Selepas acara resepsi yang melelahkan, Anara diboyong oleh Arsenio menuju kediamannya. Mulanya, ia pikir itu adalah rumah di mana Arsenio dan sang ibu tinggal selama ini. Tapi ternyata, itu adalah sebuah rumah baru yang sepertinya sengaja disiapkan untuk Anara dan Arsenio tinggali berdua setelah menikah.
Anara mengitarkan pandangan ke segala arah, mengamati satu persatu hal yang tertangkap oleh matanya, lantas menilainya tanpa sadar.
“Kamar lo di sebelah kiri.”
Suara Arsenio itu membuat Anara menghentikan langkah. Entah bagaimana, Arsenio ternyata sudah berjalan cukup jauh di depan. Lelaki itu kini berdiri di ujung tangga, menatap Anara dingin seraya menunjuk ke arah sebuah kamar yang letaknya berada di sisi kiri tangga.
Anara menganggukkan kepala. Tolol adalah nama tengah perempuan itu sebelum ini, tapi sekarang, mau tidak mau ia harus menghapuskannya karena tahu Arsenio tidak akan suka dengan ketololan yang terlalu lambat membaca situasi.
Tanpa menanyakan apa-apa lagi, ANara segera menyeret koper miliknya, membawanya menaiki tangga sedangkan Arsenio sudah sepenuhnya hilang dari pandangan. Lelaki itu bahkan tidak berbasa-basi untuk membawakan koper Anara, dan Anara sendiri merasa ia tidak punya hak untuk merasa sakit hati.
Sesampainya di kamar yang Arsenio tunjuk, Anara tidak lantas membongkar isi koper dan memasukkannya ke dalam lemari. Memutuskan untuk menjelajah terlebih dahulu, meninggalkan koper miliknya di depan pintu yang terbuka lalu berjalan menuju pintu kaca besar yang tertutup gorden warna biru tua.
Anara menyibakkan gorden tersebut, membiarkan matanya bertemu dengan pemandangan langit malam di mana sinar bulan terlihat memantul di kaca pintu itu, menerangi refleksi diri yang terlihat samar di tengah kegelapan ruangan yang lampunya memang belum sempat ia nyalakan.
Terang bulan dan gelapnya bayangan Anara adalah perpaduan yang pas, seakan menegaskan bahwa di titik ini, ia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa lagi selain kuasa Tuhan. Bulan yang bersinar terang itu termasuk kuasa Tuhan, kan? Ia tidak akan bertakhta cukup tinggi di sana jika Tuhan tidak mengizinkan. Maka dengan kerendahan hati yang apa adanya, Anara akan menundukkan kepala sebentar, berterima kasih kepada Tuhan karena setidaknya Dia tidak meninggalkan Anara benar-benar sendirian.
“Mama, Papa, An baik-baik aja, jangan khawatir.” Bisik Anara setelah mengucapkan puji syukur kepada Tuhan. Melalui pantulan cahaya rembulan yang semakin terlihat terang, ia seperti bisa melihat dua wajah yang begitu dia rindukan, tengah tersenyum dengan binar mata yang cemerlang. “An akan baik-baik aja, pasti.”
Dan Anara harap, itu bukan sekadar cara ia menghibur diri sendiri.
...🥀🥀🥀...
Arsenio meletakkan koper besar miliknya di dekat pintu lemari. Sudah malam, badan juga sudah terasa remuk sehingga tidak ada lagi sisa tenaga yang bisa dia gunakan untuk membongkar isi di dalam koper itu. Jadi, untuk sekarang, Arsenio akan membiarkannya terdiam di sana, menjadi saksi bagaimana lelaki itu—sekali lagi—menangisi nasib tragis yang harus menikahi perempuan yang tidak dia cintai.
Di saat-saat ketika kepala Arsenio sedang begitu ribut seperti sekarang ini, Olin selalu menjadi satu-satunya nama yang terlintas di kepala lelaki itu secara otomatis. Gadis itu seperti rumah, tempat Arsenio merebahkan segala lelah ketika ia tahu kehadirannya tidak akan diterima di mana-mana.
Menyakiti Olin berada di pilihan paling akhir dalam hidup Arsenio, dan hari ini, untuk pertama kalinya, ia melakukannya.
Masih terbayang jelas di kepala Arsenio, bagaimana Olin mati-matian menahan tangis saat gadis itu tiba di hadapannya, menjabat tangannya untuk mengucapkan selamat dengan suara yang bergetar. Sungguh, Arsenio ingin memeluknya, seerat mungkin sebagai sebuah jaminan bahwa ia tidak akan ke mana-mana. Akan tetapi, Arsenio tidak bisa melakukannya. Tidak, ketika ada banyak pasang mata yang melihat, termasuk Bunda.
“Selamat, Gal.”
Tidak. Seharusnya, Olin tidak perlu mengatakan itu, sekalipun Arsenio tahu gadis itu mengatakannya hanya sebagai bentuk formalitas. Seharusnya, Olin langsung pergi dari sana setelah acara selesai. Atau sebaiknya, Arsenio tidak pernah membiarkannya datang sama sekali.
“Arsenio,”
Suara itu membuat Arsenio berbalik, lalu menemukan Anara berdiri di ambang pintu kamar dengan raut wajah yang sama sekali tidak bisa dia baca.
“Apa?” tanya Arsenio dengan nada dingin. Jika ditanya soal bagaimana perasaannya terhadap Anara, Arsenio akan menjawab tidak tahu. Ia tahu, paham sekali malah, kalau Anara pun tidak bisa berbuat apa-apa terhadap perjodohan ini. Gadis itu mungkin juga ingin menolaknya, tetapi dia tidak mampu.
Meskipun begitu, tetap saja, Arsenio merasa ini adalah salahnya. Karena dia harus menjadi yatim piatu di saat yang tidak tepat, walaupun pasti Anara pun tidak menginginkan itu terjadi. Arsenio tidak memiliki seseorang untuk dijadikan kambing hitam, jadi Anara adalah pilihan paling tepat karena hanya dia satu-satunya orang asing bagi lelaki itu.
“Lampu di kamar mandi aku mati, boleh pinjam kamar mandi di kamar kamu sebentar? Aku mau mandi.”
Tidak sulit untuk berkata iya, toh sama sekali tidak ada ruginya. Tapi entah kenapa, Arsenio justru menggelengkan kepala. Membayangkan gadis itu akan menjejakkan kakinya di dalam kamar mandi di kamarnya benar-benar membuat frustrasi. Rasanya, tidak sedikit pun ia rela gadis itu meninggalkan jejak apa pun di sekitarnya. Sepenuhnya, Arsenio ingin Anara menjaga jarak.
“Enggak mandi satu malam enggak akan bikin lo mati.” Arsenio berkata demikian masih dengan nada suara yang dingin. Ia sendiri bahkan hampir tidak mengenali suara itu, saking tidak pernahnya bersikap demikian terhadap orang lain.
Tidak seperti kebanyakan orang yang akan terlihat tersinggung, Arsenio malah menemukan Anara mengangguk begitu ringan. Lalu tanpa membantah sedikit pun, gadis itu berlalu dari hadapannya.
Sebelum pergi, dia bahkan sempat mengucapkan "selamat malam" dengan suaranya yang lembut. Satu hal yang semakin membuat Arsenio yakin untuk menjadikannya sasaran limpahan kemarahan. Sebab ia tahu, Anara akan menerimanya dengan lapang dada.
“Lo enggak akan bisa bertahan di dunia yang bajingan ini dengan sikap lembek kayak gitu, Anara.” Bisik Arsenio dengan suara yang nyaris tidak bisa didengar oleh siapa pun selain dirinya sendiri.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Dewi Payang
Anara... sepertinya dia gadis yg kuat.
2023-10-03
1
Fenti
part pertama udah bikin aku meng sedih dengan keadaan Anara
2023-05-30
1
Fenti
jahat banget sihh😤
2023-05-30
1