“Wijaya Bayuaji.”
Petugas gedung menunggu satu orang lagi untuk sesi wawancara berikutnya. Mata beliau dengan cepat memperhatikan satu laki-laki tinggi yang sedari tadi menarik perhatian jemaah ruang tunggu. Semakin mendekat langkahnya, semakin tinggi petugas itu mendongak. Agaknya, ruang wawancara ini terlalu kecil untuknya.
Di seberang sana sudah menunggu dua orang perempuan, Ibu Yuni dan seorang calon peserta pelatihan yang membuat eye contact dengannya tadi. Mata Ibu Yuni memperhatikan resume mereka berdua. Ia membelalak setelah membaca milik Wijaya.
“Mana bisa ambil dua pelatihan, jadwalnya aja barengan, kamu harus pilih salah satu."
Padahal duduk saja belum benar. Kursi wawancara ini seperti menolak calon peserta dengan tinggi di atas seratus tujuh puluh lima senti. Kakinya tertekuk delapan puluh derajat, sedang bahunya agak membusung maju hendak menjawab Ibu Yuni.
“Saya ambil desain grafis saja karena tadi di ruang tata busana tidak ada peserta laki-lakinya, bu.”
Kepercayaan diri yang tinggi. Itu adalah satu kalimat yang terlintas di pikiran Ibu Yuni ketika Wijaya menjawab. Ia pun beralih ke perempuan berkacamata.
“Kalau kamu? Apa alasan utama kamu ikut pelatihan ini?”
“Saya nganggur aja sih, bu.” jawab perempuan itu. “Saya ikut pelatihan ini untuk mengisi waktu luang. Itung-itung, nambah softskill juga.”
Ibu Yuni mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di meja. Yang satu dengan sombongnya mengambil dua pelatihan, satunya lagi dengan sombongnya hanya ikut untuk mengisi waktu luang. Benar-benar tidak ada yang layak dipertimbangkan. Tidak ada yang serius antara kedua calon peserta pelatihan ini.
“Menurut kalian, desain grafis ini keahlian sepenting apa?”
“Penting banget, bu.” sahut Wijaya cepat.
“Apalagi pasca covid begini banyak orang mencari kerja yang bisa remote dari rumah. Keahlian di bidang komputer itu bagus banget, salah satunya desain grafis.” tatapnya tanpa kedip.
“Remote? Oh, kamu mau melamar jadi apa memangnya?”
“Desain grafis itu luas, dan kalau ahli bayarannya lumayan. Misalnya, jadi content creator di perusahaan start up, atau jadi komikus webtoon. Tapi kalau saya sih, mau nge-desain yang mudah-mudah aja. Misalnya buat logo UMKM. Soalnya saya punya usaha di rumah.”
“Intinya, marketing kan?”
Wijaya mengangguk dan lanjut memberikan alasan lain, “Saya sadar pas kerja di gudang kemarin temen saya ada yang kerjanya remote karena bisa desain. Dibandingkan dengan saya yang harus capek dulu baru diupah, dia bisa dapat uang sambil duduk di rumah. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti wawancara ini, dan semoga berhasil lolos.”
Ia tersenyum puas dengan jawabannya. Bahkan perempuan saingannya turut mengiyakan pengalaman pribadinya tadi, sampai-sampai Ibu Yuni heran apakah saingannya itu sungguh sependapat atau sekedar terpesona dengan wajah Wijaya karena sedari tadi lirikan matanya berbinar-binar menatap lelaki jangkung itu.
“Kamu sama seperti dia?”
“Nggak sih bu, saya baru lulus tahun ini. Jadi saya mau nambah kesibukan aja.” sekedar terpesona rupanya.
“Oh iya, kesibukanmu apa sekarang?”
“Saya nganggur.”
Lagi-lagi Wijaya angkat suara, “Kalau saya sudah resign dari pekerjaan sebelumnya. Jadi, niat saya memang ingin fokus ke pelatihan ini saja.”
Wawancara pun berakhir. Namun, belum sempat Ibu Yuni mempersilahkan keduanya pergi, tiba-tiba Wijaya kembali bersuara. Seketika Ibu Yuni menangkupkan wajahnya di atas meja, “Karena jujur, orang tua saya punya usaha jahit. Tadi saya sempat mikir apa saya menjahit aja untuk meneruskan usaha yang ada, tapi karena tadi pas lewat situ nggak ada peserta cowok yang daftar, takutnya saya nggak nyaman. Jadi, saya pilih desain grafis aja.”
Pintu sudah dibuka oleh petugas dan Ibu Yuni telah meminta pria tua itu memanggil peserta wawancara selanjutnya. Seraya Wijaya melangkah keluar, perempuan berkacamata mengikuti langkahnya di belakang. Bertepatan dengan itu, Wijaya berhenti dan berbalik sebelum keluar gedung.
“Aku duluan.” perempuan itu mengangguk dan terdiam di tempat. Dilihatnya Wijaya berjalan menuju motornya yang parkir di bawah pohon ketapang depan gedung. Lelaki itu sempat menengok ke arah gadis berbaju biru tua sekali, saat Ia menenggak air dari botol minumnya. Dan gadis berbaju biru tua itupun pergi terlebih dahulu menuju gerbang gapura.
Wijaya mengikut tepat di belakangnya. Gadis yang bernama Niki Keita itu sangat pelan mengendara di jalan satu arah. Seperti anak sekolah yang baru pulang sambil bersenandung menunggu hari libur. Ia pun tersenyum dan ikut mengendara pelan tepat di belakang Niki. Plat motornya jelas menunjukkan Ia berasal dari provinsi yang berbeda. Andai Ia berani mengendara sejajar dengannya, pasti Niki sudah diajaknya berkelana ke setiap sudut kota kecil ini. Memperkenalkan kepada gadis asing itu bahwa kotanya tidak seberisik suara Niki di ruang tunggu tadi, dan hal itulah yang semakin membuatnya penasaran.
Sesampainya di rumah Ia memasukkan motornya ke garasi yang terletak berdekatan dengan pintu belakang. Garasi itu terhubung langsung ke pintu dapur yang lama tak beroperasi. Belakangan ini, Ia lebih suka makan di luar. Praktis dan tidak mengotori peralatan makannya yang sudah layak diganti.
Tak ada apa-apa di kulkasnya kecuali sebotol minuman soda yang baru dibelinya kemarin sore. Tak ada apa-apa di meja makannya kecuali taplak putih yang ditindih vas bunga lily. Ia pun membasuh muka di wastafel untuk menenangkan pikiran sejenak. Sejak bertemu gadis bernama Niki tadi, pikirannya tertuju pada handphone milik gadis itu.
Setelah membersihkan diri Ia membuka pintu kamar dan meraih laptopnya yang tidak dimatikan semalaman. Secret of Aldebaran, sebuah cerita karangannya yang tak kunjung selesai sejak Ia lulus sekolah. Cerita itu berisi tentang petualangan bersama teman satu gengnya dulu setelah acara kelulusan. Di bawah langit malam di pinggir pantai, Ia ingat betul tentang dinginnya angin dan hangatnya satu cup mie di depan api unggun. Malam itu, Ia terbangun dari mimpi tentang seorang gadis pencuri handphone.
Gadis yang tak pernah muncul wajahnya, kecuali kebiasaannya yang selalu mengambil handphone ungu dari tangan Wijaya. Ia sempat mencari tahu arti mimpi tersebut. Katanya, suatu hari Ia akan kehilangan komunikasi dengan seseorang. Semua kejadian di dalam mimpi telah Ia uji coba sendiri ke dua orang teman perempuan dalam satu gengnya namun tidak ada yang mencuri handphone sama sekali di antara mereka berdua.
Saat Ia duduk di dalam ruangan pintu kaca, saat mereka duduk sebelahan di dalam sebuah aula, saat keduanya bermain permainan kartu, saat mengerjakan sebuah tugas di depan komputer, saat situasi gelap di dalam bioskop, saat makan bersama, saat makan hanya berdua, dan terakhir saat gadis itu menunjukkan layar handphone bertuliskan angka ‘19:30’. Mimpi terakhir tidak mungkin terjadi kecuali salah satu di antara kawan perempuannya merampas handphonenya dan menunjukkan waktu dari layar handphone tersebut. Sehingga, satu-satunya hal yang Ia yakini adalah mimpi itu sekedar nasehat semesta tentang persahabatan yang tidak bertahan lama.
Namun tiba-tiba, gadis bernama Niki Keita muncul membawa petunjuk baru yang tak pernah Ia sangka. Gadis itu tidak mencuri handphone melainkan memainkan handphone miliknya sendiri di ruang tunggu. Dugaannya selama ini salah dan telah terjawab hari ini. Gadis bernama Niki Keita itu ditunjuk semesta untuk datang ke kota ini agar mereka bisa bertemu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Setia R
satu iklan untukmu!
2023-08-24
1
Nuri
kasihan Laras tidak lolos wawancara.
2023-06-30
1
ᴏᴋᴋʏʀᴀ ᴅʜɪᴛᴏᴍᴀ
realitanya begitu~
2023-06-29
1