan sepeda motor di area parkir yang sempit.

Apanya yang pemandangan bagus? pikirku sinis.

Begitu aku memalingkan wajahku dari pemandangan yang katanya bagus itu, tahu-tahu pemuda tengil itu sudah menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku, sebelah kakinya bertopang di atas lutut kaki yang lainnya, sebelah tangannya terentang di belakangku.

Aku mengerang sambil memutar-mutar bola mataku.

"Udah lama ngamen di sini?" Pertanyaan basi itu akhirnya keluar dari mulutnya.

"Re! Rere!" Temannya sesama berondong tiba-tiba melongok dari teras dan memanggilnya. Memberitahu bahwa mereka kedatangan customer.

Jadi namanya Rere? pikirku.

Kok kayak cewek?

Kira-kira siapa nama lengkapnya?

Oh, peduli setan! sergahku dalam hati. Ini adalah kesempatan emas untuk mangkal di sini tanpa perlu repot-repot berbasa-basi meminta izin.

Aku segera beranjak dari bangku meninggalkan softcase gitarku di sana dan buru-buru pergi.

Pemuda tengil itu spontan terperangah, menatapku dan menatap softcase gitarku dengan ekspresi bimbang. Tapi tak berusaha memanggilku untuk memberitahu bahwa softcase gitarku ketinggalan.

Bagus! pikirku tanpa menoleh lagi. Menurut pengalamanku, tidak melarangku meninggalkan barang di sana biasanya pertanda mereka mengizinkanku mangkal di sana.

Aku menghela napas dalam-dalam kemudian menyampirkan strap gitar di bahuku, merogoh saku celanaku, mengeluarkan pick, kemudian bercuap-cuap sejenak sebelum akhirnya mulai bernyanyi.

Belum selesai satu lagu, beberapa pengunjung di dalamnya sudah mengacung-acungkan tangan dengan uang receh di tangan mereka, mengisyaratkan supaya aku menghampiri mereka untuk mengambil uang itu.

Aku mendekati meja mereka dengan sikap enggan. Sejujurnya aku lebih suka diberi kesempatan untuk menyanyikan beberapa lagu dan didengarkan sampai selesai sebelum mereka memberiku uang.

Kebiasaan rata-rata pengamen memang lebih suka menerima uang secepatnya supaya mereka juga bisa pergi secepatnya tanpa harus repot-repot menyelesaikan satu lagu. Apalagi sampai lebih dari satu lagu. Dengan begitu, mereka tidak perlu membuang waktu untuk uang yang tidak seberapa.

Aku tidak begitu!

Aku lebih berharap didengar dan diperhatikan sebelum semua orang memutuskan berapa banyak uang yang pantas dikeluarkan untuk diberikan kepadaku sebagai apresiasi. Meskipun pada akhirnya jumlah uang yang kuterima sama saja.

Sikap memberi uang sebelum aku selesai bernyanyi bagiku terasa seperti cara halus untuk mengusirku. Tak jarang aku merasa tersinggung menghadapi sikap semacam itu. Karena sikap semacam itu lebih umum ditujukan untuk pengemis atau pemalak.

Tapi sebagai penyanyi jalanan, aku tak bisa memaksa siapa pun untuk memahami bahwa penyanyi jalanan berbeda dengan pengemis atau pemalak.

Suka, tidak suka, pandangan masyarakat terhadap penyanyi jalanan tidak ada bedanya dengan pengemis mau pun preman.

Akui saja! kataku pada diri sendiri. Mengamen memang tidak ada bedanya dengan mengemis.

Meski demikian, aku selalu berusaha untuk tetap melanjutkan laguku sampai selesai, baik mereka menyukainya atau pun tidak. Dengan begitu, aku berharap lama kelamaan orang lain bisa mengerti bahwa aku tidak datang untuk sekedar mengemis. Tapi juga menjual suara.

Dengan wajah masam, aku akhirnya keluar dari tenda itu setelah menyelesaikan hanya satu lagu.

Ketika aku kembali ke gang di mana aku meninggalkan softcase gitarku, bangkunya terlihat kosong.

Tampaknya pemuda tengil peracik kopi yang dipanggil Rere itu mengamankan softcase gitarku.

Lebih dari yang diharapkan! pikirku.

Aku baru saja berniat menanyakannya untuk sekadar memastikan dugaanku tidak keliru, tapi pemuda tengil itu malah menghampiriku lebih dulu.

Anak ini bener-bener kurang kerjaan! gumamku dalam hati.

Pemuda tengil itu membawa sebotol air mineral dan menyodorkannya padaku. "Minum!" katanya menawarkan.

Aku menatapnya dengan ragu.

"Tenang, softcase-nya aman!" ia menambahkan sambil tersenyum.

"Thanks," ungkapku setengah hati. Lalu menerima air mineral itu.

Rere mengikutiku ketika aku kembali ke bangku taman dan duduk di sampingku dengan gaya sok asyik.

Aku baru saja membuka tutup botol air mineral yang diberikannya ketika pengamen lain meneriakiku.

"Ga! Ayamku rame, noh!" Ia memberitahu sambil cengengesan.

"Buat lu aja!" tukasku sambil tergelak.

Rere terlihat bingung melihat candaan kami.

Ayamku adalah nama restoran siap saji di samping Kedai Kopi Berondong. Di depan pintu masuknya, terpasang tulisan: PENGAMEN DILARANG MASUK!

Tidak satu pun pengamen berani masuk ke sana, dan hal itu sering kali menjadi lelucon untuk kami saling menantang satu sama lain.

Dan ketika aku baru mau meneguk air mineral di tanganku, Rere pun akhirnya bertanya, "Ayamku gak boleh diamenin, ya?"

"Emang lu gak pernah baca tulisan di pintu masuknya?" aku balas bertanya, kemudian meneguk air mineral tadi.

"Pengamen dilarang masuk!" jawabnya.

"Terus ngapa lu masih nanya?" dengusku sambil menyeka mulutku dengan punggung tanganku dan menutup botol.

"Kan cuma dilarang masuk, bukan dilarang nyanyi!" tukasnya tanpa beban sedikit pun.

Betul juga! pikirku merasa tergelitik. Aku terkekeh menanggapinya, tapi tak mengatakan apa-apa.

"Lu kok gak pernah nyanyi di tempat kita, sih?" tanya Rere lagi—makin sok asyik.

Aku langsung mendelik. "Nyanyi di tempat lu, sapa yang mau diamenin?" tukasku setengah mencebik.

Rere mengusap bagian belakang kepalanya sambil memalingkan wajah dan nyengir kuda. "Amenin gua, kek!" gumamnya setengah berbisik. Lebih terdengar untuk dirinya sendiri.

Aku mendelik sekali lagi dan memalingkan wajah, berpura-pura tidak mendengar perkataannya.

Rere menoleh padaku lagi ketika aku mulai memetik senar gitarku untuk menyelaraskan nada. Entah kenapa aku merasa nadanya masih fals sejak tadi. Nada gitar yang fals membuatku tak nyaman saat bernyanyi.

Biasanya aku meminta bantuan Jo untuk menyetem senarnya.

Jo adalah satu-satunya pengamen bagus dengan bakat berkelas. Sangat profesional!

Di antara semua pengamen yang beroperasi di sekitar pusat kuliner ini, hanya aku dan Jo yang biasa membawakan lagu-lagu western. Tapi kemampuanku bermain gitar benar-benar payah. Jo sempurna dari segala aspek. Suaranya bagus, gitarnya jago, dan menguasai banyak perbendaharaan lagu.

Di saat-saat seperti ini, aku hanya bisa mengandalkannya. Feeling-ku benar-benar buruk dalam menyelaraskan nada.

Aku mengerang frustrasi ketika aku berusaha menyelaraskan nada tapi senar gitarku malah terdengar semakin fals.

Rere memperhatikanku dengan ekspresi bingung.

Aku menoleh ke sana kemari, mencari-cari keberadaan Jo.

Rere mengikuti arah pandangku dengan dahi berkerut-kerut.

Aku meletakkan gitarku di bangku, kemudian menghambur ke luar gang ketika mendengar suara gitar di depan gang itu.

Bukan Jo! batinku kecewa.

Dua orang pengamen dengan satu gitar sedang beraksi di kafe makanan di ujung gang itu. Satunya vokalis, satunya gitaris.

Sang gitaris melirikku dengan alis tertaut. "Lu nge-tem di sini, Ga?" ia bertanya dengan raut wajah bersalah.

Dalam istilah kami para pengamen, nge-tem artinya berdiam di satu lapak dan menguasai area itu dalam jangka waktu tertentu.

Sistem ini seperti perjanjian tak tertulis di mana kami menyepakatinya secara otomatis bahwa jika satu atau dua lapak ditunggui satu pengamen, maka pengamen lain tak boleh memasuki lapak tersebut karena pengamen nge-tem takkan berebut jatah di lapak lain.

"Kaga, slow!" sergahku sambil tersenyum dan melayangkan sebelah tanganku mempersilahkan mereka untuk melanjutkan. "Gue lagi nyari Jo."

Sang vokalis akhirnya menoleh padaku ketika tiba giliran melodi harus dimainkan. Ia mengangguk dan tersenyum dengan sikap hormat sebagai ucapan terima kasih.

Aku melambaikan tanganku sekilas pada mereka dan bergegas pergi untuk mencari Jo.

Tak sampai dua menit aku sudah menyerah dan kembali ke gang.

Rere sedang memangku gitarku dan memetik senarnya dengan pelan, sebelah pipinya menempel di body gitar. Begitu melihatku datang, ia menarik wajahnya menjauh dari gitarku dan menegakkan tubuhnya. Lalu mengulurkan gitarku dengan dua tangan sambil mengulum senyumnya.

Bersamaan dengan itu, temannya melongok lagi dari teras dan memanggilnya.

Rere beranjak dan menjejalkan gitarku ke pangkuanku, lalu bergegas meninggalkanku.

Aku mengawasi punggungnya dengan campuran rasa jengah dan penasaran. Tapi lalu mendesah dan menjatuhkan diriku di bangku.

Ketika aku memetik senar gitarku karena bosan, aku merasa nadanya sudah tak fals lagi.

Dengan terkejut aku menoleh ke arah beranda Kedai Kopi Berondong, menatap kekosongan dengan kekaguman yang tidak terduga.

Dia menyetem senar gitarku!

Terpopuler

Comments

Ichi

Ichi

lama² nyetem hati lu Thor 🤣🤣🤣

2023-05-09

1

Ichi

Ichi

mo banget yaaaa 😂😂😂😂😂

2023-05-09

0

Ichi

Ichi

bener juga sih 😂

2023-05-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!