Sweet Pills

Sweet Pills

Bab 1. Langkah Kaki Berisik

Morning light is coming.

Sorot mentari menyusuri sebuah kota kecil yang melintang di garis khatulistiwa. Berkasnya memancar di antara lapisan awan menuju celah pintu kaca. Sebagian lagi membias di genangan air depan gedung dua lantai, bahkan sinar itu berusaha menembus dinding putih gedung itu. Tidak ada cahaya yang berhasil menyinari apa yang ada di balik dinding, sinar ini memantul kembali menuju seseorang bersepatu merah yang melangkah tegas menuju gedung, yang kini tengah berdiri di depan pintu kaca. Sebenarnya, apa yang ingin semesta siarkan pagi ini?

The leaf fell down.

Daun ketapang yang lebar telah termakan usia. Begitu kuning, penuh bercak, layu, dan tua. Tangkainya tak lagi tahan bergantung pada cabang pohon besar di depan gedung dua lantai. Ia memilih jatuh lalu memasrahkan hidup, mengikuti arus angin yang tenang, mengetuk sebuah pintu kaca. Semesta berduka meski sebentar, mendoakan awal baru untuk nasibnya sebagai daun keberuntungan di kota kecil itu. Kata semesta, siapapun yang menerima kabar dariku, akan menemukan dirinya.

Cahaya mentari kembali menyorot pemilik sepatu merah yang melangkah masuk. Ia melangkahi daun itu sambil melirik ruang tunggu di sebelah kiri, “Semoga berhasil.” katanya. Angin berdesir pelan seraya pintu tertutup, dan ruangan yang redup itu tiba-tiba menggemakan kata asing, “Enchanted!”

Gadis berbaju biru tua yang duduk bersandar itu mengejutkan semua orang, termasuk tuan bersepatu merah yang baru masuk. Untungnya tidak ada peserta wawancara yang punya riwayat penyakit jantung. Tatapan sinis sudah cukup mengutuknya tanpa suara. Gadis cuek ini sedang menikmati waktu tunggu sambil menebak kuis lirik lagu Taylor Swift di youtube melalui layar handphone ungunya.

“Mirip punyaku.” Tuan Sepatu Merah bergumam saat melihat handphone milik gadis tersebut. Itu adalah handphone yang sama persis seperti miliknya. Perangkat yang sama, yang memberikan informasi bahwa pagi ini ada wawancara pelatihan kerja, semua peserta wajib mengenakan pakaian hitam putih. Mengapa Ia malah menggunakan kemeja biru tua dan celana putih?

Ia segera mengambil posisi duduk berseberangan dengan sumber kebisingan, diam tanpa suara. Masker putih menutupi sebagian wajahnya yang sempurna sehingga tidak ada yang tahu apa yang sedang diperhatikannya detik ini, terutama gadis itu, yang memang tidak peduli dengan kehadirannya sedari tadi.

Sudut netranya yang tajam pun menilai bahwa gadis itu sembrono dalam memilih kemeja. Ia yakin, gadis itu hanya mengambil sesuatu yang nampak bagus untuk dikenakan, berbeda dengan dirinya. Ia mengenakan kemeja putih licin, celana panjang hitam, lengkap dengan ikat pinggang sewarna yang pas dengan proporsi kaki jenjangnya. Tuan sepatu merah pun lanjut melirik sudut lain, harap-harap ada satu atau dua peserta lagi yang melakukan kesalahan.

Tepat di sebelah kanannya seorang perempuan membuat eye contact tanpa sengaja. Sedetik kemudian perempuan itu menengok ke kanan membuang muka, takut kepergok kalau sedari tadi Ia sudah memperhatikan Si Tuan. Tuan Sepatu Merah menyeringai di balik masker. Ia hapal betul gerak-gerik ini, dengan kondisi dimana seluruh mata menatapnya penuh misteri. Ia pun melepaskan maskernya perlahan, seirama langkah lelaki yang melintas gontai menuju ruang wawancara.

“Niki Keita.” seru petugas gedung.

Si gadis swifties berdiri, namanya adalah Niki Keita. Nama yang terlalu asing sebagai penduduk kota. Ia segera memasukkan handphone ungu ke dalam tas hitam, beranjak tegas dari kursinya menuju ruang wawancara. Langkah kakinya yang cepat meninggalkan suara ketukan sepatu di sepanjang lantai ruang tunggu. Bukan terburu-buru, namun memang begitu, jalannya cepat. Semua peserta spontan menatapnya sinis, kembali mengutuknya dalam diam hanya karena suara langkah kaki yang berisik.

Kursi pun telah menunggu Niki, bersama dengan lelaki tua kurus yang duduk di salah satu kursi yang tersedia. Lelaki ini tidak menoleh sedikit pun. Ia tetap duduk membungkuk menatap Ibu Yuni, pegawai Dinas Industri yang akan mewawancarai mereka berdua hari ini.

“Saya akan menanyakan tiga pertanyaan. Dilihat dari jawaban kalian, sepertinya kalian berdua sangat ingin menguasai desain grafis.” hening sekitar lima detik. Ibu Yuni menatap mereka bergiliran lalu membaca secarik kertas resume. Entahlah milik siapa, Ia membacanya dalam hati.

Setiap Ibu Yuni menganga telinga Niki langsung merekah. Ia menunggu namanya atau nama laki-laki itu yang disebut duluan. Matanya berkedut, alisnya bertaut. Pikirannya menebak-nebak nama saingannya itu.

“Menurut kalian, desain grafis ini keahlian yang sepenting apa?”

“Sangat penting, bu.” jawab Niki mantap, “Berhubung saya punya usaha pribadi di bidang kuliner, yang belum terlalu besar dan belum punya karyawan, hanya beberapa orang yang membantu, jadi saya perlu keahlian ini untuk desain logo, kemasan, dan feed media sosial.”

Ibu Yuni meresponnya dengan anggukan, “Keahlian untuk marketing ya. Kalau kamu?” tanyanya kemudian ke saingan Niki.

“Saya mau daftar kerja, bu. Perusahaan cat yang lagi buka lowongan perlu karyawan yang bisa desain katalog. Jadi, saya berminat untuk mengikuti pelatihan ini.” jawabnya tenang, santai, bahkan bisa dibilang, tidak ada semangat.

Mata Niki memincing mendengar gaya bicaranya. Laki-laki ini tidak menunjukkan setengah dari antusias yang dimilikinya. Seperti terpaksa, pasrah, kalau lolos syukur, kalau nggak ya legowo. Mana mungkin diterima kalau intonasi bicaranya lemah begitu. Pikir Niki, lelaki tua ini tidak mungkin lolos.

“Menurutmu,” Ibu Yuni menyita fokusnya kembali.

“Desain grafis diperlukan untuk bidang apa saja?” hening sekali, keduanya masih memikirkan jawaban yang tepat. Namun setelah tiga detik, saingan Niki tiba-tiba bersuara duluan, sungguh di luar dugaan. Ia merebut semua jawaban yang masih Niki pikirkan, membuatnya tambah gugup dan bingung harus menjawab apa agar tidak disangka meniru.

“Luas ya, bu. Pemasaran, percetakan, administrasi, bahkan setiap bidang pekerjaan harus bisa desain presentasi yang apik agar terkesan profesional dan melek teknologi. Cuma ya, sekarang kan lebih praktis pakai canva, nah saya pribadi mau belajar desain tanpa mengandalkan template.” Ibu Yuni tersenyum lebih manis dari pada saat mendengar jawaban Niki di pertanyaan sebelumnya, keringat gadis itu langsung mengalir di pelipis kiri.

“Kalau kamu?” beliau menunggu jawaban Niki.

“Jujur, sama seperti masnya, tapi untuk sekarang fokus saya adalah marketing jualan.” seketika ruangan dingin itu terasa panas baginya. Jawaban yang tidak mantap. Kepalanya mundur, bahkan badannya membungkuk. Kini, Ia berusaha sesantai mungkin seperti saingannya yang memang duduk membungkuk sedari tadi, konsisten tanpa semangat.

Akhirnya, pertanyaan terakhir dilayangkan Ibu Yuni.

“Kesibukannya apa sekarang?”

Pertanyaan ini fatal untuk Niki. Kalau jujur, kemungkinan besar Ia tidak akan lolos karena masih kuliah semester akhir. Kalau bohong pasti ketahuan, karena tidak sulit membaca ekspresi wajah Niki bahkan bagi orang asing sekalipun, apalagi orang seperti Ibu Yuni.

“Saya mahasiswa semester akhir, bu. Sisa skripsi.” Ia memilih jujur.

“Lho?” Ibu Yuni mengernyitkan dahi, “Gimana bagi waktunya nanti kalau lolos? Sebulan lho, dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Senin sampai jumat.”

“Bisa aja kayaknya bu, soalnya nggak ada mata kuliah lain selain yang satu itu.” pasrah, hilang sudah ambisinya. Tanpa ragu-ragu, laki-laki itupun ikut menjawab, “Saya nganggur, bu.” tamat sudah.

Terpopuler

Comments

Yurika23

Yurika23

kayaknya othor penulis puisi juga nih...mantav...

2024-09-27

0

Manusia Biasa

Manusia Biasa

keren gaya penulisannya. masih ada sastra, lagi belajar bikin novel tipe ginian aku

2023-08-27

3

Setia R

Setia R

waw

2023-08-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!