Losing Us
Dari Aishalma Anara
Saat saya masih remaja, ketika ada seseorang yang bertanya kepada saya tentang apa itu pernikahan, saya akan menjawab begini: Pernikahan adalah sebuah hal yang dilakukan oleh dua orang dengan tujuan menyatukan dua isi kepala ke dalam satu tubuh yang utuh. Berjalan berdampingan melewati senang dan susah. Berbagi tangis dan tawa. Itu dilakukan dengan orang yang kita sayang, orang yang membuat kita nyaman, yang saat kita menatap matanya, kita tahu bahwa dialah orangnya.
Bertahun-tahun kemudian, ketika umur saya bertambah sedikit demi sedikit hingga menyentuh angka 20-an, pemikiran saya masih tetap sama. Karena yang saya lihat setiap hari memang demikian.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana Papa menatap Mama penuh puja, sedangkan Mama tak pernah berhenti mengulaskan senyum untuk menyambut Papa yang seharian lelah di luar rumah. Tangan mereka saling menggenggam, mata mereka bertatapan dengan cara paling hangat yang pernah saya temui seumur hidup saya.
Dari sana, saya bisa merasakan betapa mereka saling jatuh sedalam-dalamnya. Tidak ada yang lebih jatuh cinta kepada siapa. Tidak ada yang lebih menginginkan karena keduanya berada di titik yang sama. Keduanya sama-sama jatuh cinta, sama-sama sepakat untuk hidup bersama dalam kurun waktu yang lama.
Lingkungan saya juga bisa dibilang baik. Dari semua orang yang saya temui, mereka membawa cerita tentang keluarga mereka masing-masing. Dan semuanya mirip seperti bagaimana saya melihat pernikahan kedua orang tua saya. Saya pikir, semua orang juga begitu. Saya pikir semua pernikahan memang sudah selayaknya berjalan demikian. Karena kalau tidak dilakukan dengan orang yang betulan kita sayang, bagaimana caranya pernikahan itu akan bertahan?
Katakanlah saya naif, atau tolol sekalipun. Tidak apa-apa. Karena saya mungkin memang begitu. Sepanjang hidup, yang saya lihat hanya hal-hal baik. Entah karena kedua orang tua saya ingin menunjukkan hanya sisi-sisi bahagia mereka saja, atau karena mata saya yang terlalu buta dan perasaan saya yang tidak peka untuk mencari tahu di mana letak salahnya. Yang jelas, saat umur saya bertambah satu tahun, tepat satu bulan setelah kematian kedua orang tua saya, saya sadar pemikiran saya tentang pernikahan tidak sepenuhnya benar.
Sebab nyatanya kini saya berdiri di sini, di sisi seorang pria yang tak saya kenali sebelumnya. Pria asing yang entah bagaimana hadir ke dalam hidup saya. Atau barangkali, sayalah yang telah tersesat hingga tak sengaja masuk ke dalam hidupnya yang kebetulan saya lewati dalam perjalanan menuju pulang.
Namanya Arsenio Galandra, laki-laki tampan yang usianya tiga tahun lebih tua dari saya dan merupakan anak tunggal dari seorang kerabat yang sudah lama tidak menampakkan batang hidungnya.
Ibu Arsenio dan kedua orang tua saya berteman dekat. Mereka menjalin hubungan pertemanan yang erat layaknya saudara, saling membantu dan menopang ketika salah satunya sedang jatuh. Cerita soal pertemanan mereka sudah saya dengar ratusan kali, meskipun sosok ibu Arsenio itu sendiri sama sekali belum pernah saya lihat secara langsung.
Mama berkata, mereka terpisah jarak karena ibunya Arsen harus terbang ke luar kota mengikuti sang suami. Tapi meskipun demikian, mereka masih sering berkontak walaupun hanya lewat pesan singkat minimal satu minggu sekali.
Lalu entah bagaimana, kabar kematian Papa dan Mama sampai dengan cepat di telinga teman baik mereka. Perempuan itu datang menghampiri saya di pemakaman yang telah sepi dari pelayat, memeluk saya begitu erat seakan saya bisa saja luruh dan rata dengan tanah jika tangannya tak cukup kokoh untuk menahan tubuh ringkih saya. Sementara di belakang punggungnya, Arsenio berdiri dengan tatapan dingin yang tertuju lurus ke arah saya.
Hari itu, saya tidak mengerti arti dari tatapan itu. Dilempari tatapan demikian oleh seseorang yang asing jelas merupakan sesuatu yang cukup membingungkan, terlebih bagi saya yang saat itu sedang kehilangan setengah kewarasan.
Sekarang, saya akhirnya mengerti mengapa Arsenio begitu terlihat membenci saya hari itu. Sebab di hari itu, untuk pertama kalinya ketika kami bertemu, ia telah diberi tahu oleh sang ibu bahwa kami akan menikah dalam waktu dekat.
Perjodohan. Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya, namun nyatanya benar-benar harus saya jalani sekarang.
Kepada saya, ibunya Arsen mengatakan bahwa perjodohan ini telah dibuat sejak lama, sebagai bentuk upaya mempertahankan jalinan pertemanan agar tidak putus hanya di antara para orang tua.
Tapi masalahnya, Arsenio tidak menyukai saya. Baginya, saya adalah petaka. Bencana paling besar yang terjadi dalam hidupnya, membuatnya terpisah dengan sang pujaan hati yang padahal hendak dia nikahi juga dalam waktu dekat.
“Lo adalah musibah.” Itu katanya, dan saya, seiring dengan berjalannya waktu, mulai mengamini pernyataan itu.
Bahkan ketika kami kini bersanding di atas pelaminan, menyaksikan bagaimana orang-orang bertepuk tangan untuk sahnya hubungan kami sebagai suami istri, keyakinan saya atas pernyataan yang Arsenio berikan tumbuh semakin besar.
Saya adalah musibah. Itu yang akan terus saya ingat, bahkan mungkin sampai nanti ketika waktunya saya mati.
... 🥀🥀🥀...
Dari Arsenio Galandra
Sedari remaja, saya sudah terbiasa mengatur semuanya. Merancang mimpi saya sendiri dan mencari cara untuk mewujudkannya satu persatu. Saya tahu pasti di mana saya ingin sekolah, di universitas mana saya ingin kuliah, di kantor mana saya akan pertama kali melamar setelah mendapat gelar Sarjana, serta dengan siapa saya akan menikah.
Berbicara soal pernikahan, saya sudah memikirkannya sejak pertama kali menjalin kasih dengan cinta pertama saya semasa kuliah dulu. Namanya Flora Calantha Orlin, gadis cantik blasteran Indonesia-Australia yang di mata saya, pesonanya bahkan bisa mengalahkan Aprodhite sang dewi kecantikan. Olin—begitu saya menyebutnya—sempurna, itu yang saya tahu, dan saya berjanji untuk menikah hanya dengan dia suatu hari nanti.
Lima tahun menjalin kasih, saya akhirnya menemukan waktu yang tepat untuk melamarnya. Itu seharusnya terjadi tiga bulan dari sekarang. Iya, seharusnya. Karena kenyataannya, saya malah menikah dengan orang lain.
Saya marah, saya kecewa. Tapi, saya tidak bisa berbuat apa-apa karena nyatanya, tak peduli seberapa besar cinta saya kepada Olin, itu tetap tidak bisa mengalahkan rasa cinta saya kepada Bunda, wanita yang telah melahirkan dan merawat saya dengan sebaik-baiknya. Bunda merawat saya dengan susah payah setelah Ayah meninggal tiga tahun lalu, sehingga rasanya tidak tega untuk menolak keinginan beliau agar saya menikahi anak dari teman baiknya semasa muda dulu.
“Dia sebatang kara, Sen. Di dunia yang kejam ini, Bunda nggak tega untuk membiarkan dia sendirian. Tolong menikah dengan dia, supaya Bunda punya alasan untuk menjaga dia menggantikan peran ayah dan ibunya.”
Begitu kata Bunda, di malam sebelum kami terbang ke kota di mana gadis yang sekarang berdiri di samping saya dengan mengenakan gaun pengantin ini berada saat itu. Saya tidak bisa menolak permintaan Bunda, saya tidak tega. Maka sebelum kami benar-benar terbang ke sana, saya lebih dulu berlarian menghampiri Olin.
Lamaran yang sempat tertunda, saya lakukan malam itu juga. Di hadapan kakinya, dengan tubuh bergetar menahan tangis, saya mengulurkan cincin yang sudah saya persiapkan dari beberapa bulan sebelumnya. Olin menerimanya, tapi ia malah berakhir menjadi tamu undangan di hari pernikahan saya dengan perempuan lain.
Saya merasa bersalah pada Olin, tapi untuk melepaskan gadis itu setelah semua hal yang kami lewati, rasanya saya tidak sanggup. Maka dengan keegoisan yang begitu tinggi, saya memintanya untuk tetap tinggal. Dengan angkuh, saya menjanjikan kepada dia bahwa pernikahan ini tidak akan menjadi penghalang untuk hubungan kami, bahwa saya tidak akan membiarkan hati saya terbuka sedikit pun untuk gadis yang kini sah menjadi istri saya ini.
Kini, melalui binar matanya yang tampak rapuh ketika ia diharuskan duduk di bangku tamu pada baris paling depan, menyaksikan saya mengikat janji suci di hadapan Tuhan dengan orang lain yang bukan dia, saya mulai merasa kalau sebaiknya saya melepaskan dia lebih cepat.
Tapi kini, sudah cukup terlambat. Melepaskan dia sekarang hanya akan menghancurkan kami berdua, sehingga saya pikir, saya hanya perlu mencari cara agar kami tidak hancur.
“Gue mengorbankan banyak hal untuk menikah sama lo, Anara. Jadi gue harap, itu cukup. Tolong jangan rampas apapun lagi. Tolong biarkan gue tetap mencintai Olin sebagaimana yang udah gue lakukan selama lima tahun ini.” Bisik saya kepada Anara yang berdiri di samping saya.
Saya harap, dia akan mengerti, bahwa sampai kapan pun, pernikahan ini tidak akan memiliki arti apa-apa untuk saya. Sebab dia adalah Aishalma Anara, bukan Flora Calantha Orlin yang saya cinta.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Dewi Payang
malah terlihat lebih kejam kalau kau membiarkan Olin menyaksikan pernikahanmu.
2023-10-03
1
Dewi Payang
hampir semua org yg sy kenal sebelum menikah ingin punya pasangan yg perfect....😁😁
2023-10-03
1
R A
kenapa kalo kedua orangtua nya "bestie-an" anak mereka jd korban perjodohan 😅🤔
2023-09-27
3