Gadis Aneh Kesayangan Nathan
"Bro, ulang tahunmu, kan, dua hari lagi. Mau dirayain di mana?" Seorang pria berambut gondrong bertanya pada si pria berambut klimis di sampingnya.
"Nggak ada rencana rayain, sih! Toh udah dewasa gini." Si pria berambut klimis itu menjawab sembari menghisap nikotin di tangannya.
"Nggak yakin. Om Hisyam sama Tante Fifi pasti bakal rayain. Ini Nathan Danar Al-Hisyam, putra tunggal keluarga Rajendra Damar Al-Hisyam. Mana mungkin ulang tahunnya dibiarkan tanpa ada perayaan." Si pria dengan pirang biru mencolok di rambutnya menyambut jawaban sohibnya itu. Dia tertawa kecil, Nathan itu anak tunggal yang berasal dari keluarga kaya raya. Tante Fifi dan Om Hisyam juga selalu royal kalau itu soal Nathan. Mau sedewasa apapun Nathan, di mata mereka Nathan tetaplah si kecil manja yang suka merengek jika hari ulang tahunnya tak dirayakan. Padahal, kejadian Nathan merengek karena ulang tahunnya hanya biasa-biasa saja itu saat Nathan masih TK.
"Aku sih tergantung Bokap Nyokap, semoga aja tahun ini mereka nggak buat pesta segede tahun lalu." Ucapan Nathan disambut tawa kedua sahabatnya--Neo dan Daniel. Bayangkan, di ulang tahun Nathan yang ke dua puluh, orang tuanya merayakan besar-besaran, sampai mengundang artis segala. Kata mereka angka dua puluh itu spesial, karena berarti Nathan sudah mulai memasuki tahap dewasa. Sementara Nathan, hanya mampu berpasrah diri, bahkan menahan malu karena ledekan sahabat-sahabatnya. Belum lagi, satu kampus diundang sama orang tuanya.
"Gimana kalau nanti kita rayain di Apartemen kamu, Nat?" Neo mengusulkan, yang diangguki Daniel dengan semangat.
"Setuju, Nat! Sekali-kali, kan! Kita minum-minum di sana, terus ngundang cewek juga."
"Heh, apaan ngundang cewek? Ketahuan nyokapnya Nathan bisa habis kita." Neo melemparkan bungkus rokok di atas meja ke arah Daniel yang duduk di depannya.
"Ya, kan, nggak apa-apa. Itu salah satu bentuk kedewasaan kali. Kan udah dua puluh satu, usia legal, ini!"
Nathan tertawa mendengar ucapan Daniel. Sementara Neo mengelus-ngelus dadanya berusaha sabar. "Astagfirullah, Niel, istighfar! Dosa itu! Legal-legal apaan, biarpun usia kami udah tua juga, kalau yang namanya zina tetap aja dosa."
"Ngapain nyuruh istighfar orang yang nggak percaya Tuhan macam Daniel?!"
Neo mengangguk, "iya juga, ya? Si Daniel kan nggak percaya Tuhan."
Daniel yang dibahas malah mendengus. Daniel adalah anak dari pernikahan beda agama. Ayahnya muslim, Ibunya Kristen. Saat dia umur 5 tahun, orang tuanya cerai, dan dia ikut Ayahnya. Meskipun begitu, hubungannya dengan sang ayah tidak terlalu baik. Saat sekolah, dia bahkan bingung ketika ditanya agamanya apa. Mau bilang Kristen, tapi dia nggak tahu apa-apa soal Kristen. Mau bilang Islam pun, ayahnya tak pernah mengajarkannya agama dan bahkan tak pernah melihat sang ayah melakukan kewajibannya layaknya seorang muslim. Di laporan pendidikan, agamanya tertera Islam hanya karena ikut di kartu keluarga saja.
Daniel, Neo dan Nathan itu berteman sejak SD. Rumah mereka masih satu komplek, dan setiap lulus mereka selalu sepakat masuk di sekolah yang sama. Bahkan sampai kuliah, meskipun jurusannya berbeda-beda.
"Oh ya, Ayah kamu gimana, Dan, keadaannya?" tanya Nathan, teringat ayah sahabatnya itu yang katanya Minggu lalu masuk Rumah Sakit.
"Udah baikan, dia. Kan dirawat sama istri mudanya," jawab Daniel malas. Ayah Daniel memang suka gonta-ganti istri. Dua bulan lalu baru selesai cerai, terus selang tiga Minggu udah nikah lagi, sama perempuan yang umurnya bahkan cuma dua tahun di atas Daniel. Katanya perempuan itu anak baru di kantor bokapnya Daniel. Fresh graduate yang ternyata masuk sana malah ngincar posisi jadi istri bos.
"Makanya Dan, jangan mau kalah sama Bokap. Cari yang lebih muda dari istrinya, terus bawah ke rumah. Pamerin ke dia."
"Sesat! Sesat! Baru tadi aja nyuruh Daniel istighfar, sekarang malah nyaranin ajaran sesat." Nathan menimpuk Neo dengan bungkus rokok yang tadi dilemparkan Neo pada Daniel. "Udah ah, aku mau pulang! Baik-baik deh, kalian berdua. Bidadari ceriwis pasti bakal ngomel kalau aku terlambat pulang!" Nathan berpamitan dari apartemen Neo untuk pulang duluan.
"Didengar tante Fifi tahu rasa, Nat!"
Nathan hanya tertawa mendengar ucapan Daniel. Pria itu melangkah keluar dari apartemen Neo, tujuannya adalah rumah. Saat lulus SMA, tiga sahabat itu memang membeli apartemen di unit yang sama. Hanya saja, Nathan jarang di apartemennya karena memilih pulang ke rumah. Sedangkan Neo hanya sesekali pulang, dan Daniel yang jelas lebih memilih di apartemen daripada di rumah dan melihat kemesraan sang ayah dengan wanita-wanitanya.
Satpam rumah baru saja membukakan pintu gerbang untuk mobil Nathan masuk, ternyata mobil milik Papanya ada di belakang mobil miliknya. Nathan melirik lewat kaca spion, mengerutkan dahi karena setahunya hari libur seperti ini kedua orang tuanya tak akan ke mana-mana. Meski begitu, dia tetap lanjut membawa mobilnya ke garasi.
Setelah selesai, Nathan langsung memasuki rumah dan menjatuhkan diri di atas sofa yang terletak di ruang keluarga. Mendengar suara Mama dan Papanya yang tengah berbicara, Nathan berbalik ke belakang.
"Papa sama Mama dari mana?" tanya Nathan.
"Oh, tadi ada kepentingan di luar," jawab Fifi. Wanita paruh baya itu kemudian berbalik ke belakang, dan menarik seorang gadis yang keberadaannya tadi tak disadari Nathan karena terhalang tubuh kedua orang tuanya.
"Sini, sayang!" ucap wanita itu dengan lembut. Nathan menautkan alisnya, memandangi perempuan dengan rambut terurai yang sedang menunduk memperhatikan sepatunya tersebut. Wajah perempuan itu tak terlihat, karena terhalang rambutnya yang terurai di kedua sisi.
Nathan bangkit dari posisinya, memilih mendekat. "Dia siapa, Ma? Pelayan baru?" Nathan meneliti penampilan gadis itu.
Fifi langsung menepuk pundak anaknya. "Stt! Bukan! sembarangan kamu!" ujar wanita paruh baya itu dengan raut kesal.
"Ya terus siapa? Oh, anak jalanan yang mau ngambil baju sumbangan dari Mama?" tanya Nathan lagi membuat Fifi semakin menampakkan wajah kesalnya.
"Dia Sukma. Mulai saat ini, dia akan tinggal di sini. Dengan kata lain, jadi adik kamu dan anak dari Mama dan Papa." Hisyam memilih mengatakannya langsung, daripada Nathan menebak dengan tebakan aneh-aneh.
"Hah?" Nathan terdiam sejenak untuk berpikir. "Maksudnya Mama sama Papa ngangkat dia jadi anak, gitu?"
Hisyam mengangguk, sementara Fifi langsung tersenyum ke arah anaknya dan mengangguk dengan semangat.
Nathan langsung syok melihat pembenaran dari kedua orang tuanya. "Ma, Pa, jangan aneh-aneh, deh!"
Fifi lantas kembali cemberut. "Aneh-aneh gimana sih, maksud kamu?"
"Ya masa kalian ngambil anak angkat saat umur aku udah dua puluh tahun? Kenapa nggak dari dulu aja, coba?"
"Ya, Mama sadarnya nanti sekarang. Tahu nggak sih, boy, Mama.itu sering kesepian di rumah. Papa kamu sibuk kerja, kamu kalau nggak kuliah sibuknya sama dua teman kampret kamu itu. Kalau ada Sukma, Mama bisa lega, ada teman ngobrol di rumah," jelas Fifi dengan wajah berbinar.
"Kan ada banyak pelayan, Ma, untuk nemanin Mama ngobrol."
"Nggak sama, Nathan. Ini, kan, kalau Sukma anak Mama. Jadi pasti lebih nyambung obrolannya."
"Nggak! Pokoknya, aku nggak setuju Mama sama Papa ngangkat dia jadi anak." Nathan menunjuk Sukma dengan telunjuknya, dan malah ditepis sama Mamanya.
"Issh, jangan nunjuk-nunjuk, Nathan. Nggak sopan, meskipun dia itu adik kamu."
"Udah, Nat, Udah! Sekarang, kita lebih baik duduk, ya? Kita ngobrol baik-baik, okay?" Hisyam berusaha membujuk sang anak dan istrinya yang kini memamerkan wajah agar pada Nathan. Beginilah keadaan Hisyam selama ini. Di kantor dia jadi bawahan yang disegani, tapi di rumah malah berubah layaknya seorang ibu yang mengurus dua anaknya yang masih berumur dua tahun.
"Ayo, sayang!" Nathan melotot ke arah Mamanya, saat mendengar Mamanya selalu memanggil gadis itu dengan panggilan sayang.
"Pokoknya, aku nggak setuju!" Nathan kemudian berbalik, bukannya duduk di sofa seperti yang diminta Hisyam, pria itu malah naik ke tangga untuk menuju kamarnya.
"Lihat, tuh! Udah dewasa malah suka ngambek," cibir Fifi.
"Ma, udah, ya. Nathan cuma syok aja, kita ngasih tahunya mendadak. Kita bujuk Nathan baik-baik, dia pasti luluh."
"Sekarang, Mama mending ngantar Sukma ke kamarnya. Dia juga pasti capek, nempuh perjalanan jauh," suruh Hisyam yang langsung dituruti Fifi.
"Ayo, sayang! Dengar, kan, kata Papa. Kakak kamu itu cuma syok aja. Nanti juga dia pasti bakal luluh, kalau dia liat tampang imut kamu." Fifi menarik tangan gadis itu dengan lembut menuju kamar yang sudah mereka persiapkan sebelumnya untuk ditempati Sukma.
Di saat yang sama, Nathan malah membanting bantalnya berkali-kali di atas kasur karena kesal. "Apa-apaan, ngangkat anak? Di saat aku udah Segede ini? Sebenarnya, Mama sama Papa itu lagi kesambet apa gimana?"
"Ah, atau jangan-jangan gadis itu penyihir yang menyamar? Bisa-bisanya mereka udah kelihatan sesayang itu kalau bukan karena dijampi-jampi?"
"Lagian, kalau mau ngangkat anak, kan bisa yang masih bayi. Ahhh!! Pusing!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
2023-09-23
1
Dinnost
Nathan be like: Itu milikku mama
2023-06-26
2
Dinnost
tipe2 perempuan malas bekerja keras.. mau yg jalur ekspres
2023-06-26
2