Morning light is coming.
Sorot mentari menyusuri dataran rendah di sebuah kota kecil yang melintang di garis khatulistiwa. Berkasnya memancar di antara lapisan awan menuju celah pintu kaca. Sebagian lagi membias dalam genangan air di depan gedung dua lantai, bahkan sinar itu berusaha menembus dinding putihnya. Namun sayang, sinar mentari tak berdaya mendobrak dinding. Ia memantul kembali menuju seseorang bersepatu merah yang melangkah tegas menuju gedung itu, yang kini tengah berdiri di depan pintu kaca.
Sebenarnya, apa yang ingin semesta siarkan pagi ini?
...∞...
The leaf fell down.
Daun ketapang yang lebar telah termakan usia. Begitu kuning, penuh bercak, layu, dan tua. Tangkainya tak lagi tahan bergantung pada cabang pohon besar di depan gedung dua lantai. Ia memilih jatuh, lalu memasrahkan hidup, mengikuti arus angin yang tenang, mengetuk sebuah pintu kaca. Namun sayangnya tanpa sengaja, sepatu merah tiba dan menginjaknya.
Semesta berduka meski sebentar, mendoakan awal baru untuk nasibnya sebagai daun keberuntungan di kota kecil itu. Kata semesta, siapapun yang menginjaknya, akan bahagia. Terima kasih sudah bertahan hingga akhir, wahai daun ketapang tua. Akhirmu itu menjadi awal bagi dua orang asing yang begitu canggung untuk sekedar menyapa dan berbicara.
Mentari pun menyorot pemilik sepatu merah yang melangkah masuk, angin mengumpat pelan ke telinganya. Namun sayang, bisikan angin teredam oleh suara berisik dari seorang gadis berbaju navy yang duduk manis di ruang tunggu. Ia bersandar pada dinding putih yang tak mampu didobrak sinar mentari tadi.
Apa yang membuatnya begitu tak peduli pada kabar duka daun ketapang tua di pagi hari?
...∞...
“Enchanted!” gadis itu berteriak heboh dan histeris, mengejutkan semua orang, termasuk tuan bersepatu merah yang baru masuk.
Pagi hari itu, untunglah tidak ada peserta wawancara yang punya riwayat penyakit jantung. Tatapan sinis sudah cukup mengutuknya tanpa suara. Gadis cuek ini sedang menikmati waktu tunggu sambil menebak kuis lirik lagu Taylor Swift di youtube melalui layar handphone ungunya.
Tuan Sepatu Merah melirik ke sumber suara, “Mirip punyaku?” Ia bergumam.
Ia langsung mengambil posisi duduk berseberangan dengan sumber kebisingan, diam tanpa suara. Masker putih menutup sebagian wajahnya yang sempurna sehingga tidak ada yang tahu apa yang sedang diperhatikannya detik ini, terutama gadis itu, yang memang tidak peduli dengan kehadirannya sedari tadi.
“Tunik navy?” gumamnya kedua kali.
“Celana putih?” alis kanannya terjungkat, dan sudut bibirnya menyeringai sepeleh. Setidaknya, ada satu pesaing yang Ia tebak akan gugur.
Sudut netranya yang tajam menilai bahwa gadis itu sembrono dalam memilih kemeja wawancara. Ia yakin, gadis itu hanya mengambil sesuatu yang nampak bagus untuk dikenakan. Berbeda dengan dirinya. Ia mengenakan kemeja putih licin, celana panjang dan hitam, lengkap dengan ikat pinggang sewarna yang pas dengan proporsi kaki jenjangnya.
Ia pun lanjut menilik sudut lain, berharap ada satu dua peserta lagi yang melakukan kesalahan. Tepat di sebelah kanannya ada perempuan yang membuat eye contact tanpa sengaja. Sedetik kemudian perempuan itu menengok ke kanan membuang muka, takut kepergok kalau sedari tadi Ia sudah memperhatikan si tuan.
Tuan sepatu merah menyeringai di balik masker. Ia pun melepaskan maskernya perlahan, seirama langkah lelaki yang melintas gontai menuju ruang wawancara.
“Niki Keita.”
Si gadis swifties lalu berdiri. Ia segera memasukkan handphone ungu ke dalam tas hitam, beranjak tegas dari kursinya menuju ruang wawancara.
Tak tuk tak tuk. Ia berjalan cepat bukan terburu-buru, namun memang begitu, jalannya cepat. Semua peserta spontan menatapnya sinis, kembali mengutuknya dalam diam hanya karena suara langkah kaki yang berisik.
...∞...
Kursi pun telah menunggu Niki, bersama dengan lelaki tua kurus yang duduk di salah satu kursi yang tersedia. Lelaki ini tidak menoleh sedikit pun. Ia tetap duduk membungkuk menatap Ibu Yuni, pegawai dinas industri yang akan mewawancarai mereka berdua hari ini.
“Saya akan menanyakan tiga pertanyaan dalam wawancara ini. Dilihat dari jawaban kalian, sepertinya kalian berdua sangat ingin menguasai desain grafis.”
Hening sekitar lima detik. Ibu Yuni menatap mereka bergiliran lalu membaca secarik kertas resume. Entahlah milik siapa, Ia membacanya dalam hati.
Setiap Ibu Yuni menganga telinga Niki langsung merekah. Ia menunggu namanya atau nama laki-laki itu yang disebut duluan. Matanya berkedut, alisnya bertaut. Pikirannya malah menebak-nebak nama saingannya itu.
“Menurut kalian,” Niki kembali fokus. “Desain grafis ini keahlian sepenting apa?”
“Sangat penting, bu.” jawab Niki mantap.
“Berhubung saya punya usaha pribadi di bidang kuliner, yang belum terlalu besar karena belum punya karyawan, hanya beberapa orang yang membantu, jadi saya perlu keahlian ini untuk desain logo, kemasan, dan feed media sosial.”
Ibu Yuni meresponnya dengan anggukan, “Keahlian untuk marketing ya.”
“Kalau kamu?” tanyanya kemudian ke saingan Niki.
“Saya mau daftar kerja, bu. Perusahaan cat yang lagi buka lowongan perlu karyawan yang bisa desain katalog. Jadi, saya berminat untuk mengikuti pelatihan ini.” jawabnya tenang, santai, bahkan bisa dibilang, tidak ada semangat.
Mata Niki memincing mendengar gaya bicaranya. Laki-laki ini tidak menunjukkan setengah dari antusias yang dimilikinya. Seperti terpaksa, pasrah, kalau lolos syukur, kalau nggak ya legowo.
Ia tersenyum tipis sambil menunggu pertanyaan kedua. Mana mungkin diterima kalau intonasi bicaranya lemah begitu. Pikir Niki, lelaki tua ini tidak mungkin lolos.
Namun sesaat kemudian, senyum tipis di sudut bibir Ibu Yuni membuatnya ragu.
‘Mengapa beliau tiba-tiba tersenyum begitu?’ pikir Niki.
“Menurutmu,” Ibu Yuni menyita fokusnya kembali.
“Desain grafis diperlukan untuk bidang apa saja?”
Saingan Niki tiba-tiba bersuara duluan. Ia merebut semua jawaban yang masih Niki pikirkan, membuatnya tambah gugup dan bingung harus menjawab apa agar tidak disangka meniru.
“Luas ya, bu. Pemasaran, percetakan, administrasi, bahkan setiap bidang pekerjaan harus bisa desain presentasi yang apik agar terkesan profesional dan melek teknologi. Cuma ya, sekarang kan lebih praktis pakai canva, nah saya pribadi mau belajar desain tanpa mengandalkan template.”
“Hm, begitu rupanya.” Ibu Yuni merespon.
Niki lagi-lagi mengintip mimik wajah Ibu Yuni. Beliau tersenyum lebih manis dari sebelumnya, keringatnya langsung mengalir pelan di pelipis kiri.
“Kalau kamu?” beliau menunggu jawaban Niki.
“Jujur, sama seperti masnya, tapi untuk sekarang fokus saya adalah marketing jualan.” seketika ruangan dingin itu terasa panas baginya. Jawaban yang tidak mantap.
Kepalanya mundur, bahkan badannya membungkuk. Ia berusaha sesantai mungkin seperti saingannya yang memang duduk membungkuk sedari tadi, konsisten tanpa semangat.
Akhirnya, pertanyaan terakhir dilayangkan Ibu Yuni.
“Kesibukannya apa sekarang?”
Pertanyaan ini fatal untuk Niki. Kalau jujur, kemungkinan besar Ia tidak akan lolos karena masih kuliah semester akhir. Kalau bohong pasti ketahuan, karena tidak sulit membaca ekspresi wajah Niki bahkan bagi orang asing sekalipun, apalagi orang seperti Ibu Yuni.
“Saya mahasiswa semester akhir, bu. Sisa skripsi.” Ia memilih jujur.
“Lho?” Ibu Yuni mengernyitkan dahi, “Gimana bagi waktunya nanti kalo ikut pelatihan? Sebulan lho, dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Senin sampai jumat.”
“Bisa aja kayaknya bu, soalnya nggak ada mata kuliah lain selain yang satu itu.” pasrah, hilang sudah ambisinya.
Ibu Yuni nampak mempertimbangkan keseriusan Niki sambil menunggu jawaban si calon peserta pelatihan yang satunya. Tanpa ragu-ragu, laki-laki itupun menjawab,
“Saya nganggur, bu.” tamat sudah.
...∞...
“Wijaya Bayuaji.”
Petugas gedung menunggu satu orang lagi untuk sesi wawancara berikutnya. Mata beliau dengan cepat memperhatikan satu laki-laki tinggi yang sedari tadi menarik perhatian satu jemaah ruang tunggu. Semakin mendekat langkahnya, semakin tinggi petugas itu mendongak. Agaknya, ruang wawancara ini terlalu kecil untuknya.
Di seberang sana sudah menunggu dua orang perempuan, Ibu Yuni dan seorang calon peserta pelatihan yang membuat eye contact dengannya tadi.
Mata Ibu Yuni memperhatikan resume mereka berdua. Ia membelalak setelah membaca milik Wijaya.
“Disini kamu tulis mau ikut dua pelatihan, desain grafis dan tata busana. Mana bisa begitu. Jadwalnya aja barengan, kamu harus pilih salah satu."
Padahal duduk saja belum benar. Kakinya tertekuk delapan puluh derajat, kasihan.
“Saya sudah putuskan untuk ikut desain grafis, bu. Soalnya pas saya ke gedung tata busana tadi, nggak ada peserta cowok yang datang wawancara. Mending disini aja.”
Mendengar jawaban Wijaya yang seakan pasti lolos itu, alis kiri Ibu Yuni terangkat, lalu beralih menatap wanita berkacamata di sebelah Wijaya.
“Kalau kamu? Apa alasan utama kamu ikut pelatihan ini?”
“Saya nganggur aja sih, bu.” jawab perempuan itu. “Saya ikut pelatihan ini untuk mengisi waktu luang. Itung-itung, nambah softskill juga.”
‘Hanya untuk mengisi waktu luang katanya?’
Ibu Yuni mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di meja. Yang satu dengan sombongnya mengambil dua pelatihan, satunya lagi dengan sombongnya hanya ikut untuk mengisi waktu luang. Tidak ada yang serius di antara mereka berdua.
“Menurut kalian, desain grafis ini keahlian sepenting apa?”
“Penting banget, bu.” sahut Wijaya cepat.
“Apalagi pasca covid begini banyak orang mencari kerja yang bisa remote dari rumah. Keahlian di bidang komputer itu bagus banget, salah satunya desain grafis.” tatapnya tanpa kedip.
“Remote? Oh, kamu mau melamar jadi apa memangnya?”
“Desain grafis itu luas, dan kalau ahli bayarannya lumayan. Misalnya, jadi content creator di perusahaan start up, atau jadi komikus webtoon. Tapi kalau saya sih, mau nge-desain yang mudah-mudah aja. Misalnya buat logo UMKM, karena saya kan punya usaha di rumah.”
“Intinya, marketing kan?” sahut Ibu Yuni singkat.
Wijaya mengangguk dan lanjut memberikan alasan lain.
“Saya sadar pas kerja di gudang kemarin. Temen saya ada yang kerjanya remote doang karena bisa desain. Dibandingkan dengan saya yang harus capek dulu baru diupah, dia bisa dapat uang sambil duduk di rumah. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti wawancara ini, dan semoga berhasil lolos.” Ia tersenyum puas dengan jawabannya.
“Iya sih, bener katanya, bu.” timpa saingannya yang menyimak semua alasan Wijaya sejak detik pertama.
Ibu Yuni sedikit heran mendengar respon saingan Wijaya, “Kamu sama seperti dia?” terkanya.
“Nggak sih bu, saya baru lulus tahun ini. Jadi saya mau nambah kesibukan aja.”
“Oh iya, kesibukanmu apa sekarang? Nggak ada?” terka Ibu Yuni lagi.
“Iya bu, saya nganggur.”
“Kalau saya sudah resign dari pekerjaan sebelumnya di gudang minimarket. Jadi, niat saya memang ingin fokus ke pelatihan ini saja.” sabet Wijaya.
Ibu Yuni manggut-manggut sambil memperhatikan kertas resume mereka lagi. Wawancara pun berakhir. Namun, belum sempat Ia mempersilahkan keduanya pergi, tiba-tiba Wijaya kembali berbicara.
“Kan awalnya saya bingung mau ambil tata busana atau desain grafis,-” seketika Ibu Yuni menangkupkan wajahnya di atas meja.
“Karena jujur, orang tua saya punya usaha jahit. Tadi saya sempat mikir apa saya menjahit aja untuk meneruskan usaha yang ada, tapi karena tadi pas lewat situ nggak ada peserta cowok yang daftar, takutnya saya nggak nyaman. Jadi, saya mau desain grafis aja.”
...∞...
Lima hari setelah wawancara berlalu, pengumuman yang dinanti-nanti calon peserta pelatihan pun tiba. Sayang sekali, saingan Wijaya tidak lolos dan masuk dalam daftar tunggu, waiting list. Malam itu, Ia berharap setidaknya satu atau dua orang mengundurkan diri dari jurusan desain grafis. Karena dilihatnya, nama Wijaya lolos di nomor urut dua belas, di bawah nama Niki Keita.
Di waktu yang sama, semesta kala itu menyeramkan di malamnya Niki. Kilat menyambar, gemuruh bersahutan di langit. Pukul tiga pagi, dua orang lelaki sibuk memposisikan diri di sebelah kanannya dalam sebuah barisan. Lelaki yang lebih pendek ingin bertukar tempat dengan lelaki yang jauh lebih tinggi di barisan depan. Mereka pun bertukar, dan sosok yang berdiri di samping Niki saat itu mengenakan sepatu bertali putih, berwarna merah.
Niki melirik pada bayangan yang terpantul di sebelah bayangannya. Seorang laki-laki tinggi memberinya naung dari sengatan mentari yang terasa nyata di lengan kirinya. Ia pun penasaran dengan sosok itu. Perlahan, Ia mendongak sampai ke batas bahu, posturnya tegap. Ia lalu meneruskan hingga ke batas jakun, lehernya jenjang. Sedikit lagi sampai ke batas wajah, sayang sekali semesta malah memburamkan rupanya.
Tiba-tiba, peluit ditiup dan semua orang mulai berlari. Ia berlari di sebelah lelaki misterius tadi. Lagi, Niki masih penasaran dengan wajahnya. Namun sayang, kali ini tali sepatunya lepas dan membuatnya tertinggal di belakang. Dua kali, Ia kecewa lagi. Sambil memasang tali sepatu Ia berharap lelaki itu akan muncul lagi.
Namun kali ini, yang muncul bukan manusia, melainkan kunang-kunang berpendar hijau diam sebentar di bahu kirinya.
Tak lama, kunang-kunang mungil itu terbang ke sosok laki-laki yang sedang berlari di hadapan Niki, si tuan sepatu merah akhirnya muncul kembali.
Harapannya tak jadi sirna. Ia mendekati sosok itu dan mengetuk pelan bahunya agar menoleh dan mereka bisa bertatapan. Namun sayang, usaha ketiganya untuk melihat rupa lagi-lagi gagal karena laki-laki itu mengulurkan tangannya terlebih dahulu dan berkata, “Ayok, bareng.”
“Lagi! Mimpi itu lagi!”
Tuan sepatu merah mampir kembali untuk yang kesekian kalinya. Niki segera mencari sweet pills, buku diary berwarna cokelat yang sampulnya penuh ukiran bunga anyelir. Kertasnya cokelat tanpa garis dan terdapat lipatan di beberapa halaman. Ia membuat tanda khusus untuk mimpi tentang Tuan Sepatu Merah.
Jarinya membuka halaman lain dengan tanda khusus yang serupa. Dimulai dari akhir tahun 2020 hingga malam ini, Maret 2022. Dan secara kebetulan, mimpi yang barusan pernah terjadi di tanggal 22 Desember 2020 dan 23 Maret 2021. Sangat sama, dengan kejadian yang lagi-lagi membuatnya bertanya-tanya siapa sosok misterius itu.
‘Sepatu merah, siapa tuanmu?’ kutipnya di ujung halaman.
Pada halaman lain, Tuan Sepatu Merah menghampirinya di lokasi yang berbeda. Ruangan penuh komputer, gudang yang terbengkalai, festival di taman kota, bioskop, halaman rental mobil, dan terakhir, di minimarket merah. Tentunya, di malam-malam yang berbeda antara dua tahun itu. Hanya saja, lokasi lari pagi barusan sudah berulang tiga kali, sedangkan mimpi yang lain berulang dua kali saja.
Bagi Niki, semesta sedang memberinya teka-teki. Perihal sosok tersebut harus Ia temui atau akan Ia temui, Ia tidak tahu sama sekali. Ia pun sadar, mimpi yang berulang bukan sesuatu yang biasa. Bahkan kedua temannya, Oxel dan Mila, waktu itu pernah mengakui bahwa tidak semua orang bisa ingat dengan mimpi yang dialami sedetail Niki.
...∞...
Sore itu, Oxel mengajak Mila dan Niki untuk mengerjakan pesanan bucket di kostnya. Niki tidak ikut merangkai, tangannya tak selihai Oxel dan Mila kalau urusan tata menata. Ia disana untuk memotret hasilnya saja lalu diunggah ke akun sosial media.
Suasana sore yang tenang setelah hujan. Dua kawan Niki sedang menata bucket penuh kedamaian. Sedangkan Niki yang tidak tahu harus melakukan apa, berulang kali melirik Oxel dan Mila bergantian.
"Kamu yakin pindah kost?” pertanyaan Mila memecah ketenangan di kamar Oxel.
Niki meresponnya cepat, “Ho-oh. Sebulan doang mah ga masalah.”
Oxel kebingungan. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak tahu apa yang baru saja Niki lakukan. Matanya melirik ke arah Mila penuh tanda tanya.
“Temen lu ikut pelatihan kerja di Banjarbaru.” ujar Mila. Ia bahkan menjelaskan dengan rinci apa yang Niki alami saat wawancara beberapa hari yang lalu.
“Terus skripsimu gimana?!” Oxel menyentak.
Kali ini mata Niki melirik ke kanan dan ke kiri, tapi tidak ada satupun yang menarik di kamar ini untuk dipandang, selain jemari lentik Oxel dan Mila.
“Woy, mbak?” tegur Mila lagi.
“Dijawab noh." rasanya, Ia ingin menjitak Niki di jidat.
"Tenang, tinggal dikit kok.”
Mila menatap sahabatnya itu tanpa ekspresi. "Bener ya ternyata, orang pinter biasanya malas."
"Bukan gitu. Aku pengen menjernihkan pikiran dulu. Sebulan doang, sumpah."
Niki terlanjur membuat keputusan untuk mengikuti kegiatan pelatihan kerja ini. Karena skripsinya yang tak kunjung selesai, Ia bertekad untuk terjun ke dunia kerja terlebih dahulu. Respon yang cukup mengejutkan sebenarnya karena Niki adalah mahasiswa terbaik di angkatannya. Mengapa Ia begitu gegabah di penghujung semester ini?
"Kamu pikir abis ikut pelatihan ini langsung selesai gitu aja? Nggak, mbak. Abang aku kemarin ikut pelatihan kerja tata boga deket rumah sebulan, habis itu magang tiga bulan. Disuruh buat laporan pula. Banyak tugasnya." untuk kedua kalinya, Mila menceritakan pengalaman abang kandungnya ke Niki.
"Lagian kamu random banget tiba-tiba daftar. Dapat info darimana coba?" Oxel nampak begitu geregetan dengan keputusan Niki.
"Instagram." untuk kedua kalinya, Oxel benar-benar ingin menjitak Niki di jidat. Ia mendengus kesal.
“Kayaknya skripsiku juga selesai di sana deh. Soalnya, pertama kali aku dapat ide judul itu pas konsul PKM sama Pak Totok, dosen FMIPA. Terus pas aku jadi moderator seminar beliau, aku ketemu sama dosen FMIPA yang ngerti tentang konsep quanta dan frekuensi.”
“Intinya apa?” tanya Mila tenang.
Niki memandangi kedua kawannya tegas. Sorot matanya jelas sedang serius menanggapi hal yang Oxel anggap tak berarti, “Aku pengen stay disana satu bulan buat mengikuti pelatihan kerja itu dan menyelesaikan skripsiku.
The rain is pouring.
Hujan lebat mengguyur kota tujuan Niki sore itu, sedangkan Ia dalam perjalanan menuju tempat huni yang baru. Ia berkendara dengan sahabat karibnya, sepeda motor beat merah legend yang telah menemani petualangannya dari kota ke kota, daerah ke daerah, bahkan pelosok desa ke desa lainnya.
Maskernya tak lagi menyaring udara kotor, melainkan menampung air rembesan dari helm ke wajah. Ia pun menepi ke minimarket merah yang berjarak lima belas kilometer dari tempat tujuan.
Benar saja, maskernya seperti dilaundry. Bersih dengan perasan sekali pelintir. Ia membuang masker itu, meletakkan helm di meja luar toko, melepas jas hujan, lalu masuk membeli air minum.
Niki berdiri cukup lama di depan pintu kulkas minuman. Air dari sandalnya sampai menggenang ke bawah rak estalase toko di belakangnya.
Hampir saja seorang bocah laki-laki tergelincir kalau tidak berpegangan pada bagian bawah bajunya, yang spontan membuatnya menoleh ke bawah.
“Kakak kayak tikus kecebur got.”
Sejak pengumuman lolos wawancara pelatihan kerja, Ia segera mengurus pindahan dadakan ke kota yang familiar itu. Kesibukan yang sangat dinanti akhirnya membuat si gadis random Niki bisa menikmati waktu rehat sejenak di kota orang. Kini, sebotol teh aroma melati berada dalam genggamannya menuju kasir.
Hujan yang mengguyur bukan alasan untuk menunggu hari esok baru bergerak. Perjalanan satu jam dari tempat huni sebelumnya bukan alasan Ia untuk lelah mengendarai sepeda motor di jalanan licin. Kemauannya lebih keras dari realita yang menghadang. Bukannya menjadi tembok, semesta seakan memberikan banyak rejeki yang menghujani dirinya melalui rintik air langit. Kesehatan, keselamatan, keberkahan, dan kebahagiaan.
Sekitar pukul empat sore Ia sampai di titik tujuan, tepatnya di depan pagar stainless steel. Dua puluh menit lebih cepat dibanding Mila yang dengan segenap hati membantu Niki membawakan perkakasnya menggunakan mobil.
Tak mungkin Ia langsung masuk, karena pagar itu masih terkunci. Tak mungkin juga Ia berteriak ‘permisi’ karena bangunan panjang itu jauh berada di dalam. Antara pagar dengan bangunan dipisah oleh lapangan luas yang muat untuk sepuluh truk pasir parkir. Di sebelahnya bertajak menara telepon yang sangat besar untuk keperluan sinyal satu kecamatan.
“Kantor PLN, ya?” pikir Niki.
Ia pun menyalakan mesin motornya lagi dan mengendara pelan mengikuti jalan di dalam gang itu.
Ujungnya adalah sebuah lapangan yang dua kali lebih luas dari lapangan yang Ia lihat sebelumnya. Di sebelah lapangan itu ada rumah sederhana yang cocok dengan foto kiriman ibu kost di whatsapp.
Rumah cat biru dengan pagar biru. Ada pohon jambu besar di depannya sebagai hunian tupai-tupai liar. Ia pun parkir di bawah pohon itu.
Kawasan ujung gang ini dibatasi oleh pagar hijau setinggi dada yang bertajak dari ujung kiri lapangan hingga ke ujung kanan bangunan rumah. Kaki Niki seakan tertarik magnet pagar hijau, Ia pergi menengok pemandangan di belakang lapangan sambil membawa handphone ungunya.
Penatnya terasa saat langkahnya pelan perlahan, saking luasnya lapangan ini. Dan sampailah Ia di depan panorama terindah.
Hidden gem kata orang.
Pemandangan yang disuguhkan secantik imajinasi anak-anak tentang taman bermain di bawah kaki gunung. Air sungai mengalir tepat di bawah halaman luas yang berdiri di atas tembok tinggi ini. Suaranya menderu, pas sekali di telinga Niki. Apalagi, kalau dinikmati setelah subuh, pasti jauh lebih syahdu. Di seberang sungai, berjejer perumahan warga yang dominan terbuat dari kayu.
Suasana sore setelah hujan benar-benar romantis. Rintik kecil yang masih menetes dari langit seakan membuat kontak fisik dengannya untuk merasakan sejuknya air di tempat baru itu. Aroma angin sangat segar dan harum, karena banyak tanaman hias dengan bunga warna-warni dan pohon-pohon besar di sekitarnya. Kupu-kupu mulai beterbangan ke atas menyapa Niki. Beberapa kucing mulai mengeong di dekat kakinya.
Sore itu, Niki tersenyum hangat di tengah sejuknya hari.
“Makasih, Mil.” Ia menyampaikan rasa terima kasihnya sambil menatap arus sungai yang deras di bawah sana.
“Nak Niki ya?”
Spontan tubuhnya berbalik ke sumber suara, “Ibu Husna?”
Keduanya bertemu pandang, antara seorang anak gadis yang kabur dari derita semester tua dan seorang wanita jelita yang nampak mendambakan anak perempuan sejak lama.
Ibu Husna punya wajah yang hangat. Meski tertutupi kerutan umur, kulit wajah beliau tetap berseri. Matanya cerah dan sipit, dan beliau lebih tinggi dari Niki.
“Kehujanan sepanjang jalan kah, Nak? Basah semua bajumu.”
Beliau pun mendekat, meraih tangan Niki yang nampak kedinginan.
“Ayok masuk, Ibu buatin teh anget ya sambil kita lihat-lihat kamar.”
Ibu Husna memimpin roomtour di depan. Setapak demi setapak beralun gemerincing kunci di tangan kanannya. Beliau membukakan pintu kamar paling ujung kanan dengan cat pintu berwarna tosca.
“Ini kamar paling besar. Ada kamar mandi dalamnya. Ayok masuk.”
Begitu pintu dibuka, netra Niki berbinar melihat dinding merah muda kamar ini. Tangannya tidak mau diam, ikut meraba dinding kamar yang terbuat dari keramik. Matanya mengedar dari ujung kiri kamar, satu buah ranjang lawas, satu set lemari baju beserta meja belajar, dan ya, pikirannya sudah menata buku dan bajunya sedemikian rupa. Bahkan tunik navy seakan sudah menggantung di gantungan besi dekat meja belajar.
Beralih ke kamar mandi, lampunya terang. Dindingnya tinggi dan bebas cicak. Nampak tidak ada celah antara dinding hingga plafon, full keramik. Lengkap dengan ember dua buah, tiga gantungan, dua sikat baju, dan cairan pembersih lantai. Ibu Husna benar-benar disiplin perkara kebersihan.
“Airnya pakai air sumur. Nggak papa aja, kan?” tanya Ibu Husna tapi beliau tidak mendengar sahutan apapun.
Beliau lalu menoleh ke belakang. Rupanya Niki masih terpaku pada tembok keramik kamar mandi itu yang benar benar bersih tanpa celah. Ia bisa membayangkan betapa tenang waktu me time nya kelak tanpa harus menjerit karena seekor cicak.
“Nah, disini dapurnya.” tunjuk beliau ke arah kompor satu tungku dekat pintu masuk ke ruang tengah.
Di sebelah kiri ada wastafel yang sangat bersih. Lalu, Ia mempersilahkan Niki masuk ke bagian dalam ruangan, tepatnya di belakang dapur yang sempit. Ada dua kamar mandi, lengkap dengan shower dan tentu saja toilet jongkok.
“Ada sisa dua kamar yang kamar mandinya gabung. Kalau kamar mandi dalam cuma sisa satu, yang pintu tosca tadi. Nak Niki rencananya disini berapa lama?”
“Untuk satu bulan dulu, bu.” Akhirnya Niki bersuara.
“Saya kan sebenarnya cuma ikut pelatihan kerja, jadi nggak bakalan lama juga.”
“Oh, ya? Semoga lancar pelatihannya, ya nak. Semoga betah disini.”
“Nak, minum dulu, biar nggak masuk angin.”
Ibu Husna menyuguhkan segelas teh untuk digenggam Niki, kemudian Ia menyeruputnya. Bahkan rasa teh anget itu mirip buatan ibundanya di kampung sana. Hampir saja matanya berair. Ia sangat terharu dengan semua jamuan yang diterima dari kota ini. Satu kota seakan mempersilahkannya untuk tinggal lebih lama.
Mobil biru pun tiba dan parkir di belakang motor Niki. Mila akhirnya sampai dengan selamat. Kemudian, Ia segera turun dari mobil untuk ikut melihat-lihat lokasi huni yang misterius itu, jauh dari pusat kota dan terletak tepat di ujung gang. Cocok untuk anak rantau tanpa rencana seperti sahabatnya.
"Jadi pilih yang mana?" tanya Mila mendekat.
Niki masih diam menggenggam teh anget.
"Woy. Jangan kelamaan milihnya." Mila menyenggol bahunya agar sadar bahwa saat ini Ibu Husna sedang mondar mandir di halaman rumah biru ini, mencari tetangga untuk diajak ngobrol.
Niki masih diam, lama sekali. Sesekali Mila memperhatikan lirikan mata Niki ke tiga kamar kosong yang pintunya terbuka. Diperhatikannya, pupil hitam itu melebar beberapa mikro setiap menatap pintu tosca.
“Disini aja deh.” tunjuk Mila ke pintu tosca, kamar mandi dalam yang dindingnya full keramik bebas cicak.
“Insting aku bilang, kamar itu nyaman banget.” imbuhnya.
“Deal.”
Kamar ujung dengan dinding keramik merah muda. Kamar yang dingin dan estetik di kota barunya Niki. Kamar yang akan menjadi saksi kesibukannya dalam menjalani pelatihan kerja selama satu bulan ke depan. Tentang mimpi dan kenyataan yang menunggu, tentang esok pagi dan malam di kota itu.
Kamar nomor enam paling ujung kanan, pintu tosca. Kamar baru Niki dengan kamar mandi dalam. Ranjang kayu sederhana, satu set lemari dan meja belajar yang apik di sudut kiri ruangan dekat jendela. Spot itu langsung menjadi favorit Niki untuk melanjutkan curhatan malamnya bersama Sweet Pills.
“*Sweet Pills, here you go*.”
...∞...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!