Happy Reading!
"Puisinya bagus. Tapi, ibu penasaran dengan kata terakhir. NP, apa itu NP? Bisa kamu jelasin? Mungkin teman-teman kamu juga penasaran, nak," ucap lembut ibu Devina.
"Nata Prasetyo," ucap Niki tanpa suara. Namun gerak bibirnya jelas, mengucapkan dua kata itu. Nama lengkap dari mata itu sendiri.
"Apa?" tanya ibu Devina. Karena ia memang tidak bisa membaca gerak bibir Niki dengan benar. Ia hanya menebak saja, makanya tidak yakin. Ibu Devina pun berjalan mendekati Niki dan bertanya kembali.
"Bisa kamu ulangi apa tadi kamu bilang? Yang kuat dong biar teman-teman kamu bisa dengar."
"Nata Prasetyo, bu," ucap Niki kemudian, berbisik di hadapan ibu Devina. Beberapa siswa yang mendengar itu, bersorak ria. Bahkan ada yang membisikkan ke taman-tamannya yang tidak mendengarkan tadi karena lirihnya suara Niki.
Sontak, mereka semua bersorak. Cieee, menggoda Niki yang dengan beraninya mengungkapkan cinta melalui puisi kepada seorang laki-laki dingin dan di depan gurunya sendiri lagi.
Betapa percaya diri sekali seorang Niki. Dan di kelas XI Fisika, hanya dia yang mempunyai rasa kepercayaan diri tinggi seperti ini. Tak ada rasa malunya sedikit pun.
Malah, Sandra yang merasa malu terhadap sahabatnya itu. Bisa-bisanya ia bertingkah konyol demi lelaki yang ia cintai. Sandra memjdnjk, menyembunyikan wajahnya ke bawah, menatap keramik putih kelas itu. Temannya yang disoraki, dia yang malu sendiri.
Sementara Nata, tidak peduli dengan suara riuhnya kelas itu. Yang penting ia sudah melakukan tugasnya sesuai perintah Bu Devina, sisanya ia gunakan untuk membaca buku fisika, fisika dan fisika.
Hukuman yang diberikan oleh papa Tirta adalah, ia harus rajin belajar, menghapal semua rumus fisika lalu ponselnya dan kameranya akan kembali. Nata adalah lelaki remaja yang normal. Yang tidak terlalu tergila-gila dengan gadget, tapi hampa juga tanpa gadget.
Kalau ada gadget, ia bisa search banyak hal. Teknik mengambil gambar yang bagus, view mana yang lebih indah. Ada banyak hal yang ia bisa cari, terkhusus mengenai dunia kamera. Hobbi ia sedari kecil tanpa papa Tirta tau. Sedang mendiang mamanya tau akan hal itu. Oleh karena itulah, mama Nata memberikan ia kamera.
Kamera itu ka jaga, beberapa tahun terakhir ini. Sampai nyaris dibakar oleh sang papa.
Kelas XI Fisika 1, sudah biasa riuh begini bila guru yang mengajar adalah ibu Devina. Guru-guru lain bahkan kelas sebelahnya pun pasti sudah paham akan hal itu. Oleh karena itu mereka tidak pernah protes. Toh tidak salah kan belajar dengan suara lantang. Asal jangan suara lantang karena sibuk ngurusin urusan orang lain. Wong mereka saja belum tentu mau kurus. Ngapain ngurusin orang?
Mendengar nama lengkap Nata disebutkan oleh Niki, ibu Devina pun mengerti. Beliau kan pernah muda juga. Cinta semasa SMA sering juga disebut cinta monyet. Jadi ia pun senyum-senyum sendiri. Terbayang ia masa SMA dulu.
Aneh memang guru yang satu ini. Muridnya sedang jatuh cinta, bukan dilarang atau dinasehati. Malah ikut tersenyum, seolah memberi dukungan kepada Niki agar memperjuangkan cinta itu. Dasar ibu Devina, guru yang beda dari guru lain.
"Anak-anak ibu, cinta sama lawan jenis itu wajar. Dan kita tidak tau kapan cinta itu datang, kepada siapa ia tumbuh, bagiamana bentuknya, tak ada yang bisa menebak. Tapi ibu mau bilang satu hal, jadikan cinta itu sebagai motivasi kamu untuk menjadi lebih baik."
"Ya contohnya seperti Niki ini. Biasanya kan pelajaran bahasa Indonesia nilainya pas-pasan. Lha hari ini, dia malah yang duluan selesai dengan tugas yang ibu berikan. Artinya apa, cinta dia ke lawan jenisnya itu membawa ia ke hal yang positif. Oleh karena itu, ibu tidak marah. Ibu tidak larang."
"Tetapi harus janji satu hal."
"Apa itu, bu?" tanya Niki penasaran. Diangguki pula oleh teman-temannya yang lain. Kebanyak perempuan sih. Mereka kepo, sama seperti Niki.
"Mau tau aja atau mau tau banget?"
Si ibu guru malah mengulur waktu. Padahal, murid-muridnya sudah penasaran. Ada yang menunggu sambil mulut menganga, ada yang garuk-garuk kepala padahal tidak gatal dan ada pula yang menutup bukunya secara reflek karena penasaran. Fokusnya akan terbagi bila buku itu masih terbuka dan memperlihatkan isi buku itu.
"Mau tau banget ibu," ucap mereka serentak.
"Jangan pernah salah gunakan cinta itu. Jangan pernah salah memanfaatkan. Karena apa? Kamu akan menyesal jika kamu salah gunakan cinta itu. Dan setelah kamu menyesal, cinta itu akan hilang. Kamu mau?"
"Nggak, Bu," jawab mereka bersama. Sebagian ada juga yang geleng-geleng.
"Oleh karena itu, jagalah cintamu dengan baik. Jadikan dia sebagai motivasi dan inspirasi bagi hidup mu. Oke?" pungkas ibu Devina. Rasanya sudah terlalu panjang ia ceramah. Masih banyak siswa yang belum presentasi ke depan kelas.
"Oke, bu."
Ibu Devina pun mulai serius kembali. Melanjutkan presentasi ke siswa berikutnya. Memberi ruang kepada mereka untuk maju ke depan tanpa disuruh. Sama seperti Niki tadi.
Kini, tinggallah Nata yang belum membaca pusinya. Semua siswa penasaran isi puisi Nata. Apakah isinya balasan dari puisi Niki? Apakah tentang cinta? Atau .. apakah tentang rumus fisika? Atau Kimia? Seluruh isi kelas tau, Nata suka membaca buku fisika.
"Ayo, Nata! Kamu maju ke depan. Tinggal kamu yang belum presentasi. Ibu ingin lihat seberapa kamu paham akan puisi."
Nata belum maju. Ia masih duduk tenang di kursinya. Sementara teman-temannya sudah mulai bisik-bisik, entah apa yang mereka bisikkan.
"Nata Prasetyo! Adakah di sini siswa yang bernama Nata Prasetyo?" tanya ibu Devina. Ia mengetuk meja sebanyak tiga kali. Membuat siswa fokus menatap ke depan. Tak terkecuali Nata.
"Ada, bu," jawab teman-teman Nata.
"Kalau ada, maju ke depan!" timpal ibu Devina.
"Nata, kau disuruh ke depan tuh sama Bu Devina," bisik Tito memberitahu Nata.
"Aku?" tanya Nata, memukul drinya sendiri.
"Yoi, mamen. Emang ada Nata yang Laen?"
"Ya tapi, kenapa harus aku?" tanya Nata dengan wajah bingung.
"Karena tinggal kau yang belum, bro," timpal Salin tidak sabaran. Jujur, ia juga penasaran akan puisi sahabatnya. Apakah se puitis Niki atau sebaliknya?
Setelah mendapat penjelasan dari teman-temannya, Nata pun menutup buku fisikanya. Lalu meraih buku bahasa Indonesianya yang dari tadi ia anggurkan. Ia buka buku itu, tepat pada lembaran puisi yang telah ia buat tadi. Lalu ia maju ke depan.
Suasana kelas tiba-tiba hening. Seperti siswa yang sedang mengikuti ujian Nasional, tidak boleh ada suara. Mereka bisa menahan mulut mereka agar tak bersuara. Demi bisa mendengar dengan seksama isi puisi dari seorang laki-laki kutu buku Fisika, di kelas mereka. Ya, julukan itu seperti tepat bagi Nata.
"Saya akan...."
Belum selesai Nata dengan persentasinya, bahkan pembuka saja belum, atau judul belum, bel sekolah keburu bunyi. Itu artinya pelajaran bahasa Indonesia telah usai. Saatnya untuk pulang.
"Yaaaah," ucap seisi kelas. Ada nada kecewa di dalam suara itu. Mereka tidak ikhlas bel berbunyi terlalu cepat. Langka bukan? Biasanya murid-murid akan senang sampai bersorak kalau bel pulang bunyi. Lha ini, berat. Ini semua tak lain demi bisa mendengar kan puisi ciptaan dari laki-laki kulkas delapan. pintu.
To be continue.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments