Morning light is coming.
Sorot mentari menyusuri sebuah kota kecil yang melintang di garis khatulistiwa. Berkasnya memancar di antara lapisan awan menuju celah pintu kaca. Sebagian lagi membias di genangan air depan gedung dua lantai, bahkan sinar itu berusaha menembus dinding putih gedung itu. Tidak ada cahaya yang berhasil menyinari apa yang ada di balik dinding, sinar ini memantul kembali menuju seseorang bersepatu merah yang melangkah tegas menuju gedung, yang kini tengah berdiri di depan pintu kaca. Sebenarnya, apa yang ingin semesta siarkan pagi ini?
The leaf fell down.
Daun ketapang yang lebar telah termakan usia. Begitu kuning, penuh bercak, layu, dan tua. Tangkainya tak lagi tahan bergantung pada cabang pohon besar di depan gedung dua lantai. Ia memilih jatuh lalu memasrahkan hidup, mengikuti arus angin yang tenang, mengetuk sebuah pintu kaca. Semesta berduka meski sebentar, mendoakan awal baru untuk nasibnya sebagai daun keberuntungan di kota kecil itu. Kata semesta, siapapun yang menerima kabar dariku, akan menemukan dirinya.
Cahaya mentari kembali menyorot pemilik sepatu merah yang melangkah masuk. Ia melangkahi daun itu sambil melirik ruang tunggu di sebelah kiri, “Semoga berhasil.” katanya. Angin berdesir pelan seraya pintu tertutup, dan ruangan yang redup itu tiba-tiba menggemakan kata asing, “Enchanted!”
Gadis berbaju biru tua yang duduk bersandar itu mengejutkan semua orang, termasuk tuan bersepatu merah yang baru masuk. Untungnya tidak ada peserta wawancara yang punya riwayat penyakit jantung. Tatapan sinis sudah cukup mengutuknya tanpa suara. Gadis cuek ini sedang menikmati waktu tunggu sambil menebak kuis lirik lagu Taylor Swift di youtube melalui layar handphone ungunya.
“Mirip punyaku.” Tuan Sepatu Merah bergumam saat melihat handphone milik gadis tersebut. Itu adalah handphone yang sama persis seperti miliknya. Perangkat yang sama, yang memberikan informasi bahwa pagi ini ada wawancara pelatihan kerja, semua peserta wajib mengenakan pakaian hitam putih. Mengapa Ia malah menggunakan kemeja biru tua dan celana putih?
Ia segera mengambil posisi duduk berseberangan dengan sumber kebisingan, diam tanpa suara. Masker putih menutupi sebagian wajahnya yang sempurna sehingga tidak ada yang tahu apa yang sedang diperhatikannya detik ini, terutama gadis itu, yang memang tidak peduli dengan kehadirannya sedari tadi.
Sudut netranya yang tajam pun menilai bahwa gadis itu sembrono dalam memilih kemeja. Ia yakin, gadis itu hanya mengambil sesuatu yang nampak bagus untuk dikenakan, berbeda dengan dirinya. Ia mengenakan kemeja putih licin, celana panjang hitam, lengkap dengan ikat pinggang sewarna yang pas dengan proporsi kaki jenjangnya. Tuan sepatu merah pun lanjut melirik sudut lain, harap-harap ada satu atau dua peserta lagi yang melakukan kesalahan.
Tepat di sebelah kanannya seorang perempuan membuat eye contact tanpa sengaja. Sedetik kemudian perempuan itu menengok ke kanan membuang muka, takut kepergok kalau sedari tadi Ia sudah memperhatikan Si Tuan. Tuan Sepatu Merah menyeringai di balik masker. Ia hapal betul gerak-gerik ini, dengan kondisi dimana seluruh mata menatapnya penuh misteri. Ia pun melepaskan maskernya perlahan, seirama langkah lelaki yang melintas gontai menuju ruang wawancara.
“Niki Keita.” seru petugas gedung.
Si gadis swifties berdiri, namanya adalah Niki Keita. Nama yang terlalu asing sebagai penduduk kota. Ia segera memasukkan handphone ungu ke dalam tas hitam, beranjak tegas dari kursinya menuju ruang wawancara. Langkah kakinya yang cepat meninggalkan suara ketukan sepatu di sepanjang lantai ruang tunggu. Bukan terburu-buru, namun memang begitu, jalannya cepat. Semua peserta spontan menatapnya sinis, kembali mengutuknya dalam diam hanya karena suara langkah kaki yang berisik.
Kursi pun telah menunggu Niki, bersama dengan lelaki tua kurus yang duduk di salah satu kursi yang tersedia. Lelaki ini tidak menoleh sedikit pun. Ia tetap duduk membungkuk menatap Ibu Yuni, pegawai Dinas Industri yang akan mewawancarai mereka berdua hari ini.
“Saya akan menanyakan tiga pertanyaan. Dilihat dari jawaban kalian, sepertinya kalian berdua sangat ingin menguasai desain grafis.” hening sekitar lima detik. Ibu Yuni menatap mereka bergiliran lalu membaca secarik kertas resume. Entahlah milik siapa, Ia membacanya dalam hati.
Setiap Ibu Yuni menganga telinga Niki langsung merekah. Ia menunggu namanya atau nama laki-laki itu yang disebut duluan. Matanya berkedut, alisnya bertaut. Pikirannya menebak-nebak nama saingannya itu.
“Menurut kalian, desain grafis ini keahlian yang sepenting apa?”
“Sangat penting, bu.” jawab Niki mantap, “Berhubung saya punya usaha pribadi di bidang kuliner, yang belum terlalu besar dan belum punya karyawan, hanya beberapa orang yang membantu, jadi saya perlu keahlian ini untuk desain logo, kemasan, dan feed media sosial.”
Ibu Yuni meresponnya dengan anggukan, “Keahlian untuk marketing ya. Kalau kamu?” tanyanya kemudian ke saingan Niki.
“Saya mau daftar kerja, bu. Perusahaan cat yang lagi buka lowongan perlu karyawan yang bisa desain katalog. Jadi, saya berminat untuk mengikuti pelatihan ini.” jawabnya tenang, santai, bahkan bisa dibilang, tidak ada semangat.
Mata Niki memincing mendengar gaya bicaranya. Laki-laki ini tidak menunjukkan setengah dari antusias yang dimilikinya. Seperti terpaksa, pasrah, kalau lolos syukur, kalau nggak ya legowo. Mana mungkin diterima kalau intonasi bicaranya lemah begitu. Pikir Niki, lelaki tua ini tidak mungkin lolos.
“Menurutmu,” Ibu Yuni menyita fokusnya kembali.
“Desain grafis diperlukan untuk bidang apa saja?” hening sekali, keduanya masih memikirkan jawaban yang tepat. Namun setelah tiga detik, saingan Niki tiba-tiba bersuara duluan, sungguh di luar dugaan. Ia merebut semua jawaban yang masih Niki pikirkan, membuatnya tambah gugup dan bingung harus menjawab apa agar tidak disangka meniru.
“Luas ya, bu. Pemasaran, percetakan, administrasi, bahkan setiap bidang pekerjaan harus bisa desain presentasi yang apik agar terkesan profesional dan melek teknologi. Cuma ya, sekarang kan lebih praktis pakai canva, nah saya pribadi mau belajar desain tanpa mengandalkan template.” Ibu Yuni tersenyum lebih manis dari pada saat mendengar jawaban Niki di pertanyaan sebelumnya, keringat gadis itu langsung mengalir di pelipis kiri.
“Kalau kamu?” beliau menunggu jawaban Niki.
“Jujur, sama seperti masnya, tapi untuk sekarang fokus saya adalah marketing jualan.” seketika ruangan dingin itu terasa panas baginya. Jawaban yang tidak mantap. Kepalanya mundur, bahkan badannya membungkuk. Kini, Ia berusaha sesantai mungkin seperti saingannya yang memang duduk membungkuk sedari tadi, konsisten tanpa semangat.
Akhirnya, pertanyaan terakhir dilayangkan Ibu Yuni.
“Kesibukannya apa sekarang?”
Pertanyaan ini fatal untuk Niki. Kalau jujur, kemungkinan besar Ia tidak akan lolos karena masih kuliah semester akhir. Kalau bohong pasti ketahuan, karena tidak sulit membaca ekspresi wajah Niki bahkan bagi orang asing sekalipun, apalagi orang seperti Ibu Yuni.
“Saya mahasiswa semester akhir, bu. Sisa skripsi.” Ia memilih jujur.
“Lho?” Ibu Yuni mengernyitkan dahi, “Gimana bagi waktunya nanti kalau lolos? Sebulan lho, dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Senin sampai jumat.”
“Bisa aja kayaknya bu, soalnya nggak ada mata kuliah lain selain yang satu itu.” pasrah, hilang sudah ambisinya. Tanpa ragu-ragu, laki-laki itupun ikut menjawab, “Saya nganggur, bu.” tamat sudah.
“Wijaya Bayuaji.”
Petugas gedung menunggu satu orang lagi untuk sesi wawancara berikutnya. Mata beliau dengan cepat memperhatikan satu laki-laki tinggi yang sedari tadi menarik perhatian jemaah ruang tunggu. Semakin mendekat langkahnya, semakin tinggi petugas itu mendongak. Agaknya, ruang wawancara ini terlalu kecil untuknya.
Di seberang sana sudah menunggu dua orang perempuan, Ibu Yuni dan seorang calon peserta pelatihan yang membuat eye contact dengannya tadi. Mata Ibu Yuni memperhatikan resume mereka berdua. Ia membelalak setelah membaca milik Wijaya.
“Mana bisa ambil dua pelatihan, jadwalnya aja barengan, kamu harus pilih salah satu."
Padahal duduk saja belum benar. Kursi wawancara ini seperti menolak calon peserta dengan tinggi di atas seratus tujuh puluh lima senti. Kakinya tertekuk delapan puluh derajat, sedang bahunya agak membusung maju hendak menjawab Ibu Yuni.
“Saya ambil desain grafis saja karena tadi di ruang tata busana tidak ada peserta laki-lakinya, bu.”
Kepercayaan diri yang tinggi. Itu adalah satu kalimat yang terlintas di pikiran Ibu Yuni ketika Wijaya menjawab. Ia pun beralih ke perempuan berkacamata.
“Kalau kamu? Apa alasan utama kamu ikut pelatihan ini?”
“Saya nganggur aja sih, bu.” jawab perempuan itu. “Saya ikut pelatihan ini untuk mengisi waktu luang. Itung-itung, nambah softskill juga.”
Ibu Yuni mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di meja. Yang satu dengan sombongnya mengambil dua pelatihan, satunya lagi dengan sombongnya hanya ikut untuk mengisi waktu luang. Benar-benar tidak ada yang layak dipertimbangkan. Tidak ada yang serius antara kedua calon peserta pelatihan ini.
“Menurut kalian, desain grafis ini keahlian sepenting apa?”
“Penting banget, bu.” sahut Wijaya cepat.
“Apalagi pasca covid begini banyak orang mencari kerja yang bisa remote dari rumah. Keahlian di bidang komputer itu bagus banget, salah satunya desain grafis.” tatapnya tanpa kedip.
“Remote? Oh, kamu mau melamar jadi apa memangnya?”
“Desain grafis itu luas, dan kalau ahli bayarannya lumayan. Misalnya, jadi content creator di perusahaan start up, atau jadi komikus webtoon. Tapi kalau saya sih, mau nge-desain yang mudah-mudah aja. Misalnya buat logo UMKM. Soalnya saya punya usaha di rumah.”
“Intinya, marketing kan?”
Wijaya mengangguk dan lanjut memberikan alasan lain, “Saya sadar pas kerja di gudang kemarin temen saya ada yang kerjanya remote karena bisa desain. Dibandingkan dengan saya yang harus capek dulu baru diupah, dia bisa dapat uang sambil duduk di rumah. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti wawancara ini, dan semoga berhasil lolos.”
Ia tersenyum puas dengan jawabannya. Bahkan perempuan saingannya turut mengiyakan pengalaman pribadinya tadi, sampai-sampai Ibu Yuni heran apakah saingannya itu sungguh sependapat atau sekedar terpesona dengan wajah Wijaya karena sedari tadi lirikan matanya berbinar-binar menatap lelaki jangkung itu.
“Kamu sama seperti dia?”
“Nggak sih bu, saya baru lulus tahun ini. Jadi saya mau nambah kesibukan aja.” sekedar terpesona rupanya.
“Oh iya, kesibukanmu apa sekarang?”
“Saya nganggur.”
Lagi-lagi Wijaya angkat suara, “Kalau saya sudah resign dari pekerjaan sebelumnya. Jadi, niat saya memang ingin fokus ke pelatihan ini saja.”
Wawancara pun berakhir. Namun, belum sempat Ibu Yuni mempersilahkan keduanya pergi, tiba-tiba Wijaya kembali bersuara. Seketika Ibu Yuni menangkupkan wajahnya di atas meja, “Karena jujur, orang tua saya punya usaha jahit. Tadi saya sempat mikir apa saya menjahit aja untuk meneruskan usaha yang ada, tapi karena tadi pas lewat situ nggak ada peserta cowok yang daftar, takutnya saya nggak nyaman. Jadi, saya pilih desain grafis aja.”
Pintu sudah dibuka oleh petugas dan Ibu Yuni telah meminta pria tua itu memanggil peserta wawancara selanjutnya. Seraya Wijaya melangkah keluar, perempuan berkacamata mengikuti langkahnya di belakang. Bertepatan dengan itu, Wijaya berhenti dan berbalik sebelum keluar gedung.
“Aku duluan.” perempuan itu mengangguk dan terdiam di tempat. Dilihatnya Wijaya berjalan menuju motornya yang parkir di bawah pohon ketapang depan gedung. Lelaki itu sempat menengok ke arah gadis berbaju biru tua sekali, saat Ia menenggak air dari botol minumnya. Dan gadis berbaju biru tua itupun pergi terlebih dahulu menuju gerbang gapura.
Wijaya mengikut tepat di belakangnya. Gadis yang bernama Niki Keita itu sangat pelan mengendara di jalan satu arah. Seperti anak sekolah yang baru pulang sambil bersenandung menunggu hari libur. Ia pun tersenyum dan ikut mengendara pelan tepat di belakang Niki. Plat motornya jelas menunjukkan Ia berasal dari provinsi yang berbeda. Andai Ia berani mengendara sejajar dengannya, pasti Niki sudah diajaknya berkelana ke setiap sudut kota kecil ini. Memperkenalkan kepada gadis asing itu bahwa kotanya tidak seberisik suara Niki di ruang tunggu tadi, dan hal itulah yang semakin membuatnya penasaran.
Sesampainya di rumah Ia memasukkan motornya ke garasi yang terletak berdekatan dengan pintu belakang. Garasi itu terhubung langsung ke pintu dapur yang lama tak beroperasi. Belakangan ini, Ia lebih suka makan di luar. Praktis dan tidak mengotori peralatan makannya yang sudah layak diganti.
Tak ada apa-apa di kulkasnya kecuali sebotol minuman soda yang baru dibelinya kemarin sore. Tak ada apa-apa di meja makannya kecuali taplak putih yang ditindih vas bunga lily. Ia pun membasuh muka di wastafel untuk menenangkan pikiran sejenak. Sejak bertemu gadis bernama Niki tadi, pikirannya tertuju pada handphone milik gadis itu.
Setelah membersihkan diri Ia membuka pintu kamar dan meraih laptopnya yang tidak dimatikan semalaman. Secret of Aldebaran, sebuah cerita karangannya yang tak kunjung selesai sejak Ia lulus sekolah. Cerita itu berisi tentang petualangan bersama teman satu gengnya dulu setelah acara kelulusan. Di bawah langit malam di pinggir pantai, Ia ingat betul tentang dinginnya angin dan hangatnya satu cup mie di depan api unggun. Malam itu, Ia terbangun dari mimpi tentang seorang gadis pencuri handphone.
Gadis yang tak pernah muncul wajahnya, kecuali kebiasaannya yang selalu mengambil handphone ungu dari tangan Wijaya. Ia sempat mencari tahu arti mimpi tersebut. Katanya, suatu hari Ia akan kehilangan komunikasi dengan seseorang. Semua kejadian di dalam mimpi telah Ia uji coba sendiri ke dua orang teman perempuan dalam satu gengnya namun tidak ada yang mencuri handphone sama sekali di antara mereka berdua.
Saat Ia duduk di dalam ruangan pintu kaca, saat mereka duduk sebelahan di dalam sebuah aula, saat keduanya bermain permainan kartu, saat mengerjakan sebuah tugas di depan komputer, saat situasi gelap di dalam bioskop, saat makan bersama, saat makan hanya berdua, dan terakhir saat gadis itu menunjukkan layar handphone bertuliskan angka ‘19:30’. Mimpi terakhir tidak mungkin terjadi kecuali salah satu di antara kawan perempuannya merampas handphonenya dan menunjukkan waktu dari layar handphone tersebut. Sehingga, satu-satunya hal yang Ia yakini adalah mimpi itu sekedar nasehat semesta tentang persahabatan yang tidak bertahan lama.
Namun tiba-tiba, gadis bernama Niki Keita muncul membawa petunjuk baru yang tak pernah Ia sangka. Gadis itu tidak mencuri handphone melainkan memainkan handphone miliknya sendiri di ruang tunggu. Dugaannya selama ini salah dan telah terjawab hari ini. Gadis bernama Niki Keita itu ditunjuk semesta untuk datang ke kota ini agar mereka bisa bertemu.
Lima hari setelah wawancara berlalu, pengumuman yang dinanti-nanti calon peserta pelatihan pun muncul. Sayang sekali, saingan Wijaya tidak lolos dan masuk dalam daftar tunggu, waiting list. Malam itu, Ia berharap setidaknya satu atau dua orang mengundurkan diri dari jurusan desain grafis. Karena dilihatnya, nama Wijaya lolos di nomor urut dua belas, di bawah nama Niki Keita.
Di waktu yang sama, satu jam dari tempat wawancara, lokasi huni Niki saat ini berada di lantai dua, bangunan tertinggi di kawasan itu. Atap yang terkena rintik hujan sangat jelas derasnya hingga Niki harus menutup telinga dengan bantal agar tidurnya lebih nyenyak. Semesta kala itu menyeramkan di malamnya Niki. Kilat menyambar, gemuruh bersahutan di langit.
Pukul tiga pagi, dua orang lelaki sibuk memposisikan diri di sebelah kanannya dalam sebuah barisan. Lelaki yang lebih pendek ingin bertukar tempat dengan lelaki yang jauh lebih tinggi di barisan depan. Mereka pun bertukar, dan sosok yang berdiri di samping Niki saat itu mengenakan sepatu bertali putih, berwarna merah.
Niki melirik pada bayangan yang terpantul di sebelah bayangannya. Seorang laki-laki tinggi memberinya naung dari sengatan mentari yang terasa nyata di lengan kirinya. Ia pun penasaran dengan sosok itu. Perlahan, Ia mendongak sampai ke batas bahu, posturnya tegap. Ia lalu meneruskan hingga ke batas jakun, lehernya jenjang. Sedikit lagi sampai ke batas wajah, sayang sekali semesta malah memburamkan rupanya.
Tiba-tiba, peluit ditiup dan semua orang mulai berlari. Ia berlari di sebelah lelaki misterius tadi. Lagi, Niki masih penasaran dengan wajahnya. Namun sayang, kali ini tali sepatunya lepas dan membuatnya tertinggal di belakang. Dua kali, Ia kecewa lagi. Sambil memasang kembali tali sepatunya, Ia berharap lelaki itu akan muncul lagi.
Namun kali ini yang muncul bukan manusia, melainkan kunang-kunang berpendar hijau diam sebentar di bahu kirinya. Tak lama, kunang-kunang mungil itu terbang ke sosok laki-laki yang sedang berlari di hadapan Niki, Si Tuan Sepatu Merah akhirnya muncul kembali.
Harapannya tak jadi sirna. Ia mendekati sosok itu dan mengetuk pelan bahunya agar menoleh dan mereka bisa bertatapan. Namun sayang, usaha ketiganya untuk melihat rupa lagi-lagi gagal karena laki-laki itu mengulurkan tangannya terlebih dahulu dan berkata, “Ayok, bareng.”
“Lagi! Mimpi itu lagi!”
Tuan sepatu merah mampir untuk yang kesekian kalinya. Niki segera mencari sweet pills, buku diary berwarna cokelat yang sampulnya penuh ukiran bunga anyelir. Kertasnya cokelat tanpa garis dan terdapat lipatan di beberapa halaman. Ia membuat tanda khusus untuk mimpi tentang Tuan Sepatu Merah.
Jarinya membuka halaman dengan tanda khusus yang serupa. Dimulai dari akhir tahun 2020 hingga malam ini, Maret 2022. Dan secara kebetulan, mimpi yang barusan pernah terjadi di tanggal 22 Desember 2020 dan 23 Maret 2021. Sangat sama, dengan kejadian yang lagi-lagi membuatnya bertanya-tanya siapa sosok misterius itu.
Halaman baru yang kosong itu ia beri tanda warna merah muda, artinya Episode Satu. Totalnya ada tujuh kejadian tentang lelaki itu. Merah muda, biru, kuning, oranye, hijau, merah, dan ungu. ‘Sepatu merah, siapa tuanmu?’ kutipnya di setiap ujung halaman.
Setiap episode memiliki latar tempat yang berbeda. Ruangan penuh komputer, gudang yang terbengkalai, festival di taman kota, bioskop, halaman rental mobil, dan terakhir di minimarket merah. Tentunya, di malam-malam yang berbeda antara dua tahun itu. Hanya saja, lokasi lari pagi barusan sudah berulang tiga kali, sedangkan mimpi yang lain berulang dua kali saja.
Bagi Niki, semesta sedang memberinya teka-teki. Perihal sosok tersebut harus Ia temui atau akan Ia temui Ia tidak tahu sama sekali. Ia pun sadar, mimpi yang berulang bukan sesuatu yang biasa. Bahkan kedua temannya, Oxel dan Mila, waktu itu pernah mengaku bahwa tidak semua orang mengalami hal yang dialami Niki. Entah takdir atau peringatan untuk Niki, malam ini masih menjadi misteri yang ketiga kalinya Niki ceritakan ke dua orang kawannya.
Setelah melewati pagi buta yang menyeramkan, sore itu Oxel mengajak Mila dan Niki untuk mengerjakan pesanan bucket bunga di kostnya. Niki tidak ikut merangkai, tangannya tidak selihai Oxel dan Mila kalau urusan tata menata. Ia disana untuk memotret hasilnya saja lalu diunggah ke akun sosial media mereka.
Suasana sore yang tenang setelah hujan. Dua kawan Niki sedang menata bucket penuh kedamaian. Sedangkan Niki yang tidak tahu harus melakukan apa berulang kali melirik Oxel dan Mila bergantian.
“Jadi…”
Satu kata pemecah keheningan. Mila segera menghentikan aktivitasnya, “Kali ini yang mana?” tanya Mila serius.
“Episode satu, yang lari pagi.” jawab Niki tidak kalah serius.
“Tunggu, itu lagi? Bukannya sudah ya pas ujian praktikum kimia organik tahun lalu?”
Mereka berdua sepakat akan membantu Niki memecahkan misteri ini, terutama Mila. Pasalnya Niki bukan seseorang yang seimajinatif itu untuk mengarang cerita. Ia adalah kawan mereka yang paling logis, satu-satunya mahasiswa kimia yang berhasil mengkhatamkan buku kimia organik fessenden sebanyak dua jilid di angkatannya. Ia terlalu masuk akal untuk pengalaman yang tidak masuk akal, bahkan di luar nalar. Semesta tampaknya salah memilih manusia kali ini, seharusnya Mila jangan Niki.
Sedangkan Oxel membantunya karena ada kesamaan kejadian antara dirinya dan kekasihnya. Kekasih Oxel menceritakan mimpi tentang wanita yang mengajaknya ke rumah kayu tua yang kebetulan, kata Oxel lokasi itu persis suasana rumahnya di seberang. Dan saat ini, Oxel pun penasaran apakah Niki akan bertemu dengan sosok dalam mimpinya itu dan menceritakan mimpi ini kelak kepada Tuan Sepatu Merah.
"Kamu yakin pindah kost?” pertanyaan Mila menghentikan tangan Oxel yang sedang merangkai susunan bunga. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak tahu apa yang baru saja Niki lakukan. Matanya melirik ke arah Mila penuh tanda tanya.
“Temen lu ikut pelatihan kerja di Banjarbaru.” Mila menjelaskan. Ia bahkan menceritakan dengan rinci apa yang Niki alami saat wawancara beberapa hari yang lalu.
“Terus skripsimu gimana?!” Oxel menyentak, rasanya Ia ingin menjitak Niki di jidat.
"Tenang, tinggal dikit kok.” Niki terlanjur membuat keputusan untuk mengikuti kegiatan pelatihan kerja ini. Karena skripsinya yang tak kunjung selesai dan namanya terlanjur terlampir di nomor urut sebelas peserta yang lolos pelatihan kerja, Ia memilih untuk menenangkan pikirannya sambil melakukan aktifitas lain.
"Kamu pikir abis ikut pelatihan ini langsung selesai gitu aja? Abang aku kemarin ikut pelatihan kerja tata boga deket rumah sebulan, habis itu magang tiga bulan. Disuruh buat laporan pula. Banyak tugasnya."
Untuk kedua kalinya, Oxel menceritakan pengalaman abang kandungnya sendiri selama mengikuti pelatihan kerja. Pertama kali Niki mendengarnya ketika Ia membaca informasi tentang pelatihan itu. Kemudian, Ia memutuskan untuk mengerjakan tes tertulisnya. Oxel tidak menyangka Niki menyimak itu semua, dan Niki pun juga tidak percaya Ia lolos semua tahapan hingga akhir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!