Nathan menelan kekecewaannya sendiri. Ingin rasanya Nathan memukul kepala kedua sahabatnya, karena gara-gara mereka Nathan jadi berharap kalau adik angkatnya itu hanya sekedar prank yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Malam ini, makan malam memang dilakukan seperti yang dikatakan mamanya semalam. Yang diundang hanya Neo dan Daniel seperti kemauan Nathan. Hanya saja, ternyata orang tuanya juga memperkenalkan gadis aneh itu sebagai adiknya pada Neo dan Daniel.
Kedua sahabat Nathan itu juga sebenarnya sedikit heran, karena yang mereka jalani hanya makan malam biasa saja. Nathan diberikan kue yang terdapat lilin angka di sana, dan meniup lilin tersebut sebelum makan malam. Mereka pun mengucapkan selamat ulang tahun, dan menanyakan barang apa yang ingin dimiliki pria itu. Ya, hanya seperti itu.
Neo dan Daniel bahkan tak seribut biasanya. Saat makan malam berlangsung, keduanya diam-diam mengamati adik angkat Nathan itu. Benar apa yang dikatakan Nathan, gadis itu terlihat sangat aneh. Wajahnya tak terlihat. Tangan Daniel bahkan sudah gemas ingin menyingkirkan anak rambut Sukma ketika gadis itu menyuapkan makanan ke dalam mulut sembari tertunduk memperhatikan piring. Mereka heran, Tante Fifi mendapatkan gadis ini dari mana. Sekali lihat saja, mereka merasa bahwa gadis itu ada yang berbeda. Dia terlihat seperti gadis kurang normal. Lalu, apa alasan orang tua Nathan mengangkatnya jadi anak?
Setelah makan malam, Fifi berpamitan untuk mengantarkan Sukma ke kamar. Mungkin wanita itu menyadari ketidak nyamanan Sukma.
"Jadi, dia bukan prank?" tanya Nathan pada Hisyam. Keempat orang pria itu telah berpindah ke ruang tengah agar lebih leluasa mengobrol di sana.
"Loh, memangnya siapa yang bilang prank?" tanya Hisyam bingung.
Nathan menatap tajam dua temannya, sementara Daniel dan Neo meringis pelan.
"Aku nggak habis pikir sama Mama dan Papa, kenapa bisa ngambil anak angkat seaneh dia? Nathan mungkin akan mempertimbangkan kalau kalian ngangkat anak kecil, dan normal. Ini, dia kelihatan aneh gitu."
"Nathan!" tegur Hisyam.
"Kenapa? Benar, kan, apa kata Nathan? Dia nggak normal?" balas Nathan kesal.
Hisyam menghembuskan napas pelan. Dia tahu, akan susah membujuk Nathan. Apalagi Nathan mana mau mendekatkan diri pada gadis itu, jadi akan susah bagi Nathan menerima keberadaannya.
"Kami nggak boleh ngomong kaya gitu, kalau Mamamu dengar--"
"Apa? Mama bakal marah ke aku? Ckk! Malas aku bahas ini terus." Nathan berdiri, membuat Hisyam langsung melirik tajam ke arah anaknya itu.
"Duduk dulu, Nat. Kita bicara!"
"Udah nggak mood," balasnya sembari berlalu dari sana.
"Kalau kalian masih di sini terserah," ujarnya kepada dua sahabatnya.
Neo dan Daniel langsung ikut berdiri, berpamitan pada Hisyam dengan memperlihatkan ekspresi merasa bersalah karena mereka.harus menyusul Nathan.
"Om tenang aja. Nathan akan kita bujuk, biar bisa nerima adik barunya," ujar Neo.
"Iya, Om. Kita pamit dulu kalau gitu. Om tenang aja, Nathan aman kalau sama kita."
Hisyam mengangguk. Sepeninggal mereka, pria paruh baya itu memijit pelipisnya pelan.
"Loh, Nathan sama teman-temannya ke mana, Pa?" tanya Fifi. Wanita itu baru turun dari lantai dua.
"Pergi. Nathan masih nggak terima keberadaan Sukma. Dia kira, kita hanya prank dia untuk kejutan ulang tahun pas bawa Sukma ke sini. Dan akhirnya, dia kecewa sendiri karena nyatanya memang bukan begitu."
Fifi seketika menggeleng-gelengkan kepala. "Ngapain juga kita pakai prank-prank segala? Memangnya dia pikir ini youtuber?"
"Kayanya bakal susah bujuk Nathan, Ma."
"Susah bukan berarti nggak bisa, kan? Nantilah, Mama bakal bujuk dia. Entar lama-lama dia luluh juga."
"Oh, ya, Sukma gimana Ma? Udah tidur?" tanya Hisyam. Fifi mengangguk. "Iya, udah."
"Padahal, dia cantik, loh, Ma. Papa benar-benar iba dengan Sukma. Gimana ya, reaksi Nathan kalau tahu Sukma itu memang mengindap gangguan mental?"
Fifi mengangguk. "Mau nggak mau, kita harus tetap ngasih tahu Nathan. Siapa tahu, dia bakal luluh."
"Tapi, gimana kalau dia malah makin nggak suka ke Sukma? Tadi aja, dia bilang Sukma nggak normal."
Fifi menghela napas kasar. "Meski keras kepala dan manja, Nathan itu hatinya nggak tegaan. Semoga aja dengan bujukan kita, dia mau pelan-pelan nerima adiknya.
Di sisi lain, Nathan tengah berada di apartemennya bersama Neo dan Daniel. Pria itu tengah berbaring di sofa panjang, memperhatikan langit-langit apartemen miliknya. Sementara Daniel dan Neo, tengah bermain game di ponsel masing-masing. Keduanya membiarkan Nathan berpikir sejenak, nanti jika Nathan meminta pendapat barulah mereka akan membantu.
"Menurut kalian, aku harus gimana?" Mendengar pertanyaan Nathan, Neo dan Daniel langsung menekan ikon home di ponsel masing-masing, mereka fokus ingin mendengarkan Nathan.
"Heh, malah diam!" Nathan bangun dari posisinya, menoyor kedua kepala sahabatnya yang tengah duduk di lantai itu.
"Sorry, Nath! Kita diam karena lagi mikir," balas Daniel.
"Mikir, mikir, kaya situ punya otak aja," cibir Neo.
"Eh, Bapak Neo. Itu mulut hati-hati, ya, kalau ngomong. Enak aja, otak saya ini sebelas dua belas sama Albert Einstein, tau!"
"Alah, Albert Einstein. Otak ************ kaya gitu dimiripin sama otak ilmuwan," balas Neo lagi.
"Astaga, tuh mulut, enak banget ngomong." Daniel memasang posisi untuk memukul kepala Neo, namun langsung mendapat interupsi dari Nathan.
"Kalau nggak mau ngasih saran, setidaknya nggak usah ribut. Atau, pintu keluarnya di sebelah kanan, kalau-kalau kalian lupa."
Nathan dan Daniel langsung terdiam. Saling lirik, menyalahkan satu sama lain. Nathan dalam mode serius itu benar-benar menakutkan.
"Kalau menurutku, ya, Nat. Lebih baik bicara ke Tante Fifi dan Om Hisyam. Tanya alasan mereka, kenapa harus dia yang diangkat jadi anak. Kalau menghindar, yang ada permasalahannya makin besar," ujar Neo.
"Benar, Nat. Kalau nggak diobrolin, mana bakal tahu kenapa anak aneh kaya dia yang mereka ambil, alih-alih anak bayi yang imut," tambah Daniel.
"Semua bisa diobrolin, Nat. Siapa tahu aja, dengan dengar semua alasan mereka, kamu bisa nerima dengan lapang dada jadi kakaknya si Sukma."
"Nat, Tante Fifi sama Om Hisyam itu setahu aku bukan orang yang ngambil keputusan sembarangan. Pasti ada alasan kuat apa yang mereka lakuin. Aku rasa, kamu yang anak mereka lebih paham, deh." Daniel bangkit, menepuk-nepuk pundak Nathan pelan.
"Aku duluan, udah ngantuk. Pikirin baik-baik, nggak usah ngambek lama-lama ke Om Nathan sama Tante Fifi. Kamu bukan anak gadis, Nat!" Dia kemudian berjalan keluar dari Apartemen tersebut.
"Aku juga mau pamit, Nat. Benar apa kata si Kudaniel. Soalnya dia warasnya nanti pas ngantuk doang, makanya omongannya bisa dipercaya."
Neo memang sengaja berpamitan juga, dia ingin memberi waktu pada Nathan memikirkan semuanya. Asal Nathan tidak melakukan hal-hal aneh, itu sudah cukup bagi mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments