The rain is pouring.
Hujan lebat mengguyur kota tujuan Niki sore itu, sedangkan Ia dalam perjalanan menuju tempat huni yang baru. Ia berkendara dengan sahabat karibnya, sepeda motor beat merah yang telah menemani petualangannya dari kota ke kota, daerah ke daerah, bahkan pelosok desa ke desa lainnya.
Maskernya tak lagi menyaring udara kotor, melainkan menampung air rembesan dari helm ke wajah. Ia pun menepi ke minimarket merah yang berjarak lima belas kilometer dari tempat tujuan.
Benar saja, maskernya seperti dilaundry. Bersih dengan perasan sekali pelintir. Ia membuang masker itu, meletakkan helm di meja luar toko, melepas jas hujan, lalu masuk membeli air minum.
Niki berdiri cukup lama di depan pintu kulkas minuman. Air dari sandalnya sampai menggenang ke bawah rak etalase toko di belakangnya.
Hampir saja seorang bocah laki-laki tergelincir kalau tidak berpegangan pada bagian bawah bajunya, yang spontan membuatnya menoleh ke bawah.
“Kakak kayak tikus kecebur got.”
Bocah itu mengatakan yang sejujurnya di depan wajah Niki yang tersenyum di balik tetesan air hujan. Suasana hatinya benar-benar sedang riang.
Sejak pengumuman lolos wawancara pelatihan kerja, Ia segera mengurus pindahan dadakan ke kota itu. Kesibukan yang sangat dinanti akhirnya membuat Niki bisa menikmati waktu rehat sejenak di kota orang. Kini, sebotol teh aroma melati berada dalam genggamannya menuju kasir.
Hujan yang mengguyur bukan alasan untuk menunggu hari esok baru bergerak. Perjalanan satu jam dari tempat huni sebelumnya bukan alasan Ia untuk lelah mengendarai sepeda motor di jalanan licin. Kemauannya lebih keras dari pada realita yang menghadang. Bukannya menjadi tembok, semesta seakan memberikan banyak rejeki yang menghujani dirinya melalui rintik air langit. Kesehatan, keselamatan, keberkahan, dan kebahagiaan.
Sekitar pukul empat sore Ia sampai di titik tujuan, tepatnya di depan pagar stainless steel. Tak mungkin Ia langsung masuk, karena pagar itu masih terkunci. Tak mungkin juga Ia berteriak ‘permisi’ karena bangunan panjang itu jauh berada di dalam. Antara pagar dengan bangunan dipisah oleh lapangan luas yang muat untuk sepuluh truk pasir parkir. Di sebelahnya bertajak menara telepon yang sangat besar untuk keperluan sinyal satu kecamatan.
“Kantor PLN, ya?” pikir Niki.
Ia pun menyalakan mesin motornya lagi dan mengendara pelan mengikuti jalan di dalam gang itu. Ujungnya adalah sebuah lapangan yang dua kali lebih luas dari lapangan yang Ia lihat sebelumnya. Di sebelah lapangan itu ada rumah sederhana yang cocok dengan foto kiriman ibu kost di whatsapp.
Rumah cat biru dengan pagar biru. Ada pohon jambu besar di depannya sebagai hunian tupai-tupai liar. Ia pun parkir di bawah pohon itu.
Kawasan ujung gang ini dibatasi oleh pagar hijau setinggi dada yang bertajak dari ujung kiri lapangan hingga ke ujung kanan bangunan rumah. Kaki Niki seakan tertarik magnet pagar hijau, Ia pergi menengok pemandangan di belakang lapangan sambil membawa handphone ungunya.
Penatnya terasa saat langkahnya pelan perlahan, saking luasnya lapangan ini. Dan sampailah Ia di depan panorama terindah.
Hidden gem kata orang.
Pemandangan yang disuguhkan secantik imajinasi anak-anak tentang taman bermain di bawah kaki gunung. Air sungai mengalir tepat di bawah halaman luas yang berdiri di atas tembok tinggi ini. Suaranya menderu, pas sekali di telinga Niki. Apalagi, kalau dinikmati setelah subuh, pasti jauh lebih syahdu. Di seberang sungai, berjejer perumahan warga yang dominan terbuat dari kayu.
Suasana sore setelah hujan benar-benar romantis. Rintik kecil yang masih menetes dari langit seakan membuat kontak fisik dengannya untuk merasakan sejuknya air di tempat baru itu. Aroma angin sangat segar dan harum, karena banyak tanaman hias dengan bunga warna-warni dan pohon-pohon besar di sekitarnya. Kupu-kupu mulai beterbangan ke atas menyapa Niki. Beberapa kucing mulai mengeong di dekat kakinya. Sore itu, Niki tersenyum hangat di tengah sejuknya hari.
“Nak Niki ya?” spontan tubuhnya berbalik ke sumber suara.
Beliau adalah Ibu kostnya yang baru, namanya Ibu Husna. Wajahnya sangat ramah dan hangat. Meski tertutupi kerutan umur, kulit wajah beliau tetap berseri. Matanya cerah dan sipit, dan beliau lebih tinggi dari Niki.
“Kehujanan sepanjang jalan kah, Nak? Basah semua bajumu.”
Beliau pun mendekat, meraih tangan Niki yang gemetar kedinginan.
“Ayok masuk, Ibu buatin teh anget ya sambil kita lihat-lihat kamar.”
Ibu Husna memimpin roomtour di depan. Setapak demi setapak beralun gemerincing kunci di tangan kanannya. Beliau membukakan pintu kamar paling ujung kanan dengan cat pintu berwarna tosca.
“Ini kamar paling besar. Ada kamar mandi dalamnya. Ayok masuk.”
Begitu pintu dibuka, netra Niki berbinar melihat dinding merah muda kamar ini. Tangannya tidak mau diam, ikut meraba dinding kamar yang terbuat dari keramik. Matanya mengedar dari ujung kiri kamar, satu buah ranjang lawas, satu set lemari baju beserta meja belajar, dan ya, pikirannya sudah menata buku dan bajunya sedemikian rupa. Bahkan kemeja biru tua kesayangannya seakan sudah menggantung di gantungan besi dekat meja belajar.
Beralih ke kamar mandi, lampunya terang. Dindingnya tinggi dan bebas cicak. Nampak tidak ada celah antara dinding hingga plafon, full keramik. Lengkap dengan ember dua buah, tiga gantungan, dua sikat baju, dan cairan pembersih lantai. Ibu Husna benar-benar disiplin perkara kebersihan.
“Airnya pakai air sumur. Nggak papa aja, kan?” tanya Ibu Husna tapi tidak terdengar sahutan apapun dari Niki.
“Nak?”
Beliau lalu menoleh ke belakang. Rupanya Niki masih terpaku pada tembok keramik kamar mandi itu yang benar-benar bersih tanpa celah. Ia bisa membayangkan betapa tenang waktu me time nya kelak tanpa harus menjerit karena seekor cicak.
“Nah, disini dapurnya.” tunjuk beliau ke arah kompor satu tungku dekat pintu masuk ruang tengah.
Di sebelah kiri ada wastafel yang sangat bersih. Lalu, Ia mempersilahkan Niki masuk ke bagian dalam ruangan, tepatnya di belakang dapur yang sempit. Ada dua kamar mandi, lengkap dengan shower dan tentu saja toilet jongkok.
“Ada sisa dua kamar yang kamar mandinya gabung. Kalau kamar mandi dalam cuma sisa satu, yang pintu tosca tadi. Nak Niki rencananya disini berapa lama?”
“Untuk satu bulan dulu, bu.” Akhirnya Niki bersuara. “Saya kan sebenarnya cuma ikut pelatihan kerja, jadi nggak bakalan lama juga.”
“Oh, ya? Semoga lancar pelatihannya ya, semoga betah disini. Minum dulu, biar nggak masuk angin.”
Ibu Husna menyuguhkan segelas teh untuk digenggam Niki, kemudian Ia menyeruputnya. Bahkan rasa teh anget itu mirip buatan ibundanya di kampung sana. Matanya sampai berair, satu kota seakan mempersilahkannya untuk tinggal lebih lama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Setia R
ada ya kak, bibir segaris!😃😃😃😃😃
2023-09-21
2
Nuri
3 iklan meluncur
2023-06-30
1
kimraina
Keren bgt sih author bahasanya . . Angkat aku jadi muridmu suhu 😻
2023-06-28
1