"Bro, ulang tahunmu, kan, dua hari lagi. Mau dirayain di mana?" Seorang pria berambut gondrong bertanya pada si pria berambut klimis di sampingnya.
"Nggak ada rencana rayain, sih! Toh udah dewasa gini." Si pria berambut klimis itu menjawab sembari menghisap nikotin di tangannya.
"Nggak yakin. Om Hisyam sama Tante Fifi pasti bakal rayain. Ini Nathan Danar Al-Hisyam, putra tunggal keluarga Rajendra Damar Al-Hisyam. Mana mungkin ulang tahunnya dibiarkan tanpa ada perayaan." Si pria dengan pirang biru mencolok di rambutnya menyambut jawaban sohibnya itu. Dia tertawa kecil, Nathan itu anak tunggal yang berasal dari keluarga kaya raya. Tante Fifi dan Om Hisyam juga selalu royal kalau itu soal Nathan. Mau sedewasa apapun Nathan, di mata mereka Nathan tetaplah si kecil manja yang suka merengek jika hari ulang tahunnya tak dirayakan. Padahal, kejadian Nathan merengek karena ulang tahunnya hanya biasa-biasa saja itu saat Nathan masih TK.
"Aku sih tergantung Bokap Nyokap, semoga aja tahun ini mereka nggak buat pesta segede tahun lalu." Ucapan Nathan disambut tawa kedua sahabatnya--Neo dan Daniel. Bayangkan, di ulang tahun Nathan yang ke dua puluh, orang tuanya merayakan besar-besaran, sampai mengundang artis segala. Kata mereka angka dua puluh itu spesial, karena berarti Nathan sudah mulai memasuki tahap dewasa. Sementara Nathan, hanya mampu berpasrah diri, bahkan menahan malu karena ledekan sahabat-sahabatnya. Belum lagi, satu kampus diundang sama orang tuanya.
"Gimana kalau nanti kita rayain di Apartemen kamu, Nat?" Neo mengusulkan, yang diangguki Daniel dengan semangat.
"Setuju, Nat! Sekali-kali, kan! Kita minum-minum di sana, terus ngundang cewek juga."
"Heh, apaan ngundang cewek? Ketahuan nyokapnya Nathan bisa habis kita." Neo melemparkan bungkus rokok di atas meja ke arah Daniel yang duduk di depannya.
"Ya, kan, nggak apa-apa. Itu salah satu bentuk kedewasaan kali. Kan udah dua puluh satu, usia legal, ini!"
Nathan tertawa mendengar ucapan Daniel. Sementara Neo mengelus-ngelus dadanya berusaha sabar. "Astagfirullah, Niel, istighfar! Dosa itu! Legal-legal apaan, biarpun usia kami udah tua juga, kalau yang namanya zina tetap aja dosa."
"Ngapain nyuruh istighfar orang yang nggak percaya Tuhan macam Daniel?!"
Neo mengangguk, "iya juga, ya? Si Daniel kan nggak percaya Tuhan."
Daniel yang dibahas malah mendengus. Daniel adalah anak dari pernikahan beda agama. Ayahnya muslim, Ibunya Kristen. Saat dia umur 5 tahun, orang tuanya cerai, dan dia ikut Ayahnya. Meskipun begitu, hubungannya dengan sang ayah tidak terlalu baik. Saat sekolah, dia bahkan bingung ketika ditanya agamanya apa. Mau bilang Kristen, tapi dia nggak tahu apa-apa soal Kristen. Mau bilang Islam pun, ayahnya tak pernah mengajarkannya agama dan bahkan tak pernah melihat sang ayah melakukan kewajibannya layaknya seorang muslim. Di laporan pendidikan, agamanya tertera Islam hanya karena ikut di kartu keluarga saja.
Daniel, Neo dan Nathan itu berteman sejak SD. Rumah mereka masih satu komplek, dan setiap lulus mereka selalu sepakat masuk di sekolah yang sama. Bahkan sampai kuliah, meskipun jurusannya berbeda-beda.
"Oh ya, Ayah kamu gimana, Dan, keadaannya?" tanya Nathan, teringat ayah sahabatnya itu yang katanya Minggu lalu masuk Rumah Sakit.
"Udah baikan, dia. Kan dirawat sama istri mudanya," jawab Daniel malas. Ayah Daniel memang suka gonta-ganti istri. Dua bulan lalu baru selesai cerai, terus selang tiga Minggu udah nikah lagi, sama perempuan yang umurnya bahkan cuma dua tahun di atas Daniel. Katanya perempuan itu anak baru di kantor bokapnya Daniel. Fresh graduate yang ternyata masuk sana malah ngincar posisi jadi istri bos.
"Makanya Dan, jangan mau kalah sama Bokap. Cari yang lebih muda dari istrinya, terus bawah ke rumah. Pamerin ke dia."
"Sesat! Sesat! Baru tadi aja nyuruh Daniel istighfar, sekarang malah nyaranin ajaran sesat." Nathan menimpuk Neo dengan bungkus rokok yang tadi dilemparkan Neo pada Daniel. "Udah ah, aku mau pulang! Baik-baik deh, kalian berdua. Bidadari ceriwis pasti bakal ngomel kalau aku terlambat pulang!" Nathan berpamitan dari apartemen Neo untuk pulang duluan.
"Didengar tante Fifi tahu rasa, Nat!"
Nathan hanya tertawa mendengar ucapan Daniel. Pria itu melangkah keluar dari apartemen Neo, tujuannya adalah rumah. Saat lulus SMA, tiga sahabat itu memang membeli apartemen di unit yang sama. Hanya saja, Nathan jarang di apartemennya karena memilih pulang ke rumah. Sedangkan Neo hanya sesekali pulang, dan Daniel yang jelas lebih memilih di apartemen daripada di rumah dan melihat kemesraan sang ayah dengan wanita-wanitanya.
Satpam rumah baru saja membukakan pintu gerbang untuk mobil Nathan masuk, ternyata mobil milik Papanya ada di belakang mobil miliknya. Nathan melirik lewat kaca spion, mengerutkan dahi karena setahunya hari libur seperti ini kedua orang tuanya tak akan ke mana-mana. Meski begitu, dia tetap lanjut membawa mobilnya ke garasi.
Setelah selesai, Nathan langsung memasuki rumah dan menjatuhkan diri di atas sofa yang terletak di ruang keluarga. Mendengar suara Mama dan Papanya yang tengah berbicara, Nathan berbalik ke belakang.
"Papa sama Mama dari mana?" tanya Nathan.
"Oh, tadi ada kepentingan di luar," jawab Fifi. Wanita paruh baya itu kemudian berbalik ke belakang, dan menarik seorang gadis yang keberadaannya tadi tak disadari Nathan karena terhalang tubuh kedua orang tuanya.
"Sini, sayang!" ucap wanita itu dengan lembut. Nathan menautkan alisnya, memandangi perempuan dengan rambut terurai yang sedang menunduk memperhatikan sepatunya tersebut. Wajah perempuan itu tak terlihat, karena terhalang rambutnya yang terurai di kedua sisi.
Nathan bangkit dari posisinya, memilih mendekat. "Dia siapa, Ma? Pelayan baru?" Nathan meneliti penampilan gadis itu.
Fifi langsung menepuk pundak anaknya. "Stt! Bukan! sembarangan kamu!" ujar wanita paruh baya itu dengan raut kesal.
"Ya terus siapa? Oh, anak jalanan yang mau ngambil baju sumbangan dari Mama?" tanya Nathan lagi membuat Fifi semakin menampakkan wajah kesalnya.
"Dia Sukma. Mulai saat ini, dia akan tinggal di sini. Dengan kata lain, jadi adik kamu dan anak dari Mama dan Papa." Hisyam memilih mengatakannya langsung, daripada Nathan menebak dengan tebakan aneh-aneh.
"Hah?" Nathan terdiam sejenak untuk berpikir. "Maksudnya Mama sama Papa ngangkat dia jadi anak, gitu?"
Hisyam mengangguk, sementara Fifi langsung tersenyum ke arah anaknya dan mengangguk dengan semangat.
Nathan langsung syok melihat pembenaran dari kedua orang tuanya. "Ma, Pa, jangan aneh-aneh, deh!"
Fifi lantas kembali cemberut. "Aneh-aneh gimana sih, maksud kamu?"
"Ya masa kalian ngambil anak angkat saat umur aku udah dua puluh tahun? Kenapa nggak dari dulu aja, coba?"
"Ya, Mama sadarnya nanti sekarang. Tahu nggak sih, boy, Mama.itu sering kesepian di rumah. Papa kamu sibuk kerja, kamu kalau nggak kuliah sibuknya sama dua teman kampret kamu itu. Kalau ada Sukma, Mama bisa lega, ada teman ngobrol di rumah," jelas Fifi dengan wajah berbinar.
"Kan ada banyak pelayan, Ma, untuk nemanin Mama ngobrol."
"Nggak sama, Nathan. Ini, kan, kalau Sukma anak Mama. Jadi pasti lebih nyambung obrolannya."
"Nggak! Pokoknya, aku nggak setuju Mama sama Papa ngangkat dia jadi anak." Nathan menunjuk Sukma dengan telunjuknya, dan malah ditepis sama Mamanya.
"Issh, jangan nunjuk-nunjuk, Nathan. Nggak sopan, meskipun dia itu adik kamu."
"Udah, Nat, Udah! Sekarang, kita lebih baik duduk, ya? Kita ngobrol baik-baik, okay?" Hisyam berusaha membujuk sang anak dan istrinya yang kini memamerkan wajah agar pada Nathan. Beginilah keadaan Hisyam selama ini. Di kantor dia jadi bawahan yang disegani, tapi di rumah malah berubah layaknya seorang ibu yang mengurus dua anaknya yang masih berumur dua tahun.
"Ayo, sayang!" Nathan melotot ke arah Mamanya, saat mendengar Mamanya selalu memanggil gadis itu dengan panggilan sayang.
"Pokoknya, aku nggak setuju!" Nathan kemudian berbalik, bukannya duduk di sofa seperti yang diminta Hisyam, pria itu malah naik ke tangga untuk menuju kamarnya.
"Lihat, tuh! Udah dewasa malah suka ngambek," cibir Fifi.
"Ma, udah, ya. Nathan cuma syok aja, kita ngasih tahunya mendadak. Kita bujuk Nathan baik-baik, dia pasti luluh."
"Sekarang, Mama mending ngantar Sukma ke kamarnya. Dia juga pasti capek, nempuh perjalanan jauh," suruh Hisyam yang langsung dituruti Fifi.
"Ayo, sayang! Dengar, kan, kata Papa. Kakak kamu itu cuma syok aja. Nanti juga dia pasti bakal luluh, kalau dia liat tampang imut kamu." Fifi menarik tangan gadis itu dengan lembut menuju kamar yang sudah mereka persiapkan sebelumnya untuk ditempati Sukma.
Di saat yang sama, Nathan malah membanting bantalnya berkali-kali di atas kasur karena kesal. "Apa-apaan, ngangkat anak? Di saat aku udah Segede ini? Sebenarnya, Mama sama Papa itu lagi kesambet apa gimana?"
"Ah, atau jangan-jangan gadis itu penyihir yang menyamar? Bisa-bisanya mereka udah kelihatan sesayang itu kalau bukan karena dijampi-jampi?"
"Lagian, kalau mau ngangkat anak, kan bisa yang masih bayi. Ahhh!! Pusing!"
Namanya Sukma. Gadis malang yang hidup di panti asuhan dua tahun terakhir. Sukanya menyendiri, dan tak suka mendapat sentuhan dari orang lain. Dia jarang berbicara, tatapannya pun kosong. Suka duduk sembari memeluk lutut di sudut dinding kamar. Dunia baginya kelam, sekelam masa kecilnya dulu.
Dewi Sukma Ningrum, namanya sangatlah cantik, secantik wajahnya. Hanya saja, wajah itu sering terhalang rambutnya yang terurai di kedua sisi kepala. Dia tidak gila, hanya saja dia memiliki sedikit gangguan mental akibat trauma masa kecil yang disebabkan oleh orang-orang terdekatnya.
Sukma adalah korban dari kehidupan kejam rumah tangga yang tak memiliki persiapan. Mama dan Papanya menikah muda, lebih tepatnya sebelum keduanya lulus SMA. Mereka memutuskan untuk berhenti sekolah, dan malah memilih menjalani kehidupan rumah tangga. Orang tua lepas tangan, dan malah menyuruh keduanya menjauh dari keluarga dengan alasan agar mereka bisa mandiri. Pasangan yang dilanda cinta menggebu itu menurut, pergi jauh dari kampung halaman karena merasa mereka seakan dibuang. Mereka memilih merantau ke kota. Namun sayang, kehidupan kota bahkan lebih kejam dari omongan tetangga saat mereka memilih nikah muda dulu. Karena hanya memiliki ijazah SMP, ayah Sukma kesusahan mencari pekerjaan. Akhirnya, dia hanya menjadi tukang panggul barang di pasar.
Awalnya baik-baik saja. Pasangan muda tersebut begitu ikhlas menjalani kehidupan rumah tangga mereka yang bahkan lebih banyak pahitnya. Apalagi mereka memang dari keluarga mampu sebelumnya, menyesuaikan diri dengan keadaan jelas terasa menyiksa. Namun, mereka tetap berfikir tak apa, selagi mereka masih bersama.
Sayangnya, di bulan kedua, Ibu Sukma diberi karunia dari Tuhan. Si gadis muda tersebut hamil, padahal ekonomi mereka jelas belum membaik. Namun, meski demikian, mereka tetap berusaha tabah.
Sembilan bulan berlalu, Sukma akhirnya membuka mata untuk pertama kalinya di dunia. Di sanalah awalnya. Sukma kecil tak puas jika hanya meminum ASI. Kedua orang tuanya akhirnya memutuskan untuk membantu ASI dengan susu formula. Sayangnya, keputusan itu malah makin membuat pengeluaran mereka semakin banyak. Bukan sekali dua kali mereka bertengkar, saling teriak dan menyalahkan. Penyesalan demi penyesalan mulai bermunculan di otak. Ternyata, rumah tangga tak seindah yang mereka bayangkan. Rasa cinta pun mulai memudar. Setiap bertemu, hanya ada pertengkaran.
Puncaknya, saat Sukma berumur empat tahun. Ibu gadis itu yang sudah terlampau stres, malah gelap mata dan melampiaskan segala amarahnya pada si anak yang tak tahu apa-apa. Sukma yang saat itu tengah menangis karena merasa lapar, sementara sang ibu lagi menangis karena selesai bertengkar dengan suaminya yang pulang membawa uang tak cukup untuk sekedar membeli nasi sebungkus. Selesai bertengkar, ayah Sukma memilih menenangkan diri di luar, meninggalkan sang istri bersama putrinya. Tak disangka, Sukma malah nyaris meregang nyawa karena perbuatan ibunya sendiri. Wanita itu dengan kesal menghampiri Sukma kecil dan mencekiknya dengan kuat. Sembari menangis, dan menyalahkan kehadiran darah dagingnya sendiri. Andai saja anak itu tak ada, pasti dia dan suaminya masih akan tetap bahagia sebagaimana awal pernikahan mereka. Apalagi, banyak perubahan di tubuhnya setelah memiliki anak. Karena selama ini, kebutuhan Sukma dikedepankan, bahkan untuk membeli body lotion murah pun dia meniadakan, demi membeli susu formula untuk sang anak.
Beruntung, ayah Sukma yang memiliki firasat tak enak sejak awal, memilih untuk kembali cepat ke rumah. Matanya melotot saat melihat Sukma yang tengah dicekik oleh sang istri. Wajah anaknya sudah memerah dengan napas tersengal. Berusaha menyadarkan diri, pria itu berlari kencang ke arah istrinya. Berusaha melepaskan cengkraman sang istri di leher anaknya. Karena merasa panik akibat tangan sang istri susah lepas, dia melihat gelas yang ada di atas meja dan segera mengambilnya. Ia memecahkan gelas tersebut di kepala sang istri. Ibu Sukma yang sedari tadi seolah kerasukan, akhirnya jatuh ke atas lantai dengan darah yang membanjiri kepala.
Pria itu berusaha melakukan pertolongan pertama pada sang anak, dan segera membawa ke Rumah Sakit untuk ditangani dokter. Beruntungnya, nyawa gadis belia berumur 4 tahun itu bisa diselamatkan.
Tiga hari setelahnya, Sukma akhirnya bisa dibawa pulang. Pria itu bisa bernapas lega. Bahkan, dia melupakan keberadaan istrinya yang juga terluka tempo hari. Namun, dia sudah tak peduli lagi. Baginya, sudah cukup pemakluman yang ia berikan pada sang istri. Dia masih bisa dimarahi, dipukuli dan dicaci maki oleh istrinya itu meski terkadang dia juga lepas kontrol hingga mengeluarkan bentakan. Namun, saat sudah menyangkut anaknya, dia tidak akan tinggal diam. Dia tidak menyesal memukul kepala istrinya dengan gelas. Karena baginya, asal sang anak selamat, itu sudah cukup meskipun harus membuat nyawa wanita yang pernah ia cintai itu melayang.
Saat pulang ke rumah, dia sama sekali tak mendapati keberadaan sang istri. Yang ada, rumah tersebut tetap terbuka dan noda darah yang mengering ada di lantai. Entah istrinya itu diselamatkan tetangga atau mati sekalipun, dia sudah tidak peduli.
Sejak saat itu, dia berusaha merawat anaknya. Ayah muda itu bekerja ke pasar dengan membawa Sukma. Sukma kecil akan ia titipkan di penjual sayur yang memang dikenalnya saat dia akan memanggul bawaan orang. Sementara istrinya, tak ada kabar lagi semenjak insiden berdarah itu.
Semua berjalan seperti biasa. Ayah Sukma akhirnya tak disangka bertemu dengan orang baik yang menaruh iba padanya. Orang tersebut menawarkan ayah Sukma bekerja sebagai sopir di rumahnya. Sukma pun diijinkan untuk ikut setiap dia bekerja.
Tibalah saatnya Sukma sudah harus memasuki usia sekolah. Di sana, dia mulai menyadari kalau anaknya berbeda. Sukma hanya akan duduk diam di bangkunya, saat anak-anak lain dengan aktif berlari kesana-kemari. Gadis kecil itu juga akan berteriak dengan menampilkan ekspresi ketakutan saat seseorang menyentuhnya. Dia sadar, kalau anaknya itu terlihat normal hanya saat bersamanya.
Rasa bersalah kian tumbuh di dalam hati. Menyalahkan diri sendiri karena merasa bodoh menjadi ayah. Majikannya menyarankan agar Sukma dibawa ke psikiater, sayangnya setiap datang ke rumah sakit, Sukma akan semakin ketakutan dan membuatnya tidak tega. Akhirnya, dia memilih membiarkan Sukma dengan ketakutan tersebut. Dia lupa, kalau dirinya tak akan selamanya bersama sang anak.
Sukma kecil ternyata sangat pintar meski tak mau bergaul dengan orang lain. Gadis itu juga tetap siap berangkat ke sekolah, meskipun di sana dia sering mendengar kalau dirinya dikatai anak aneh. Dia hanya perlu menutup telinganya dengan rambut, menundukkan kepala, dan menganggap mereka tidak ada.
Saat Sukma kelas 3 SMP, ayahnya memilih untuk berhenti bekerja. Dia ingin memulai usaha kecil-kecilan di rumah. Sehingga ia juga tidak perlu sering meninggalkan anak malangnya yang ternyata tanpa terasa sudah beranjak remaja.
Ternyata, penderitaan tak berhenti mendekati gadis itu. Saat ia kelas X, ayahnya meninggal, korban tabrak lari saat dia menjajakan keliling jualannya. Di sana, mental Sukma semakin terganggu. Dia kehilangan satu-satunya cahaya yang ia miliki. Kini, dia merasa dunianya seketika menjadi kelam. Bahkan, sekedar bayangan saja tak terlihat di dunianya. Karena tak ada yang mengurus, Sukma akhirnya dibawa tetangga ke sebuah panti asuhan.
Dua tahun dia di sana. Seperti biasa, dia lebih suka mengurung diri di kamar, sembari memeluk lutut dan menundukkan kepala di sudut kamar. Tak pernah berbicara pada satu orang pun, bahkan ke ibu panti. Sekolahnya tak lagi lanjut, karena selain tak memiliki biaya, keadaannya tak memungkinkan. Beruntung, Ibu panti itu sangat baik hati. Dia berusaha merawat Sukma, membujuk gadis itu dengan lemah lembut. Beberapa orang menyarankan agar Sukma dibawa ke Rumah Sakit Jiwa saja, namun, Ibu panti menolak. Dia tak tega membiarkan gadis itu dibawa ke sana. Bisa saja, mentalnya akan semakin terganggu di sana.
Sukma memiliki kamar tersendiri, karena anak-anak panti malah takut dengannya. Yang datang ke sana hanya ibu panti, untuk mengantar makanan atau membujuk gadis itu mandi dan berganti pakaian.
Tuhan adalah pembuat skenario yang baik. Dia juga begitu baik pada hambanya. Hari itu, dia akhirnya mengirimkan seseorang yang bisa membuat Sukma berani mengangkat kepala dan mengeluarkan suara. Seorang wanita anggun dengan sikap keibuan yang terpancar jelas. Istri dari orang kaya pemilik panti asuhan. Wanita itu yang selama ini hanya mendengar Sukma dari cerita Ibu panti, akhirnya mengajukan diri untuk menemui Sukma untuk pertama kali. Dengan suara lembutnya, dia memanggil Sukma yang tengah menenggelamkan kepalanya di balik lengan. Seperti Baisa, gadis itu tengah berada di sudut ruangan.
Awalnya, Sukma tak merespon, namun si ibu tak menyerah. Hari berikutnya dia selalu datang ke sana, berusaha mengajak Sukma untuk bicara. Ada kemajuan, Sukma menurut padanya saat disuruh makan dan mandi serta berganti pakaian, layaknya Sukma yang merespon Ibu Panti. Hari ke lima, wanita itu sangat gembira. Karena Sukma mengangkat wajah ketika dia memutarkan lagu anak-anak di ponsel miliknya. Lagu anak yang berjudul 'sayang semuanya' itu berhasil membuat Sukma membiarkan wajah ayunya itu terlihat. Akhirnya, dia memilih menyanyikan sendiri lagu tersebut berulang kali, yang kemudian diikuti oleh Sukma. Sebulan kemudian, banyak kemajuan pada diri Sukma karena wanita tersebut. Sukma sudah bisa bercerita padanya, meski tak seberapa. Dari yang ia tahu, lagu sayang semuanya itu adalah lagu yang sering dinyanyikan ayah si gadis malang itu dulu. Itulah yang menyebabkan Sukma seolah tertarik dari dunianya yang kelam saat dia mendengar lagu tersebut dinyanyikan. Bahkan, Sukma tak bereaksi ketakutan saat dia menyentuh gadis itu. Semisal saat dia menyisirkan rambut panjang Sukma yang ternyata terlihat indah ketika rapi.
Wanita itu terlanjur jatuh hati pada Sukma. Akhirnya dia mengatakan pada sang suami niatnya untuk mengangkat Sukma sebagai anak, karena anaknya hanya satu dan itu sudah dewasa. Sang suami yang memang sering mendengar cerita istrinya tentang gadis malang itu langsung setuju. Sang suami pun mulai melakukan pendekatan pada Sukma. Sukma mau merespon, hanya saja dengan kepala tertunduk karena merasa asing. Meski begitu, si pria paruh baya tersebut memaklumi saja.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Semua berkas yang diperlukan untuk mengesahkan Sukma sebagai anak angkat sudah diselesaikan. Tinggal membawa Sukma untuk tinggal bersama dan mengenalkan pada sang anak saja. Mereka yakin, sang anak pasti akan gembira ketika dibawakan adik cantik yang wajahnya bak boneka. Sayang, respon sang anak ternyata di luar dugaan. Anak mereka yang tak lain adalah Nathan itu malah menolak dengan keras, bahkan ngambek Samapi berhari-hari. Dua paruh baya tersebut tak terlalu ambil pusing. Bagi mereka, Nathan hanya syok saja. Dan mereka yakin, Nathan pasti akan menerima kehadiran Sukma di keluarga mereka secepatnya.
Nathan menuruni anak tangga menuju dapur. Perutnya terasa lapar karena tertidur sejak masuk kamar tadi. Pria itu mendengus kesal, bahkan Mamanya tak membangunkannya untuk makan malam. Gadis penyihir itu sudah merebut seluruh perhatian kedua orang tuanya.
Selesai makan malam, Nathan kembali menaiki anak tangga. Saat melewati kamar kosong di samping kamarnya yang selama ini selalu tertutup, langkah Nathan berhenti di saja karena melihat pintunya yang sedikit terbuka. Tiba-tiba saja, bulu kuduknya terasa merinding. Selama ini, dia tidak pernah mengalami kejadian horor di rumah ini. Tapi, malam ini kenapa terasa berbeda?
Mendekati pintu kamar dengan langkah perlahan, mengintip ke dalam dan..."HANTU!" teriaknya seketika.
Bagaimana tidak, di sudut kamar dia melihat seorang gadis dengan rambut tergerai tengah memeluk lutut. Ditambah lagi dengan sinar remang-remang dari lampu tidur membuat suasana kamar tersebut semakin terasa menakutkan.
Sementara Sukma yang diteriaki hantu oleh Nathan, langsung mendongak. Menatap pria yang tadi bersikap tak suka padanya itu dengan bingung.
"NATHAN? kamu ngapain, teriak-teriak tengah malam?" Fifi datang dengan berlari mendekati sang anak karena terkejut mendengar teriakan Nathan. Ia menatap anaknya itu bingung, karena kini Nathan sedang bersandar di dekat pintu dengan tubuh lemasnya.
"Ini, lagi, kenapa malah duduk di sini?" tanya Fifi lagi. Sedangkan Hisyam yang tadi juga mengikuti istrinya, malah masuk ke dalam kamar dan tersenyum kecil saat melihat ke sudut kamar. Di sana, Sukma tengah duduk dan memperhatikan mereka dengan wajah polosnya. Pasti gadis itu kebingungan akan kehadiran Nathan yang tiba-tiba dan malah meneriakinya hantu. Hisyam kini paham, kenapa istrinya itu ingin menjadikan Sukma sebagai anak mereka. Lihat saja wajah lugu dan manis gadis itu. Dia seolah anak kecil yang tak tahu apa-apa. Melihat wajah Sukma layaknya melihat wajah bayi polos yang belum memiliki dosa.
"Ha--hantu, Ma! Kamar ini berhantu!" ujar Nathan terbata.
Menyadari siapa yang dikatakan anaknya hantu, Fifi malah memukul bahu anaknya itu gemas. "Astaga! Mana ada hantu di sini. Itu Sukma, Nathan. Bukan hantu!"
Nathan langsung terdiam. Jadi, si nenek sihir itu suka cosplay jadi hantu juga? Pria itu segera berdiri, dan melihat ke dalam ruangan--lebih tepatnya ke tempat ia melihat hantu tadi. Dia langsung merasa kesal saat melihat Sukma dengan jelas di sana, karena lampu kamar sudah dinyalakan oleh Hisyam. Gadis itu sudah berdiri dari posisinya, dan seperti biasa, dia menundukkan kepala dengan bagian kiri dan kanan wajahnya tertutupi rambut.
"Astaga! Aku nggak habis pikir sama Mama, bisa-bisanya kalian ngambil anak angkat jelmaan hantu kaya dia. Aku bahkan nyaris jantungan, Ma!" ujarnya mengeluarkan kekesalan.
"Sembarangan kamu, ngatain adik sendiri."
"Dia bukan adik aku, Ma. Aku curiga, jangan-jangan dia anak kuntilanak. Serem ih, Ma! Pulangin dia, ya?" pintanya pada sang mama. Fifi mendengus kasar. "Daripada mulangin dia, mending Mama kandangin kamu." Nathan langsung melongo mendengar jawaban mamanya.
"Kejam banget ke anak sendiri."
"Ya kamunya juga, suka banget ngatain adiknya sendiri," balas Fifi tak mau kalah. "Lagian, kamu ngapain di sini, sih? Jangan bilang kamu mau ngintipin Sukma?" tanya Fifi curiga.
Nathan langsung menggeleng. "Ngapain coba aku ngintipin dia, Ma? Aku tadi dari dapur, terus lewat sini dan lihat pintunya kebuka. Pas lihat ke dalam, ada dia tuh, lagi cosplay jadi Kunti!"
Nathan kembali mendapat tepukan kencang di bahunya dari sang Ibu. "Udah dibilangin jangan ngatain dia Kunti. Dia itu adik kamu," ujar Fifi kesal.
"Ogah!" balas Nathan, kemudian langsung pergi dari sana. Dia benar-benar kesal dengan mamanya. Dapat Ilham dari mana coba, orang tuanya ngambil anak angkat seaneh si Roh Sukma itu?
Sepeninggal Nathan, Fifi memasuki kamar Sukma. Mendekati gadis itu yang masih berdiri diam di sudut kamar. Sepertinya, Hisyam masih kesulitan mendapat respon dari anak gadisnya itu.
"Sayang, hei! Kamu nggak apa-apa, kan?"
Sukma mendongak, menatap Fifi dan menggeleng pelan. "Kakak kamu itu kaget, karena sebelumnya kamar ini kosong. Jangan ambil hati ucapannya, ya? Dia baik kok, sebenarnya."
Sukma hanya mengangguk sebagai respon. Fifi kemudian menuntun Sukma menuju ranjang. "Sekarang, Sukma bobo, ya? Ini udah tengah malam, kamu harus tidur, oke?" Sukma tak merespon apa-apa, namun dia tetap mengikuti ibu angkatnya itu.
"Papa duluan ke kamar, ya, Ma! Mama sebaiknya temanin Suka di sini dulu. Nyanyiin aja lagu kesukaannya, siapa tahu dia bisa tidur."
Fifi langsung merespon ucapan suaminya dengan mata berbinar. "Oke, Pa. Mama coba dulu, semoga aja berhasil. Kasihan dia kalau nggak tidur, bisa-bisa matanya jadi mata panda."
Fifi akhirnya berbaring di samping Sukma. Mengelus dengan lembut rambut gadis itu sembari menyanyikan lagu 'sayang semuanya'. Sukma ikut bernyanyi dengan pelan. Namun, beberapa menit kemudian, mata gadis itu terlihat sayu dan akhirnya tertutup. Fifi menyimpulkan, kalau lagi itu ternyata punya pengaruh besar pada diri Sukma.
Fifi memandangi wajah Sukma yang tertidur damai. Dia menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah gadis itu. Dia sudah mendengar banyak tentang Sukma dari ibu panti, yang memang diceritakan oleh tetangga gadis itu dulu saat mengantarkannya ke Panti Asuhan. Hidup gadis itu begitu malang sejak kecil, membuat hati kecilnya tergerak untuk membahagiakan Sukma dan menghapus sedikit demi sedikit jejak kesedihan itu. Fifi juga begitu bersyukur pada Tuhan, karena memudahkan jalannya dalam mendekati Sukma. Gadis itu bisa merespon dirinya hanya karena tak sengaja memutarkan lagu anak berjudul 'sayang semuanya' ketika banyak usaha yang ia lakukan namun tak berpengaruh pada gadis malang tersebut.
"Takdirmu memang menyedihkan, Nak. Tapi, mulai sekarang, Mama janji, akan berusaha menggantikan kesedihan di masa kecilmu itu dengan kebahagiaan. Kamu gadis manis yang kuat. Karena itu, kamu berhak mendapatkan kebahagiaan setelah kepahitan hidup yang kamu jalani sejak kecil."
Selesai menidurkan Sukma, Fifi tidak langsung kembali ke kamarnya. Dia malah berjalan menuju kamar Nathan. Dia menggeleng pelan, saat melihat Nathan yang tengah duduk menyandar di sandaran ranjang dengan ponsel berada di tangannya. Pria itu tengah fokus memperhatikan layar dan tangan yang bergerak lincah serta sesekali mengomel kesal.
"Udah malam bukannya tidur, malah main game." Suara Fifi membuat Nathan mendongak.
"Mama ngapain?" tanya Nathan bingung.
"Mau lihat anak Mama aja. Emang nggak bisa?"
"Ckk! Bilang aja kalau Mama ke sini cuma mau bicarain masalah si Kunti. Kalau benar, mending Mama pergi aja. Aku belum mau bahas dia." Nathan langsung mematikan ponselnya, tak peduli mungkin saja dua sahabatnya yang tengah main bersama dia tengah mengumpat di seberang sana. Pria itu membaringkan diri dengan posisi memunggungi keberadaan sang mama. Dia masih kesal akan keputusan kedua orang tuanya itu.
"Oke, Mama nggak akan maksa kamu untuk Nerima dia secepatnya. Mama yakin, kok, kalau perlahan kamu pasti bisa nganggap dia keluarga kita. Kalau gitu, Mama pamit, ya. Maaf, Mama buat Nathan kesal hari ini." Setelah mengatakan itu, Fifi keluar dari sana, meninggalkan Nathan yang mendadak menyesal karena merasa kata-katanya mungkin sudah keterlaluan. Tapi, kan, dia kesal, gimana dong? Pria itu menggaruk kepalanya dengan kuat, merutuki dirinya sendiri yang kebingungan harus bagaimana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!