Sweet Pills

Sweet Pills

Bab 1. Morning Light is Coming (1)

Morning light is coming.

Sorot mentari menyinari kota kecil yang melintang di garis khatulistiwa. Berkasnya memancar di antara lapisan awan menuju celah pintu kaca. Sebagian lagi membias dalam genangan air di depan gedung dua lantai, bahkan sinar itu berusaha menembus dinding putihnya. Sayang sekali, sinar mentari tak berdaya mendobrak dinding. Ia memantul kembali menuju seseorang bersepatu merah yang melangkah tegas menuju gedung itu, yang kini tengah berdiri di depan pintu kaca.

Sebenarnya, apa yang ingin semesta siarkan pagi ini?

...∞...

The leaf fell down.

Daun ketapang yang lebar telah termakan usia. Begitu kuning, penuh bercak, layu, dan tua. Tangkainya tak lagi tahan bergantung pada cabang pohon besar di depan gedung dua lantai berdinding putih. Ia memilih jatuh, lalu memasrahkan hidup, mengikuti arus angin yang tenang, mengetuk sebuah pintu kaca. Namun sayangnya tanpa sengaja, sepatu merah tiba di sana dan menginjaknya.

Wassalam. Semesta berduka meski sebentar, mendoakan awal baru untuk nasibnya sebagai daun keberuntungan di kota kecil itu. Kata semesta, siapapun yang menginjaknya, akan bahagia.

Terima kasih sudah bertahan hingga akhir, wahai daun ketapang tua. Akhirmu itu menjadi awal bagi dua orang asing yang begitu canggung untuk sekedar menyapa dan berbicara.

Mentari pun menyorot pemilik sepatu merah yang melangkah masuk, angin mengumpat pelan ke telinganya. Namun sayang, bisikan angin teredam oleh suara berisik gadis berbaju navy yang duduk manis di ruang tunggu. Ia bersandar pada dinding putih yang tak mampu didobrak sinar mentari tadi.

Apa yang membuatnya begitu tak peduli pada kabar duka daun ketapang tua di pagi hari?

...∞...

“Enchanted!” teriaknya heboh dan histeris mengejutkan semua orang, termasuk tuan bersepatu merah yang baru masuk.

Pagi hari itu, untunglah tidak ada peserta wawancara yang punya penyakit jantung. Tatapan sinis sudah cukup mengutuknya tanpa suara. Gadis cuek ini sedang menikmati waktu tunggu sambil menebak kuis lirik lagu Taylor Swift di youtube.

“Mirip… punyaku?” gumam Tuan Sepatu Merah tatkala melirik ke arah handphone si gadis navy.

Ia pun duduk berseberangan dengan sumber kebisingan, diam tanpa suara. Masker putih menutup sebagian wajahnya yang sempurna sehingga tidak ada yang tahu apa yang sedang diperhatikannya detik ini, terutama gadis itu, yang memang tidak peduli dengan kehadirannya sedari tadi.

“Tunik navy?” gumamnya kedua kali.

“Celana putih?" alis kanannya terjungkat, Ia lalu menyeringai sepeleh. Setidaknya, ada satu pesaing yang Ia tebak akan gugur.

Sepertinya, gadis ini tidak paham aturan dasar dalam berpakaian untuk wawancara. Semua yang Ia kenakan nampak bagus namun kurang formal. Sedangkan Si Tuan, kemejanya putih licin oleh setrika besi jam enam pagi. Celananya panjang dan hitam, lengkap dengan ikat pinggang sewarna yang pas dengan proporsi kaki jenjangnya.

Si Tuan lanjut menilik sudut lain ke arah kanan. Berharap ada satu dua peserta lagi yang melakukan kesalahan.

Tepat di sebelah kanannya, ada perempuan yang membuat eye contact tanpa sengaja. Sedetik kemudian perempuan itu menengok ke kanan membuang muka, takut kepergok kalau sedari tadi Ia sudah memperhatikan si tuan.

Tuan sepatu merah menyeringai di balik masker. Sadar akan ketampanannya, tanpa basa-basi Ia pun melepas maskernya perlahan, seirama langkah lelaki yang melintas gontai menuju ruang wawancara.

“Niki Keita.”

Si Gadis Navy lalu berdiri. Ia segera memasukkan handphone ungu ke dalam tas hitam, beranjak tegas dari kursinya menuju ruang wawancara.

Tak tuk tak tuk. Ia berjalan cepat bukan terburu-buru, namun memang begitu, jalannya cepat. Semua peserta spontan menatapnya sinis. Kembali mengutuknya dalam diam hanya karena suara langkah kaki yang berisik.

...∞...

Kursi pun telah menunggunya, bersama dengan lelaki tua kurus yang duduk di salah satu kursi yang tersedia. Lelaki ini tidak menoleh sedikit pun. Ia tetap duduk membungkuk menatap Ibu Yuni, pegawai dinas industri yang akan mewawancarai mereka berdua hari ini.

“Saya akan menanyakan tiga pertanyaan dalam wawancara ini. Dilihat dari jawaban kalian, sepertinya kalian berdua sangat ingin menguasai desain grafis.”

Hening sekitar lima detik. Ibu Yuni menatap mereka bergiliran lalu membaca secarik kertas resume. Entahlah milik siapa, Ia membacanya dalam hati.

Setiap Ibu Yuni menganga telinga Niki langsung merekah. Ia menunggu namanya atau nama laki-laki itu yang disebut duluan. Matanya berkedut, alisnya bertaut. Pikirannya malah menebak-nebak nama saingannya itu.

“Menurut kalian…” Niki kembali fokus. “Desain grafis ini keahlian sepenting apa?”

“Sangat penting, bu.” jawab Niki mantap.

“Berhubung saya punya usaha pribadi di bidang kuliner, yang belum terlalu besar karena belum punya karyawan, hanya beberapa orang yang membantu, jadi saya perlu keahlian ini untuk desain logo, kemasan, dan feed media sosial.”

Ibu Yuni meresponnya dengan anggukan, “Keahlian untuk marketing, ya.”

“Kalau kamu?” tanyanya kemudian ke saingan Niki.

“Saya mau daftar kerja, bu. Perusahaan cat yang lagi buka lowongan perlu karyawan yang bisa desain katalog. Jadi, saya berminat untuk mengikuti pelatihan ini.” jawabnya tenang, santai, bahkan bisa dibilang, tidak ada semangat.

Mata Niki memincing mendengar gaya bicaranya. Laki-laki ini tidak menunjukkan setengah dari antusias yang dimilikinya. Seperti terpaksa, pasrah, ‘kalau lolos syukur, kalau nggak ya legowo.’

Ia tersenyum tipis sambil menunggu pertanyaan kedua. Mana mungkin diterima kalau intonasi bicaranya lemah begitu. Pikirnya, lelaki tua ini tidak mungkin lolos.

Namun sesaat kemudian, senyum tipis di sudut bibir Ibu Yuni membuatnya ragu. Bagaimana jika reaksinya itu menunjukkan ketidakdewasaan? Bagaimana jika, Ibu Yuni memandangnya sebagai individu yang hanya ingin berkompetisi? Bagaimana jika Ibu Yuni mengira bahwa Niki tidak mengerti pentingnya menjalin kerja sama dalam bekerja?

“Menurutmu…” Ibu Yuni kembali menyita fokus Niki.

“Desain grafis diperlukan untuk bidang apa saja?”

Saingan Niki tiba-tiba bersuara duluan. Ia merebut semua jawaban yang masih Niki pikirkan, membuatnya tambah gugup dan bingung harus menjawab apa agar tidak disangka meniru.

“Luas ya, bu. Pemasaran, percetakan, administrasi, bahkan setiap bidang pekerjaan harus bisa desain presentasi yang apik agar terkesan profesional dan melek teknologi. Cuma ya, sekarang kan lebih praktis pakai canva, nah saya pribadi mau belajar desain tanpa mengandalkan template.”

Niki lagi-lagi mengintip mimik wajah Ibu Yuni. Beliau tersenyum lebih manis dari sebelumnya, membuat keringatnya mengalir pelan di pelipis kiri.

“Kalau kamu?” beliau menunggu jawaban Niki.

“Jujur, sama seperti masnya, tapi untuk sekarang fokus saya adalah marketing jualan.” seketika ruangan dingin itu terasa panas baginya.

Jawaban yang tidak mantap.

Kepalanya mundur, bahkan badannya membungkuk. Ia berusaha sesantai mungkin seperti saingannya yang memang duduk membungkuk sedari tadi, konsisten tanpa semangat.

Akhirnya, pertanyaan terakhir dilayangkan Ibu Yuni.

“Kesibukannya apa sekarang?”

Pertanyaan ini fatal untuk Niki. Kalau jujur, kemungkinan besar Ia tidak akan lolos karena masih kuliah semester akhir. Kalau bohong pasti ketahuan, karena tidak sulit membaca ekspresi wajah Niki bahkan bagi orang asing sekalipun, apalagi orang seperti Ibu Yuni.

“Saya mahasiswa semester akhir, bu. Sisa skripsi.” Ia memilih jujur.

“Lho?” Ibu Yuni mengernyitkan dahi, “Gimana bagi waktunya nanti kalo ikut pelatihan? Sebulan lho, dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Senin sampai jumat.”

“Bisa aja kayaknya bu, soalnya nggak ada mata kuliah lain selain yang satu itu.” pasrah, hilang sudah ambisinya.

Dalam benaknya muncul nasehat sang Ayah. ‘Manusia itu punya 24 jam yang berharga. Jadi, setiap detik harus maksimal. Karena tidak ada yang tahu siapa yang akan dipilih semesta sebagai main character dalam sebuah sesi hidup. Namun yang pasti, Ia yang menghargai waktu akan mendapat sorot mentari pagi. Satu hari itu, akan menjadi panggung impiannya.'

Kalimat itu adalah nasehat terbaik yang selalu Ia ingat. Seburuk apapun keadaan yang Ia hadapi, setidaknya jangan hilangkan semangat dan ambisi untuk meraih tujuan, bahkan sedetik pun. Kesungguhan itu selalu nomor satu.

Sekali lagi Ia meyakinkan diri bahwa jawaban dan semangatnya sejauh ini adalah bukti, Ia telah menghargai tiga puluh menit yang berlalu.

Meski mentari ingat betul kalau hari ini Niki bersandar pada dinding gedung yang tak tertembus berkasnya, bahkan menyepelehkan kabar duka dari daun ketapang tua, akan selalu ada waktu yang adil memberikan jawaban atas usaha dan jerih payah.

Ibu Yuni nampak mempertimbangkan keseriusan Niki sambil menunggu jawaban si calon peserta pelatihan yang satunya. Tanpa ragu-ragu, laki-laki itupun menjawab,

“Saya nganggur, bu.” tamat sudah.

Terpopuler

Comments

Manusia Biasa

Manusia Biasa

keren gaya penulisannya. masih ada sastra, lagi belajar bikin novel tipe ginian aku

2023-08-27

3

Setia R

Setia R

waw

2023-08-14

1

Setia R

Setia R

dan menembus hatiku, memberikan kehangatan seakan kau berada dekat dengan ku! 🤓🤓🤓

2023-08-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!