NovelToon NovelToon

Satu Atap Dua Hati

Bab. 1

Seorang perempuan sedang sibuk mengatur beberapa barang yang baru masuk di toko tempat ia bekerja, sesekali menatap ke arah luar tepatnya ke arah angkasa dimana langit sudah nampak mulai menghitam.

Perempuan itu terus mengamati langit sore itu, "Dian sepertinya akan turun hujan malam ini, semoga saja Abang Heri datang menjemputku sebelum hujan," ucapnya Dewi.

Seorang gadis berhijab hijau toska itu seraya mengangkat beberapa kardus yang bertuliskan mie instan itu ke dalam ruangan penyimpanan.

Perempuan yang disapa Dian Astuti Mayang Sari ikut menolehkan kepalanya ke arah langit sesuai perkataan dari sahabatnya itu. Dai pun ikut mengamati keadaan langit yang tidak seperti biasanya itu.

"Benar sekali apa yang kamu katakan, padahal tadi pagi hingga siang panasnya beh kebangetan, untungnya saya bawa jas hujan, pepatah mengatakan sedia payung sebelum hujan Alhamdulillah aku masuk kategori tipe orang yang selalu antispasi terhadap keadaan apapun," imbuhnya Dian yang terkekeh.

Dian menimpali perkataan dari sahabatnya itu dengan tetap ikut mengangkat beberapa sisa kardus mie seraya terkekeh melihat kedatangan Herman yang sudah ngos-ngosan mengangkat kardus yang hampir habis itu.

"Hemm! Apa dua gadis cantik ini hanya kerjanya bergosip masalah hujan saja," candanya Herman satu-satunya laki-laki yang berjaga siang di toko itu.

Dewi dan Dian tak menggubris perkataan candaan dari sahabatnya itu, karena akan berbuntut panjang jika mereka menimpali candaan sahabatnya. Mereka kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing agar segera selesai dan mereka pulang secepatnya.

Berselang beberapa jam kemudian, awalnya hanya hujan gerimis malam itu, tetapi semakin lama hujan pun turun begitu lebatnya. Hingga kilat, petir saling bersahutan menambah betapa derasnya badai hujan yang mengguyur sebagian besar bumi Nusantara.

Jedarrr….

Suara petir bersambut dengan suara gemuruh halilintar dengan angin yang berhembus kencang malam itu. Beberapa pohon yang akarnya tidak kuat mencengkram bumi Pertiwi harus tumbang dengan terpaan angin sore itu.

Beberapa jam kemudian, seorang perempuan yang memakai hijab mondar mandir kesana kemari seraya memperhatikan jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan kanannya itu.

"Kenapa Abang Heri kok belum datang juga yah? Padahal sudah beberapa kali aku chat tapi nggak di baca juga, aku telpon juga gak diangkat, apa yang terjadi dengan Abang?" Gumamnya Dewi.

Dari raut wajahnya nampak tersirat kegelisahan dan kegundahan serta kekhawatiran yang mendera pikiran dan hatinya itu.

Dian yang baru muncul tanpa pikir panjang langsung menepuk pundaknya Dewi yang kelihatan gelisah, "De, apa yang terjadi padamu?"

Dewi yang mendapatkan perlakuan tiba-tiba seperti itu terkejut mendengar perkataan yang mengejutkannya dari salah satu rekan kerjanya sekaligus teman masa abu-abunya itu hingga detik ini.

Tubuhnya Dewi tersentak terkejut mendengar suara dari Dian. "Ehh aah!" Teriakannya Dewi kebetulan bersamaan dengan gemuruh guntur sehingga membuat keduanya merinding ketakutan.

Dian spontan menutup kedua telinganya ketika suara gemuruh dari petir, kilat tiba-tiba menyambar.

"Astaghfirullahaladzim," ucapnya Dewi yang semakin panik dan ketakutan seraya mengelus dadanya itu.

"Maaf aku nggak sengaja dan juga tidak berniat untuk mengagetkan sebenarnya,saya tadi melihat kamu seperti orang yang kebingungan dan linglung sehingga aku samperin kamu sebelum aku balik ke rumah," sanggahnya Dian yang cekikikan melihat tanggapan dari temannya itu.

Dewi berulang kali beristighfar untuk menenangkan dirinya sendiri. Dian menjadi salah tingkah dengan apa yang sudah dilakukannya itu.

"Ohh itu a-nu katanya Abang Heri janjinya mau jemput tapi, sampai hujan turun juga dia belum nongol juga, padahal biasanya tidak seperti ini biasanya," ujarnya Dewi yang masih melototi arah jalan kedatangan calon suaminya itu yang tersisa sekitar dua minggu lagi mereka menikah.

Dian hanya mencebik ke arah temannya itu, "Gini nih resikonya kalau tidak bisa kendarai motor sendiri pasti ribet, kalau kamu mau belajar bawa motor pasti sejak tadi sebelum hujan kamu sudah balik ke rumah," ketusnya Dian sambil memeriksa sadel motornya itu.

Dewi hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan dari mulut temannya itu.

"Rasa takut lebih besar dari pada rasa inginku belajar, kamu tahu kan sejak aku jatuh ketika dibonceng sama bapak aku takut sampai-sampai sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mengendarai motor," jelas Dewi yang masih melihat ke arah jalan jika kekasih sekaligus calon suaminya sudah datang.

"De, sebenarnya saya bisa antar kamu pulang,tapi bapak nitip dibeliin obat di apotek jadi jalan pulangnya pasti tidak searah dengan rumahmu, kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sendiri?" sesalnya Dian yang merasa tidak enak hati.

Dian menyesal dan sedih karena, malam itu tidak sanggup menolongku sahabatnya yang selalu saja membantunya dikala sedih dan kesusahan.

"Tidak apa-apa kok Dian, lagian Abang Heri juga sudah berniat mau jemput, jadi kamu pulang saja duluan, aku nunggu beberapa menit lagi kalau Abang Heri enggak datang sekitar lima belas menit,saya akan mesan ojek online saja," pungkas Dewi Mirasih yang sama sekali tidak ingin merepotkan Dian.

Dian kemudian memakai jas mantel hujannya itu ditubuhnya. Pemilik toko tempat mereka bekerja pun sudah menutup rapat pintu tokonya. Keduanya adalah pekerja di salah satu toko sembako yang letaknya tidak jauh dari kampung halaman tempat tinggal keduanya yang kebetulan satu kecamatan hanya beda desa saja.

"Tapi tidak masalah kan kalau kamu sendirian? soalnya anak-anak yang lain sudah pada pulang?" tanya Dian.

Dewi kembali menyunggingkan senyumnya itu," Insya Allah aku baik-baik saja, kamu pulang sana kasihan bapakmu kalau kamu kelamaan pulangnya, pasti beliau sudah nungguin obatnya," tampiknya Dewi.

Kalau gitu kamu hati-hati yah, aku pamit duluan pulang, kalau ketemu dengan Abang Heri Ismailmu aku pasti akan samperin dan katakan kamu sudah menunggunya,"

Dewi menatap intens ke arah sahabatnya yang sibuk memasangkan jas hujannya, "Makasih banyak, kamu juga hati-hati kendarai motornya hujannya cukup lebat,"

"Assalamualaikum," ucap Dian kemudian mulai menyalakan mesin motornya itu.

"Waalaikum salam," balasnya Dewi dengan senyuman lebarnya mengantar kepergian Dian.

Malam semakin larut, langit seolah tidak ingin berhenti menjatuhkan air nya ke atas cakrawala bumi malam itu. Sudah pukul sepuluh malam,tapi orang yang ditunggunya tidak muncul juga.

Beberapa toko yang berdekatan dengan tempat kerjanya pun sudah tutup dan mulai sepi. Hanya sesekali ada pengendara motor dan mobil yang melewati jalan tersebut.

Dewi Kinanti Mirasihkembali mencoba menghubungi nomor hpnya Heri Ismail Fatahillah, tetapi hasilnya masih seperti sebelumnya yaitu tidak dijawab oleh yang punya nomor. Untungnya di daerahnya itu sudah ada beberapa aplikasi daerah setempat yang menyediakan jasa transportasi seperti ojek online.

"Aku pesan ojol saja kalau seperti ini, mungkin Abang Heri juga sibuk kemungkinan besarnya lembur kali jadinya tak sempat balas pesan dan angkat telpon ku juga," gumamnya Dewi yang mulai menyalakan layar hpnya itu.

Baru saja hendak membuka aplikasi hpnya itu, tiba-tiba tanpa perkiraan sebelumnya hpnya mati karena kehabisan daya baterai.

"Yah lowbet, kenapa disaat seperti ini hpku malah lowbet, padahal tadi sempat charger sebentar," lirihnya Dewi dengan wajah lesunya itu menyesal karena tidak mengisi daya baterai ponselnya.

Mampir baca novel baru aku judulnya "Terpaksa Menjadi Orang ketiga" ada give away kecil-kecilan khusus pembaca yang rajin" Caranya hanya baca, Like dan komentar.

Bab. 2

"Ini gara-gara Dinar dan Hani yang menggangguku pagi tadi sehingga lupa bawa payung segala, padahal sudah ada pepatah mengatakan sedia payung sebelum hujan," gumam Dewi yang kesal jika teringat dengan ulah adik dan adik sepupunya itu.

Dewi kembali teringat dengan kejadian tadi pagi, ketika adik sepupunya dan juga adik bungsunya itu mengerjainya. Dewi terkadang kesal juga dengan kejahilan mereka yang selama akan menikah dengan Ismail selalu saja usil.

Dengan terpaksa Dewi berjalan dibawah guyuran hujan yang turun cukup lebat malam itu. Beberapa menit kemudian, Dewi memutuskan untuk berjalan di bawah guyuran air hujan sembari menunggu ojek yang kebetulan melewati jalan yang dilaluinya itu. Walaupun kemungkinan besar sudah sangat jarang ada ojek yang melewati jalan itu, jika sudah lewat dari jam sepuluh malam.

"Bismillahirrahmanirrahim semoga saja ada ojek yang lewat atau Abang Ismail yang melihatku berjalan," gumam Dewi yang semakin cemas menunggu kedatangan tunangannya itu.

Dewi yang mulai melangkahkan kakinya itu meninggalkan amperan toko tempatnya bekerja. Seluruh pakaian dan sekujur tubuhnya sudah basah kuyup, tubuhnya pun mulai menggigil kedinginan. Dewi terus berjalan dengan tas sebagai pelindungnya dari terpaan hujan.

"Ya Allah… sudah sejauh ini aku berjalan tapi seolah semua pengendara mobil atau motor sudah enggan untuk melewati daerah ini," cicitnya Dewi yang celingak-celinguk memperhatikan keadaan sekitarnya yang semakin nampak sepi saja.

Baru sepersekian detik ia bergumam, tiba-tiba ada seorang yang menarik tangannya dengan kekuatan penuh.

"Aahhh! Siapa?!" Teriaknya Dewi refleks melayangkan tas selempangnya ke arah orang itu.

Sedangkan orang yang menarik tangannya tidak menggubris dan peduli dengan perkataan dari Dewi dan malah menggendong tubuhnya Dewi ke arah sebuah rumah kecil yang sering dipakai warga untuk melakukan ronda malam.

"Lepaskan! jika Anda tidak lepaskan saya akan berteriak, aku yakin orang-orang akan datang ke sini," gertaknya Dewi yang tidak mau mengalah walaupun tubuhnya dalam gendongan orang itu.

"Hahaha!! silahkan kamu teriak saja, karena aku yakin tidak akan ada orang yang mendengar teriakanmu di tengah malam buta ini, apalagi sedang hujan, mereka semua meringkuk dalam selimutnya!" ketusnya orang itu lagi.

Dewi terus memberontak dan berusaha untuk melepaskan diri dari gendongan pria yang memakai topeng hitam itu. Dia sekuat tenaga melakukan perlawanan, walaupun apa yang dilakukannya itu sia-sia belaka.

"Aku mohon lepaskan aku! Kamu siapa kenapa kamu bersikap seperti ini padaku!? Aku tidak mengenal Anda, aku juga tidak punya salah kepadamu jadi aku mohon tolong turunkan aku!" Teriaknya Dewi dalam gendongan.

"Saya tidak perlu tau apa alasanku yang terpenting kamu cukup diam! Jangan mencoba untuk melawanku karena apa yang kau perbuat itu tidak ada arti dan gunanya, semuanya sia-sia belaka," dengusnya pria itu.

Dewi tercengang mendengar perkataan dari orang itu yang jelas sekali jika dia seorang pria. Tetapi Dewi tidak menyerah sedikitpun, dia terus memukuli punggung lebar pria itu.

"Tolong!!! To-long!! Siapapun yang dengar teriakanku aku mohon datanglah!!" Jeritnya Dewi yang terus berupaya mencari pertolongan dengan berteriak sekencang-kencangnya.

"Dewi Mirasih! Hentikan semua ini jika tidak nyawa kamu yang akan melayang!" Ancamnya pria itu.

Dewi melototkan kedua bola matanya karena kaget dan keheranan mendengar perkataan dari mulut pria yang sama sekali tidak diketahuinya.

"Kenapa orang ini mengetahui nama lengkapku, siapa dia sebenarnya?" Cicitnya Dewi yang masih berusaha untuk meloloskan diri dari gendongan laki-laki bertopeng kain.

Pria itu melempar tubuhnya Dewi keatas balai-balai yang lebih mirip gazebo itu dengan kasar.

Bruk.. badebuk!

Suara tubuhnya Mirah yang terlempar mengenai papan gazebo itu.

"Auh sakit! hiks hiks sakit!" Keluhnya Dewi ketika dirinya sudah menyentuh lantai kayu tersebut.

Pria itu mengayunkan sebilah pisau yang mengkilap terkena terpaan cahaya sinar lampu tepat di sekitar pipinya yang tertutup kain hijabnya.

"Jika kamu berani coba-coba untuk meminta tolong lagi! Jangan salahkan saya jika bertindak lebih kejam padamu gadis cantik!"gertaknya Pria yang memakai topeng itu.

Kedua pasang matanya Dewi melotot saking takut, panik dan tidak menyangka jika di dalam hidupnya akan mengalami kejadian seperti ini.

"Ja-ngan… a-ku mo-hon le-pas-kan a-ku,"ratapnya Dewi yang seluruh tubuhnya mulai gemetaran saking takutnya ditambah dengan cuaca dingin malam itu dengan tubuhnya yang kedinginan.

Pria itu hanya menyunggingkan senyum liciknya yang penuh kemenangan karena berhasil membuat Dewi gemetar ketakutan.

Berulang kali Dewi mengucap istighfar dan meminta pertolongan kepada Allah SWT sambil mengamati sekitarnya untuk mencari benda yang bisa digunakan untuk melawan penjahat itu.

"Kenapa pria ini melakukan semua ini padaku? kesalahan apa yang telah aku perbuat sehingga membuatnya murka padaku," lirih Dewi.

"Saya akan melakukan segala cara untuk menggagalkan rencana pernikahanmu dengan pria yang disukai oleh adikku, kalau perlu aku akan menodai kesucianmu asalkan kamu tidak jadi menikah dengan Ismail," batinnya Pria itu.

Dewi beringsut ke arah belakang hingga punggungnya terbentur ke dinding papan gazebo kayu itu. Tubuhnya semakin menggigil kedinginan menahan rasa takut, kedinginan, kecemasan dan juga rasa khawatir bercampur menjadi satu bagian di dalam hati dan pikirannya saat itu.

Dewi menutupi bagian tubuh depannya agar tidak terlalu terekspos keluar, karena seluruh pakaiannya sudah basah kuyup hingga beberapa tonjolan tubuhnya sudah tampak jelas.

"Sia-pa kau sebenarnya? a-ku mohon to-long jangan seperti ini," rengeknya Dewi yang berusaha menghalau langkahnya pria itu.

Hanya sudut bibirnya pria itu yang nampak kelihatan dibalik topengnya, "Kamu tidak perlu mengetahui siapa saya yang jelasnya malam ini aku akan menunjukkan kepadamu akibat dari merebut Ismail dan kamu berencana akan menikah dengannya, ini lah akibatnya!" Gertaknya orang dibalik topeng.

"Apakah orang ini melakukan semua ini padaku karena gara-gara aku akan menikah dengan Abang Ismail? apa aku salah menerima lamaran dari pria yang aku sayang? Kalau seperti ini Aku harus mencari cara untuk meloloskan diri dari sini, bagaimana pun caranya aku harus bisa kabur," batinnya Dewi Mirasih yang sesekali melirik ke arah kanan kiri.

Tubuhnya semakin mundur agar tidak bersentuhan dengan pria yang bukan keluarganya sendiri dan jelas-jelas bukan mahramnya. Rasa takut itu pasti ada, tetapi Dewi terus berusaha untuk tetap tenang dan melakukan perlawanan sambil diam-diam mencari benda apa yang kira-kira bisa dipergunakannya.

"Setelah aku lolos dari sini aku akan mencari tahu siapa pria ini sebenarnya, apakah motifnya melakukan tindakan kejahatan hanya karena aku akan menikah dengan Mas Ismail, tapi kenapa aku merasa pria ini tidak asing bagiku," Dewi sibuk dengan pemikirannya sambil berusaha untuk terus menghindar.

Bab. 3

Dewi sudah prustasi karena pria itu sama sekali tidak mengendorkan sedikit pun aksinya untuk melecehkan Dewi malam itu juga. Tanpa sengaja tangannya menyentuh sebuah benda yang berbentuk panjang. Senyuman tipis penuh kebahagiaan tersungging di bibirnya Dewi, walaupun apa yang ada di dalam benaknya belum tentu jadi kenyataan.

"Alhamdulillah ada benda yang bisa saya pakai untuk melawan, semoga saja berhasil," cicitnya Dewi yang sudah bersiap mengambil ancang-ancang untuk melakukan perlawanan.

Pria itu menatap nyalang ke arahnya Dewi, "Kau jangan berharap kamu bisa lolos dari sini, karena malam ini kamu harus melayani aku!" ancam pria itu.

Pria itu berupaya untuk menarik hijabnya Dewi yang sudah berantakan, tetapi Dewi tidak mungkin tinggal diam saja melihat apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Akhirnya ia pun melakukan hal yang sudah terpikirkan olehnya sejak tadi, walaupun percobaannya mungkin akan gagal.

"Saya tidak mungkin dengan sukarela memenuhi keinginanmu pria bajingan!" Murkanya Dewi

Dewi mengayunkan tangannya sekuat tenaga lalu mengangkat balok kayu itu dan langsung memukuli kepalanya pria bertopeng kain tersebut.

"Auh sakit!" Pekiknya pria itu sembari memegangi kepalanya yang kemungkinannya sudah berdarah.

"Rasakan akibatnya, aku tidak akan tinggal diam atas kejahatanmu ini,saya akan melapor polisi!" Ancam Dewi.

Dewi pun segera bangkit dari posisi duduknya dalam keadaan tenaga yang tersisa hanya mampu memukul dua kali kepala pria itu.

"Lebih baik saya mati dari pada harus disentuh oleh pria brengsek seperti kamu yang jelas-jelas bukan suamiku!" Geramnya Dewi yang berpegangan pada pembatas pos ronda tersebut untuk bertumpu agar tubuhnya tidak oleng.

Pria itu meringkuk meringis menahan kesakitan di kepalanya," dasar perempuan lontek, saya tidak akan biarkan kau hidup!" Hardik pria itu yang berusaha untuk bangkit walaupun kondisinya semakin parah karena sudah banyak darah yang menetes membasahi wajahnya.

Dewi tersenyum penuh arti dan tidak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut, dengan sekuat tenaga ia berjalan tergesa-gesa menuju jalan raya. Tetapi, karena tangan pria itu cukup panjang sehingga mampu menggapai ujung kemejanya Dewi dan menarik dengan kuat ujung bajunya itu sehingga robek.

Krek!!

Dewi terlambat bergerak sehingga ujung pakaiannya harus rela ditarik dan robek. Robekan ujung pakaiannya Dewi terdengar dengan nyata. Robekan itu terjadi karena, Dewi bersikeras untuk melawan dan akhirnya mereka saling tarik menarik.

"Tolong lepaskan saya, jangan ditarik terus bajuku, aku mohon dengan sangat Pak!" Pintanya Dewi yang tangan satunya menutupi bagian perutnya yang sudah kelihatan.

Pria itu tersenyum penuh kemenangan yang berasa sudah berhasil melumpuhkan Dewi, "Hahaha! Lepas jangan mimpi,kamu sudah lukai kepalaku tapi dengan seenaknya kamu meminta belas kasihku untuk melepaskan kamu, haha itu hanya mimpi kamu!" Dengusnya yang tidak mau mengalah walaupun rasa sakit dan perih dirasakannya tidak menyurutkan semangatnya untuk menganiaya Mirah.

Dewi pun tidak mau kalah,dia pun mulai menendang bagian sensitifnya pria itu dengan tenaga sepenuhnya, "Jangan harap kamu bisa menyentuh tubuhku dan kejahatan kamu bisa berhasil, aku yakin Allah SWT akan membantuku," kesalnya Dewi yang berlari terseok-seok karena kondisi fisiknya semakin lemah dan juga faktor kelelahan yang terus melakukan perlawanan.

Kalau aku tahu akan ada kejadian seperti ini dalam hidupku, dulu aku pasti akan ikut taekwondo. Dewi berusaha untuk menahan laju air matanya, karena baginya menangis dikala itu tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan membuatnya tidak bisa berfikir jernih.

Pria itu kembali meringkuk di atas lantai papan sembari memukul lantai papan," sial!! Perempuan itu lumayan juga, aku terlalu menganggap remeh dan lemah kemampuannya," kesal pria itu yang masih setia memakai topengnya.

"Ya Allah… tolonglah hambaMu ini, aku mohon jangan biarkan pria itu berhasil dengan rencana licik dan jahatnya, lindungilah aku dari segala marabahaya dan dari kejahatan manusia maupun mahluk lainnya," gumamnya Dewi yang semakin mempercepat langkahnya sambil sesekali melihat ke arah belakang karena pria bertopeng itu mengikuti langkah kepergiannya.

Hujan semakin turun dengan derasnya, hingga kondisi jalan yang dilalui keduanya sudah hampir tertutupi dengan genangan air hujan tengah malam buta itu.

"Kamu mau lari ke mana? Jangan harap kamu bisa selamat dari kejaran ku!" Pria itu berjalan sambil menenteng kayu balok bekas alat pemukul yang dipakai oleh Dewi tadi.

Dewi tidak menggubris perkataannya pria itu dengan terus berlari dan terkadang hanya berjalan kaki saja. Hingga tanpa disadarinya ada sebuah mobil sedan hitam yang melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi berlawanan arah menuju ke arahnya.

"Ahh!! Tidak!!' jeritnya Dewi yang bukannya berpindah tempat agar tidak tertabrak, tetapi hanya mampu menutupi wajahnya dari amukan kecelakaan tersebut.

Dewi sudah tidak memilki kemampuan untuk bergerak cepat,ia sudah mati langkah karena terkejut melihat mobil yang datang tiba-tiba ke arahnya, apa lagi ketika Mirah berjalan cukup berada di tengah jalan.

Ciitt!!!

Sedangkan di tempat lain beberapa jam sebelum kejadian itu, kesibukan sudah jelas terlihat di dalam bangunan rumah bergaya modern itu, hilir mudik beberapa orang dengan pekerjaan dan aktifitas masing-masing semakin menambah kesibukan di sekitar area rumah itu.

Di dalam sebuah kamar, seorang gadis kira-kira berusia dua puluh tiga tahun entah kenapa sejak tadi pagi suasana hatinya tidak tenang dan menentu, hal itu terlihat jelas dari raut wajahnya yang menggambarkannya.

"Apa aku telpon Abang Syam saja yah? Aku semakin tidak tenang jika belum mendengar suaranya, walaupun tiga hari lagi kami resmi menjadi suami istri," gadis manis berikat rambut satu itu.

Gadis itu kebingungan dan ragu untuk menelpon calon suaminya, takutnya mengganggu aktivitas sang pujaan hatinya. Dengan keputusan yang bulat,ia akhirnya memberanikan diri untuk menghubungi kekasihnya tersebut.

"Assalamualaikum, Sayang apa kamu jadi berangkat ke daerah malam ini?" Tanyanya Nadia dari seberang telepon.

"waalaikum salam, Insya Allah… jadi ini sudah siap-siap mau berangkat, emangnya kenapa?" Tanyanya balik Syamuel sambil membuka pintu mobil dinas yang sering dipakainya jika bepergian ke luar daerah urusan pekerjaan.

"Apa Mas Syam batalkan saja dulu keberangkatannya, entah kenapa feelingku tidak enak, apa lagi sisa tiga hari kita menikah loh,apa sebaiknya dibatalkan atau suruh teman kerjanya yang lain yang gantiin Mas untuk kali ini saja," ujarnya Nadia calon istrinya itu.

Samuel Abidzar Al-Ghifari hanya terkekeh mendengar perkataan dari calon istrinya itu," insya Allah… semuanya akan berjalan lancar, andai saja bisa Mas pasti tidak akan pergi,tapi ini sudah tanggung jawabnya Mas tidak mungkin melimpahkan kepada teman, kamu cukup bersabar, tenangkan hatimu dan paling penting doakan saja Mas supaya pulang tepat waktu dan selamat tanpa kekurangan apapun," imbuhnya Aiman.

"Amin ya rabbal alamin,kalau gitu aku tutup dulu telponnya Mas ada beberapa tetangga yang datang sepertinya ingin bertemu denganku, assalamualaikum," ucapnya Nadia yang terpaksa menutup sambungan teleponnya itu.

"Waalaikum salam,i love you forever Nadia Yulianti," cicitnya Syam sebelum menutup sambungan teleponnya itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!