Keesokan harinya…
Aku baru saja keluar gang, hendak menyeberang jalan, ketika sebuah mobil mewah nyaris menabrakku.
Aku mengetatkan rahangku, bersiap untuk memaki siapa pun saat itu yang sedang berada di belakang kemudi. Hari itu mood-ku betul-betul sedang buruk.
Tapi ketika si pengemudi mobil mewah itu memelankan mobilnya, menurunkan kaca dan berkata, "Sori!"
Aku mendadak kehilangan emosiku. Hanya terbelalak menatap wajah si pengemudi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bukan karena permohonan maafnya, tapi karena raut wajah di belakang kemudi itu berhasil mempesonaku.
Sepintas wajah pria itu mengingatkanku pada seorang aktor asal Korea yang pernah menjadi idolaku semasa sekolah. Hanya saja pria di dalam mobil mewah itu kelihatan sedikit lebih tua. Wajahnya lembut, namun tatapannya tajam. Hidung mancung, rambut sebahu, semua ciri itu merupakan kriteria pria idamanku sampai sekarang. Sulit bagiku untuk tidak bersikap manis saat menghadapi sosok pria seperti itu.
Jadi, aku hanya tersenyum menanggapi permohonan maafnya.
Tapi ketika pria itu membalas senyumku seraya melirik gitar di tanganku, seketika senyumku lenyap.
Lu cuma pengamen! batinku memarahi diri sendiri. Mana ada cowok kaya yang mau pasang senyum kecuali cuma kasian!
Dengan langkah-langkah lebar, aku akhirnya menyeberang di belakang mobil mewah tadi dan berusaha melupakan angan-anganku.
Si pengemudi mobil mewah itu tidak segera mempercepat laju mobilnya.
Diam-diam aku melirik mobil itu sekali lagi dan terkejut mendapati pria itu sedang mengamatiku ketika aku sudah menyeberang menuju Kedai Kopi Berondong, tak jauh dari tempatnya.
Pria itu tersenyum tipis dan memarkir mobilnya di sekitar tempat itu juga.
Membuat angan-anganku kembali melambung tinggi.
Mencapai trotoar di depan Kedai Kopi Berondong, aku terkejut mendapati tempat itu dipadati pengunjung.
Dan… yah! Sesuai dengan namanya, tidak diragukan kebanyakan pengunjung "Kedai Kopi Berondong" adalah ibu-ibu penyuka daun muda dan tante-tante berparas glamor.
Awalnya aku berniat memesan satu cup kopi seperti kemarin. Setelah mencicipinya sekali, aku tak bisa memungkiri cita rasa kopi buatan berondong tengil itu lumayan bagus. Mulai sekarang aku akan mencari uang lebih untuk bisa membeli lagi kopi mereka.
Dan aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari penglaris lebih dulu.
Jadi tanpa pikir panjang, aku pun segera membuka softcase gitarku di tempat itu juga dan menyisikannya ke pagar beranda, kemudian menyampirkan strap gitarku di bahu, merogoh saku celanaku, mengeluarkan pick, kemudian bercuap-cuap.
"Selamat malam, semuanya!" sapaku sambil memaksakan senyum. "Izinkan saya menemani acara makan malamnya…"
Rere melongok dari balik meja racik sembari mengulum senyumnya, sementara tangannya tetap sibuk meracik kopi.
Temannya terlihat jauh lebih sibuk, bolak-balik membawa nampan ke sana-kemari dengan setengah berlari.
Aku mengambil tempat di dekat pagar beranda supaya tidak menggangu aktifitasnya.
Aku memang jarang sekali menyelinap ke dalam seperti pengamen lain. Aku lebih suka mencari tempat yang tidak menggangu semua orang. Tidak kuatir suaraku tidak didengar oleh pengunjung di deretan bangku paling ujung.
Suaraku bisa saja membangunkan orang mati kalau aku mengerahkan seluruh kemampuanku.
Sebelum menetap di pusat kuliner, aku biasa mengamen di bus dengan mesin ribut. Ditambah semasa sekolah aku juga pernah tergabung dalam grup band aliran metal. Jadi, bicara daya jangkau, suaraku tak perlu diragukan.
Sebuah lagu berjudul What's Up milik 4 Non Blondes selalu efektif untuk menarik perhatian.
Dan aku memilih lagu itu sebagai pembuka.
Rere cengar-cengir selama aku bernyanyi.
Beberapa saat kemudian, ia melangkah keluar dari bar dan menghampiriku. Entah pekerjaannya benar-benar sudah selesai atau sengaja menyempatkan diri. Ia mendekat sambil mengulum senyumnya lagi, kemudian membungkuk untuk memungut softcase gitarku yang kusandarkan di pagar beranda dan mengamankannya ke dalam.
Aku tersenyum ragu sambil mengangguk sekilas padanya, tak tahu bagaimana harus menanggapinya karena sedang tanggung bernyanyi. Dalam hati aku merasa hal itu terlalu berlebihan. Sangat sok akrab!
Ia tersenyum lagi dan kembali ke meja racik.
Beberapa pengunjung memperhatikannya dan melirikku dengan tatapan penuh tanya.
Aku mencoba untuk mengenyampingkan semuanya terlebih dulu dan berusaha memfokuskan perhatianku hanya pada lagu yang sedang kunyanyikan.
Belum selesai satu lagu, seorang wanita dari meja terdekat tiba-tiba berteriak, "Maaf!"
Aku membungkuk ke arah wanita itu tanpa memotong lagu yang sedang kunyanyikan.
Lalu pria di meja terdekat lainnya menyodorkan uang receh padaku.
Sekali lagi aku hanya membungkuk karena lagunya belum selesai.
Pria itu akhirnya meletakkan uangnya di meja dan mengetuk-ngetuk meja itu mengisyaratkan bahwa aku boleh mengambilnya sendiri nanti.
Aku kembali membungkuk dan melanjutkan nyanyianku.
Wanita tadi kembali berteriak, "Maaf!"
Aku hampir tersedak air liurku sendiri mendengar wanita itu berteriak lebih keras. Tapi lagunya masih belum selesai.
Memasuki song terakhir, wanita itu sekali lagi berteriak. Kali ini dengan nada setengah menghardik setengah bersungut-sungut, "Saya bilang maaf!"
Semua mata dalam kedai itu serentak menatapku dan wanita itu bergantian.
Rere menoleh padaku dengan raut wajah prihatin.
Bersamaan dengan itu, pria tampan mirip aktor Korea di mobil mewah yang nyaris menabrakku tadi, salah satu sosok yang paling tidak aku harapkan menyaksikan diriku dalam keadaan yang paling menyedihkan, memasuki kedai itu.
Bisa kurasakan wajahku mulai terbakar ketika pria itu menoleh padaku dan mendapati diriku dalam keadaan yang paling menyedihkan.
Seketika aku kehilangan konsentrasiku, tapi tetap berusaha menyelesaikan laguku sambil memalingkan wajahku dari wanita itu.
Aku betul-betul merasa kehilangan muka diperlakukan seperti itu di depan seseorang yang aku harapkan tidak melihatku tengah mengemis. Dan sekarang dia juga harus melihatku tengah dihina.
Sikap wanita ini betul-betul telah menyinggung harga diriku.
Selesai dengan laguku, aku menyeruak ke dalam kedai dan mendekati meja wanita itu.
Rasa dipermalukan itu seketika meruntuhkan seluruh perasaan malu itu sendiri. Dan dengan tidak tahu malunya, aku tersenyum sinis ke arah wanita itu.
"Saya juga minta maaf ya, Bu!" ungkapku bernada ketus. "Saya tadi lagi tanggung. Lagunya belum selesai. Saya nyanyi lama-lama bukan lagi mengemis-ngemis uang receh Ibu. Tapi karena lagunya emang belum selesai. Saya gak mau munafik, saya nyanyi memang cari uang. Dan itu artinya, menyanyi adalah pekerjaan saya. Jadi tugas saya ya, nyanyi!"
Rere mengerling padaku dengan alis tertaut.
Aku berhenti bicara sesaat sebelum akhirnya melanjutkan, "Tolong hormati profesi saya. Ibu bukan satu-satunya pengunjung di sini. Kenapa cuma Ibu yang gak mau kasih saya kesempatan?"
Seisi ruangan mendadak hening.
Aku mengamati wanita itu dengan intensitas tatapan yang bisa membakar gedung.
Semua mata dalam kedai itu terpaku ke arah wanita itu tanpa berkedip. Wajah wanita itu memerah. Ia menatap teman-temannya meminta pembelaan. Tapi teman-temannya bahkan tidak berani menatap wajahku. Mungkin juga tak sudi!
Aku mengedar pandang ke seluruh pengunjung dalam kedai—kecuali pria tampan yang sejak awal sudah membuatku gugup. "Saya mohon maaf," ungkapku pada semua orang. "Saya tadi niatnya mau menghibur, tapi berhubung di sini ada yang merasa terganggu, saya nyanyi sampe di sini aja. Mohon maaf kalau kehadiran saya juga mengganggu Anda semua."
Rere menatapku setengah mengernyit.
Pria tampan yang paling dihindari mataku itu mengamatiku sambil menautkan kedua tangannya di depan wajah menutupi mulutnya.
Aku menaikkan strap gitarku yang melorot, kemudian berbalik dari meja wanita itu dan bergegas keluar dengan perasaan berkecamuk. Menyisi ke bangku taman dalam gang sempit di samping Coffee Shop itu untuk menenangkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Ichi
mampos lu Bu 🤣🤣🤣🤣
2023-05-09
0
Ichi
kaga lu bilang : iyaaaa di maafin pake nada Do tinggi 😌
2023-05-09
0
Ichi
huahahahhaahhahahahahaa🤣🤣🤣🤣
2023-05-09
0