Second Chance
Cuaca yang cerah dan suhu udara yang hangat menandakan telah berakhirnya musim dingin di belahan utara Jepang. Seluruh kota sedang bersiap menyambut datangnya musim semi.
Kota Biei menjadi salah satu Kota yang menyambut peralihan musim. Kota dengan sejuta pesona alam yang menakjubkan, di mana bukit-bukit dipenuhi beraneka ragam bunga yang berwarna-warni.
Di sana tinggal seorang gadis asia berkulit kuning langsat dengan pipi yang chubby. Gadis itu sedang menikmati udara segar serta hamparan ladang yang masih gundul dari teras tempat tinggalnya.
Namanya Alya, gadis periang dan ramah asal Indonesia yang bekerja sebagai perawat pribadi di Jepang. Ia merawat seorang wanita lansia berusia 86 tahun bernama Watanabe Asami, warga asli Jepang yang tinggal di dekat jalur Patch Work Road, di Distrik Omura, Kota Biei, Prefektur Hokkaido, Jepang.
Pagi ini Alya berencana mengajak Nenek Asami beraktifitas di luar ruangan, setelah bosan hanya berkeliling di dalam rumah akibat cuaca dingin yang cukup ekstrem di sepanjang musim dingin.
Setelah suhu udara cukup hangat, Alya membawa Nenek Asami keluar menggunakan walker. Mereka berkeliling di sekitar ladang bunga milik Nenek Asami yang berada tak jauh dari rumah.
Puas berkeliling, Alya mengajak Nenek Asami kembali ke rumah. Ia mendudukkannya di kursi goyang yang ada di teras, lalu bergegas ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk majikannya itu.
"Waktunya sarapan, Nek!" Alya muncul dari balik pintu dengan senyum cerah. Ia membawa mangkok berisi bubur dan segelas air di tangannya.
Nenek Asami langsung menoleh begitu mendengar suara Alya memanggilnya. Ia tersenyum lebar dan memperlihatkan deretan gigi palsunya yang rapi.
"Hari ini kau masak apa, Alya chan?" Nenek Asami mencoba mengintip ke dalam mangkoknya saat Alya menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya.
Alya pun mengalihkan pandangannya pada mangkok yang dipegangnya, lalu menunjuk satu persatu lauk yang tertata rapi di atas bubur.
"Hmm... Aku memasak bubur yang dicampur tuna, pakcoy, dan jamur. Apa Nenek suka?" Alya penasaran mendengar jawaban majikannya.
"Tentu saja Nenek suka! Apapun yang Alya chan masak, Nenek pasti suka. Apa lagi kalau Alya menambahkan sedikit garam," jawab Nenek Asami dengan senyum penuh.
"Pfft"
Alya yang tak tahan melihat ekspresi menggemaskan Nenek Asami, akhirnya tertawa lepas dan membuat Nenek Asami ikut tertawa bersamanya.
...****************...
Alya baru saja selesai menyuapi Nenek Asami. Kini ia membantu sang majikan mandi dan berpakaian. Setelah selesai, ia mendudukkan Nenek Asami di sofa yang berada di dalam kamarnya, lalu menyelesaikan pekerjaannya yang lain.
Saat Alya tengah asyik menata bantal, tiba-tiba ponsel Nenek Asami berdering. Ia pun segera menjawab panggilan telepon itu dan menyapa sang penelpon dengan nada lembut. Dari obrolan mereka, terdengar jelas jika Nenek Asami sangat senang menerima telepon dari orang itu.
Di akhir obrolan, Alya tak sengaja mendengar Nenek Asami berkata akan meminta tolong perawatnya untuk menjemput sang penelepon. Setelah itu ia berpamitan lalu panggilan telepon mereka terputus.
"Alya chan, apa Nenek bisa meminta bantuanmu?" Tanya Nenek Asami usai meletakkan ponselnya di atas meja.
Alya yang sudah tahu bantuan apa yang akan diminta oleh Nenek Asami, sontak menghentikan kegiatannya dan berbalik. "Bantuan apa Nek?"
"Tolong jemput cucu Nenek di bandara Asahikawa. Dia sudah tiba sejak tadi. Dasar anak itu! Dia tidak bilang kalau mau datang." Nenek Asami terdengar kesal, namun raut wajahnya berkata sebaliknya.
"Tentu saja, Nek! Kalau begitu Alya akan meminta tolong pada Bibi Akiko menemani Nenek selagi Alya ke bandara."
Sontak Nenek Asami tersenyum lega dan mengangguk pelan pada Alya. "Baiklah!"
Namun selang beberapa saat, Nenek Asami tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh iya, Nenek hampir lupa! Tunggu sebentar ya, Alya chan!"
Nenek Asami segera bangkit dan berjalan menuju lemari pakaiannya dengan bantuan walker. Ia mengambil sebuah syal berwarna merah dan mengalungkannya ke leher Alya.
"Isao chan akan mengenalimu dengan syal ini. Kau tidak akan kesulitan menemukannya, karena wajahnya agak berbeda dari pemuda jepang biasanya," kata Nenek Asami.
"Nenek tenang saja, Alya pasti mengenalinya. Alya kan sudah sering melihat Watanabe di ruang tamu." Gurau Alya sambil mengarahkan telunjuknya ke dinding.
Refleks Nenek Asami terkekeh mendengar ucapan Alya. "Benar juga! Nenek lupa kalau foto Isao terpajang di ruang tamu. Tentu saja Alya chan sudah mengenalinya."
"Kalau begitu Alya pergi dulu ya, Nek."
"Iya. Hati-hati di jalan!"
Usai berpamitan, Alya menemui Bibi Akiko dan bergegas ke bandara.
...****************...
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit, Alya akhirnya tiba di bandara Asahikawa. Untungnya suhu udara tidak begitu panas, meski matahari cukup terik. Ia memarkirkan sepedanya di lahan parkir yang tersedia dan buru-buru berjalan ke arah gedung bandara yang sudah mulai sepi.
Setibanya di gedung kedatangan, pandangan mata Alya langsung tertuju pada sosok pemuda bertubuh jangkung yang sedang duduk di jarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri.
Pemuda itu duduk di salah satu deretan kursi tunggu. Ia menumpukan kedua sikunya di atas koper yang bertengger di depannya sambil bertopang dagu.
Sebelum menghampiri pemuda itu, Alya mencoba mengamati wajahnya dari kejauhan, demi memastikan jika dialah orang yang dimaksud. Tapi baru beberapa detik memandanginya, Alya mendadak terpaku dengan mulut yang sedikit terbuka.
"Ternyata dia lebih tampan daripada yang terlihat di foto!" Gumam Alya memuji. Pandangannya tak pernah lepas dari pemuda itu. Pipinya bahkan memerah saat jantungnya berdebar tak karuan.
Wajah blasteran Eropa-Asia pemuda itu begitu kental. Matanya bulat dengan iris berwarna biru cerah. Hidungnya mancung dengan ujung hidung yang kecil. Rahangnya yang tegas, berpadu sempurna dengan dagunya yang ramping.
Saat Alya tengah asyik memandangi wajah tampan pemuda itu, ekspresi wajahnya mendadak berubah. Ia membuang tubuhnya dengan kasar pada sandaran kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Ujung depan sepatunya bergerak naik turun dengan cepat, pertanda jika dirinya sudah sangat bosan menunggu kedatangan seseorang.
Menyadari kekesalan di raut wajah pemuda itu, Alya pun langsung sadar. Berulang kali ia menepuk pipinya pelan, berusaha meredakan debaran jantungnya.
Setelah berhasil, Alya bergegas menghampiri pemuda itu dan berdiri tepat di hadapannya dengan senyum ramah.
"Permisi, apakah anda Watanabe Isao?"
Pemuda itu lantas menoleh ke arah Alya. Matanya menyipit saat ia memandangi Alya dari ujung kaki hingga ujung rambut, seolah sedang memberi penilaian pada penampilan gadis yang berdiri di hadapannya itu.
Untungnya tak butuh waktu lama hingga pemuda itu tersenyum saat tatapannya tertuju pada syal merah yang melingkar di leher Alya.
"Alya san?!" Pemuda itu balik bertanya.
Alya lalu mengangguk. "Iya."
Pemuda itu segera berdiri dan sedikit membungkuk di hadapan Alya.
"Salam kenal! Saya Watanabe Isao, cucu Nenek Asami."
...****************...
Di bawah terik matahari Isao asyik mengayuh sepedanya dengan kecepatan rata-rata, menyusuri jalan raya yang cukup lengang. Senyumnya mengembang saat angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya.
Di belakang, Alya duduk dengan canggung sembari memeluk koper sedang milik cucu majikannya itu. Ia meletakkan satu tangannya di dahi, berusaha menghalau sinar matahari yang menyilaukan matanya.
Sepanjang perjalanan, keduanya tak saling bicara dan hanya fokus menatap ke arah jalan raya. Namun ketenangan itu berubah, ketika di tengah perjalanan Isao tiba-tiba memelankan laju sepedanya dan menepi. Ia turun dari sepedanya tanpa mengatakan apapun.
Alya bingung melihat tingkah Isao itu. Namun ia tak berani bertanya padanya. Ia ikut turun dari sepeda sambil menggaruk ujung alisnya yang tak gatal.
"Aku ingin ke satu tempat. Kau bisa menunggu di sini atau ikut denganku kalau kau mau," kata Isao sambil memarkirkan sepedanya, lalu berjalan ke arah bukit ladang gandum yang tak jauh dari tempat mereka berada saat ini.
"Memangnya kau mau kemana, Watanabe san?" Tanya Alya sedikit kesal karena Isao meninggalkannya seorang diri.
Namun bukannya memberi penjelasan, Isao justru berjalan ke arah dua pohon kembar yang ada di atas bukit tanpa menoleh ke belakang.
Penasaran dengan apa yang ingin dilakukan Isao di pohon itu, Alya pun menyusulnya sambil menenteng koper milik pemuda itu.
Tapi setibanya di atas sana, Alya justru tercengang mendapati Isao yang dengan santainya berbaring di atas rerumputan tanpa dialasi apapun. Ia bahkan merenggangkan kedua tangan dan kakinya dengan nyaman, layaknya berbaring di atas kasur yang empuk.
"Sebaiknya kita bergegas pulang sekarang juga, Watanabe san! Nenek Asami pasti khawatir jika kita tidak pulang tepat waktu!" Kata Alya cemas.
Isao yang sejak tadi nampak acuh, lantas duduk dan menoleh ke arah Alya yang saat itu sedang berdiri di sampingnya sambil menenteng koper.
"Kau tidak perlu cemas, Alya san! Nenek sudah tahu jika aku akan kesini sebelum menemuinya. Jadi duduklah dengan nyaman. Nikmati pemandangan indah ladang gandum dari atas sini sambil menungguku selesai beristirahat, oke?!"
Isao melempar senyum sembari menepuk-nepuk rumput di sampingnya. Setelah itu ia kembali berbaring dan memejamkan matanya, seakan tak peduli dengan apapun yang akan Alya katakan.
Alya hanya bisa termangu melihat Isao yang masih bergeming. Bahkan ia tak terusik sama sekali, meski sinar matahari menyinari kelopak matanya melalui celah dedaunan.
Alya tak habis pikir dengan apa yang ada dipikiran pemuda itu. Tapi satu hal yang ia tahu, Isao tak akan beranjak meski dirinya memelas.
Karena itu Alya memilih duduk dan meletakkan koper Isao di sampingnya. Ia memeluk kakinya yang tertekuk dan memandangi hamparan ladang gandum hijau yang tumbuh subur di hadapannya.
...****************...
Setelah puas beristirahat, Isao akhirnya membuka mata. Ia bangkit dan duduk tepat di samping Alya yang sejak tadi hanya duduk sembari memandangi hamparan ladang gandum hijau di depannya.
Isao sempat melirik ke arah Alya sebentar, sebelum akhirnya ia ikut memandangi hamparan ladang gandum hijau di hadapannya.
"Pemandangannya indah bukan?" Tanya Isao tanpa mengalihkan pandangannya. Matanya berbinar memandangi daun gandum yang bergerak karena tiupan angin.
"Iya," jawab Alya sambil menghela nafas. Tampak jika dirinya cukup enggan menjawab pertanyaan Isao.
Mendengar jawaban Alya yang singkat, Isao lantas menyunggingkan senyum, seolah sedang menertawakan hal lucu dalam pikirannya.
"Apa kau bosan?"
Alya memanyunkan bibirnya. Ia menoleh ke arah Isao, berencana untuk protes. Tapi Alya justru tertegun saat matanya tak sengaja menangkap gurat kelelahan di wajah Isao yang terlihat jelas jika dilihat dari jarak sedekat ini.
'Apa dia kelelahan di rumah sakit?' pikir Alya, mengingat pekerjaan Isao sebagai seorang dokter residen bedah mengharuskannya siap siaga selama 24 jam.
"Kau baik-baik saja?" Isao menoleh ke arah Alya karena tak juga mendapat jawaban.
Kaget melihat Isao tiba-tiba menoleh ke arahnya, Alya pun refleks memalingkan wajahnya ke arah hamparan gandum yang ada di hadapannya.
"Iya... aku hanya kagum melihat pemandangan sekitar sini." Jawab Alya canggung. Ia khawatir, Isao akan menyadari jika sedari tadi dirinya mengamati raut wajah pemuda itu.
Namun Isao justru bereaksi sebaliknya. Ia tersenyum sumringah sambil menatap Alya dengan wajah berseri. "Kau juga merasakannya, kan?"
Alya hanya diam dengan wajah melongo. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ucapannya barusan hanya sekedar basa-basi untuk mengalihkan perhatian pemuda itu.
"I... Iya." Jawabnya dengan ragu.
"Tempat ini punya banyak kenangan untukku." Isao berkata dengan tatapan lirih. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh hamparan bukit sejauh mata memandang.
"Kenangan?" Alya tanpa sadar melontarkan pertanyaan karena penasaran.
Namun Isao tak menjawab. Ia tersentak, seolah baru saja tersadar dari lamunannya.
"Sudah berapa lama kau merawat Nenek?" Isao tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
Meski masih penasaran dengan jawaban dari pertanyaannya, namun Alya dengan senang hati menjawab pertanyaan Isao. "Satu tahun. Aku menggantikan temanku yang dulu bekerja merawat Nenek Asami."
"Aa, Rina san?" Tebak Isao. Ia menoleh ke arah Alya sambil menarik rambutnya yang agak panjang ke belakang agar tidak menghalangi pandangannya.
"Iya. Kau mengenalnya?" Alya ikut menoleh ke arah Isao dan menatapnya. Rasa canggung yang tadi ia rasakan perlahan mulai mereda.
"Tentu saja. Kebetulan aku sedang liburan ke rumah Nenek saat dia baru pertama kali bekerja." Cerita Isao tanpa mengalihkan pandangannya dari Alya.
"Kenapa Rina san tiba-tiba berhenti?" Sambungnya.
"Dia akan menikah. Rina san tidak ingin Nenek Asami merekrut perawat asal-asalan. Karena dia sudah tahu track record ku selama bekerja sebagai perawat profesional, jadi dia menawariku pekerjaannya dan mempercayakan Nenek Asami padaku." Alya menjelaskan. Namun tak lama kemudian, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
"Memang Nenek Asami tidak cerita ya?" Alya menatap Isao penasaran.
Isao tak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya pada hamparan ladang gandum di hadapannya sambil tersenyum tipis. "Aku tidak pernah membahas hal seperti itu dengan Nenek. Okaasan (Ibu) lah yang mengurusnya."
Alya mengangguk sambil membulatkan bibirnya.
"Bagaimana kalau kita pulang sekarang?" Tanya Isao lagi.
Alya hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun.
Isao pun berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Alya berdiri. "Biar ku bantu."
"Aku bisa sendiri." Tolak Alya.
Namun Isao tak kunjung memindahkan tangannya. Ia justru memicingkan matanya dan memanyunkan bibirnya pada Alya. Mau tidak mau Alya meraih tangannya dan berdiri.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Setelah membersihkan celana mereka dari rumput kering yang menempel, keduanya langsung menuruni bukit dan berjalan menuju ke tempat sepeda mereka terparkir.
Isao naik ke sepeda lebih dulu, disusul Alya yang kemudian mengatur posisi agar dirinya bisa duduk dengan nyaman sambil memeluk koper Isao.
"Aku akan mengayuh sepeda ini dengan cepat, jadi peganganlah dengan erat! Jika perlu, peluk pinggangku kuat-kuat agar kau tidak terjungkal kebelakang. Mengerti?!" Isao memperingatkan.
Alya tersentak mendengar arahan Isao. Meski begitu, ia tetap berusaha melakukan seperti yang diperintahkan pemuda itu. Ia mengarahkan kedua tangannya ke pinggang Isao dan menggenggam ujung kemejanya dengan erat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit pun.
"Aku sudah siap!"
Setelah mendengar aba-aba dari Alya, Isao pun mulai mengayuh sepedanya. Dan sesuai peringatannya, ia benar-benar mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi. Bahkan kemeja putih polosnya ikut berkibar akibat tiupan angin yang begitu kencang.
Sementara Alya tak henti berteriak, meminta Isao memelankan laju sepedanya. Ia bahkan tak sadar memeluk Isao dengan erat saking takutnya.
Isao sempat terkesiap saat Alya memeluknya. Namun dirinya tak begitu menghiraukan hal itu. Ia terus mengayuh sepedanya dan melaju dengan kencang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Reva
karakter cowoknya mantap nih!
2023-06-07
2