Niki Untuk Nata

Niki Untuk Nata

Bagian 1. Kamera Disita

Happy Reading!

"Kembalikan, pa. Nata mohon pada papa. Nata akan nurut semua kata papa asal papa jangan membakarnya. Please, pa."

Laki-laki itu menangis terisak. Tak sanggup ia jika sampai papanya membakar kameranya. Barang kesayangannya, peninggalan mama tercinta beberapa tahun yang lalu.

"Bukan kamu yang mengatur papa. Tapi papa yang mengatur kamu," ucap pria yang dipanggil papa itu dengan tegas. Tak peduli ia dengan air mata yang berlomba jatuh membasahi pipi lelaki berusia 16 tahun itu.

"Pa, hanya itu kenangan tentang mama. Tolong jangan hancurkan, pa. Nata mohon."

"Papa tidak bisa tawar lagu. Kamu sudah tak menurut apa kata papa. Papa hanya minta kamu belajar, belajar dan belajar. Bukan malah sibuk dengan kamera butut itu. Mau jadi apa masa depan kamu kalau kamu hanya sibuk dengan kamera itu? Hah?"

"Itu..."

"Sudah. Papa tidak mau tau. Pokoknya papa bilang tidak ya tidak. Papa beri kamu waktu seminggu. Bila dalam seminggu ini kamu tak lolos dalam ujian maka, kamera ini akan lenyap dari muka bumi ini. Camkan itu!"

Papa Tirta memberikan ancaman sekaligus perintah yang tak bisa dielakkan oleh Nata, anak satu-satunya dari pria bernama Tirta Kusnadi itu. Hasil pernikahannya dengan Salma Kenya.

Tapi sayang, sakit yang diderita oleh Salma Kenya, membuat ia meregang nyawa beberapa tahun lalu. Tepat saat itu, Nata masih duduk di bangku SMP. Sejak saat itulah, papa Tirta terlalu protektif terhadap Nata.

Bahkan papa Tirta memaksa Nata untuk memilih jurusan fisika, sesuai yang ia mau. Menurutnya, jurusan fisika sangat menjanjikan. Oleh karena itu, ia meminta Nata untuk selalu belajar dan belajar.

Suara pintu yang menggegap memecah kesunyian kamar itu. Menyisakan Nata yang masih berderai air mata. Lelaki itu, meringkuk diatas ranjangnya, meratapi perilaku papanya terhadapnya.

Memaksa ia untuk menuruti semua kehendaknya tanpa bertanya apa yang ja inginkan. Menyuruh ia untuk belajar keras tanpa bertanya apakah ia lelah atau jenuh. Apakah ia masih kuat atau tidak. Bagai robot ia diperlakukan oleh papanya sendiri.

...\=\=\=\=ooo0ooo\=\=\=\=...

Sementara di tempat lain, Niki sedang asyik dengan ponselnya. Bahkan ia senyum-senyum sendiri dengan ponselnya itu.

"Niki, kok kamu senyum-senyum sendiri sih? Udah selesai tugas kamu?" tanya sahabatnya Sandra, penasaran ia dengan tingkah sang sahabat.

"Niki ih," omelnya karena dicueki oleh Niki.

"Mana bagian kamu? Sini aku cek," ucap Sandra lagi. Tetapi tetap saja tak mendapat jawaban dari Niki.

Merasa diabaikan, Sandra pun berjalan pelan menghampiri Niki. Bahkan suara kakinya tak terdengar saat ia mulai melangkah. Penasaran ia akan keseriusan Niki dengan benda pipihya itu.

"Ih, dasar Niki. Ganjen banget sih jadi cewek. Kita lagi ngerjain tugas bareng, eh dianya malah sibuk liatin poto cowok. Dasar Niki," umpat Sandra dalam hati.

"Eh eh, San tau nggak?"

"Nggak," jawab Sandra cepat.

Terkejut Niki mendengar jawaban Sandra yang sudah ada di dekatnya. Karena yang ia tau, Sandra tadi duduk di depannya. Sedang mengerjakan tugas kelompok yang diberikan guru fisika pada mereka.

Bukan kebetulan sih kedua teman itu satu kelompok. Tetapi ulah Niki lah sehingga mereka berdua satu kelompok. Yang lainnya ada empat orang satu kelompok. Dan tak ada yang sahabatan atau teman dekat seperti mereka.

Niki paling malas kalau harus mengenal lagi seseorang dari awal untuk ia jadikan sahabat. Cukup Sandra saja. Belum tentu juga ada orang lain yang seperti Sandra yang terima dia apa adanya atau pun sebaliknya.

Kepintaran dan kecerdasan yang dimiliki oleh Niki, membuat pak guru fisika menuruti semua permintaan Niki. Permintaannya memang tidak pernah aneh. Satu-satunya adalah, tidak memisahkan ia dengan Sandra jika dalam satu kelompok.

Selain cerdas dalam mata pelajaran fisika, Niki juga ada bakat dalam bernyanyi, menari dan melukis. Sehingga kegiatan ekstrakurikuler Niki dan Sandra adalah seni musik. Sedangkan untuk seni lukis adalah Niki sendiri. Karena bakat Sandra tidak sehebat Niki.

Di sekolah Thomas Alva Edison di kota Medan, Niki adalah cewek incaran banyak pria. Baik dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Tetapi tak satu pun yang Niki jadikan pacar atau gebetan. Sudah ada orang yang menempati hatinya.

Kebetulan pula, Niki, Sandra dan Nata menuntut ilmu di sekolah yang sama. Dan duduk di bangku kelas XI, jurusan yang sama pula. Sejak saat itulah, Niki sudah menaruh hati untuk cowok dingin persis kulkas delapan pintu seperti kata Sandra.

"Ihh, Sandra kok gitu sih. Jangan langsung dijawab dong. Lagian kamu ngapain sih di dekat aku? Bikin kaget aja tau."

"Habisnya kamu aku panggilin dari tadi nggak nyahut. Eh, nggak taunya lagi sibuk mandangin poto cowok kulkas delapan pintu itu. Iiih, nggak banget. Kayak nggak ada cowok lain aja," sahut Sandra.

"Sandra, kamu tau kan sahabat kamu ini seperti apa. Kalau sudah yang namanya cinta sama satu pria, ya sudah cukup dia saja yang mengisi hati ini. Tak ada hati untuk cowok lain. Karena hatiku sudah penuh diisi olehnya," ucap Niki sambil tersenyum, membayangkan betapa ia bahagia bersama dengan Nata.

"Bangun, Nik. Dia itu nggak cinta sama kamu. Dia itu nggak peduli sama kamu. Kamu nggak malu apa sebagai perempuan, dianggap nggak ada sama dia?"

"Sandra, nggak ada kata malu untuk yang namanya cinta. Jadi, kamu nggak usah khawatir. Aku mau telpon ayang Nata dulu. Bye...."

Niki menghempaskan rambut panjangnya, meninggalkan Sandra yang mulai kesal dengan tingkah sahabatnya itu.

"Terus tugas kelompok kita ini gimana, Nik?" tanya Sandra memekik.

Yang ia dapatkan bukan jawaban, malah punggung Niki yang semakin meninggalkan ia di ruang tamu rumah tersebut.

Sembari berjalan, teringat ia dengan nomor ponsel yang diberikan Nata tadi padanya. Gegas ia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Lalu mulai menghubungi nomor tersebut.

"Hallo, assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam. Mau mencari obat apa, mbak? Panu, kudis, kurap kutu air atau?" sahut suara di sebrang telpon. Logatnya kental banget, khas Jawa.

"Halo, mbak. Mbak.. Mbak..."

Telpon itu pun diputus sepihak oleh Niki. Ia kesal. Ia sudah yakin banget bahwa ia menghubungi nomor Nata, tapi kenapa malah penjual obat kudis kurap yang menjawab telponnya?

Dengan sigap ia blok nomor itu, lalu ia hapus. Takut si penjual obat akan menghubunginya dan menawarkan obat untuknya. Obat yang sangat tidak ia butuhkan saat ini.

Dengan langkah malas, ia berjalan kembali menuju ruang tamu dimana tadi Sandra berada.

"Kenapa itu muka?" tanya Sandra. Seperti mengejek bagi Niki.

"Nggak apa-apa," jawab Niki.

"Nggak apa-apa tapi, kayak baju kusut nggak disetrika selama lima tahun. Kusut banget. Sampai nggak tau gimana bentuknya."

Tuh kan benar, Sandra sedang mengejeknya sekarang.

"Busyet. Lama banget lima tahun nggak disetrika. Kayak apa bentuknya tuh?" sahut Niki. Ia malah membalas guyonan un-faedah sang sahabat dengan serius.

To be continue.....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!