Cuaca yang cerah dan suhu udara yang hangat menandakan telah berakhirnya musim dingin di belahan utara Jepang. Seluruh kota sedang bersiap menyambut datangnya musim semi.
Kota Biei menjadi salah satu Kota yang menyambut peralihan musim. Kota dengan sejuta pesona alam yang menakjubkan, di mana bukit-bukit dipenuhi beraneka ragam bunga yang berwarna-warni.
Di sana tinggal seorang gadis asia berkulit kuning langsat dengan pipi yang chubby. Gadis itu sedang menikmati udara segar serta hamparan ladang yang masih gundul dari teras tempat tinggalnya.
Namanya Alya, gadis periang dan ramah asal Indonesia yang bekerja sebagai perawat pribadi di Jepang. Ia merawat seorang wanita lansia berusia 86 tahun bernama Watanabe Asami, warga asli Jepang yang tinggal di dekat jalur Patch Work Road, di Distrik Omura, Kota Biei, Prefektur Hokkaido, Jepang.
Pagi ini Alya berencana mengajak Nenek Asami beraktifitas di luar ruangan, setelah bosan hanya berkeliling di dalam rumah akibat cuaca dingin yang cukup ekstrem di sepanjang musim dingin.
Setelah suhu udara cukup hangat, Alya membawa Nenek Asami keluar menggunakan walker. Mereka berkeliling di sekitar ladang bunga milik Nenek Asami yang berada tak jauh dari rumah.
Puas berkeliling, Alya mengajak Nenek Asami kembali ke rumah. Ia mendudukkannya di kursi goyang yang ada di teras, lalu bergegas ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk majikannya itu.
"Waktunya sarapan, Nek!" Alya muncul dari balik pintu dengan senyum cerah. Ia membawa mangkok berisi bubur dan segelas air di tangannya.
Nenek Asami langsung menoleh begitu mendengar suara Alya memanggilnya. Ia tersenyum lebar dan memperlihatkan deretan gigi palsunya yang rapi.
"Hari ini kau masak apa, Alya chan?" Nenek Asami mencoba mengintip ke dalam mangkoknya saat Alya menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya.
Alya pun mengalihkan pandangannya pada mangkok yang dipegangnya, lalu menunjuk satu persatu lauk yang tertata rapi di atas bubur.
"Hmm... Aku memasak bubur yang dicampur tuna, pakcoy, dan jamur. Apa Nenek suka?" Alya penasaran mendengar jawaban majikannya.
"Tentu saja Nenek suka! Apapun yang Alya chan masak, Nenek pasti suka. Apa lagi kalau Alya menambahkan sedikit garam," jawab Nenek Asami dengan senyum penuh.
"Pfft"
Alya yang tak tahan melihat ekspresi menggemaskan Nenek Asami, akhirnya tertawa lepas dan membuat Nenek Asami ikut tertawa bersamanya.
...****************...
Alya baru saja selesai menyuapi Nenek Asami. Kini ia membantu sang majikan mandi dan berpakaian. Setelah selesai, ia mendudukkan Nenek Asami di sofa yang berada di dalam kamarnya, lalu menyelesaikan pekerjaannya yang lain.
Saat Alya tengah asyik menata bantal, tiba-tiba ponsel Nenek Asami berdering. Ia pun segera menjawab panggilan telepon itu dan menyapa sang penelpon dengan nada lembut. Dari obrolan mereka, terdengar jelas jika Nenek Asami sangat senang menerima telepon dari orang itu.
Di akhir obrolan, Alya tak sengaja mendengar Nenek Asami berkata akan meminta tolong perawatnya untuk menjemput sang penelepon. Setelah itu ia berpamitan lalu panggilan telepon mereka terputus.
"Alya chan, apa Nenek bisa meminta bantuanmu?" Tanya Nenek Asami usai meletakkan ponselnya di atas meja.
Alya yang sudah tahu bantuan apa yang akan diminta oleh Nenek Asami, sontak menghentikan kegiatannya dan berbalik. "Bantuan apa Nek?"
"Tolong jemput cucu Nenek di bandara Asahikawa. Dia sudah tiba sejak tadi. Dasar anak itu! Dia tidak bilang kalau mau datang." Nenek Asami terdengar kesal, namun raut wajahnya berkata sebaliknya.
"Tentu saja, Nek! Kalau begitu Alya akan meminta tolong pada Bibi Akiko menemani Nenek selagi Alya ke bandara."
Sontak Nenek Asami tersenyum lega dan mengangguk pelan pada Alya. "Baiklah!"
Namun selang beberapa saat, Nenek Asami tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh iya, Nenek hampir lupa! Tunggu sebentar ya, Alya chan!"
Nenek Asami segera bangkit dan berjalan menuju lemari pakaiannya dengan bantuan walker. Ia mengambil sebuah syal berwarna merah dan mengalungkannya ke leher Alya.
"Isao chan akan mengenalimu dengan syal ini. Kau tidak akan kesulitan menemukannya, karena wajahnya agak berbeda dari pemuda jepang biasanya," kata Nenek Asami.
"Nenek tenang saja, Alya pasti mengenalinya. Alya kan sudah sering melihat Watanabe di ruang tamu." Gurau Alya sambil mengarahkan telunjuknya ke dinding.
Refleks Nenek Asami terkekeh mendengar ucapan Alya. "Benar juga! Nenek lupa kalau foto Isao terpajang di ruang tamu. Tentu saja Alya chan sudah mengenalinya."
"Kalau begitu Alya pergi dulu ya, Nek."
"Iya. Hati-hati di jalan!"
Usai berpamitan, Alya menemui Bibi Akiko dan bergegas ke bandara.
...****************...
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit, Alya akhirnya tiba di bandara Asahikawa. Untungnya suhu udara tidak begitu panas, meski matahari cukup terik. Ia memarkirkan sepedanya di lahan parkir yang tersedia dan buru-buru berjalan ke arah gedung bandara yang sudah mulai sepi.
Setibanya di gedung kedatangan, pandangan mata Alya langsung tertuju pada sosok pemuda bertubuh jangkung yang sedang duduk di jarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri.
Pemuda itu duduk di salah satu deretan kursi tunggu. Ia menumpukan kedua sikunya di atas koper yang bertengger di depannya sambil bertopang dagu.
Sebelum menghampiri pemuda itu, Alya mencoba mengamati wajahnya dari kejauhan, demi memastikan jika dialah orang yang dimaksud. Tapi baru beberapa detik memandanginya, Alya mendadak terpaku dengan mulut yang sedikit terbuka.
"Ternyata dia lebih tampan daripada yang terlihat di foto!" Gumam Alya memuji. Pandangannya tak pernah lepas dari pemuda itu. Pipinya bahkan memerah saat jantungnya berdebar tak karuan.
Wajah blasteran Eropa-Asia pemuda itu begitu kental. Matanya bulat dengan iris berwarna biru cerah. Hidungnya mancung dengan ujung hidung yang kecil. Rahangnya yang tegas, berpadu sempurna dengan dagunya yang ramping.
Saat Alya tengah asyik memandangi wajah tampan pemuda itu, ekspresi wajahnya mendadak berubah. Ia membuang tubuhnya dengan kasar pada sandaran kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Ujung depan sepatunya bergerak naik turun dengan cepat, pertanda jika dirinya sudah sangat bosan menunggu kedatangan seseorang.
Menyadari kekesalan di raut wajah pemuda itu, Alya pun langsung sadar. Berulang kali ia menepuk pipinya pelan, berusaha meredakan debaran jantungnya.
Setelah berhasil, Alya bergegas menghampiri pemuda itu dan berdiri tepat di hadapannya dengan senyum ramah.
"Permisi, apakah anda Watanabe Isao?"
Pemuda itu lantas menoleh ke arah Alya. Matanya menyipit saat ia memandangi Alya dari ujung kaki hingga ujung rambut, seolah sedang memberi penilaian pada penampilan gadis yang berdiri di hadapannya itu.
Untungnya tak butuh waktu lama hingga pemuda itu tersenyum saat tatapannya tertuju pada syal merah yang melingkar di leher Alya.
"Alya san?!" Pemuda itu balik bertanya.
Alya lalu mengangguk. "Iya."
Pemuda itu segera berdiri dan sedikit membungkuk di hadapan Alya.
"Salam kenal! Saya Watanabe Isao, cucu Nenek Asami."
...****************...
Di bawah terik matahari Isao asyik mengayuh sepedanya dengan kecepatan rata-rata, menyusuri jalan raya yang cukup lengang. Senyumnya mengembang saat angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya.
Di belakang, Alya duduk dengan canggung sembari memeluk koper sedang milik cucu majikannya itu. Ia meletakkan satu tangannya di dahi, berusaha menghalau sinar matahari yang menyilaukan matanya.
Sepanjang perjalanan, keduanya tak saling bicara dan hanya fokus menatap ke arah jalan raya. Namun ketenangan itu berubah, ketika di tengah perjalanan Isao tiba-tiba memelankan laju sepedanya dan menepi. Ia turun dari sepedanya tanpa mengatakan apapun.
Alya bingung melihat tingkah Isao itu. Namun ia tak berani bertanya padanya. Ia ikut turun dari sepeda sambil menggaruk ujung alisnya yang tak gatal.
"Aku ingin ke satu tempat. Kau bisa menunggu di sini atau ikut denganku kalau kau mau," kata Isao sambil memarkirkan sepedanya, lalu berjalan ke arah bukit ladang gandum yang tak jauh dari tempat mereka berada saat ini.
"Memangnya kau mau kemana, Watanabe san?" Tanya Alya sedikit kesal karena Isao meninggalkannya seorang diri.
Namun bukannya memberi penjelasan, Isao justru berjalan ke arah dua pohon kembar yang ada di atas bukit tanpa menoleh ke belakang.
Penasaran dengan apa yang ingin dilakukan Isao di pohon itu, Alya pun menyusulnya sambil menenteng koper milik pemuda itu.
Tapi setibanya di atas sana, Alya justru tercengang mendapati Isao yang dengan santainya berbaring di atas rerumputan tanpa dialasi apapun. Ia bahkan merenggangkan kedua tangan dan kakinya dengan nyaman, layaknya berbaring di atas kasur yang empuk.
"Sebaiknya kita bergegas pulang sekarang juga, Watanabe san! Nenek Asami pasti khawatir jika kita tidak pulang tepat waktu!" Kata Alya cemas.
Isao yang sejak tadi nampak acuh, lantas duduk dan menoleh ke arah Alya yang saat itu sedang berdiri di sampingnya sambil menenteng koper.
"Kau tidak perlu cemas, Alya san! Nenek sudah tahu jika aku akan kesini sebelum menemuinya. Jadi duduklah dengan nyaman. Nikmati pemandangan indah ladang gandum dari atas sini sambil menungguku selesai beristirahat, oke?!"
Isao melempar senyum sembari menepuk-nepuk rumput di sampingnya. Setelah itu ia kembali berbaring dan memejamkan matanya, seakan tak peduli dengan apapun yang akan Alya katakan.
Alya hanya bisa termangu melihat Isao yang masih bergeming. Bahkan ia tak terusik sama sekali, meski sinar matahari menyinari kelopak matanya melalui celah dedaunan.
Alya tak habis pikir dengan apa yang ada dipikiran pemuda itu. Tapi satu hal yang ia tahu, Isao tak akan beranjak meski dirinya memelas.
Karena itu Alya memilih duduk dan meletakkan koper Isao di sampingnya. Ia memeluk kakinya yang tertekuk dan memandangi hamparan ladang gandum hijau yang tumbuh subur di hadapannya.
...****************...
Setelah puas beristirahat, Isao akhirnya membuka mata. Ia bangkit dan duduk tepat di samping Alya yang sejak tadi hanya duduk sembari memandangi hamparan ladang gandum hijau di depannya.
Isao sempat melirik ke arah Alya sebentar, sebelum akhirnya ia ikut memandangi hamparan ladang gandum hijau di hadapannya.
"Pemandangannya indah bukan?" Tanya Isao tanpa mengalihkan pandangannya. Matanya berbinar memandangi daun gandum yang bergerak karena tiupan angin.
"Iya," jawab Alya sambil menghela nafas. Tampak jika dirinya cukup enggan menjawab pertanyaan Isao.
Mendengar jawaban Alya yang singkat, Isao lantas menyunggingkan senyum, seolah sedang menertawakan hal lucu dalam pikirannya.
"Apa kau bosan?"
Alya memanyunkan bibirnya. Ia menoleh ke arah Isao, berencana untuk protes. Tapi Alya justru tertegun saat matanya tak sengaja menangkap gurat kelelahan di wajah Isao yang terlihat jelas jika dilihat dari jarak sedekat ini.
'Apa dia kelelahan di rumah sakit?' pikir Alya, mengingat pekerjaan Isao sebagai seorang dokter residen bedah mengharuskannya siap siaga selama 24 jam.
"Kau baik-baik saja?" Isao menoleh ke arah Alya karena tak juga mendapat jawaban.
Kaget melihat Isao tiba-tiba menoleh ke arahnya, Alya pun refleks memalingkan wajahnya ke arah hamparan gandum yang ada di hadapannya.
"Iya... aku hanya kagum melihat pemandangan sekitar sini." Jawab Alya canggung. Ia khawatir, Isao akan menyadari jika sedari tadi dirinya mengamati raut wajah pemuda itu.
Namun Isao justru bereaksi sebaliknya. Ia tersenyum sumringah sambil menatap Alya dengan wajah berseri. "Kau juga merasakannya, kan?"
Alya hanya diam dengan wajah melongo. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ucapannya barusan hanya sekedar basa-basi untuk mengalihkan perhatian pemuda itu.
"I... Iya." Jawabnya dengan ragu.
"Tempat ini punya banyak kenangan untukku." Isao berkata dengan tatapan lirih. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh hamparan bukit sejauh mata memandang.
"Kenangan?" Alya tanpa sadar melontarkan pertanyaan karena penasaran.
Namun Isao tak menjawab. Ia tersentak, seolah baru saja tersadar dari lamunannya.
"Sudah berapa lama kau merawat Nenek?" Isao tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
Meski masih penasaran dengan jawaban dari pertanyaannya, namun Alya dengan senang hati menjawab pertanyaan Isao. "Satu tahun. Aku menggantikan temanku yang dulu bekerja merawat Nenek Asami."
"Aa, Rina san?" Tebak Isao. Ia menoleh ke arah Alya sambil menarik rambutnya yang agak panjang ke belakang agar tidak menghalangi pandangannya.
"Iya. Kau mengenalnya?" Alya ikut menoleh ke arah Isao dan menatapnya. Rasa canggung yang tadi ia rasakan perlahan mulai mereda.
"Tentu saja. Kebetulan aku sedang liburan ke rumah Nenek saat dia baru pertama kali bekerja." Cerita Isao tanpa mengalihkan pandangannya dari Alya.
"Kenapa Rina san tiba-tiba berhenti?" Sambungnya.
"Dia akan menikah. Rina san tidak ingin Nenek Asami merekrut perawat asal-asalan. Karena dia sudah tahu track record ku selama bekerja sebagai perawat profesional, jadi dia menawariku pekerjaannya dan mempercayakan Nenek Asami padaku." Alya menjelaskan. Namun tak lama kemudian, ia tiba-tiba teringat sesuatu.
"Memang Nenek Asami tidak cerita ya?" Alya menatap Isao penasaran.
Isao tak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya pada hamparan ladang gandum di hadapannya sambil tersenyum tipis. "Aku tidak pernah membahas hal seperti itu dengan Nenek. Okaasan (Ibu) lah yang mengurusnya."
Alya mengangguk sambil membulatkan bibirnya.
"Bagaimana kalau kita pulang sekarang?" Tanya Isao lagi.
Alya hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun.
Isao pun berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Alya berdiri. "Biar ku bantu."
"Aku bisa sendiri." Tolak Alya.
Namun Isao tak kunjung memindahkan tangannya. Ia justru memicingkan matanya dan memanyunkan bibirnya pada Alya. Mau tidak mau Alya meraih tangannya dan berdiri.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Setelah membersihkan celana mereka dari rumput kering yang menempel, keduanya langsung menuruni bukit dan berjalan menuju ke tempat sepeda mereka terparkir.
Isao naik ke sepeda lebih dulu, disusul Alya yang kemudian mengatur posisi agar dirinya bisa duduk dengan nyaman sambil memeluk koper Isao.
"Aku akan mengayuh sepeda ini dengan cepat, jadi peganganlah dengan erat! Jika perlu, peluk pinggangku kuat-kuat agar kau tidak terjungkal kebelakang. Mengerti?!" Isao memperingatkan.
Alya tersentak mendengar arahan Isao. Meski begitu, ia tetap berusaha melakukan seperti yang diperintahkan pemuda itu. Ia mengarahkan kedua tangannya ke pinggang Isao dan menggenggam ujung kemejanya dengan erat tanpa menyentuh tubuhnya sedikit pun.
"Aku sudah siap!"
Setelah mendengar aba-aba dari Alya, Isao pun mulai mengayuh sepedanya. Dan sesuai peringatannya, ia benar-benar mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi. Bahkan kemeja putih polosnya ikut berkibar akibat tiupan angin yang begitu kencang.
Sementara Alya tak henti berteriak, meminta Isao memelankan laju sepedanya. Ia bahkan tak sadar memeluk Isao dengan erat saking takutnya.
Isao sempat terkesiap saat Alya memeluknya. Namun dirinya tak begitu menghiraukan hal itu. Ia terus mengayuh sepedanya dan melaju dengan kencang.
Setelah melalui perjalanan yang cukup menegangkan bersama Isao, Alya akhirnya tiba di rumah Nenek Asami dengan selamat.
Usai memarkirkan sepedanya, Isao berlari menuju ke rumah sang Nenek, sementara Alya menenteng koper Isao sambil melangkah dengan santai menuju Villa milik Nenek Asami yang berada tepat di samping rumah utama.
Villa itu dulunya rumah utama yang ditinggali Nenek Asami. Namun setelah suaminya meninggal, ia merasa rumah itu terlalu luas untuk ditinggali bersama asisten rumah tangga dan perawatnya.
Akhirnya Nenek Asami membangun rumah yang lebih kecil di sampingnya dan mengubah rumah lamanya menjadi Villa untuk disewakan kepada wisatawan yang datang berlibur ke Biei.
Setibanya di kamar utama villa, Alya bertemu dengan Bibi Akiko, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Nenek Asami. Wanita paruh baya itu sedang sibuk merapikan kamar utama yang akan ditempati Isao selama berada di Biei.
"Apa Bibi Akiko butuh bantuan?" Tanya Alya setelah meletakkan koper Isao di depan lemari.
"Tidak perlu. Pekerjaan Bibi sudah hampir selesai." Tolak Bibi Akiko dengan lembut.
"Daripada membantu pekerjaan Bibi, lebih baik Alya chan segera pulang ke rumah. Jam makan siang Nenek Asami sudah lewat beberapa menit yang lalu." Bibi Akiko mengingatkan.
Alya tersentak kaget mendengar ucapan Bibi Akiko. Ia pun melirik jam tangannya untuk memastikan ucapan sang Bibi. Benar saja, jam telah menunjukkan pukul satu siang lewat lima belas menit.
Sontak Alya mengangkat tangan dan menepuk jidatnya dengan keras. "Astaga! Waktu makan siang Nenek Asami sudah lewat!"
Bibi Akiko lantas terkekeh melihat ekspresi panik Alya.
"Pulanglah ke rumah dan siapkan makan siang untuk Nenek Asami."
Tanpa sempat menanggapi ucapan Bibi Akiko, Alya segera berlari ke rumah Nenek Asami.
...****************...
Siang berlalu begitu cepat hingga tak terasa malam pun tiba. Di ruang makan, Nenek Asami, Isao, Alya dan Bibi Akiko sedang berkumpul untuk bersantap malam. Tak ada obrolan diantara mereka. Keempatnya hanya fokus pada makanan masing-masing.
"Terima kasih atas makan malamnya," ucap Nenek Asami mengakhiri perjamuan makan malam mereka yang baru saja selesai.
Alya, Bibi Akiko dan Isao kompak membalas ucapan Nenek Asami dan dengan gerakan cepat mereka mengerjakan tugas masing-masing.
Selagi Alya dan Bibi Akiko sibuk membereskan peralatan makan mereka, Isao berjalan menghampiri sang Nenek.
"Mari Nek, kita ke kamar." Ajak Isao.
"Baiklah. Tunggu sebentar." Nenek Asami lalu menoleh ke arah Alya yang sedang mencuci piring bersama Bibi Akiko.
"Alya chan, Nenek ke kamar duluan dengan Isao ya!" Seru Nenek Asami.
Refleks Alya berbalik dan mengangkat jempolnya sambil tersenyum. "Baik Nek. Selamat tidur!"
"Selamat tidur, Alya chan. Selamat malam Akiko san." Pamit Nenek Asami.
"Selamat malam juga, Asami Sama." Balas Bibi Akiko yang juga berbalik ke arah Nenek Asami sambil tersenyum.
Usai berpamitan, Nenek Asami lalu berbalik ke arah Isao. Ia meraih tangan cucunya dan pergi bersamanya ke kamar.
Sejak kedatangannya siang tadi, Isao tak sekalipun beranjak dari sisi Nenek Asami. Ia dengan setia mendampingi sang Nenek dan membantunya melakukan aktivitas sehari-hari sesuai arahan yang Alya berikan.
Karenanya, pekerjaan Alya jadi lebih ringan dari biasanya. Ia hanya perlu memantau keduanya dari kejauhan, berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Nenek Asami membutuhkannya.
Sayangnya seharian ini Nenek Asami tak sekalipun mencari Alya dan hanya sibuk menertawakan lelucon Isao yang tidak ia pahami.
Sempat terbersit cemburu di hatinya karena Nenek Asami hanya berfokus pada Isao semenjak kedatangannya. Sampai-sampai ia menatap Isao dengan wajah cemberut tiap kali ia berinteraksi dengan sang Nenek. Ia merasa ada yang hilang dari dirinya karena tak melakukan rutinitasnya sehari-hari.
Namun Alya sadar, tidak seharusnya ia bersikap seperti itu mengingat Isao adalah cucu satu-satunya yang Nenek Asami miliki dan sudah beberapa tahun ini tak beliau jumpai karena kesibukannya sebagai dokter.
...****************...
Malam semakin larut, keadaan di sekitar rumah Nenek Asami pun mulai hening. Alya sedang asyik duduk di kursi sembari memainkan ponselnya saat Isao keluar dari kamar Neneknya.
Alya pun menoleh ke arah Isao yang sedang memberi isyarat kepadanya menggunakan jari telunjuknya, agar Alya tidak bersuara keras dan membangunkan sang Nenek.
"Nenek sudah tidur. Sekarang kau bisa istirahat." Perintah Isao sambil berbisik.
"Kalau begitu saya ke kamar dulu. Terima kasih atas bantuannya," ucap Alya yang juga ikut berbisik sambil membungkukkan badannya.
Setelahnya tak ada lagi obrolan diantara mereka. Keduanya berpisah dan kembali ke kamar masing-masing.
...****************...
Alya baru saja menamatkan novel yang telah ia baca berulang kali sejak kedatangannya di Jepang satu tahun lalu. Setiap malam, ia selalu menyempatkan diri membaca beberapa bab dari salah satu novel yang dibawanya dari Indonesia untuk membantunya tertidur.
Saat tengah bersiap mematikan lampu tidur, Alya tak sengaja mendengar suara aneh dari luar kamarnya. Samar-samar ia mendengar suara seorang pria sedang menangis dari arah jendela kamarnya, yang kebetulan berhadapan langsung dengan balkon kamar utama di Vila sebelah.
Karena penasaran dengan suara itu, Alya pun memberanikan diri berjalan ke arah jendela kamarnya. Ia menyingkap sedikit tirai gorden kamarnya untuk mengintip keluar.
Namun tak lama kemudian raut wajah Alya mendadak pucat saat dirinya tak sengaja melihat kejadian tak terduga dari seberang kamarnya. Ia pun mengusap kedua matanya, lalu menajamkan penglihatannya untuk memastikan sekali lagi jika yang dilihatnya barusan bukanlah halusinasi.
"Apa aku tidak salah lihat?" Gumamnya.
Pandangan mata Alya sedang tertuju pada kamar utama Villa yang kini ditempati Isao. Karena dinding dan pintu kamar nya terbuat dari kaca, Alya pun dapat melihat seisi kamar dengan jelas.
Dan malam itu Isao membiarkan tirai yang seharusnya menjadi penyekat, dalam keadaan terbuka lebar. Bahkan pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon, ia biarkan terbuka, dengan lampu kamar yang masih menyala.
Karena itu Alya dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi di dalam sana. Ia melihat Isao yang duduk di tepi tempat tidur, sedang meremas rambutnya dengan kuat.
Yang lebih mengejutkannya lagi, Alya melihat Isao menangis tersedu-sedu sembari memandangi sesuatu yang berada di atas meja rias yang ada di hadapannya.
Sayangnya pandangan Alya terhalang oleh lemari pakaian, hingga ia tak dapat mengetahui benda apa yang sedang dipandangi Isao saat itu.
"Apa yang terjadi? Bukannya seharian ini dia baik-baik saja?"
Melihat kejadian itu, Alya pun jadi penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Isao. Ia bahkan tak mengalihkan pandangannya sedikitpun, hingga pemuda itu kelelahan dan membaringkan kepalanya di tepi kasur, lalu tertidur.
Setelah memastikan tak ada lagi yang terjadi, Alya berbalik dan melangkah pelan menuju tempat tidurnya. Ia berbaring memandangi langit-langit kamarnya, memikirkan apa yang menyebabkan Isao begitu terluka. Saking penasarannya, sampai-sampai Alya terlelap sambil memikirkan kejadian itu.
...****************...
Alarm ponsel Alya tiba-tiba berdering, memaksanya untuk bangun dan mulai beraktifitas seperti biasa. Usai menunaikan ibadah subuh, Alya berjalan ke arah jendela kamarnya.
Sebelum memulai aktifitas paginya, Alya biasanya menikmati udara segar melalui jendela kamarnya lebih dulu. Ia akan mencondongkan tubuhnya ke luar jendela, lalu menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan sambil tersenyum.
Setelah puas menikmati udara segar di kamarnya, Alya akan ke dapur menyiapkan sarapan untuk Nenek Asami.
Namun pagi ini, Alya dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang tak terduga di dapur. Ia melihat Isao sedang berdiri di depan kitchen set sambil memasak sesuatu.
Dan seakan merasakan kehadirannya, Isao yang saat itu sedang sibuk di depan kompor, spontan menoleh dan tersenyum ke arah Alya, lalu kembali fokus dengan masakannya.
"Selamat pagi Alya san." Sapa Isao dengan ramah.
Alya tak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama. Matanya menatap lekat punggung Isao yang sedang membelakanginya.
"Selamat pagi." Jawab Alya.
"Apa yang kau lakukan, Watanabe san?" Tanya Alya, penasaran dengan apa yang dilakukan Isao. Ia pun berjalan dengan pelan ke arahnya.
"Aku sedang memasak bubur kesukaan Nenek Asami."
Sontak Alya berhenti melangkah. Matanya membulat menatap Isao. "Kenapa?!"
Menyadari nada keberatan pada pertanyaan Alya, Isao pun mengecilkan api kompornya dan berbalik menatap Alya.
"Karena aku suka memasak sarapan untuk Nenek." Jawab Isao enteng, membuat Alya kehabisan kata-kata
"Setidaknya selama aku ada disini aku akan membantumu merawat Nenek. Dengan begitu kau bisa sedikit lebih santai," sambung Isao, lalu berbalik untuk melihat masakannya.
Namun bukannya senang dengan tawaran Isao, Alya justru kesal. Seolah pria itu akan merebut seluruh pekerjaannya. Ia pun menghampiri Isao dengan wajah cemberut sambil menatapnya dengan tatapan sinis.
"Jika kau mengambil alih semua pekerjaanku, lalu apa yang aku kerjakan? Aku tidak ingin dibayar tanpa bekerja!"
Isao tak langsung menanggapi protes yang dilayangkan Alya dan hanya fokus pada masakannya.
Setelah memastikan masakannya matang, Isao segera mematikan kompor, lalu berbalik menatap Alya sambil tersenyum sumringah.
"Anggap saja aku membayar hutang budi karena kau telah menjemputku di bandara. Dengan begitu kau tidak akan merasa terbebani dengan apa yang akan aku lakukan. Setuju?!"
Alya terdiam, tak menanggapi usulan Isao. Ia bingung, namun bukan karena ucapan yang baru saja Isao lontarkan, melainkan ia bingung melihat ekspresi Isao saat ini sangat berbeda dengan ekspresi yang ia lihat semalam.
'Bukannya semalam dia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil?kenapa sekarang dia malah terlihat sangat ceria?'
"Alya san!!!".
Isao menepuk pundak Alya dan membuatnya terperanjat kaget. Ia tak sadar jika sedari tadi dirinya menatap wajah Isao lekat-lekat.
Alya pun segera menundukkan kepalanya, malu.
"Maaf!" Jawab Alya gagap. Ia segera berbalik badan, lalu berjalan dengan cepat ke kamar Nenek Asami dan meninggalkan Isao sendirian dengan wajah kebingungan melihat ekspresinya yang salah tingkah.
...****************...
Alya berjalan dengan cepat menuju kamar Nenek Asami. Wajahnya memerah, lantaran malu setelah Isao memergokinya sedang memandanginya.
Untungnya saat masuk ke kamar, Nenek Asami sudah bangun dan berusaha bangkit dari tempat tidur. Ia pun segera menghampiri sang majikan dan membantunya duduk di tepi kasur.
"Ada apa Alya chan? Kenapa wajahmu merah begitu?" Tanya Nenek Asami khawatir, sembari memandangi kedua pipi Alya.
Spontan Alya jadi salah tingkah mendengar pertanyaan Nenek Asami, seolah ia baru saja kedapatan telah melakukan hal yang memalukan.
"Tidak apa-apa Nek! Alya hanya kedinginan! Itu sebabnya wajah Alya memerah." Jawab Alya asal sembari menepuk pelan kedua pipinya.
"Kedinginan? Apa penghangat ruangan di kamarmu rusak?" Tanya Nenek Asami sekali lagi dengan tatapan khawatir.
"Bukan begitu Nek! Tadi.... Alya... tidak sengaja memutar kran air dingin saat membasuh wajah." Alya memutar kedua bola matanya, berusaha mencari alasan agar Nenek Asami tidak semakin panik.
Namun bukannya mengangguk, Nenek Asami justru tertawa terbahak-bahak mendengar alasan Alya yang dirasa lucu olehnya. Ia sampai memukul pelan punggung Alya karena tak dapat menahan tawa.
"Padahal Nenek lebih tua darimu, tapi malah kau yang pikun. Dasar Alya chan!"
Belum reda tawa Nenek Asami, tiba-tiba Isao muncul tanpa mengetuk pintu.
"Kalian sedang menertawakan apa? Sepertinya sangat seru?" Tanya Isao seraya duduk di sofa yang berada di samping tempat tidur Nenek Asami.
"Alya chan lupa menyalakan kran air hangat dan langsung membasuh wajahnya dengan air dingin. Karena itu wajahnya jadi memerah seperti kepiting rebus!" Cerita Nenek Asami begitu tawanya reda.
Namun bukannya ikut tertawa, Isao justru mengernyitkan alisnya. Ia menoleh ke arah Alya dengan tatapan heran, seolah sedang meragukan cerita sang Nenek.
Melihat tatapan aneh Isao, Alya pun berusaha mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana kalau sekarang Nenek ke kamar mandi dan membasuh wajah? Hari ini Nenek jalan pagi ditemani Watanabe biar Alya bisa merapikan kamar Nenek lebih cepat."
Tanpa pikir panjang, Isao segera berdiri dan berjalan menghampiri Nenek Asami. "Alya san benar, Nek!Sebaiknya kita pergi jalan-jalan agar dia bisa menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat."
Nenek Asami mengangguk setuju dan segera ke kamar mandi dengan dibantu Isao.
...****************...
Alya tengah mengamati Nenek Asami dan Isao yang sedang berkeliling di ladang bunga di depan rumah. Nampak jika keduanya sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama. Ia pun ikut senang melihat keakraban yang terjalin diantara keduanya.
Nenek Asami juga terlihat lebih segar sejak kedatangan Isao, seakan kedatangan cucunya itu mampu menghidupkan kembali suasana rumahnya yang sepi.
Melihat keduanya yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, Alya pun bergegas ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk Nenek Asami. Sekembalinya di teras, Isao dan Nenek Asami juga sudah tiba di sana.
Setelah membantu Nenek Asami duduk di kursi goyangnya, Alya segera menyodorkan mangkok berisi bubur dan sebuah tumbler pada Isao yang sudah lebih dulu duduk di tempat biasanya ia duduk untuk menyuapi Nenek Asami.
Dengan lembut Isao menyuapi sang Nenek seraya mengajaknya bercerita hingga buburnya habis tak bersisa. Dari caranya berinteraksi dengan sang Nenek, tampak sangat jelas jika Isao begitu menyayanginya.
Selesai sarapan, Nenek Asami melanjutkan aktifitas sehari-harinya. Ia mandi pagi, lalu berpakaian dengan di bantu Alya. Kemudian Nenek Asami kembali ke teras untuk merajut sembari memantau ladang bunga dan perkebunannya yang mulai digarap oleh para petani.
Alya pun sibuk menyiapkan benang wol yang akan digunakan Nenek Asami merajut, sementara Isao memilih pergi ke ladang untuk memantau para petani yang tengah sibuk menggemburkan tanah.
...****************...
Alya baru saja menutup buku yang ia baca dan bersiap untuk tidur, saat lagi-lagi dirinya mendengar suara tangisan seorang pria seperti malam sebelumnya.
Seakan yakin jika suara itu berasal dari kamar Isao, Alya pun kembali mengintipnya melalui jendela. Dan sesuai dugaannya, ia lagi-lagi mendapati Isao sedang menangis di waktu dan tempat yang sama.
Melihat hal tersebut, kekhawatiran dan rasa penasaran mulai memenuhi pikiran Alya.
Di satu sisi, ia ingin tahu masalah apa yang sebenarnya sedang Isao alami hingga dirinya terluka sedalam itu dan memilih untuk menangis diam-diam di malam hari. Di sisi lain, ia khawatir mental Isao sedang tidak baik-baik saja dan berusaha menutupinya dengan cara berpura-pura ceria di pagi hari.
Selain itu, Alya juga penasaran dengan benda misterius yang selalu pemuda itu pandangi saat sedang meratapi kesedihannya.
Dan karena itulah Alya terpikirkan sebuah ide untuk mengungkap itu semua. Dengan begitu, ia dapat tidur dengan nyenyak tanpa memikirkan keadaan Isao lagi.
Hari ini Isao bangun lebih pagi dan memasak bubur di dapur. Sama seperti sebelumnya, ia lagi-lagi memperlihatkan ekspresi ceria di hadapan Alya, seolah tak pernah terjadi apa-apa dengannya.
Meski begitu, ekspresi palsu yang ditampakkan Isao tak mampu menyembunyikan kondisi wajahnya yang sembab. Karena itu, Alya semakin yakin menjalankan rencana yang sudah ia persiapkan nanti malam.
'Pokoknya malam ini rencanaku harus berhasil!', pikir Alya. Ia melirik jam tangannya, tak sabar menunggu waktu di mana Isao mulai meratap.
Tepat pukul sebelas malam, suara tangisan dari arah Villa kembali terdengar. Alya mengintip untuk memastikan jika pemilik suara itu adalah Isao. Dan sesuai dugaannya, ia melihat Isao sedang bersandar di tepi ranjang dengan berlinang air mata.
Alya pun bergegas keluar kamar, memastikan keadaan di dalam rumah. Yakin jika seluruh ruangan telah sepi, Alya pun mengendap-endap keluar agar langkahnya tak terdengar oleh penghuni rumah.
Setibanya di luar rumah, Alya segera berjalan menuju taman yang terletak diantara rumah dan Villa. Ia memutar kran air yang terhubung ke selang irigasi yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman dan rumput di sekitar taman.
Dengan cepat air menyembur keluar dan membasahi seluruh taman. Setelah beberapa saat menunggu, Alya pun berlari ke arah ujung selang dan mencoba menghentikan air yang membasahi seluruh taman.
"Wah..... Sepertinya kran air di taman rusak!" Alya berteriak cukup keras sambil menoleh ke arah kamar Isao.
Mendengar teriakan Alya, Isao refleks menoleh ke arahnya. Ia tersentak kaget saat tatapan mereka saling bertemu. Buru-buru Isao mengusap air matanya, mencoba menenangkan dirinya yang gelisah.
Sementara Alya berlari ke arah kamar Isao. Ia berpura-pura panik, seolah mencemaskan keadaan Isao.
"Ada apa, Watanabe san? Apa kau sakit?" Tanya Alya setibanya di balkon kamar Isao.
Namun bukannya menjawab pertanyaan Alya, Isao justru berjalan dengan cepat ke arah balkon. Ia kalang kabut saat berusaha menutup pintu kaca kamarnya yang dalam kondisi terbuka.
Sayang, belum sempat ia menarik gagang pintu kamarnya, Alya sudah lebih dulu merentangkan kedua tangan dan kakinya dan dengan gerakan cepat, gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamar Isao.
Tanpa basa-basi, Alya segera melayangkan pandangannya ke arah meja rias, mencari benda yang membuatnya penasaran dua hari ini. Benda itu tak lain adalah benda yang selalu dipandangi Isao saat ia tengah menangis.
Tapi setelah menemukan benda yang dimaksud, reaksi Alya justru di luar dugaan. Ia tertegun dalam waktu yang cukup lama tanpa berkedip sekalipun. Kedua alisnya terangkat saat matanya membelalak karena terkejut.
Rasanya Alya tak percaya jika benda yang ditangisi Isao selama ini adalah sebuah bingkai berisi foto wanita jepang. Wajahnya sangat cantik dengan senyum yang merekah, seolah sedang tersenyum pada orang yang memandangi fotonya.
"Jadi kau menangisi seorang wanita?" Alya membelalak tak percaya.
Namun Isao tak bersuara dan hanya memandangi Alya dengan tatapan geram. Rahangnya bahkan bergetar, tak dapat menahan kekesalannya melihat tindakan Alya yang begitu lancang masuk ke kamarnya. Ia pun berjalan menghampiri Alya, lalu dengan kasar menarik lengan Alya dan menyeretnya keluar.
"Apa yang kau lakukan?! Bukannya tindakanmu barusan sangat tidak sopan?!" Bentak Isao setelah berhasil membawanya keluar, tanpa melepaskan cengkraman tangannya dari lengan Alya.
Alya meringis kesakitan. Ia meronta-ronta, berusaha melepaskan cengkeraman Isao dari lengannya. Tapi tenaganya yang tak sebanding dengan Isao, membuatnya kesulitan melepaskan cengkeraman pemuda itu.
"Maaf, aku tidak bermaksud bertindak tidak sopan padamu! Aku hanya khawatir tiap kali mendengarmu menangis." Sesal Alya.
Namun bukannya mencoba maklum dan memahami alasan Alya, Isao justru semakin geram setelah mendengar jawabannya. Ia pun mempererat cengkraman tangannya dan menatap Alya penuh amarah.
"Kau bahkan berani menguping?!" Sergah Isao sambil mengangkat tangan kanannya.
Sontak Alya gelagapan, mengira Isao akan melayangkan tamparan padanya. Ia pun menunduk dan dengan sekuat tenaga menginjak kaki Isao.
"Argh!!!"
Isao mengerang kesakitan. Ia melepaskan cengkeramannya dan membungkuk, memegangi kakinya yang sakit.
Alya sempat termangu melihat Isao meringis kesakitan, namun ia segera sadar dan bergegas kabur dari taman.
"Maafkan aku!!!" Seru Alya di tengah usahanya melarikan diri.
"Hei, berhenti! Kau mau kemana?!" Teriak Isao.
Namun teriakannya tak diindahkan Alya yang terus saja berlari hingga sosoknya tak nampak lagi.
"Awas kau! Akan ku balas perbuatanmu!" Gumam Isao kesal.
Sementara itu, Alya yang baru saja masuk ke dalam kamarnya, buru-biru mengunci pintu. Dengan tubuh yang bergetar, ia naik ke atas kasur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia begitu ketakutan teringat akan kejadian yang baru saja ia alami.
'Apa memang sifat aslinya seperti itu? Apa sifatnya yang sebelumnya itu palsu? Wah, aku baru saja membangunkan monster yang tertidur!'
...****************...
Alarm ponsel Alya tiba-tiba berdering, menandakan jika sudah waktunya ia bangun. Namun setelah beberapa menit berlalu, Alya tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari tempat tidurnya.
Bukan karena ingin bermalas-malasan, hanya saja Alya trauma dengan kejadian semalam. Hal itu membuatnya sangat takut untuk keluar. Ia khawatir kalau-kalau Isao tiba-tiba muncul di dapur dan menangkapnya.
Tapi setelah setengah jam berlalu, Alya mulai gelisah karena tak juga menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Ia dilanda rasa cemas, memikirkan kewajiban dari pekerjaannya. Bagaimana jika Nenek Asami lapar, sementara dirinya belum menyiapkan apapun.
Tak ingin rasa bersalahnya semakin besar, Alya pun memberanikan diri keluar. Ia membuka pintu dan berjalan pelan ke arah dapur, sambil memantau setiap sudut rumah. Untungnya sosok Isao tak terlihat di mana pun, membuatnya sedikit lega.
'Syukurlah dia tidak datang!' Batinnya.
Alya pun bergegas ke dapur menyiapkan sarapan dan melupakan sejenak tentang kejadian semalam.
...****************...
Setelah selesai membuat sarapan, Alya bergegas menuju kamar Nenek Asami. Ia bermaksud membangunkan beliau dan mengajaknya berkeliling di ladang.
Namun baru saja pintu kamar Nenek Asami terbuka, Alya sudah dikejutkan dengan kehadiran Isao yang tengah duduk di sofa dengan kaki yang disilangkan. Saking kagetnya, Alya sampai berteriak histeris dan terperanjat dari tempatnya.
"Aaaaa!!!!"
Teriakan Alya berhasil mengejutkan Nenek Asami yang sedang duduk di tepi ranjang. Refleks ia menoleh dan menatap Alya khawatir.
Sementara Isao hanya menunjukkan wajah datarnya. Satu alisnya terangkat ketika ia mengalihkan pandangannya ke Arah Alya dengan tatapan sinis.
"Ada apa, Alya chan?" Tanya Nenek Asami cemas.
"Tidak Nek! Alya hanya kaget melihat Watanabe san." Ucap Alya terbata-bata, sambil mengusap kedua tangannya bergantian dengan cemas.
"Memangnya kenapa kalau aku ada disini? Apa aku perlu izin darimu sebelum menemui Nenek? Lagipula kau ini siapa, sampai sibuk mengaturku harus berada di mana?" Tanya Isao dengan nada kasar sambil melipat kedua tangannya ke depan dada.
"Isao chan, kenapa kau bicara seperti itu pada Alya chan? Apa kau tidak lihat dia ketakutan begitu?!Kasihan dia, wajahnya sampai pucat karena kaget. Harusnya kau membantu Nenek menenangkan dia, bukan malah bicara kasar seperti itu!" Tegur Nenek Asami.
"Untuk apa aku bicara lembut pada orang yang lancang seperti dia, Nek? Dia orang yang bekerja pada kita! Seharusnya dia tahu menempatkan posisinya sebagai seorang karyawan!" Jawab Isao dengan angkuh.
Nenek Asami tersentak mendengar jawaban Isao. Ia mengatupkan bibirnya, berusaha menahan amarah karena perkataan cucunya yang begitu kasar. Namun ia tak ingin memperkeruh suasana yang akhirnya hanya akan menyakiti Alya karena telah membelanya.
Disisi lain, Alya hanya bisa menunduk pasrah. Ia memejamkan mata, merasa sangat menyesal atas perbuatan yang ia lakukan semalam. Terlebih lagi dirinya-lah yang lebih dulu mencari masalah dengan masuk ke kamar Isao tanpa izin dan menginjak kakinya agar bisa kabur. Padahal ia sendiri tak bisa memastikan, apakah Isao memang bermaksud ingin menamparnya atau tidak.
"Sudahlah! Tidak usah berdebat! Nenek mau keluar jalan-jalan pagi. Siapa diantara kalian yang mau menemani Nenek?" Nenek Asami berusaha mencairkan suasana.
Mendengar pertanyaan Nenek Asami, Alya pun bergegas menghampirinya. Ia bermaksud ingin mengiyakan ajakannya.
Namun dengan gerakan cepat, Isao bangkit dan menghalangi jalan Alya dengan menyenggolnya, hingga membuatnya terlempar ke sudut kamar. Untungnya Alya berhasil menahan keseimbangan tubuhnya dan tidak terjatuh ke lantai.
"Aku yang akan mengantar Nenek." Isao menyunggingkan senyum ke arah nenek Asami. Ia meraih tangan Neneknya dan membantunya berdiri.
Nenek Asami sempat melirik ke arah Alya dengan tatapan iba. Rasanya ia tidak tega melihat Alya dikasari oleh Isao.Tapi jika tidak segera mengajak Isao keluar, Nenek Asami khawatir Alya akan semakin ditindas.
Alya hanya bisa pasrah menerima perlakuan kasar Isao. Ia sudah menebak Isao akan memperlakukannya seperti ini, mengingat yang ia lakukan semalam memang cukup keterlaluan.
...****************...
Setelah Nenek Asami beristirahat siang, Alya bergegas keluar dari kamarnya. Ia berencana ke dapur untuk mencuci piring bekas makan siang mereka.
Namun baru saja Alya selesai menutup pintu kamar Nenek Asmi, tiba-tiba seseorang mencengkeram lengannya dan menyeretnya ke ruang laundry yang berada di ujung koridor.
Alya terperanjat saat Isao menariknya ke ruang laundry dan menyandarkannya dengan kasar ke dinding. Ia membekap mulut Alya dengan telapak tangannya yang besar dan memberi isyarat agar tidak membuat keributan.
"Jangan harap setelah kejadian semalam aku akan bersikap baik! Aku benci wanita yang suka ikut campur dengan urusan orang lain! Jika bukan karena Nenek Asami, aku tidak akan berbaik hati denganmu! Jadi jaga sikapmu, jangan urusi urusanku jika tidak ingin ku pulangkan ke kampung halamanmu, mengerti!" Isao berbisik, namun dengan nada mengintimidasi.
Sontak sekujur tubuh Alya bergidik ngeri. Tenggorokannya terasa tercekat saat melihat ekspresi wajah Isao yang sangat berbeda dari biasanya. Matanya melotot, menampakkan iris mata birunya yang bergetar menahan emosi. Sorot matanya yang biasanya lembut, kini terlihat mencekam.
Sejak saat itu, Iris mata biru Isao tak lagi membuat Alya terpesona. Ia justru gemetar ketakutan, seakan melihat vampir yang siap menghisap darahnya hingga habis. Keringat dingin mengucur deras di wajahnya ketika menatap garis wajah Isao yang dengan jelas memperlihatkan kemarahannya. Dengan perasaan takut, Alya pun mengangguk, mengiyakan perintah Isao.
Melihat Alya mengangguk, Isao pun melepaskan bekapan tangannya. Ia mengacungkan telunjuknya ke depan wajah Alya, lalu memperingatkannya sekali lagi.
"Kerjakan tugasmu dan bersikaplah seperti biasa tanpa mencoba mencari perhatian! Jangan karena Nenek bersikap baik padamu, lantas kau berbuat seenaknya padaku! Aku bukan Nenek yang bisa mentoleransi kelakuanmu yang lancang. Sekali lagi kau melakukan hal seperti semalam, aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran!"
Bulu kuduk Alya merinding mendengar peringatan Isao. Ia memeluk tubuhnya sendiri dan terdiam cukup lama di tempatnya berdiri. Sementara Isao sudah pergi meninggalkannya seorang diri di ruang laundry.
Tepat setelah kepergian Isao, kaki Alya mendadak lemas dan membuatnya tersungkur ke lantai. Ia masih tak menyangka, jika di balik wajah tampan dan sikap ramahnya, terdapat sisi gelap dan menyeramkan di dalam diri Isao.
Memikirkan hal itu, seketika bola mata Alya basah. Untungnya, ia tak sampai meneteskan air matanya. Ia berusaha kuat dan tidak memikirkan kejadian barusan.
Setelah berhasil menenangkan diri, Alya segera bangkit dan melanjutkan aktivitasnya. Ia berusaha bersikap seperti biasa dan tidak mengingat kejadian itu lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!