Satu Atap Dua Hati
Seorang perempuan sedang sibuk mengatur beberapa barang yang baru masuk di toko tempat ia bekerja, sesekali menatap ke arah luar tepatnya ke arah angkasa dimana langit sudah nampak mulai menghitam.
Perempuan itu terus mengamati langit sore itu, "Dian sepertinya akan turun hujan malam ini, semoga saja Abang Heri datang menjemputku sebelum hujan," ucapnya Dewi.
Seorang gadis berhijab hijau toska itu seraya mengangkat beberapa kardus yang bertuliskan mie instan itu ke dalam ruangan penyimpanan.
Perempuan yang disapa Dian Astuti Mayang Sari ikut menolehkan kepalanya ke arah langit sesuai perkataan dari sahabatnya itu. Dai pun ikut mengamati keadaan langit yang tidak seperti biasanya itu.
"Benar sekali apa yang kamu katakan, padahal tadi pagi hingga siang panasnya beh kebangetan, untungnya saya bawa jas hujan, pepatah mengatakan sedia payung sebelum hujan Alhamdulillah aku masuk kategori tipe orang yang selalu antispasi terhadap keadaan apapun," imbuhnya Dian yang terkekeh.
Dian menimpali perkataan dari sahabatnya itu dengan tetap ikut mengangkat beberapa sisa kardus mie seraya terkekeh melihat kedatangan Herman yang sudah ngos-ngosan mengangkat kardus yang hampir habis itu.
"Hemm! Apa dua gadis cantik ini hanya kerjanya bergosip masalah hujan saja," candanya Herman satu-satunya laki-laki yang berjaga siang di toko itu.
Dewi dan Dian tak menggubris perkataan candaan dari sahabatnya itu, karena akan berbuntut panjang jika mereka menimpali candaan sahabatnya. Mereka kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing agar segera selesai dan mereka pulang secepatnya.
Berselang beberapa jam kemudian, awalnya hanya hujan gerimis malam itu, tetapi semakin lama hujan pun turun begitu lebatnya. Hingga kilat, petir saling bersahutan menambah betapa derasnya badai hujan yang mengguyur sebagian besar bumi Nusantara.
Jedarrr….
Suara petir bersambut dengan suara gemuruh halilintar dengan angin yang berhembus kencang malam itu. Beberapa pohon yang akarnya tidak kuat mencengkram bumi Pertiwi harus tumbang dengan terpaan angin sore itu.
Beberapa jam kemudian, seorang perempuan yang memakai hijab mondar mandir kesana kemari seraya memperhatikan jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan kanannya itu.
"Kenapa Abang Heri kok belum datang juga yah? Padahal sudah beberapa kali aku chat tapi nggak di baca juga, aku telpon juga gak diangkat, apa yang terjadi dengan Abang?" Gumamnya Dewi.
Dari raut wajahnya nampak tersirat kegelisahan dan kegundahan serta kekhawatiran yang mendera pikiran dan hatinya itu.
Dian yang baru muncul tanpa pikir panjang langsung menepuk pundaknya Dewi yang kelihatan gelisah, "De, apa yang terjadi padamu?"
Dewi yang mendapatkan perlakuan tiba-tiba seperti itu terkejut mendengar perkataan yang mengejutkannya dari salah satu rekan kerjanya sekaligus teman masa abu-abunya itu hingga detik ini.
Tubuhnya Dewi tersentak terkejut mendengar suara dari Dian. "Ehh aah!" Teriakannya Dewi kebetulan bersamaan dengan gemuruh guntur sehingga membuat keduanya merinding ketakutan.
Dian spontan menutup kedua telinganya ketika suara gemuruh dari petir, kilat tiba-tiba menyambar.
"Astaghfirullahaladzim," ucapnya Dewi yang semakin panik dan ketakutan seraya mengelus dadanya itu.
"Maaf aku nggak sengaja dan juga tidak berniat untuk mengagetkan sebenarnya,saya tadi melihat kamu seperti orang yang kebingungan dan linglung sehingga aku samperin kamu sebelum aku balik ke rumah," sanggahnya Dian yang cekikikan melihat tanggapan dari temannya itu.
Dewi berulang kali beristighfar untuk menenangkan dirinya sendiri. Dian menjadi salah tingkah dengan apa yang sudah dilakukannya itu.
"Ohh itu a-nu katanya Abang Heri janjinya mau jemput tapi, sampai hujan turun juga dia belum nongol juga, padahal biasanya tidak seperti ini biasanya," ujarnya Dewi yang masih melototi arah jalan kedatangan calon suaminya itu yang tersisa sekitar dua minggu lagi mereka menikah.
Dian hanya mencebik ke arah temannya itu, "Gini nih resikonya kalau tidak bisa kendarai motor sendiri pasti ribet, kalau kamu mau belajar bawa motor pasti sejak tadi sebelum hujan kamu sudah balik ke rumah," ketusnya Dian sambil memeriksa sadel motornya itu.
Dewi hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan dari mulut temannya itu.
"Rasa takut lebih besar dari pada rasa inginku belajar, kamu tahu kan sejak aku jatuh ketika dibonceng sama bapak aku takut sampai-sampai sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mengendarai motor," jelas Dewi yang masih melihat ke arah jalan jika kekasih sekaligus calon suaminya sudah datang.
"De, sebenarnya saya bisa antar kamu pulang,tapi bapak nitip dibeliin obat di apotek jadi jalan pulangnya pasti tidak searah dengan rumahmu, kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sendiri?" sesalnya Dian yang merasa tidak enak hati.
Dian menyesal dan sedih karena, malam itu tidak sanggup menolongku sahabatnya yang selalu saja membantunya dikala sedih dan kesusahan.
"Tidak apa-apa kok Dian, lagian Abang Heri juga sudah berniat mau jemput, jadi kamu pulang saja duluan, aku nunggu beberapa menit lagi kalau Abang Heri enggak datang sekitar lima belas menit,saya akan mesan ojek online saja," pungkas Dewi Mirasih yang sama sekali tidak ingin merepotkan Dian.
Dian kemudian memakai jas mantel hujannya itu ditubuhnya. Pemilik toko tempat mereka bekerja pun sudah menutup rapat pintu tokonya. Keduanya adalah pekerja di salah satu toko sembako yang letaknya tidak jauh dari kampung halaman tempat tinggal keduanya yang kebetulan satu kecamatan hanya beda desa saja.
"Tapi tidak masalah kan kalau kamu sendirian? soalnya anak-anak yang lain sudah pada pulang?" tanya Dian.
Dewi kembali menyunggingkan senyumnya itu," Insya Allah aku baik-baik saja, kamu pulang sana kasihan bapakmu kalau kamu kelamaan pulangnya, pasti beliau sudah nungguin obatnya," tampiknya Dewi.
Kalau gitu kamu hati-hati yah, aku pamit duluan pulang, kalau ketemu dengan Abang Heri Ismailmu aku pasti akan samperin dan katakan kamu sudah menunggunya,"
Dewi menatap intens ke arah sahabatnya yang sibuk memasangkan jas hujannya, "Makasih banyak, kamu juga hati-hati kendarai motornya hujannya cukup lebat,"
"Assalamualaikum," ucap Dian kemudian mulai menyalakan mesin motornya itu.
"Waalaikum salam," balasnya Dewi dengan senyuman lebarnya mengantar kepergian Dian.
Malam semakin larut, langit seolah tidak ingin berhenti menjatuhkan air nya ke atas cakrawala bumi malam itu. Sudah pukul sepuluh malam,tapi orang yang ditunggunya tidak muncul juga.
Beberapa toko yang berdekatan dengan tempat kerjanya pun sudah tutup dan mulai sepi. Hanya sesekali ada pengendara motor dan mobil yang melewati jalan tersebut.
Dewi Kinanti Mirasihkembali mencoba menghubungi nomor hpnya Heri Ismail Fatahillah, tetapi hasilnya masih seperti sebelumnya yaitu tidak dijawab oleh yang punya nomor. Untungnya di daerahnya itu sudah ada beberapa aplikasi daerah setempat yang menyediakan jasa transportasi seperti ojek online.
"Aku pesan ojol saja kalau seperti ini, mungkin Abang Heri juga sibuk kemungkinan besarnya lembur kali jadinya tak sempat balas pesan dan angkat telpon ku juga," gumamnya Dewi yang mulai menyalakan layar hpnya itu.
Baru saja hendak membuka aplikasi hpnya itu, tiba-tiba tanpa perkiraan sebelumnya hpnya mati karena kehabisan daya baterai.
"Yah lowbet, kenapa disaat seperti ini hpku malah lowbet, padahal tadi sempat charger sebentar," lirihnya Dewi dengan wajah lesunya itu menyesal karena tidak mengisi daya baterai ponselnya.
Mampir baca novel baru aku judulnya "Terpaksa Menjadi Orang ketiga" ada give away kecil-kecilan khusus pembaca yang rajin" Caranya hanya baca, Like dan komentar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 280 Episodes
Comments
SUKARDI HULU
nih sudah mampir Thor di cerita anda yang seru, jangan lupa like, follow dan beri hadia y thor di ceritaku🙏❣️🫰
2023-09-24
1
Sunarti
masih penasaran
2023-08-27
1
ayu nuraini maulina
selingkuh paling
2023-08-08
0