Happy Reading!
"Baiklah anak-anak ibu, pelajaran kita hari ini adalah puisi. Ada yang pernah mendengar istilah puisi?"
"Ada, Bu," sahut para siswa dengan angkat antusias.
"Ada yang bisa menjelaskan apa itu puisi, bagian-bagiannya atau ciri-cirinya?"
"Busyet, banyak banget," ucap Salim protes.
Memberikan kritik dan saran kepada ibu guru Devina, bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka. Karena Bu Devina adalah guru yang paling terbuka akan siswanya dan humble. Ada kalanya ia menjadikan siswa itu sebagai temannya.
"Ibu tau, puisi adalah pelajaran bahasa Indonesia yang tidak pernah berhenti di bahas sejak kamu menginjakkan kakimu di bangku SD, SMP, hingga SMA seperti saat ini."
"Ketika kalian SD, sudah disinggung mengenai puisi. Tetapi belum terlalu mendalam. Nah ketika SMP, kalian sudah mulai membuat puisi. Betul apa betul?"
Ibu Devina dengan sabar menjelaskan materi pelajaran bahasa Indonesia pada hari ini. Tak ada satupun kelas itu yang mengantuk. Mereka terlihat bersemangat. Dengan candaan Bu Devina, mereka merasa nyaman belajar. Karena Bu Devina mengajar dengan berbagai metode. Tidak monoton, tidak hanya ceramah atau catat buku sampai habis.
Bu Devina juga tidak pernah membedakan murid-muridnya. Karena baginya setiap murid unik, memliki karakter dan intelektual yang berbeda. Saya tangkap setiap anak pun tentu saja berbeda. Ia yakin dengan sangat akan hal itu.
Di samping itu, Bu Devina juga sesekali memberikan reward berupa makanan yang ia masak sendiri untuk murid-muridnya. Selain itu, pujian juga sering ia beri untuk menghargai muridnya sekecil apapun usaha yang sudah ia kerjakan.
"Betul, bu." Mereka dengan serentak menyahut lagi.
"Siapa yang bisa menjelaskan pertanyaan ibu tadi, bisa berdiri di tempat dan menjelaskan kepada teman-teman."
Seorang siswa berdiri. Lalu menjelaskan kepada teman-temannya dengan bahasanya sendiri. Begitulah keseruan di kelas XI ini, saat pelajaran bahasa Indonesia.
Lalu ibu Devina pun memberikan reinforcement tentang puisi tersebut. Bahkan memberikan beberapa contoh secara reflek puisi yang ia karang sendiri.
"Sekarang, tugas kalian adalah membuat satu puisi dengan tema cinta. Ibu beri waktu satu jam pelajaran untuk membuat puisi tersebut. Dan nanti setelah puisinya selesai, akan kalian presentasikan di depan kelas. Agar teman-teman kalian bisa mendengar, memberikan kritik dan saran apabila masih ada yang harus diperbaiki. Bisa? Ibu yakin bisa. Anak-anak ibu kan cerdas semua."
...\=\=\=ooo0ooo\=\=\=...
"Waktu sudah habis. Ayo, siapa yang mau maju duluan?" Ibu Devina memberitahu sekaligus bertanya kepada murid-muridnya itu.
"Saya, bu," jawab suara perempuan, memecah keheningan di dalam kelas tersebut. Seketika semuanya bersorak gembira, karena ada teman yang mewakili mereka mengawali presentasinya.
Ada beberapa siswa yang menganut paham bahwa yang pertama tampil adalah menakutkan, tidak percaya diri. Namun bila sudah ada yang memulai, maka dengan sendirinya mereka pun akan mengalir bergiliran sesuai ingin mereka.
"Kamu, Niki? Tumben?"
Ibu Devina sedikit heran dengan muridnya yang satu ini. Ia tau bahwa Niki bukan ahli dalam bahasa Indonesia. Bukan berarti ia benci dengan pelajaran itu. Meski nilainya tak pernah diatas tujuh akan mata pelajaran itu.
Hal itu membuktikan bahwa Niki pas-pasan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Dan hari ini, tidak biasanya ia selesai duluan akan tugas yang diberi ibu Devina. Biasanya, Dea dan Nino lah yang selalu duluan. Karena mereka kentara sekali, menyukai pelajaran yang satu ini.
"Beneran sudah selesai kamu?" tanya ibu Devina lagi meyakinkan Niki.
"Iya, bu. Saya sudah selesai. Ibu bisa memeriksanya kalau tidak percaya."
Merasa ada yang tidak beres dengan Niki, ibu Devina pun melangkahkan kakinya menuju bangku dimana Niki berada. Tepat di sebelah meja Nata, di meja urutan ketiga dari depan. Niki dan Nata hanya dipisahkan oleh lorong kecil. Di samping kiri Niki ada Sandra.
Sandra juga tak kalah terkejut dengan ucapan pasti dari Niki. Ia sampai memelototkan matanya saat Niki mengatakan kalau ia sudah selesai dan siap untuk persentasi duluan.
"Pinjam buku catatan kamu," ucap ibu Devina.
Niki langsung menyodorkan buku catatannya kepada ibu Devina.
Bu Devina pun manggut-manggut setelah membaca puisi Niki. Sudah ada empat bait. Dan kalimatnya sungguh puitis. Itu terlihat dari senyum ibu Devina yang begitu manis usai membaca puisi coretan Niki.
Dengan langkah hati-hati karena sepatu pancus heelsnya, juga dengan lantai keramik yang licin, suara heels Bu Devina cukup menyita perhatian para murid. Suara heelsnya yang khas yang tentunya sudah mereka hapal di dalam kepala. Bukan di luar kepala. Kan hilang kalau di luar kepala.
Ibu Devina adalah guru favorit mereka, yang jauh dari kata killer seperti guru kimia atau guru matematika.
"Saya maju ya, Bu?" ucap Niki, terlihat tidak sabaran. Sontak perhatian teman-temannya menjadi terfokus kepadanya.
"Oh ya, silakan!"
Dengan senyum, ibu Devina mengangguk mempersilakan muridnya yang apa adanya itu maju ke depan. Dan disambut sorak sorai oleh teman-temannya.
Lalu gimana dengan Nata? Ya, biasalah. Dia tak peduli. Ia lebih memilih sibuk dengan buku fisikanya. Buku bahasa Indonesianya ia letakkan di samping sebelah kanannya. Ia memang sudah selesai dengan puisinya.
You are my everything
Karya Nikita Demora
Kelas XI Fisika 1
Niki memulai membaca judul dan penulis dari puisi itu sendiri.
You are my sunshine
Kau hadir dalam hati yang dingin
Memberi kehangatan dalam setiap langkah ku
Kau bagai bintang yang bersinar di malam hari
Yang mampu menyinari hatiku yang telah lama meredup
You are my everything
Kau yang pertama singgah di hati ini
Hati yang belum pernah tersentuh oleh hangatnya cinta
Kau hadir tanpa bisa ku terka dalam dada
Bagai sinar mentari yang memberi kehangatan di hidupku
You are my everything
Senyummu bagai candu untukku
Mengalihkan duniaku dari segala kesuraman
Trimakasih cinta
Trimakasih atas hadirmu dalam hidupku
Mengisi sukma ku
You are my everything
Kan ku jaga hati ini hanya untukmu
Pangeran kodok ku yang selalu bersemayam dalam sukma
Mencintaimu dalam diam pun aku rela
Asal kau bahagia
Maka aku kan bahagia
NP
Huuuuuu
Sorak dari teman-temannya dan tepuk tangan menggema di ruangan itu. Ruangan yang selalu tertutup karena adanya pendingin ruangan.
Niki mengakhiri puisinya dengan senyum sumringahnya. Pandangannya mengarah ke meja Nata Berharap orang yang dipandang terbawa rasa oleh puisinya Membuat teman-teman sekelasnya bersorak ria, bertepuk tangan. Memberi support untuk gadis yang sedang memuja, mendamba, mencinta dalam diam.
Tapi apa, semuanya tak sesuai ekspektasi. Nata tak melirik kearahnya sedikit pun. Tak ada bereaksi sedikit pun. Tidak bertepuk juga tidak bersorak. Sedang Sandra, melongo dengan isi puisi Niki. Terlalu berlebihan menurutnya sahabatnya yang satu itu.
To be Continue....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments