Happy Reading!
Beda hal dengan Nata. Dibalik sikapnya yang dingin, ia senang bel telah berbunyi. Artinya, ia tak perlu repot-repot membacakan puisinya. Ia sadar betul, kalau tulisannya tak sebagus tulisan yang lain.
Ia takut diketawain. Ia malu diejek oleh teman-temannya. Hilang dong wibawanya sebagai kulkas delapan pintu pabila sampai kepergok kalau ia malu.
"Yes," soraknya dalam hati, gembira. Tangannya terkepal di bawah sebagai tanda yes.
"Yahhhh, cepat amat belnya. Baru juga mulai. Malah udah penasaran lagi."
"Iya. Bisa diperpanjang nggak waktunya, bu?"
"Iya, bu. Kita udah kemal banget nih "
"Ayolah, bu perpanjangan waktu. Please "
Begitulah ocehan-ocehan teman sekelas Nata, tidak terima karena hanya dialah yang belum membacakan puisi hasil tulisannya sendiri.
Sementara Niki, dalam hati ia berdoa, berharap permohonan teman-temannya terkabulkan. Karena ia adalah salah satu yang menunggu si kulkas delapan pintu itu membacakan puisinya. Berharap akan balasan dari puisi yang ia ciptakan.
Dalam hati, Niki berdoa. Sampai-sampai jantungnya berdegup kencang. Antara takut kecewa, antara takut tak bisa menahan diri jika puisi itu adalah balasan jawaban Nata untuknya, untuk ungkapan perasaannya.
"Baiklah anak-anak. Tenang dulu ya," ucap Bu Devina, menenangkan suasana kelas.
Hiruk pikuk anak-anak yang menjadi backsound dalam kelas XI Fisika 1 itu. Tetapi suara mereka tetap mendominasi, tak terima bel pulang telah berbunyi. Agak lain memang kelas yang satu ini. Unik. Membuat bu Devina senyum-senyum dengan tingkah murid-muridnya.
"Nata, karena kamu yang paling terakhir dan kamu belum membacakan puisi kamu, maka ..."
Seketika suasana kelas hening. Bak hening cipta saat melakukan upacara yang diiringi oleh musik Mengheningkan Cipta. Mata mereka melotot tajam. Menunggu akan ucapan ibu Devina selanjutnya. Apakah menerima tawaran mereka atau.... melepaskan Nata begitu saja.
Tak adil saja bagi mereka. Disaat mereka semua sudah presentasi, tetapi ada temannya yang belum presentasi sama sekali. Bahkan sedari tadi hanya diam, tak menyimak puisi dari teman-temannya yang lain.
"Minggu depan akan presentasi ke depan, kita record untuk bahan contoh deklamasi puisi, sekaligus.... " Ibu Devina berhenti sejenak. Menunggu respon dari teman-teman Nata.
"Yaaaah, kok minggu depan sih bu? Hari ini kenapa sih, bi?" protes yang lainnya. Sekaligus mewakili teman yang lain pula.
"Mencatat lima puisi temanmu yang sudah presentasi tadi. Tidak boleh ada yang kurang atau lebih. Namanya juga menyalin. Harus seperti aslinya, karena ada karya ada nama si pencipta karya. Jadi, jangan jadikan itu milik kamu," imbuh ibu Devina dengan mantap.
Menurut ibu Devina itu sudah adil bagi teman-teman Nata. Beberapa masih protes karena belum mencerna dengan baik tugas untuk seorang Nata Prasetyo.
"Setelah kamu salin kelima puisi itu, lalu kamu pun akan menghafalnya. Karena itu akan kamu deklamasikan minggu depan setelah puisi kamu. Setuju?"
"Ada yang keberatan dengan usulan ibu? Atau... ada usul lain?" Ibu Devina melemparkan ke forum. Sebagian dari mereka ada yang masih mencerna kalimat panjang lebar dari ibu Devina tersebut. Sebagian lagi ada yang sudah paham dan manggut-manggut. Yang jelas, tak se ribut sebelumnya.
"Baiklah, karena bel sudah berbunyi dan pelajaran kita hari ini usai, maka ...."
Lagi lagi, kelas itu hening. Tetapi tangan mereka sibuk menyimpan barang-barang mereka ke dalam tas masing-masing. Diam, membuktikan bahwa mereka setuju dengan ucapan ibu Devina.
Sebagai guru, meski humoris dan humble, murid-muridnya tetap menghormatinya dan tidak membantah ucapannya secara arogan. Sering sih mereka mengeluh tetapi bukan berarti tidak melaksanakan. Itu yang membuat ibu Devina sedang dengan kelas mereka.
"Ketua kelas, silakan pimpin!" titah ibu Devina, mengakhiri.
"Mari kita berdoa sesuai ajaran agama masing-masing," ucap ketua kelas setelah mengangguk kepada ibu Devina.
Beberapa menit kemudian....
"Berdiri! Beri hormat!"
"Selamat siang, buuuuuu!"
"Selamat siang anak-anak. Silakan pulang ke rumah masing-masing. Jangan singgah lagi kemana-mana ya. Ingat, orang tua kamu sedang menunggumu di rumah."
"Baik, buuuuu."
Secara bergiliran, anak-anak mohon ijin kepada ibu Devina. Untuk yang perempuan ada yang memeluk, mencium pipi kiri dan kanan. Untuk laki-laki, bersalaman dan tos. Ada pula yang minta joget. Sesuai dengan ragam instruksi yang ada terlukis di samping pintu. Jadi sesuai mood anak-anak. Mereka sendiri yang memilih.
Niki, sengaja mundur ke belakang agar ia yang paling terakhir bersalaman dengan ibu Devina. Selain itu, ia ingin tepat berada di belakang Nata. Agak lain memang itu anak. Teman-temannya yang lain ingin segera sampai rumah karena sudah lapar. Sedangkan Niki, mengulur waktu agar bisa lebih lama memandang pujaan hatinya, lebih baik menahan lapar.
"Niki, Nata, Salim dan Sandra, bapak Andrew meminta kalian untuk menghadap ke ruangannya sekarang. Beliau baru saja mengirimkan pesan ke ibu," ucap ibu Devina, memberitahu keempat orang itu.
Alam memang bersahabat dengan Niki. Ia malah mendukung Niki agar bisa berlama-lama dengan Nata, pujaan hatinya. Cinta pertamanya.
"Beda hal dengan Salim dan Sandra. Mereka ingin segera pulang. Kesal karena disuruh menghadap ke ruangan guru fisika mereka, pak Andrew.
...\=\=\=ooo0ooo\=\=\=...
Tok tok tok
"Masuk!" suara bass dari dalam menyahuti suatu ketukan pintu tersebut.
"Selamat siang, pak. Permisi, kami...."
"Oh, kalian. Mari, duduk!" titah pak Andrew sembari tersenyum. Menyambut empat muridnya, juru kunci mata pelajaran fisika di sekolah tersebut.
"Santai saja. Jangan takut. Bapak belum ganti makanan pokok kok. Masih tetap nasi, belum orang," ucap pak Andrew, mencoba membuat lelucon agar suasana tidak tegang.
Ternyata guyonan pak Andrew tidak lucu sama sekali bagi mereka. Karena memang mimik wajah kak Andrew sangat tidak meyakinkan. Mencoba bercanda tapi mimiknya malah serius. Jadi mereka bingung. Mau serius atau bercanda.
Sandra dan Niki saling colek mencolek. Saling menyuruh untuk bicara, menanyakan apa hal mereka di panggil ke ruangan pak Andrew.
Sama, Nata dan Salim pun begitu. Tidak ada diantara mereka yang ingin memulai membicarakan, apa yang menjadi topik pembahasan mereka kali ini.
"Ada apa, Niki?"
"Hah? Sa-saya, pak?"
"Iya, kamu. Dari tadi bapak lihat kamu tidak tenang duduknya. Apa yang membuat mu tidak nyaman?"
"Nggak ada, pak. Saya merasa aman dan nyaman seratus persen "
"Yakin?" tanya pak Andrew memastikan sekali lagi.
"Iya, pak. Saya yakin."
"Syukurlah."
"Begini, pak. Jika memang ada yang perlu, bapak sampai kan, boleh kita mulai, pak? Karena bapak tau sendiri, ini sudah siang dan kami sudah lapar.. Boleh ya, pak? " Niki mencoba bernegosiasi dengan pak Andrew.
"Baiklah."
to be continue....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments