Gak Jadi Setan, Deh!

"Udah, Mas?" Aku tak ingin berlama-lama lagi. "Berapa?"

"Udah, Kak!" Pramusaji ayam Kentucky itu membungkuk dengan sopan.

"Iya, berapa?" ulangku tak sabar.

"Udah dibayar!" jawab pramusaji itu sambil tersenyum.

"Hah?" Aku terperangah. "Kapan?"

Pramusaji itu membungkuk sekali lagi sambil menunjuk ke arah Rere dengan ibu jarinya.

Aku menoleh pada Rere dengan alis bertautan.

Jo ikut menoleh ke arah Rere.

Pemuda tengil itu memalingkan wajahnya sambil menggigit bibir bawahnya dengan gaya tengilnya yang khas, mengulurkan sebelah tangannya ke meja kasir dengan mengendap-endap, kemudian merenggut bungkusan ayamnya sambil melejit menjauhiku dan berlalu pergi meninggalkan gerai itu.

"Wo---woy!" Aku tergagap dengan sebelah tangan terulur menggapai udara kosong.

"Udah sih, terima aja!" seloroh Jo sambil mendelik padaku. "Rezeki gak boleh ditolak!"

Lama aku bergeming menatap punggung Rere sampai sosoknya menghilang di balik rolling door kedai kopinya.

Ngapain sih, dia pake bayarin makanan gua segala? pikirku sambil tertunduk mengamati bungkusan ayamku.

"Paket dua satu, Mas!"

Aku mendengar Jo bicara pada si pramusaji, tapi aku bisa merasakan tatapannya membakar tengkukku.

"Gua duluan, Jo!" pungkasku sambil menghambur keluar gerai tanpa menoleh, kemudian menyeberang dan melesat ke dalam gang.

Sejujurnya aku merasa tertolong, karena uang penglarisku semalam yang tidak bertambah akhirnya utuh. Tapi entah kenapa aku merasa tak enak hati.

Aku tak pernah bersikap baik padanya!

Begitu aku sampai di kostan dan membuka bungkusan ayamku, aku kembali dikejutkan oleh kenyataan yang membuatku semakin merasa bersalah.

Paket yang kubawa pulang tidak sesuai dengan paket yang kupesan tadi.

Itu adalah paket besar yang---aku yakin milik Rere, yang harganya dua kali lipat dari paket yang biasa kubeli.

Dia keliru mengambil bungkusan karena terburu-buru!

Aku harus menukarnya! pikirku.

Aku merapikan kembali kemasan ayam itu cepat-cepat, kemudian menghambur keluar sambil merenggut sweater yang tergantung pada kapstok di balik pintu, dan mengenakannya sambil berlari keluar gang.

"Re!" Aku menggedor rolling door Kedai Kopi Berondong itu dengan gusar. "RERE!"

Hal itu juga membuatku merasa bersalah.

Kedai itu baru akan buka sore hari seperti yang lain. Kedatanganku sekarang jelas tidak pada tempatnya.

Tapi rolling door itu akhirnya berderak membuka setelah hampir semenit aku berteriak seperti orang gila.

Teman Rere muncul dan terperangah mengamatiku.

"Mana si Rere?" tanyaku terengah-engah.

Pemuda itu mengerutkan keningnya sesaat sebelum akhirnya berbalik ke dalam dan mendongak ke puncak tangga, "Re!" panggilnya. "Ada yang nyariin, nih!"

"Siapa?" tanya Rere dengan suara seperti orang sedang berkumur.

"Kak—" teman Rere menggantung kalimatnya dan menoleh padaku dengan tatapan bertanya.

"Galang!" timpalku cepat-cepat.

"Kak Galang!" teman Rere memberitahu sambil mendongak lagi ke puncak tangga. Lalu tiba-tiba menoleh lagi padaku dengan dahi berkerut-kerut. "Serius, nama lu Galang?" tanyanya tak percaya.

"Terus gua harus ganti nama, nih?" semburku tak sabar.

Teman Rere tertawa.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara berdebuk di puncak tangga. Rere mengintip ke bawah dengan alis bertautan. "Siapa Galang?" tanyanya bingung.

Teman Rere menoleh padaku sekali lagi, mengisyaratkan supaya aku naik ke lantai dua.

Aku melangkah ke dalam dengan ragu-ragu, kemudian mendongak ke arah Rere.

Rere mengerjap dan terkesiap, melirik bungkusan di tanganku, kemudian menatapku dengan mata berbinar-binar.

Aku spontan tertunduk dan tergagap ketika Rere akhirnya turun dan menghampiriku sambil cengar-cengir.

Temannya meninggalkan kami dan naik ke lantai dua.

"Mau makan bareng?" tanya Rere sambil tersenyum nakal.

"Bungkusannya ketuker," gumamku pura-pura menggerutu sambil mengulurkan bungkusan di tanganku tanpa berani menatap wajahnya.

Rere merunduk dan menelengkan sedikit kepalanya untuk melihat wajahku.

Aku memalingkan wajahku dan makin tertunduk.

"Ayamnya udah gua makan," katanya dengan gaya tengilnya yang khas.

Aku mengerjap dan menelan ludah. Belum berani mengangkat wajah.

Rere menelengkan kepalanya lagi ke arah lain, mengikuti arah wajahku. "Makan bareng aja, yuk!" ajaknya sambil cengengesan.

Aku tahu dia menawariku makan bersama karena aku sudah terlanjur datang ke sini. Mungkin dia merasa tak enak melihatku harus bolak-balik. Padahal seharusnya aku yang merasa tak enak!

Aku mendesah berat dan tercenung. Mencoba menimang-nimang.

Dia sudah begitu baik padaku, haruskah aku menolak niat baiknya lagi?

Rere membungkuk semakin rendah, berusaha melihat ke dalam mataku. Sebelah alisnya terangkat tinggi, menunggu jawaban.

"Oke," kataku akhirnya.

Rere mendesah sambil tersenyum lebar dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan wajah semringah. "Yuk!" katanya bersemangat, kemudian mengulurkan tangannya menuju tanganku seperti ingin menuntunku.

Aku mengedikkan bahuku, menghindari sentuhannya.

Rere buru-buru menarik tangannya dan melipatnya ke belakang kepalanya sambil menggigit bibir bawahnya menahan senyum, lalu melayangkan tangan lainnya ke arah tangga, mempersilahkanku untuk naik.

Teman Rere menoleh padaku dari depan wastafel di dekat pintu kamar mandi ketika aku sampai di puncak tangga.

Aku balas menatap pemuda itu sambil memaksakan senyum. "Makan, yuk!" ajakku berusaha terdengar riang.

"Lanjut, Kak!" sahutnya sambil balas tersenyum. Kemudian melanjutkan aktivitasnya di atas wastafel tadi. Mungkin sedang bercukur atau apalah.

Ruko itu tak cukup besar di lantai dua, hanya terdiri dari dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Ruang tengah menjadi satu dengan dapur dan ruang makan, mungkin juga dengan ruang tamu sekalian.

Rere menarik salah satu bangku di meja makan dan mempersilahkanku untuk duduk sambil mengulum senyumnya.

Aku melirik ke seberang meja dengan mata terpicing.

Dia berbohong!

Bungkusan ayamnya ternyata belum dibuka.

"Bam, mau makan nggak?" Rere bertanya pada temannya sambil menarik bangku di depan bungkusan ayam yang belum dibuka tadi.

"Duitnya aja!" kelakar temannya, tanpa mengalihkan perhatiannya dari cermin di atas wastafel.

Aku menoleh padanya sambil menahan senyum.

"Gak dialem!" Rere menggerutu dengan wajah serius.

Aku mengerling sekilas padanya tanpa bisa menutupi rasa kagumku. Dia keren kalau sedang serius! pikirku.

Yah, sebenarnya tidak ada yang salah dengan gaya tengilnya!

Itu memang sesuai dengan umurnya.

Aku hanya merasa risih saja bergaul dengan anak laki-laki seusia mereka. Bagaimanapun usiaku sudah seperempat abad. Orang-orang akan mengira aku pecinta daun muda.

Aku mengawasi Rere ketika ia mulai membuka bungkusan ayamnya.

Rere tertunduk sambil menggigit bibirnya menahan tawa.

Aku baru saja mengulurkan tanganku ke seberang meja, bersiap untuk menukarkan bungkusan kami ketika teman Rere akhirnya beranjak dari wastafel dan bertanya padaku sambil bergegas ke sisi lain ruangan yang menjadi dapur, "Lu kalo siang ngamen juga, Kak?"

"Nggak," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari Rere.

Rere sudah menyantap ayamnya sekarang, sudah terlambat untuk menukarkannya. "Nama lu beneran Galang?" tanyanya sambil mengunyah.

"Kok kayak cowok sih, Kak?" temannya menyela dari depan kitchen set sambil membuka salah satu kabinet, mengeluarkan cangkir dan mulai meracik kopi.

"Semua orang di sini manggil gua begitu," jawabku.

"Tapi beneran, nama lu Galang?" tanya Rere tak puas.

"Nama gua sebenernya Galatia," jawabku tak keberatan. Tibang nama! Ya, kan? Apalah arti sebuah nama?!

"Kayak gua, dong?" katanya dengan gaya kepedean. "Nama gua Yeremia, dipanggil Rere!"

Oh! pikirku. Jadi namanya Yeremia?

"Itu masih mendingan," komentarku. "Dari Yeremia ke Rere kan masih nyambung. Dari Galatia ke Galang dari mana nyambungnya?"

"Mungkin lewat Asia Kecil," kelakar temannya. Pemuda itu sudah selesai membuat kopi, kemudian bergabung di meja makan. "Gua Abram!" ia memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya padaku.

Aku menjabat tangannya sambil tersenyum.

Demikian pada akhirnya, sepanjang sisa waktu sarapan itu kami habiskan dengan berbincang-bincang ringan sebagai perkenalan.

Dan aku merasa lega kebersamaan itu berakhir tanpa kesan berarti seperti yang aku cemaskan.

Aku berharap hubungan kami tetap seperti itu sampai kapan pun, karena aku tak ingin terlibat hubungan asmara dengan lelaki muda.

Aku bisa percaya pada Abram. Tapi aku tak yakin dengan Rere.

Caranya menatapku tidak seperti pemuda lain yang hanya ingin berteman baik atau sekadar kagum pada bakatku.

Dan itu membuatku tak nyaman!

Sejak bertemu dengannya, aku jadi sering memimpikan pemuda tengil itu menciumku.

Terpopuler

Comments

Ichi

Ichi

heeeet bujuh buneng 🤣🤣🤣🤣

2023-05-11

0

Ichi

Ichi

keknya ga mungkin sih 😩

2023-05-11

0

Ichi

Ichi

hmmmmmm..
Yeremia, yg di Bekasi ujung banget bukan? 🙄🤣🤣🤣🤣

2023-05-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!