NovelToon NovelToon

Niki Untuk Nata

Bagian 1. Kamera Disita

Happy Reading!

"Kembalikan, pa. Nata mohon pada papa. Nata akan nurut semua kata papa asal papa jangan membakarnya. Please, pa."

Laki-laki itu menangis terisak. Tak sanggup ia jika sampai papanya membakar kameranya. Barang kesayangannya, peninggalan mama tercinta beberapa tahun yang lalu.

"Bukan kamu yang mengatur papa. Tapi papa yang mengatur kamu," ucap pria yang dipanggil papa itu dengan tegas. Tak peduli ia dengan air mata yang berlomba jatuh membasahi pipi lelaki berusia 16 tahun itu.

"Pa, hanya itu kenangan tentang mama. Tolong jangan hancurkan, pa. Nata mohon."

"Papa tidak bisa tawar lagu. Kamu sudah tak menurut apa kata papa. Papa hanya minta kamu belajar, belajar dan belajar. Bukan malah sibuk dengan kamera butut itu. Mau jadi apa masa depan kamu kalau kamu hanya sibuk dengan kamera itu? Hah?"

"Itu..."

"Sudah. Papa tidak mau tau. Pokoknya papa bilang tidak ya tidak. Papa beri kamu waktu seminggu. Bila dalam seminggu ini kamu tak lolos dalam ujian maka, kamera ini akan lenyap dari muka bumi ini. Camkan itu!"

Papa Tirta memberikan ancaman sekaligus perintah yang tak bisa dielakkan oleh Nata, anak satu-satunya dari pria bernama Tirta Kusnadi itu. Hasil pernikahannya dengan Salma Kenya.

Tapi sayang, sakit yang diderita oleh Salma Kenya, membuat ia meregang nyawa beberapa tahun lalu. Tepat saat itu, Nata masih duduk di bangku SMP. Sejak saat itulah, papa Tirta terlalu protektif terhadap Nata.

Bahkan papa Tirta memaksa Nata untuk memilih jurusan fisika, sesuai yang ia mau. Menurutnya, jurusan fisika sangat menjanjikan. Oleh karena itu, ia meminta Nata untuk selalu belajar dan belajar.

Suara pintu yang menggegap memecah kesunyian kamar itu. Menyisakan Nata yang masih berderai air mata. Lelaki itu, meringkuk diatas ranjangnya, meratapi perilaku papanya terhadapnya.

Memaksa ia untuk menuruti semua kehendaknya tanpa bertanya apa yang ja inginkan. Menyuruh ia untuk belajar keras tanpa bertanya apakah ia lelah atau jenuh. Apakah ia masih kuat atau tidak. Bagai robot ia diperlakukan oleh papanya sendiri.

...\=\=\=\=ooo0ooo\=\=\=\=...

Sementara di tempat lain, Niki sedang asyik dengan ponselnya. Bahkan ia senyum-senyum sendiri dengan ponselnya itu.

"Niki, kok kamu senyum-senyum sendiri sih? Udah selesai tugas kamu?" tanya sahabatnya Sandra, penasaran ia dengan tingkah sang sahabat.

"Niki ih," omelnya karena dicueki oleh Niki.

"Mana bagian kamu? Sini aku cek," ucap Sandra lagi. Tetapi tetap saja tak mendapat jawaban dari Niki.

Merasa diabaikan, Sandra pun berjalan pelan menghampiri Niki. Bahkan suara kakinya tak terdengar saat ia mulai melangkah. Penasaran ia akan keseriusan Niki dengan benda pipihya itu.

"Ih, dasar Niki. Ganjen banget sih jadi cewek. Kita lagi ngerjain tugas bareng, eh dianya malah sibuk liatin poto cowok. Dasar Niki," umpat Sandra dalam hati.

"Eh eh, San tau nggak?"

"Nggak," jawab Sandra cepat.

Terkejut Niki mendengar jawaban Sandra yang sudah ada di dekatnya. Karena yang ia tau, Sandra tadi duduk di depannya. Sedang mengerjakan tugas kelompok yang diberikan guru fisika pada mereka.

Bukan kebetulan sih kedua teman itu satu kelompok. Tetapi ulah Niki lah sehingga mereka berdua satu kelompok. Yang lainnya ada empat orang satu kelompok. Dan tak ada yang sahabatan atau teman dekat seperti mereka.

Niki paling malas kalau harus mengenal lagi seseorang dari awal untuk ia jadikan sahabat. Cukup Sandra saja. Belum tentu juga ada orang lain yang seperti Sandra yang terima dia apa adanya atau pun sebaliknya.

Kepintaran dan kecerdasan yang dimiliki oleh Niki, membuat pak guru fisika menuruti semua permintaan Niki. Permintaannya memang tidak pernah aneh. Satu-satunya adalah, tidak memisahkan ia dengan Sandra jika dalam satu kelompok.

Selain cerdas dalam mata pelajaran fisika, Niki juga ada bakat dalam bernyanyi, menari dan melukis. Sehingga kegiatan ekstrakurikuler Niki dan Sandra adalah seni musik. Sedangkan untuk seni lukis adalah Niki sendiri. Karena bakat Sandra tidak sehebat Niki.

Di sekolah Thomas Alva Edison di kota Medan, Niki adalah cewek incaran banyak pria. Baik dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Tetapi tak satu pun yang Niki jadikan pacar atau gebetan. Sudah ada orang yang menempati hatinya.

Kebetulan pula, Niki, Sandra dan Nata menuntut ilmu di sekolah yang sama. Dan duduk di bangku kelas XI, jurusan yang sama pula. Sejak saat itulah, Niki sudah menaruh hati untuk cowok dingin persis kulkas delapan pintu seperti kata Sandra.

"Ihh, Sandra kok gitu sih. Jangan langsung dijawab dong. Lagian kamu ngapain sih di dekat aku? Bikin kaget aja tau."

"Habisnya kamu aku panggilin dari tadi nggak nyahut. Eh, nggak taunya lagi sibuk mandangin poto cowok kulkas delapan pintu itu. Iiih, nggak banget. Kayak nggak ada cowok lain aja," sahut Sandra.

"Sandra, kamu tau kan sahabat kamu ini seperti apa. Kalau sudah yang namanya cinta sama satu pria, ya sudah cukup dia saja yang mengisi hati ini. Tak ada hati untuk cowok lain. Karena hatiku sudah penuh diisi olehnya," ucap Niki sambil tersenyum, membayangkan betapa ia bahagia bersama dengan Nata.

"Bangun, Nik. Dia itu nggak cinta sama kamu. Dia itu nggak peduli sama kamu. Kamu nggak malu apa sebagai perempuan, dianggap nggak ada sama dia?"

"Sandra, nggak ada kata malu untuk yang namanya cinta. Jadi, kamu nggak usah khawatir. Aku mau telpon ayang Nata dulu. Bye...."

Niki menghempaskan rambut panjangnya, meninggalkan Sandra yang mulai kesal dengan tingkah sahabatnya itu.

"Terus tugas kelompok kita ini gimana, Nik?" tanya Sandra memekik.

Yang ia dapatkan bukan jawaban, malah punggung Niki yang semakin meninggalkan ia di ruang tamu rumah tersebut.

Sembari berjalan, teringat ia dengan nomor ponsel yang diberikan Nata tadi padanya. Gegas ia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Lalu mulai menghubungi nomor tersebut.

"Hallo, assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam. Mau mencari obat apa, mbak? Panu, kudis, kurap kutu air atau?" sahut suara di sebrang telpon. Logatnya kental banget, khas Jawa.

"Halo, mbak. Mbak.. Mbak..."

Telpon itu pun diputus sepihak oleh Niki. Ia kesal. Ia sudah yakin banget bahwa ia menghubungi nomor Nata, tapi kenapa malah penjual obat kudis kurap yang menjawab telponnya?

Dengan sigap ia blok nomor itu, lalu ia hapus. Takut si penjual obat akan menghubunginya dan menawarkan obat untuknya. Obat yang sangat tidak ia butuhkan saat ini.

Dengan langkah malas, ia berjalan kembali menuju ruang tamu dimana tadi Sandra berada.

"Kenapa itu muka?" tanya Sandra. Seperti mengejek bagi Niki.

"Nggak apa-apa," jawab Niki.

"Nggak apa-apa tapi, kayak baju kusut nggak disetrika selama lima tahun. Kusut banget. Sampai nggak tau gimana bentuknya."

Tuh kan benar, Sandra sedang mengejeknya sekarang.

"Busyet. Lama banget lima tahun nggak disetrika. Kayak apa bentuknya tuh?" sahut Niki. Ia malah membalas guyonan un-faedah sang sahabat dengan serius.

To be continue.....

Bagian 2. Tantangan

Happy Reading!

"Nata, bisa Niki minta tolong nggak?" tanya Niki saat mereka sedang istirahat setelah pelajaran ke empat.

"Nggak," jawab Nata singkat, padat dan dingin.

"Please dong ayang Nata, tolongin Niki."

Nata berlalu begitu saja, tak peduli dengan suara manja dari Niki. Tak peduli dengan mata Niki yang sudah berembun. Ia tau, itu hanya akal bulus Niki sendiri supaya Nata berpaling melihatnya, iba padanya dan mau menolongnya.

"Ayang Nata.... Ayang Nata..." pekik Niki.

"Sudahlah, Nik. Berhenti bermimpi untuk memeluk gunung. Kamu nggak akan bisa," omel Sandra dari belakang.

Kedua sahabat itu selalu saja menempel kemana pun mereka berada. Termasuk sekarang ini. Sampai-sampai, ia diabaikan Nata pun Sandra tau.

"Siapa bilang aku bermimpi? Siapa pula yang bilang kalau memeluk gunung tangan tak sampai? Bisa kok."

"Caranya?"

"Ya.... Hmmmm.... Tinggal aku pinjam aja tangan kamu, tangan mama, tangan Nata untuk membantu aku memeluk gunung itu. Bisa kan?"

"Nggak waras ini orang," sela Sandra.

"Sudahlah, Nik. Berhenti kamu berharap sama cowok se dingin Nata. Kamu nggak akan kuat. Mau bagaimana pun kamu menghangatkan hatinya, kamu nggak akan bisa. Dia itu sudah terlanjur dingin. Nggak akan bisa dihangatkan."

"Niki, meski kamu berusaha mencairkan batu es itu tetapi kamu nggak akan berhasil kalau niat dari dianya saja tak ada. Percuma Nik. Percuma."

"Kasih aku waktu seminggu, San. Aku pasti bisa meluluhkan hatinya," jawab Niki dengan pasti.

"Yakin seminggu bisa?"

"Yakin," sahutnya sembari mengangguk pasti.

"Kalau misalnya sudah seminggu nih kamu nggak berhasil jadian sama dia, apa manfaatnya buat aku?" tantang Sandra.

"Aku akan bayarin kamu jajan selama sebulan."

"Deal?" ucap Sandra semangat.

"Deal."

Mereka berdua sepakat akan perjanjian itu.

"Dan kalau semisal aku berhasil mendapatkan hatinya dalam jangka waktu seminggu, maka kamu harus traktir aku makan di kantin selama sebulan. Deal?"

"Deal."

"Aku yakin kamu pasti kalah," timpal Sandra.

"Kamu yang akan kalah," sahut Niki tak mau kalah.

"Niki gitu lho. Nggak pernah kalah dengan siapa pun. Sampai saat ini nih, belum ada yang bisa ngalahin Niki," ucapnya dengan bangga.

"Kita lihat saja nanti. Siapa yang menang dan siapa yang kalah."

...\=\=\=\=oo0oo\=\=\=...

Di sinilah Nata sekarang berada. Di ruang perpustakaan. Seperti biasa, ia akan sibuk membaca, menghapal, memahami. Pelajaran apalagi kalau bukan fisika sesuai tuntutan papa Tirta.

Nata, lebih memilih menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan ketimbang nongkrong di kantin atau di taman, seperti teman-temannya yang lain.

Tito, Agus dan juga Salim. Mereka kini sedang asyik menikmati bakso di kantin sekolah. Lain halnya dengan Nata yang selalu membawa bekal dari rumah, masakan bi Entun, asisten rumah tangga di rumahnya.

Niki, yang mendapat info kalau Nata sedang ada di perpustakaan, buru-buru meninggalkan Sandra yang sedang asyik dengan mie ayamnya. Saking enaknya, ia tak sadar kalau Niki sudah menghilang dari pandangannya.

"Hmmm, enak banget mie ayamnya. Pedesnya pol. Kamu mau coba, Nik?" ucap Sandra, mulutnya masih penuh dengan mie ayam.

"Nik..." panggilnya.

Tak mendapat sahutan dari Niki, ia memalingkan wajahnya, mencari sosok Niki yang tadi ada di hadapannya.

"Ya elah. Aku ngomong sendiri. Dasar Niki. Suka banget menghilang. Persis kayak jelangkung. Datang tak diundang, pulang nggak diantar," ujarnya kemudian. Ia bicara seorang diri. Terpaksa.

Malas memikirkan kemana perginya Niki, Sandra pun lanjut dengan mie ayamnya.

"Palingan Niki sedang ngintili si kulkas delapan pintu. Dasar itu anak nggak ada kapok-kapoknya," ucapnya lagi, sambil mengunyah mie ayam bakso yang sudah penuh di dalam mulutnya.

...\=\=\=\=oo0oo\=\=\=...

"Ayang Nata, bisa nggak sih sekali saja kamu jangan sibuk dengan buku itu terus?" gerutu Niki pada Nata yang saat ini sedang fokus dengan buku pelajarannya.

"Nih, Niki bawa makanan terenak se kota Medan. Pasti ayang Nata suka. Di coba yah," ucap Niki dengan nada manja layaknya anak ABG yang sedang jatuh cinta pada cowok tampan, seorang ketos yang cool.

Niki menyodorkan kotak bekal berbentuk kelinci berwarna pink ke hadapan Nata. Tetapi Nata, diam saja. Tak ada reaksi penolakan atau penerimaan atas benda tersebut.

Di sekolah, apalagi di bangku menengah atas. Ketos adalah profesi yang sangat dikagumi oleh para cewek-cewek sekolah. Apalagi kalau ketosnya itu dingin, tapi peduli. Tapi di sini, kita tidak membahas ketos. Karena baik Niki maupun Nata tak bergabung dalam dunia organisasi sekolah tersebut.

Karena kecerdasan Nata ataupun Niki, mereka sering ditugaskan untuk mengikuti lomba sains antar sekolah. Jadi, kehidupan mereka sibuk belajar dan belajar. Mereka cenderung untuk ikut serta dalam setiap olimpiade.

"Ini enak lho. Ya... meskipun bukan Niki yang buat, tapi rasanya dijamin enak kok. Super," ucap Niki antusias.

"Kamu nggak mau makan? Kamu nggak lapar? Niki nggak mau ayang Nata sakit. Please."

Gadis itu bahkan memohon, netranya sampai berkedip-kedip demi mendapatkan respon dari pujaan hatinya itu.

"Bisa diam nggak?" ujar Nata, menggigit giginya, menahan amarah. Berharap suaranya tak terdengar ke telinga penghuni perpustakaan itu.

"Saya tidak butuh," timpalnya kemudian.

Dengan tak berperasaannya, ia membawa setumpuk buku yang sudah ia pinjam tadi, melangkah pergi meninggalkan perpustakaan. Lebih tepatnya meninggalkan Niki sih. Meninggalkan juga bekasl yang disodorkan Niki tadi padanya Tak mau ia berlama-lama dengan gadis tak punya malu seperti Niki.

"Ayang Nata, jangan tinggalin Niki dong," keluh Niki. Ia pun membuntuti langkah Nata, mengikuti kemana cowok itu pergi.

"Tuh kan, apa aku bilang. Nata lagi, Nata lagi. Niki ini memang cewek keras kepala, tak tau malu. Sudah ditolak mentah-mentah masih saja mendekat. Hadehhh. Aku pasti menang nih taruhan. Yakin seratus persen. Sandra gitu lho," ucap Sandra dalam hati, yang ikut juga membawa kakinya melangkah mengikuti Niki yang sedang mengejar Nata.

"Ayang Nata, ayo makan dong. Kamu kan belum ada makan dari tadi. Nanti kalau perut kamu sakit gimana? Nanti kalau kamu ada sakit mag gimana? Niki nggak mau kalau ayang Nata sampai sakit. Dimakan ya. Aku temani kok. Oke."

Tiba-tiba bel sekolah sudah berbunyi. Tandanya pelajaran ke lima akan segera di mulai. Itu artinya Niki dan Nata harus kembali masuk ke dalam kelas mengikuti pelajaran selanjutnya, yaitu bahasa Indonesia.

Mendengar bel yang berbunyi nyaring, Nata mempercepat langkahnya. Tak peduli ia dengan rengekan, omelan manja dari cewek cantik, imut dan manis yang bernama Briana Nikita Demora itu. Benar-benar ia tak mau terlibat dengan gadis centil seperti Niki.

Nata yang memiliki sikap pendiam, dingin, cuek, mana mungkin dengan mudahnya bisa menerima Niki sebagai teman apalagi orang spesial baginya.

Nata langsung duduk di bangkunya dan disambut Tito dengan ocehan - ocehannya.

"Kapan sih, kau itu gabung sama kita saat istirahat. Kita itu kan best friend. Masa kita makan enak di kantin, kau malah sibuk di perpustakaan. Dari kelas X sampai kelas XI selalu saja kau begitu Nata. Nggak bisa apa buku jelek mu itu kau tinggalkan?" cecar Tito dengan berbagai pertanyaan.

Apa yang diucapkan Tito diangguki oleh temannya yang lain, Agus dan Salim.

"Memangnya best friend itu hanya diukur dari segi makan dan nongkrong di kantin?" ucap Nata dingin.

"Ya bukan gitu juga maksud kita itu, bro tapi...."

"Selamat siang anak-anak!" sapa seorang guru wanita, berperawakan cantik, dengan bodi goalsnya. Seperti gadis padahal sudah punya anak dua.

Gegas Agus memperbaiki duduknya, yang tadi membelakangi meja guru demi bisa bicara serius dengan teman terdinginnya itu , Nata.

"Siang, Bu!" seru mereka serempak. Sontak, suasana kelas itu menjadi riuh menyambut guru kesayangan mereka. Guru bahasa Indonesia.

"Sudah siap untuk belajar bahasa Indonesia hari ini? Atau.... ada yang mau kita diskusikan dulu?" tanya ibu guru cantik itu, ibu Devina namanya. Matanya menyapu seluruh meja dan kursi siswanya yang sudah pada duduk manis di tempat masing-masing.

"Ada, Bu."

"Nggak ada, Bu."

Begitulah jawaban bersahutan dari para siswa dan siswa itu.

"Kok jawabannya tidak sama? Kenapa?" tanya ibu Devina.

To be continue....

Bagian 3. NP (Nata Prasetyo)

Happy Reading!

"Baiklah anak-anak ibu, pelajaran kita hari ini adalah puisi. Ada yang pernah mendengar istilah puisi?"

"Ada, Bu," sahut para siswa dengan angkat antusias.

"Ada yang bisa menjelaskan apa itu puisi, bagian-bagiannya atau ciri-cirinya?"

"Busyet, banyak banget," ucap Salim protes.

Memberikan kritik dan saran kepada ibu guru Devina, bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka. Karena Bu Devina adalah guru yang paling terbuka akan siswanya dan humble. Ada kalanya ia menjadikan siswa itu sebagai temannya.

"Ibu tau, puisi adalah pelajaran bahasa Indonesia yang tidak pernah berhenti di bahas sejak kamu menginjakkan kakimu di bangku SD, SMP, hingga SMA seperti saat ini."

"Ketika kalian SD, sudah disinggung mengenai puisi. Tetapi belum terlalu mendalam. Nah ketika SMP, kalian sudah mulai membuat puisi. Betul apa betul?"

Ibu Devina dengan sabar menjelaskan materi pelajaran bahasa Indonesia pada hari ini. Tak ada satupun kelas itu yang mengantuk. Mereka terlihat bersemangat. Dengan candaan Bu Devina, mereka merasa nyaman belajar. Karena Bu Devina mengajar dengan berbagai metode. Tidak monoton, tidak hanya ceramah atau catat buku sampai habis.

Bu Devina juga tidak pernah membedakan murid-muridnya. Karena baginya setiap murid unik, memliki karakter dan intelektual yang berbeda. Saya tangkap setiap anak pun tentu saja berbeda. Ia yakin dengan sangat akan hal itu.

Di samping itu, Bu Devina juga sesekali memberikan reward berupa makanan yang ia masak sendiri untuk murid-muridnya. Selain itu, pujian juga sering ia beri untuk menghargai muridnya sekecil apapun usaha yang sudah ia kerjakan.

"Betul, bu." Mereka dengan serentak menyahut lagi.

"Siapa yang bisa menjelaskan pertanyaan ibu tadi, bisa berdiri di tempat dan menjelaskan kepada teman-teman."

Seorang siswa berdiri. Lalu menjelaskan kepada teman-temannya dengan bahasanya sendiri. Begitulah keseruan di kelas XI ini, saat pelajaran bahasa Indonesia.

Lalu ibu Devina pun memberikan reinforcement tentang puisi tersebut. Bahkan memberikan beberapa contoh secara reflek puisi yang ia karang sendiri.

"Sekarang, tugas kalian adalah membuat satu puisi dengan tema cinta. Ibu beri waktu satu jam pelajaran untuk membuat puisi tersebut. Dan nanti setelah puisinya selesai, akan kalian presentasikan di depan kelas. Agar teman-teman kalian bisa mendengar, memberikan kritik dan saran apabila masih ada yang harus diperbaiki. Bisa? Ibu yakin bisa. Anak-anak ibu kan cerdas semua."

...\=\=\=ooo0ooo\=\=\=...

"Waktu sudah habis. Ayo, siapa yang mau maju duluan?" Ibu Devina memberitahu sekaligus bertanya kepada murid-muridnya itu.

"Saya, bu," jawab suara perempuan, memecah keheningan di dalam kelas tersebut. Seketika semuanya bersorak gembira, karena ada teman yang mewakili mereka mengawali presentasinya.

Ada beberapa siswa yang menganut paham bahwa yang pertama tampil adalah menakutkan, tidak percaya diri. Namun bila sudah ada yang memulai, maka dengan sendirinya mereka pun akan mengalir bergiliran sesuai ingin mereka.

"Kamu, Niki? Tumben?"

Ibu Devina sedikit heran dengan muridnya yang satu ini. Ia tau bahwa Niki bukan ahli dalam bahasa Indonesia. Bukan berarti ia benci dengan pelajaran itu. Meski nilainya tak pernah diatas tujuh akan mata pelajaran itu.

Hal itu membuktikan bahwa Niki pas-pasan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Dan hari ini, tidak biasanya ia selesai duluan akan tugas yang diberi ibu Devina. Biasanya, Dea dan Nino lah yang selalu duluan. Karena mereka kentara sekali, menyukai pelajaran yang satu ini.

"Beneran sudah selesai kamu?" tanya ibu Devina lagi meyakinkan Niki.

"Iya, bu. Saya sudah selesai. Ibu bisa memeriksanya kalau tidak percaya."

Merasa ada yang tidak beres dengan Niki, ibu Devina pun melangkahkan kakinya menuju bangku dimana Niki berada. Tepat di sebelah meja Nata, di meja urutan ketiga dari depan. Niki dan Nata hanya dipisahkan oleh lorong kecil. Di samping kiri Niki ada Sandra.

Sandra juga tak kalah terkejut dengan ucapan pasti dari Niki. Ia sampai memelototkan matanya saat Niki mengatakan kalau ia sudah selesai dan siap untuk persentasi duluan.

"Pinjam buku catatan kamu," ucap ibu Devina.

Niki langsung menyodorkan buku catatannya kepada ibu Devina.

Bu Devina pun manggut-manggut setelah membaca puisi Niki. Sudah ada empat bait. Dan kalimatnya sungguh puitis. Itu terlihat dari senyum ibu Devina yang begitu manis usai membaca puisi coretan Niki.

Dengan langkah hati-hati karena sepatu pancus heelsnya, juga dengan lantai keramik yang licin, suara heels Bu Devina cukup menyita perhatian para murid. Suara heelsnya yang khas yang tentunya sudah mereka hapal di dalam kepala. Bukan di luar kepala. Kan hilang kalau di luar kepala.

Ibu Devina adalah guru favorit mereka, yang jauh dari kata killer seperti guru kimia atau guru matematika.

"Saya maju ya, Bu?" ucap Niki, terlihat tidak sabaran. Sontak perhatian teman-temannya menjadi terfokus kepadanya.

"Oh ya, silakan!"

Dengan senyum, ibu Devina mengangguk mempersilakan muridnya yang apa adanya itu maju ke depan. Dan disambut sorak sorai oleh teman-temannya.

Lalu gimana dengan Nata? Ya, biasalah. Dia tak peduli. Ia lebih memilih sibuk dengan buku fisikanya. Buku bahasa Indonesianya ia letakkan di samping sebelah kanannya. Ia memang sudah selesai dengan puisinya.

You are my everything

Karya Nikita Demora

Kelas XI Fisika 1

Niki memulai membaca judul dan penulis dari puisi itu sendiri.

You are my sunshine

Kau hadir dalam hati yang dingin

Memberi kehangatan dalam setiap langkah ku

Kau bagai bintang yang bersinar di malam hari

Yang mampu menyinari hatiku yang telah lama meredup

You are my everything

Kau yang pertama singgah di hati ini

Hati yang belum pernah tersentuh oleh hangatnya cinta

Kau hadir tanpa bisa ku terka dalam dada

Bagai sinar mentari yang memberi kehangatan di hidupku

You are my everything

Senyummu bagai candu untukku

Mengalihkan duniaku dari segala kesuraman

Trimakasih cinta

Trimakasih atas hadirmu dalam hidupku

Mengisi sukma ku

You are my everything

Kan ku jaga hati ini hanya untukmu

Pangeran kodok ku yang selalu bersemayam dalam sukma

Mencintaimu dalam diam pun aku rela

Asal kau bahagia

Maka aku kan bahagia

NP

Huuuuuu

Sorak dari teman-temannya dan tepuk tangan menggema di ruangan itu. Ruangan yang selalu tertutup karena adanya pendingin ruangan.

Niki mengakhiri puisinya dengan senyum sumringahnya. Pandangannya mengarah ke meja Nata Berharap orang yang dipandang terbawa rasa oleh puisinya Membuat teman-teman sekelasnya bersorak ria, bertepuk tangan. Memberi support untuk gadis yang sedang memuja, mendamba, mencinta dalam diam.

Tapi apa, semuanya tak sesuai ekspektasi. Nata tak melirik kearahnya sedikit pun. Tak ada bereaksi sedikit pun. Tidak bertepuk juga tidak bersorak. Sedang Sandra, melongo dengan isi puisi Niki. Terlalu berlebihan menurutnya sahabatnya yang satu itu.

To be Continue....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!