"Mbak! Mbak ngamen, Mbak?"
"Cappuccino-nya dong, satu!"
"Ah—oke, siap!"
Terdengar suara berdebuk tumit sepatu yang beradu dengan lantai, disusul suara berkeresak, berkeriut dan… akhirnya suara berdesing mesin peracik kopi.
"Mbak! Cakep-cakep kok ngemen sih, Mbak?"
"Kopinya di cup aja, ya!"
"Ah—oke, siap!"
Hening.
Lalu terdengar suara berkeresak lagi.
Wajah lancip putih porselen itu tersenyum, kemudian tangannya yang ramping dan putih mulus mengulurkan satu cup kopi cappuccino yang kupesan tadi. "Mbak…"
"Berapa?"
"Ah—dua puluh satu!" Sepasang mata rubahnya mengerjap dan menatapku.
Aku merogoh ke dalam saku celanaku dan mengulurkan selembar uang pecahan lima puluh ribu.
Pemuda tanggung itu tersenyum lagi, lalu tertunduk sesaat, menarik laci kasir, merapikan uang lima puluh ribuan tadi dan menyelipkannya ke dalam laci, lalu menarik selembar uang pecahan dua puluh ribu, lima ribu dan dua lembar dua ribuan, kemudian mengulurkannya padaku sambil tersenyum lagi.
Aku menyambar uang kembalian itu dan berbalik.
"Mbak!"
"Sekali lagi manggil gua mbak, gua tabok lu!"
GLEK!
Pemuda itu mengerjap sambil mengatupkan mulutnya.
Usianya mungkin sekitar dua puluh tahun. Rambutnya yang lurus sebahu dikuncir sebagian dalam gaya hun. Tampan, manis dan imut meski garis wajahnya terkesan sedikit ketus.
Kelak, dia bisa saja menjadi pria arogan setelah mapan.
Tidak begitu untuk saat ini!
Terlihat sekali ia sangat berusaha bersikap ramah, mungkin juga sok asyik.
Coffee shop itu baru dibuka beberapa hari yang lalu dan masih sangat sepi.
Benar-benar senggang!
Aku menyampirkan softcase gitarku dan bergegas keluar.
Pemuda itu keluar dari balik meja racik dan mengekor di belakangku seperti anak anjing. "Teh!" panggilannya sambil cengengesan.
Aku menoleh padanya dengan intensitas tatapan yang bisa membakar. "Teh?" geramku.
"Ah—Mpok…"
Aku paling benci dipanggil, Mbak, Teteh, apalagi Mpok. "Gua bukan orang Betawi," geramku tak senang.
"Ya udah, Neng!" Pemuda itu menyeringai.
"Gosah ngeledek lu, ya!" semburku makin tak senang. Ngelunjak! pikirku dongkol.
Pemuda itu mengernyit sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang—aku yakin---tidak terasa gatal. "Dipanggil Mbak, gak mau. Dipanggil Teteh, melotot. Dipanggil Mpok, merongos. Dipanggil Neng, makin nge-NOS…"
Aku mendelik sekilas dan melanjutkan langkah. Sejujurnya aku tak suka sapaan untuk wanita mana pun ditautkan padaku. Tapi aku juga tak mungkin disapa Abang!
Kakak—itu adalah sapaan yang paling netral menurutku.
"E---eh! Sayang…"
Aku menyentakkan kepalaku ke samping, memutar tubuhku ke belakang dan melontarkan tatapan tajam, "Ape lu kate?"
Pemuda itu tersenyum lagi, lebih lebar dari sebelumnya. Lebih konyol. "Sayang!" ulangnya.
"Panggil gue kakak!" hardikku sambil melotot. Lalu berbalik dan bergegas pergi.
"Ah—oke, Kakak Sayang!" teriak pemuda itu sambil melambaikan tangan dan menyeringai. "Makasih udah mampir!"
Temannya terkekeh tipis sambil menggeleng-geleng.
Aku tak kenal siapa mereka. Aku baru pertama kali memasuki Coffee Shop itu sejak mereka buka. Namanya "Kedai Kopi Berondong" dan sesuai dengan namanya, kedai kopi itu dikelola oleh dua berondong. Pemuda tengil tadi bertugas meracik dan menjaga kasir, temannya bertugas melayani para customer---menyambut, menyiapkan meja, menawarkan menu, menerima dan mengantarkan pesanan. Aku tak pernah melihat owner-nya berada di sana.
Sebelum direnovasi, kios itu dulunya kedai serabi bernuansa pondok bambu sederhana dengan konsep lesehan. Di samping kedai itu, terdapat gang sempit yang disisipi gerobak rokok yang di seberangnya, terdapat balai bambu, tepat di teras samping kedai serabi. Tempat mangkal-ku!
Sekarang bangunan itu sudah dirombak sepenuhnya dengan design modern ala kedai kopi kekinian. Balai bambu dan gerobak rokok itu sudah tidak berada di sana, dan sebagai gantinya, mereka menaruh dua bangku taman tanpa meja yang berhadap-hadapan di gang sempit itu. Dan aku tak yakin apakah mereka mengizinkanku mangkal di sana.
Aku tak mau repot-repot bertanya mengenai hal itu. Cepat atau lambat, mereka akan menghalauku dari sana kalau memang mereka tak mengizinkan pengamen duduk di sana. Jadi aku menurunkan gitarku di sana, kemudian duduk dan mengeluarkan gitarku dari softcase-nya. Menyetem senarnya sambil menikmati kopi yang kupesan tadi.
Bukan semata-mata alasan membeli secangkir kopi supaya aku diizinkan duduk di bangku itu, tapi pada dasarnya aku adalah pecinta kopi.
Aku sedang mencoba mencicipinya. Jika citarasa 'Berondong' benar-benar bagus, aku tak akan segan-segan mencari uang lebih demi bisa berlangganan di sana.
Harga kopi kekinian sedikit terlalu mahal untuk kantong uang pengamen jalanan. Tapi kadang hal itu bisa memotivasiku lebih giat mencari uang.
Menikmati secangkir kopi bagiku terasa seperti gaya hidup berkelas, sekaligus satu-satunya caraku bersenang-senang. Kadang aku rela tak makan keesokan harinya akibat kepuasan semacam ini.
Sebuah pepatah seni jalanan mengatakan, "Secangkir kopi, sebatang rokok, sejuta inspirasi!"
Aku setuju dengan hal itu. Itu adalah kesenanganku.
Namaku Galatia Permana—aku perempuan, tapi kebanyakan orang memanggilku Galang.
Usiaku sekarang dua puluh lima tahun. Aku berambut cokelat madu dengan mata cokelat keemasan, sayangnya kulitku tak pernah ikut cokelat meski sering terpanggang matahari. Kulitku pucat dan berbintik-bintik. Semua warna itu kuwarisi dari ibuku yang berasal dari Belanda.
Aku kurus, tetapi tidak sekurus model. Pakaian menggantung di tubuhku dengan cara yang aneh, jadi aku memakai baju yang sama setiap hari: jins hitam dan T-shirt lengan panjang, baju tebal berkerah tinggi di musim dingin dan sepatu bot tinggi semata kaki.
Aku menggelung rambutku dengan sumpit yang aku curi dari restoran. Aku sudah mempertimbangkan untuk membuat tato panter hitam yang siap menerkam di lengan bawahku.
Dan…
Ya!
Aku seorang pengamen.
Sebagai seorang musisi jalanan, Queen adalah idolaku. Tetapi aku tidak punya kecenderungan menyimpang seperti mereka.
Aku terlalu pemalu dan tidak punya wibawa atau kemampuan untuk berinteraksi dengan audiens.
Ironisnya menyanyi adalah satu-satunya keahlianku.
Jadi, ketika realita tak sejalan dengan ekspektasiku, aku pun dipaksa bertahan hidup tanpa bantuan siapa pun, dan menjadi penyanyi jalanan pada akhirnya menjadi satu-satunya jalan.
Tetapi rangkaian cerita sedih itu membuatku merasa seperti seorang pengemis atau pemalak, mengganggu di tengah kesenangan orang lain, menunggu waktu yang tepat untuk menadahkan tangan atau menodong mereka.
Ketika aku sedang memetik senar gitarku untuk menyelaraskan nada, pemuda tengil peracik kopi itu menghampiriku, lengkap dengan celemek 'Kopi Berondong'-nya. Tapi tidak mengusirku.
Itu tak aneh!
Beberapa pemuda tanggung lainnya di kafe-kafe lain yang berderet di sepanjang pusat kuliner itu juga terkadang berbaik hati mengizinkanku beristirahat sebentar di teras kafe mereka saat manager atau owner kafe tersebut tidak sedang berada di tempat. Beberapa dari mereka bahkan menggelapkan segelas minuman untukku.
Setelah bertahun-tahun beroperasi di pusat kuliner ini, aku sudah cukup hafal dengan karakteristik pemuda tanggung yang baru lulus sekolah dan bekerja di kafe-kafe.
Rata-rata mereka pendatang dari berbagai daerah dengan segala sesuatu yang benar-benar baru bagi mereka, tempat baru, teman baru, dan tentunya peradaban baru. Jadi, sebisa mungkin mereka akan berusaha menyesuaikan diri, termasuk bersikap ramah pada 'yang punya wilayah' seperti pengamen yang terkadang dipandang sama seperti preman. Dan sebagai satu-satunya pengamen wanita, aku sering kali menjadi sasaran empuk mereka untuk dijadikan batu loncatan.
Pemuda tengil ini juga bukan pengecualian.
Tapi dia terlalu kepo!
Sekarang dia mulai cengar-cengir sambil mengendap-endap untuk kemudian menyelinap duduk di sampingku.
Aku mendelik padanya dengan mulut terkatup.
Pemuda tengil itu memalingkan wajahnya sedikit sambil mengulum senyumnya. Pura-pura meneliti sekeliling sambil sesekali melirikku melalui sudut matanya.
"Ngapain lu?" tanyaku bernada ketus.
Pemuda tengil itu memalingkan wajahnya lagi, "Liat-liat aja," jawabnya sambil pura-pura memperhatikan sekeliling, tapi matanya melirikku. "Pemandangannya bagus ya, di sini?"
Aku mengikuti arah pandangnya dengan mata terpicing.
Pemandangan yang bisa dilihat di sekeliling kami hanya deretan toko dan kafe-kafe, barisan pedagang kaki lima di sepanjang trotoar, antrean mobil dan sepeda motor di area parkir yang sempit.
Apanya yang pemandangan bagus? pikirku sinis.
Begitu aku memalingkan wajahku dari pemandangan yang katanya bagus itu, tahu-tahu pemuda tengil itu sudah menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku, sebelah kakinya bertopang di atas lutut kaki yang lainnya, sebelah tangannya terentang di belakangku.
Aku mengerang sambil memutar-mutar bola mataku.
"Udah lama ngamen di sini?" Pertanyaan basi itu akhirnya keluar dari mulutnya.
"Re! Rere!" Temannya sesama berondong tiba-tiba melongok dari teras dan memanggilnya. Memberitahu bahwa mereka kedatangan customer.
Jadi namanya Rere? pikirku.
Kok kayak cewek?
Kira-kira siapa nama lengkapnya?
Oh, peduli setan! sergahku dalam hati. Ini adalah kesempatan emas untuk mangkal di sini tanpa perlu repot-repot berbasa-basi meminta izin.
Aku segera beranjak dari bangku meninggalkan softcase gitarku di sana dan buru-buru pergi.
Pemuda tengil itu spontan terperangah, menatapku dan menatap softcase gitarku dengan ekspresi bimbang. Tapi tak berusaha memanggilku untuk memberitahu bahwa softcase gitarku ketinggalan.
Bagus! pikirku tanpa menoleh lagi. Menurut pengalamanku, tidak melarangku meninggalkan barang di sana biasanya pertanda mereka mengizinkanku mangkal di sana.
Aku menghela napas dalam-dalam kemudian menyampirkan strap gitar di bahuku, merogoh saku celanaku, mengeluarkan pick, kemudian bercuap-cuap sejenak sebelum akhirnya mulai bernyanyi.
Belum selesai satu lagu, beberapa pengunjung di dalamnya sudah mengacung-acungkan tangan dengan uang receh di tangan mereka, mengisyaratkan supaya aku menghampiri mereka untuk mengambil uang itu.
Aku mendekati meja mereka dengan sikap enggan. Sejujurnya aku lebih suka diberi kesempatan untuk menyanyikan beberapa lagu dan didengarkan sampai selesai sebelum mereka memberiku uang.
Kebiasaan rata-rata pengamen memang lebih suka menerima uang secepatnya supaya mereka juga bisa pergi secepatnya tanpa harus repot-repot menyelesaikan satu lagu. Apalagi sampai lebih dari satu lagu. Dengan begitu, mereka tidak perlu membuang waktu untuk uang yang tidak seberapa.
Aku tidak begitu!
Aku lebih berharap didengar dan diperhatikan sebelum semua orang memutuskan berapa banyak uang yang pantas dikeluarkan untuk diberikan kepadaku sebagai apresiasi. Meskipun pada akhirnya jumlah uang yang kuterima sama saja.
Sikap memberi uang sebelum aku selesai bernyanyi bagiku terasa seperti cara halus untuk mengusirku. Tak jarang aku merasa tersinggung menghadapi sikap semacam itu. Karena sikap semacam itu lebih umum ditujukan untuk pengemis atau pemalak.
Tapi sebagai penyanyi jalanan, aku tak bisa memaksa siapa pun untuk memahami bahwa penyanyi jalanan berbeda dengan pengemis atau pemalak.
Suka, tidak suka, pandangan masyarakat terhadap penyanyi jalanan tidak ada bedanya dengan pengemis mau pun preman.
Akui saja! kataku pada diri sendiri. Mengamen memang tidak ada bedanya dengan mengemis.
Meski demikian, aku selalu berusaha untuk tetap melanjutkan laguku sampai selesai, baik mereka menyukainya atau pun tidak. Dengan begitu, aku berharap lama kelamaan orang lain bisa mengerti bahwa aku tidak datang untuk sekedar mengemis. Tapi juga menjual suara.
Dengan wajah masam, aku akhirnya keluar dari tenda itu setelah menyelesaikan hanya satu lagu.
Ketika aku kembali ke gang di mana aku meninggalkan softcase gitarku, bangkunya terlihat kosong.
Tampaknya pemuda tengil peracik kopi yang dipanggil Rere itu mengamankan softcase gitarku.
Lebih dari yang diharapkan! pikirku.
Aku baru saja berniat menanyakannya untuk sekadar memastikan dugaanku tidak keliru, tapi pemuda tengil itu malah menghampiriku lebih dulu.
Anak ini bener-bener kurang kerjaan! gumamku dalam hati.
Pemuda tengil itu membawa sebotol air mineral dan menyodorkannya padaku. "Minum!" katanya menawarkan.
Aku menatapnya dengan ragu.
"Tenang, softcase-nya aman!" ia menambahkan sambil tersenyum.
"Thanks," ungkapku setengah hati. Lalu menerima air mineral itu.
Rere mengikutiku ketika aku kembali ke bangku taman dan duduk di sampingku dengan gaya sok asyik.
Aku baru saja membuka tutup botol air mineral yang diberikannya ketika pengamen lain meneriakiku.
"Ga! Ayamku rame, noh!" Ia memberitahu sambil cengengesan.
"Buat lu aja!" tukasku sambil tergelak.
Rere terlihat bingung melihat candaan kami.
Ayamku adalah nama restoran siap saji di samping Kedai Kopi Berondong. Di depan pintu masuknya, terpasang tulisan: PENGAMEN DILARANG MASUK!
Tidak satu pun pengamen berani masuk ke sana, dan hal itu sering kali menjadi lelucon untuk kami saling menantang satu sama lain.
Dan ketika aku baru mau meneguk air mineral di tanganku, Rere pun akhirnya bertanya, "Ayamku gak boleh diamenin, ya?"
"Emang lu gak pernah baca tulisan di pintu masuknya?" aku balas bertanya, kemudian meneguk air mineral tadi.
"Pengamen dilarang masuk!" jawabnya.
"Terus ngapa lu masih nanya?" dengusku sambil menyeka mulutku dengan punggung tanganku dan menutup botol.
"Kan cuma dilarang masuk, bukan dilarang nyanyi!" tukasnya tanpa beban sedikit pun.
Betul juga! pikirku merasa tergelitik. Aku terkekeh menanggapinya, tapi tak mengatakan apa-apa.
"Lu kok gak pernah nyanyi di tempat kita, sih?" tanya Rere lagi—makin sok asyik.
Aku langsung mendelik. "Nyanyi di tempat lu, sapa yang mau diamenin?" tukasku setengah mencebik.
Rere mengusap bagian belakang kepalanya sambil memalingkan wajah dan nyengir kuda. "Amenin gua, kek!" gumamnya setengah berbisik. Lebih terdengar untuk dirinya sendiri.
Aku mendelik sekali lagi dan memalingkan wajah, berpura-pura tidak mendengar perkataannya.
Rere menoleh padaku lagi ketika aku mulai memetik senar gitarku untuk menyelaraskan nada. Entah kenapa aku merasa nadanya masih fals sejak tadi. Nada gitar yang fals membuatku tak nyaman saat bernyanyi.
Biasanya aku meminta bantuan Jo untuk menyetem senarnya.
Jo adalah satu-satunya pengamen bagus dengan bakat berkelas. Sangat profesional!
Di antara semua pengamen yang beroperasi di sekitar pusat kuliner ini, hanya aku dan Jo yang biasa membawakan lagu-lagu western. Tapi kemampuanku bermain gitar benar-benar payah. Jo sempurna dari segala aspek. Suaranya bagus, gitarnya jago, dan menguasai banyak perbendaharaan lagu.
Di saat-saat seperti ini, aku hanya bisa mengandalkannya. Feeling-ku benar-benar buruk dalam menyelaraskan nada.
Aku mengerang frustrasi ketika aku berusaha menyelaraskan nada tapi senar gitarku malah terdengar semakin fals.
Rere memperhatikanku dengan ekspresi bingung.
Aku menoleh ke sana kemari, mencari-cari keberadaan Jo.
Rere mengikuti arah pandangku dengan dahi berkerut-kerut.
Aku meletakkan gitarku di bangku, kemudian menghambur ke luar gang ketika mendengar suara gitar di depan gang itu.
Bukan Jo! batinku kecewa.
Dua orang pengamen dengan satu gitar sedang beraksi di kafe makanan di ujung gang itu. Satunya vokalis, satunya gitaris.
Sang gitaris melirikku dengan alis tertaut. "Lu nge-tem di sini, Ga?" ia bertanya dengan raut wajah bersalah.
Dalam istilah kami para pengamen, nge-tem artinya berdiam di satu lapak dan menguasai area itu dalam jangka waktu tertentu.
Sistem ini seperti perjanjian tak tertulis di mana kami menyepakatinya secara otomatis bahwa jika satu atau dua lapak ditunggui satu pengamen, maka pengamen lain tak boleh memasuki lapak tersebut karena pengamen nge-tem takkan berebut jatah di lapak lain.
"Kaga, slow!" sergahku sambil tersenyum dan melayangkan sebelah tanganku mempersilahkan mereka untuk melanjutkan. "Gue lagi nyari Jo."
Sang vokalis akhirnya menoleh padaku ketika tiba giliran melodi harus dimainkan. Ia mengangguk dan tersenyum dengan sikap hormat sebagai ucapan terima kasih.
Aku melambaikan tanganku sekilas pada mereka dan bergegas pergi untuk mencari Jo.
Tak sampai dua menit aku sudah menyerah dan kembali ke gang.
Rere sedang memangku gitarku dan memetik senarnya dengan pelan, sebelah pipinya menempel di body gitar. Begitu melihatku datang, ia menarik wajahnya menjauh dari gitarku dan menegakkan tubuhnya. Lalu mengulurkan gitarku dengan dua tangan sambil mengulum senyumnya.
Bersamaan dengan itu, temannya melongok lagi dari teras dan memanggilnya.
Rere beranjak dan menjejalkan gitarku ke pangkuanku, lalu bergegas meninggalkanku.
Aku mengawasi punggungnya dengan campuran rasa jengah dan penasaran. Tapi lalu mendesah dan menjatuhkan diriku di bangku.
Ketika aku memetik senar gitarku karena bosan, aku merasa nadanya sudah tak fals lagi.
Dengan terkejut aku menoleh ke arah beranda Kedai Kopi Berondong, menatap kekosongan dengan kekaguman yang tidak terduga.
Dia menyetem senar gitarku!
Keesokan harinya…
Aku baru saja keluar gang, hendak menyeberang jalan, ketika sebuah mobil mewah nyaris menabrakku.
Aku mengetatkan rahangku, bersiap untuk memaki siapa pun saat itu yang sedang berada di belakang kemudi. Hari itu mood-ku betul-betul sedang buruk.
Tapi ketika si pengemudi mobil mewah itu memelankan mobilnya, menurunkan kaca dan berkata, "Sori!"
Aku mendadak kehilangan emosiku. Hanya terbelalak menatap wajah si pengemudi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bukan karena permohonan maafnya, tapi karena raut wajah di belakang kemudi itu berhasil mempesonaku.
Sepintas wajah pria itu mengingatkanku pada seorang aktor asal Korea yang pernah menjadi idolaku semasa sekolah. Hanya saja pria di dalam mobil mewah itu kelihatan sedikit lebih tua. Wajahnya lembut, namun tatapannya tajam. Hidung mancung, rambut sebahu, semua ciri itu merupakan kriteria pria idamanku sampai sekarang. Sulit bagiku untuk tidak bersikap manis saat menghadapi sosok pria seperti itu.
Jadi, aku hanya tersenyum menanggapi permohonan maafnya.
Tapi ketika pria itu membalas senyumku seraya melirik gitar di tanganku, seketika senyumku lenyap.
Lu cuma pengamen! batinku memarahi diri sendiri. Mana ada cowok kaya yang mau pasang senyum kecuali cuma kasian!
Dengan langkah-langkah lebar, aku akhirnya menyeberang di belakang mobil mewah tadi dan berusaha melupakan angan-anganku.
Si pengemudi mobil mewah itu tidak segera mempercepat laju mobilnya.
Diam-diam aku melirik mobil itu sekali lagi dan terkejut mendapati pria itu sedang mengamatiku ketika aku sudah menyeberang menuju Kedai Kopi Berondong, tak jauh dari tempatnya.
Pria itu tersenyum tipis dan memarkir mobilnya di sekitar tempat itu juga.
Membuat angan-anganku kembali melambung tinggi.
Mencapai trotoar di depan Kedai Kopi Berondong, aku terkejut mendapati tempat itu dipadati pengunjung.
Dan… yah! Sesuai dengan namanya, tidak diragukan kebanyakan pengunjung "Kedai Kopi Berondong" adalah ibu-ibu penyuka daun muda dan tante-tante berparas glamor.
Awalnya aku berniat memesan satu cup kopi seperti kemarin. Setelah mencicipinya sekali, aku tak bisa memungkiri cita rasa kopi buatan berondong tengil itu lumayan bagus. Mulai sekarang aku akan mencari uang lebih untuk bisa membeli lagi kopi mereka.
Dan aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari penglaris lebih dulu.
Jadi tanpa pikir panjang, aku pun segera membuka softcase gitarku di tempat itu juga dan menyisikannya ke pagar beranda, kemudian menyampirkan strap gitarku di bahu, merogoh saku celanaku, mengeluarkan pick, kemudian bercuap-cuap.
"Selamat malam, semuanya!" sapaku sambil memaksakan senyum. "Izinkan saya menemani acara makan malamnya…"
Rere melongok dari balik meja racik sembari mengulum senyumnya, sementara tangannya tetap sibuk meracik kopi.
Temannya terlihat jauh lebih sibuk, bolak-balik membawa nampan ke sana-kemari dengan setengah berlari.
Aku mengambil tempat di dekat pagar beranda supaya tidak menggangu aktifitasnya.
Aku memang jarang sekali menyelinap ke dalam seperti pengamen lain. Aku lebih suka mencari tempat yang tidak menggangu semua orang. Tidak kuatir suaraku tidak didengar oleh pengunjung di deretan bangku paling ujung.
Suaraku bisa saja membangunkan orang mati kalau aku mengerahkan seluruh kemampuanku.
Sebelum menetap di pusat kuliner, aku biasa mengamen di bus dengan mesin ribut. Ditambah semasa sekolah aku juga pernah tergabung dalam grup band aliran metal. Jadi, bicara daya jangkau, suaraku tak perlu diragukan.
Sebuah lagu berjudul What's Up milik 4 Non Blondes selalu efektif untuk menarik perhatian.
Dan aku memilih lagu itu sebagai pembuka.
Rere cengar-cengir selama aku bernyanyi.
Beberapa saat kemudian, ia melangkah keluar dari bar dan menghampiriku. Entah pekerjaannya benar-benar sudah selesai atau sengaja menyempatkan diri. Ia mendekat sambil mengulum senyumnya lagi, kemudian membungkuk untuk memungut softcase gitarku yang kusandarkan di pagar beranda dan mengamankannya ke dalam.
Aku tersenyum ragu sambil mengangguk sekilas padanya, tak tahu bagaimana harus menanggapinya karena sedang tanggung bernyanyi. Dalam hati aku merasa hal itu terlalu berlebihan. Sangat sok akrab!
Ia tersenyum lagi dan kembali ke meja racik.
Beberapa pengunjung memperhatikannya dan melirikku dengan tatapan penuh tanya.
Aku mencoba untuk mengenyampingkan semuanya terlebih dulu dan berusaha memfokuskan perhatianku hanya pada lagu yang sedang kunyanyikan.
Belum selesai satu lagu, seorang wanita dari meja terdekat tiba-tiba berteriak, "Maaf!"
Aku membungkuk ke arah wanita itu tanpa memotong lagu yang sedang kunyanyikan.
Lalu pria di meja terdekat lainnya menyodorkan uang receh padaku.
Sekali lagi aku hanya membungkuk karena lagunya belum selesai.
Pria itu akhirnya meletakkan uangnya di meja dan mengetuk-ngetuk meja itu mengisyaratkan bahwa aku boleh mengambilnya sendiri nanti.
Aku kembali membungkuk dan melanjutkan nyanyianku.
Wanita tadi kembali berteriak, "Maaf!"
Aku hampir tersedak air liurku sendiri mendengar wanita itu berteriak lebih keras. Tapi lagunya masih belum selesai.
Memasuki song terakhir, wanita itu sekali lagi berteriak. Kali ini dengan nada setengah menghardik setengah bersungut-sungut, "Saya bilang maaf!"
Semua mata dalam kedai itu serentak menatapku dan wanita itu bergantian.
Rere menoleh padaku dengan raut wajah prihatin.
Bersamaan dengan itu, pria tampan mirip aktor Korea di mobil mewah yang nyaris menabrakku tadi, salah satu sosok yang paling tidak aku harapkan menyaksikan diriku dalam keadaan yang paling menyedihkan, memasuki kedai itu.
Bisa kurasakan wajahku mulai terbakar ketika pria itu menoleh padaku dan mendapati diriku dalam keadaan yang paling menyedihkan.
Seketika aku kehilangan konsentrasiku, tapi tetap berusaha menyelesaikan laguku sambil memalingkan wajahku dari wanita itu.
Aku betul-betul merasa kehilangan muka diperlakukan seperti itu di depan seseorang yang aku harapkan tidak melihatku tengah mengemis. Dan sekarang dia juga harus melihatku tengah dihina.
Sikap wanita ini betul-betul telah menyinggung harga diriku.
Selesai dengan laguku, aku menyeruak ke dalam kedai dan mendekati meja wanita itu.
Rasa dipermalukan itu seketika meruntuhkan seluruh perasaan malu itu sendiri. Dan dengan tidak tahu malunya, aku tersenyum sinis ke arah wanita itu.
"Saya juga minta maaf ya, Bu!" ungkapku bernada ketus. "Saya tadi lagi tanggung. Lagunya belum selesai. Saya nyanyi lama-lama bukan lagi mengemis-ngemis uang receh Ibu. Tapi karena lagunya emang belum selesai. Saya gak mau munafik, saya nyanyi memang cari uang. Dan itu artinya, menyanyi adalah pekerjaan saya. Jadi tugas saya ya, nyanyi!"
Rere mengerling padaku dengan alis tertaut.
Aku berhenti bicara sesaat sebelum akhirnya melanjutkan, "Tolong hormati profesi saya. Ibu bukan satu-satunya pengunjung di sini. Kenapa cuma Ibu yang gak mau kasih saya kesempatan?"
Seisi ruangan mendadak hening.
Aku mengamati wanita itu dengan intensitas tatapan yang bisa membakar gedung.
Semua mata dalam kedai itu terpaku ke arah wanita itu tanpa berkedip. Wajah wanita itu memerah. Ia menatap teman-temannya meminta pembelaan. Tapi teman-temannya bahkan tidak berani menatap wajahku. Mungkin juga tak sudi!
Aku mengedar pandang ke seluruh pengunjung dalam kedai—kecuali pria tampan yang sejak awal sudah membuatku gugup. "Saya mohon maaf," ungkapku pada semua orang. "Saya tadi niatnya mau menghibur, tapi berhubung di sini ada yang merasa terganggu, saya nyanyi sampe di sini aja. Mohon maaf kalau kehadiran saya juga mengganggu Anda semua."
Rere menatapku setengah mengernyit.
Pria tampan yang paling dihindari mataku itu mengamatiku sambil menautkan kedua tangannya di depan wajah menutupi mulutnya.
Aku menaikkan strap gitarku yang melorot, kemudian berbalik dari meja wanita itu dan bergegas keluar dengan perasaan berkecamuk. Menyisi ke bangku taman dalam gang sempit di samping Coffee Shop itu untuk menenangkan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!