NovelToon NovelToon

Losing Us

Pendahuluan

Dari Aishalma Anara

Saat saya masih remaja, ketika ada seseorang yang bertanya kepada saya tentang apa itu pernikahan, saya akan menjawab begini: Pernikahan adalah sebuah hal yang dilakukan oleh dua orang dengan tujuan menyatukan dua isi kepala ke dalam satu tubuh yang utuh. Berjalan berdampingan melewati senang dan susah. Berbagi tangis dan tawa. Itu dilakukan dengan orang yang kita sayang, orang yang membuat kita nyaman, yang saat kita menatap matanya, kita tahu bahwa dialah orangnya.

Bertahun-tahun kemudian, ketika umur saya bertambah sedikit demi sedikit hingga menyentuh angka 20-an, pemikiran saya masih tetap sama. Karena yang saya lihat setiap hari memang demikian.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana Papa menatap Mama penuh puja, sedangkan Mama tak pernah berhenti mengulaskan senyum untuk menyambut Papa yang seharian lelah di luar rumah. Tangan mereka saling menggenggam, mata mereka bertatapan dengan cara paling hangat yang pernah saya temui seumur hidup saya.

Dari sana, saya bisa merasakan betapa mereka saling jatuh sedalam-dalamnya. Tidak ada yang lebih jatuh cinta kepada siapa. Tidak ada yang lebih menginginkan karena keduanya berada di titik yang sama. Keduanya sama-sama jatuh cinta, sama-sama sepakat untuk hidup bersama dalam kurun waktu yang lama.

Lingkungan saya juga bisa dibilang baik. Dari semua orang yang saya temui, mereka membawa cerita tentang keluarga mereka masing-masing. Dan semuanya mirip seperti bagaimana saya melihat pernikahan kedua orang tua saya. Saya pikir, semua orang juga begitu. Saya pikir semua pernikahan memang sudah selayaknya berjalan demikian. Karena kalau tidak dilakukan dengan orang yang betulan kita sayang, bagaimana caranya pernikahan itu akan bertahan?

Katakanlah saya naif, atau tolol sekalipun. Tidak apa-apa. Karena saya mungkin memang begitu. Sepanjang hidup, yang saya lihat hanya hal-hal baik. Entah karena kedua orang tua saya ingin menunjukkan hanya sisi-sisi bahagia mereka saja, atau karena mata saya yang terlalu buta dan perasaan saya yang tidak peka untuk mencari tahu di mana letak salahnya. Yang jelas, saat umur saya bertambah satu tahun, tepat satu bulan setelah kematian kedua orang tua saya, saya sadar pemikiran saya tentang pernikahan tidak sepenuhnya benar.

Sebab nyatanya kini saya berdiri di sini, di sisi seorang pria yang tak saya kenali sebelumnya. Pria asing yang entah bagaimana hadir ke dalam hidup saya. Atau barangkali, sayalah yang telah tersesat hingga tak sengaja masuk ke dalam hidupnya yang kebetulan saya lewati dalam perjalanan menuju pulang.

Namanya Arsenio Galandra, laki-laki tampan yang usianya tiga tahun lebih tua dari saya dan merupakan anak tunggal dari seorang kerabat yang sudah lama tidak menampakkan batang hidungnya.

Ibu Arsenio dan kedua orang tua saya berteman dekat. Mereka menjalin hubungan pertemanan yang erat layaknya saudara, saling membantu dan menopang ketika salah satunya sedang jatuh. Cerita soal pertemanan mereka sudah saya dengar ratusan kali, meskipun sosok ibu Arsenio itu sendiri sama sekali belum pernah saya lihat secara langsung.

Mama berkata, mereka terpisah jarak karena ibunya Arsen harus terbang ke luar kota mengikuti sang suami. Tapi meskipun demikian, mereka masih sering berkontak walaupun hanya lewat pesan singkat minimal satu minggu sekali.

Lalu entah bagaimana, kabar kematian Papa dan Mama sampai dengan cepat di telinga teman baik mereka. Perempuan itu datang menghampiri saya di pemakaman yang telah sepi dari pelayat, memeluk saya begitu erat seakan saya bisa saja luruh dan rata dengan tanah jika tangannya tak cukup kokoh untuk menahan tubuh ringkih saya. Sementara di belakang punggungnya, Arsenio berdiri dengan tatapan dingin yang tertuju lurus ke arah saya.

Hari itu, saya tidak mengerti arti dari tatapan itu. Dilempari tatapan demikian oleh seseorang yang asing jelas merupakan sesuatu yang cukup membingungkan, terlebih bagi saya yang saat itu sedang kehilangan setengah kewarasan.

Sekarang, saya akhirnya mengerti mengapa Arsenio begitu terlihat membenci saya hari itu. Sebab di hari itu, untuk pertama kalinya ketika kami bertemu, ia telah diberi tahu oleh sang ibu bahwa kami akan menikah dalam waktu dekat.

Perjodohan. Sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya, namun nyatanya benar-benar harus saya jalani sekarang.

Kepada saya, ibunya Arsen mengatakan bahwa perjodohan ini telah dibuat sejak lama, sebagai bentuk upaya mempertahankan jalinan pertemanan agar tidak putus hanya di antara para orang tua.

Tapi masalahnya, Arsenio tidak menyukai saya. Baginya, saya adalah petaka. Bencana paling besar yang terjadi dalam hidupnya, membuatnya terpisah dengan sang pujaan hati yang padahal hendak dia nikahi juga dalam waktu dekat.

“Lo adalah musibah.” Itu katanya, dan saya, seiring dengan berjalannya waktu, mulai mengamini pernyataan itu.

Bahkan ketika kami kini bersanding di atas pelaminan, menyaksikan bagaimana orang-orang bertepuk tangan untuk sahnya hubungan kami sebagai suami istri, keyakinan saya atas pernyataan yang Arsenio berikan tumbuh semakin besar.

Saya adalah musibah. Itu yang akan terus saya ingat, bahkan mungkin sampai nanti ketika waktunya saya mati.

... 🥀🥀🥀...

Dari Arsenio Galandra

Sedari remaja, saya sudah terbiasa mengatur semuanya. Merancang mimpi saya sendiri dan mencari cara untuk mewujudkannya satu persatu. Saya tahu pasti di mana saya ingin sekolah, di universitas mana saya ingin kuliah, di kantor mana saya akan pertama kali melamar setelah mendapat gelar Sarjana, serta dengan siapa saya akan menikah.

Berbicara soal pernikahan, saya sudah memikirkannya sejak pertama kali menjalin kasih dengan cinta pertama saya semasa kuliah dulu. Namanya Flora Calantha Orlin, gadis cantik blasteran Indonesia-Australia yang di mata saya, pesonanya bahkan bisa mengalahkan Aprodhite sang dewi kecantikan. Olin—begitu saya menyebutnya—sempurna, itu yang saya tahu, dan saya berjanji untuk menikah hanya dengan dia suatu hari nanti.

Lima tahun menjalin kasih, saya akhirnya menemukan waktu yang tepat untuk melamarnya. Itu seharusnya terjadi tiga bulan dari sekarang. Iya, seharusnya. Karena kenyataannya, saya malah menikah dengan orang lain.

Saya marah, saya kecewa. Tapi, saya tidak bisa berbuat apa-apa karena nyatanya, tak peduli seberapa besar cinta saya kepada Olin, itu tetap tidak bisa mengalahkan rasa cinta saya kepada Bunda, wanita yang telah melahirkan dan merawat saya dengan sebaik-baiknya. Bunda merawat saya dengan susah payah setelah Ayah meninggal tiga tahun lalu, sehingga rasanya tidak tega untuk menolak keinginan beliau agar saya menikahi anak dari teman baiknya semasa muda dulu.

“Dia sebatang kara, Sen. Di dunia yang kejam ini, Bunda nggak tega untuk membiarkan dia sendirian. Tolong menikah dengan dia, supaya Bunda punya alasan untuk menjaga dia menggantikan peran ayah dan ibunya.”

Begitu kata Bunda, di malam sebelum kami terbang ke kota di mana gadis yang sekarang berdiri di samping saya dengan mengenakan gaun pengantin ini berada saat itu. Saya tidak bisa menolak permintaan Bunda, saya tidak tega. Maka sebelum kami benar-benar terbang ke sana, saya lebih dulu berlarian menghampiri Olin.

Lamaran yang sempat tertunda, saya lakukan malam itu juga. Di hadapan kakinya, dengan tubuh bergetar menahan tangis, saya mengulurkan cincin yang sudah saya persiapkan dari beberapa bulan sebelumnya. Olin menerimanya, tapi ia malah berakhir menjadi tamu undangan di hari pernikahan saya dengan perempuan lain.

Saya merasa bersalah pada Olin, tapi untuk melepaskan gadis itu setelah semua hal yang kami lewati, rasanya saya tidak sanggup. Maka dengan keegoisan yang begitu tinggi, saya memintanya untuk tetap tinggal. Dengan angkuh, saya menjanjikan kepada dia bahwa pernikahan ini tidak akan menjadi penghalang untuk hubungan kami, bahwa saya tidak akan membiarkan hati saya terbuka sedikit pun untuk gadis yang kini sah menjadi istri saya ini.

Kini, melalui binar matanya yang tampak rapuh ketika ia diharuskan duduk di bangku tamu pada baris paling depan, menyaksikan saya mengikat janji suci di hadapan Tuhan dengan orang lain yang bukan dia, saya mulai merasa kalau sebaiknya saya melepaskan dia lebih cepat.

Tapi kini, sudah cukup terlambat. Melepaskan dia sekarang hanya akan menghancurkan kami berdua, sehingga saya pikir, saya hanya perlu mencari cara agar kami tidak hancur.

“Gue mengorbankan banyak hal untuk menikah sama lo, Anara. Jadi gue harap, itu cukup. Tolong jangan rampas apapun lagi. Tolong biarkan gue tetap mencintai Olin sebagaimana yang udah gue lakukan selama lima tahun ini.” Bisik saya kepada Anara yang berdiri di samping saya.

Saya harap, dia akan mengerti, bahwa sampai kapan pun, pernikahan ini tidak akan memiliki arti apa-apa untuk saya. Sebab dia adalah Aishalma Anara, bukan Flora Calantha Orlin yang saya cinta.

Bersambung

The Beginning

Selepas acara resepsi yang melelahkan, Anara diboyong oleh Arsenio menuju kediamannya. Mulanya, ia pikir itu adalah rumah di mana Arsenio dan sang ibu tinggal selama ini. Tapi ternyata, itu adalah sebuah rumah baru yang sepertinya sengaja disiapkan untuk Anara dan Arsenio tinggali berdua setelah menikah.

Anara mengitarkan pandangan ke segala arah, mengamati satu persatu hal yang tertangkap oleh matanya, lantas menilainya tanpa sadar.

“Kamar lo di sebelah kiri.”

Suara Arsenio itu membuat Anara menghentikan langkah. Entah bagaimana, Arsenio ternyata sudah berjalan cukup jauh di depan. Lelaki itu kini berdiri di ujung tangga, menatap Anara dingin seraya menunjuk ke arah sebuah kamar yang letaknya berada di sisi kiri tangga.

Anara menganggukkan kepala. Tolol adalah nama tengah perempuan itu sebelum ini, tapi sekarang, mau tidak mau ia harus menghapuskannya karena tahu Arsenio tidak akan suka dengan ketololan yang terlalu lambat membaca situasi.

Tanpa menanyakan apa-apa lagi, ANara segera menyeret koper miliknya, membawanya menaiki tangga sedangkan Arsenio sudah sepenuhnya hilang dari pandangan. Lelaki itu bahkan tidak berbasa-basi untuk membawakan koper Anara, dan Anara sendiri merasa ia tidak punya hak untuk merasa sakit hati.

Sesampainya di kamar yang Arsenio tunjuk, Anara tidak lantas membongkar isi koper dan memasukkannya ke dalam lemari. Memutuskan untuk menjelajah terlebih dahulu, meninggalkan koper miliknya di depan pintu yang terbuka lalu berjalan menuju pintu kaca besar yang tertutup gorden warna biru tua.

Anara menyibakkan gorden tersebut, membiarkan matanya bertemu dengan pemandangan langit malam di mana sinar bulan terlihat memantul di kaca pintu itu, menerangi refleksi diri yang terlihat samar di tengah kegelapan ruangan yang lampunya memang belum sempat ia nyalakan.

Terang bulan dan gelapnya bayangan Anara adalah perpaduan yang pas, seakan menegaskan bahwa di titik ini, ia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa lagi selain kuasa Tuhan. Bulan yang bersinar terang itu termasuk kuasa Tuhan, kan? Ia tidak akan bertakhta cukup tinggi di sana jika Tuhan tidak mengizinkan. Maka dengan kerendahan hati yang apa adanya, Anara akan menundukkan kepala sebentar, berterima kasih kepada Tuhan karena setidaknya Dia tidak meninggalkan Anara benar-benar sendirian.

“Mama, Papa, An baik-baik aja, jangan khawatir.” Bisik Anara setelah mengucapkan puji syukur kepada Tuhan. Melalui pantulan cahaya rembulan yang semakin terlihat terang, ia seperti bisa melihat dua wajah yang begitu dia rindukan, tengah tersenyum dengan binar mata yang cemerlang. “An akan baik-baik aja, pasti.”

Dan Anara harap, itu bukan sekadar cara ia menghibur diri sendiri.

...🥀🥀🥀...

Arsenio meletakkan koper besar miliknya di dekat pintu lemari. Sudah malam, badan juga sudah terasa remuk sehingga tidak ada lagi sisa tenaga yang bisa dia gunakan untuk membongkar isi di dalam koper itu. Jadi, untuk sekarang, Arsenio akan membiarkannya terdiam di sana, menjadi saksi bagaimana lelaki itu—sekali lagi—menangisi nasib tragis yang harus menikahi perempuan yang tidak dia cintai.

Di saat-saat ketika kepala Arsenio sedang begitu ribut seperti sekarang ini, Olin selalu menjadi satu-satunya nama yang terlintas di kepala lelaki itu secara otomatis. Gadis itu seperti rumah, tempat Arsenio merebahkan segala lelah ketika ia tahu kehadirannya tidak akan diterima di mana-mana.

Menyakiti Olin berada di pilihan paling akhir dalam hidup Arsenio, dan hari ini, untuk pertama kalinya, ia melakukannya.

Masih terbayang jelas di kepala Arsenio, bagaimana Olin mati-matian menahan tangis saat gadis itu tiba di hadapannya, menjabat tangannya untuk mengucapkan selamat dengan suara yang bergetar. Sungguh, Arsenio ingin memeluknya, seerat mungkin sebagai sebuah jaminan bahwa ia tidak akan ke mana-mana. Akan tetapi, Arsenio tidak bisa melakukannya. Tidak, ketika ada banyak pasang mata yang melihat, termasuk Bunda.

“Selamat, Gal.”

Tidak. Seharusnya, Olin tidak perlu mengatakan itu, sekalipun Arsenio tahu gadis itu mengatakannya hanya sebagai bentuk formalitas. Seharusnya, Olin langsung pergi dari sana setelah acara selesai. Atau sebaiknya, Arsenio tidak pernah membiarkannya datang sama sekali.

“Arsenio,”

Suara itu membuat Arsenio berbalik, lalu menemukan Anara berdiri di ambang pintu kamar dengan raut wajah yang sama sekali tidak bisa dia baca.

“Apa?” tanya Arsenio dengan nada dingin. Jika ditanya soal bagaimana perasaannya terhadap Anara, Arsenio akan menjawab tidak tahu. Ia tahu, paham sekali malah, kalau Anara pun tidak bisa berbuat apa-apa terhadap perjodohan ini. Gadis itu mungkin juga ingin menolaknya, tetapi dia tidak mampu.

Meskipun begitu, tetap saja, Arsenio merasa ini adalah salahnya. Karena dia harus menjadi yatim piatu di saat yang tidak tepat, walaupun pasti Anara pun tidak menginginkan itu terjadi. Arsenio tidak memiliki seseorang untuk dijadikan kambing hitam, jadi Anara adalah pilihan paling tepat karena hanya dia satu-satunya orang asing bagi lelaki itu.

“Lampu di kamar mandi aku mati, boleh pinjam kamar mandi di kamar kamu sebentar? Aku mau mandi.”

Tidak sulit untuk berkata iya, toh sama sekali tidak ada ruginya. Tapi entah kenapa, Arsenio justru menggelengkan kepala. Membayangkan gadis itu akan menjejakkan kakinya di dalam kamar mandi di kamarnya benar-benar membuat frustrasi. Rasanya, tidak sedikit pun ia rela gadis itu meninggalkan jejak apa pun di sekitarnya. Sepenuhnya, Arsenio ingin Anara menjaga jarak.

“Enggak mandi satu malam enggak akan bikin lo mati.” Arsenio berkata demikian masih dengan nada suara yang dingin. Ia sendiri bahkan hampir tidak mengenali suara itu, saking tidak pernahnya bersikap demikian terhadap orang lain.

Tidak seperti kebanyakan orang yang akan terlihat tersinggung, Arsenio malah menemukan Anara mengangguk begitu ringan. Lalu tanpa membantah sedikit pun, gadis itu berlalu dari hadapannya.

Sebelum pergi, dia bahkan sempat mengucapkan "selamat malam" dengan suaranya yang lembut. Satu hal yang semakin membuat Arsenio yakin untuk menjadikannya sasaran limpahan kemarahan. Sebab ia tahu, Anara akan menerimanya dengan lapang dada.

“Lo enggak akan bisa bertahan di dunia yang bajingan ini dengan sikap lembek kayak gitu, Anara.” Bisik Arsenio dengan suara yang nyaris tidak bisa didengar oleh siapa pun selain dirinya sendiri.

Bersambung

New Life

Hari pertama menjadi seorang istri, yang Anara lakukan justru memasak untuk dirinya sendiri. Arsenio sudah pergi, pagi-pagi sekali menyetir mobilnya entah ke mana, Anara sama sekali tidak diberitahu. Meski begitu, sepertinya ia tahu. Lelaki itu mungkin datang menemui pacarnya, yang kemarin telah dia buat menahan tangis sepanjang berlangsungnya acara.

Menilik lebih jauh soal kekasih Arsenio, Anara akan mengatakan bahwa; ia jatuh cinta kepada perempuan itu bahkan sejak pandangan pertama. Olin cantik. Definisi cantik menurut standar kecantikan yang dijunjung tinggi di Indonesia. Tubuhnya tinggi semampai, mungkin hampir menyentuh angka 165? Jika dibandingkan dengan Anara yang hanya setinggi 158 senti, Olin jelas terlihat jauh lebih tinggi. Rambutnya panjang sepunggung, lurus dari akar sampai ke perpotongan leher sementara sisanya bergelombang cantik, warna cokelat terang—Anara tidak tahu apakah dia mewarnainya atau itu memang warna asli rambutnya.

Lalu, iris matanya berwarna hazel, cukup menarik perhatian siapa saja yang bertemu dengannya untuk pertama kali. Bibir penuhnya berwarna merah, meski Anara tahu itu berkat bantuan lipstik, entah kenapa ia yakin warna aslinya juga tidak akan jauh berbeda. Kulitnya putih mulus, seputih salju yang kerap turun di negara-negara empat musim. Dan yang paling menarik perhatian Anara adalah aroma parfum yang Olin gunakan. Aroma mawar, dan itu adalah salah satu koleksi dari merek mahal yang tentu bagi Anara akan butuh banyak pertimbangan untuk membelinya.

Sempurna. Begitulah Anara menggambarkan bagaimana sosok gadis cantik itu di matanya. Sayangnya, kesempurnaan itu harus ternoda dengan kehadiran Anara yang—merebut kekasihnya.

Apa pun yang terjadi di dunia ini pasti memiliki alasannya tersendiri. Tidak ada yang kebetulan, sebab Tuhan tahu apa-apa saja yang harus berjalan di semestanya yang luas. Anara percaya pada kalimat itu lebih banyak daripada ia percaya kepada dirinya sendiri.

Namun kini, Anara jadi balik bertanya-tanya, apa kiranya alasan dari terjadinya perjodohan dan hadirnya ia sebagai orang ketiga di dalam hubungan sepasang kekasih yang saling cinta? Untuk menguji kekuatan cinta mereka kah, atau hanya sekadar untuk membuat Anara mengerti bahwa cinta saja tidak pernah cukup memberikan jaminan bahwa sepasang kekasih akan berakhir hidup bersama di dalam ikatan sakral pernikahan?

Anara menarik napas dalam-dalam, membiarkan pasokan oksigen memenuhi dada hingga menggembung sebelum akhirnya ia embuskan kembali dengan helaan super pelan.

“Jangan menyesali apa pun, An. Sebab sekali satu hal berubah dari masa lalu, maka hal-hal lain di masa depan akan turut berubah dan itu belum tentu lebih baik dari apa yang sudah kamu dapatkan.”

“Tapi, gimana kalau hal-hal yang terjadi itu justru memang sebaiknya enggak terjadi sama sekali?”

“Enggak mungkin seperti itu. Kalau ada skenario yang lebih baik, Tuhan pasti akan memilih untuk merealisasikannya. Apa pun itu, An, itu adalah yang terbaik. Percaya sama Papa."

“An percaya,” setidaknya, hanya itu yang bisa Anara katakan kepada dirinya sendiri. Kepala nya masih sibuk menerka ada alasan apa di balik semua ini, tapi ia akan tetap percaya bahwa skenario yang ini memang sudah yang paling baik. Persis seperti yang selalu papanya katakan ketika Anara mulai menanyakan apa saja yang terjadi di dalam hidup ini.

Jika diteruskan, renungan ini tidak akan selesai bahkan sampai nanti lewat tengah malam. Jadi selagi bisa, Anara segera menarik diri. Kemudian, ia mulai membereskan piring bekas makan, membawanya ke wastafel untuk dicuci dan dikembalikan ke tempat yang semula.

Selesai melakukan pekerjaan kecil itu, Anara tidak memiliki rencana apa pun untuk dilakukan. Rumah tempat ia tinggal sekarang masih sepenuhnya asing. Ia juga tidak yakin boleh menjelajah untuk mencari tahu lebih banyak sebelum mendapat izin dari Arsenio. Jadi, Anara tidak akan ide untuk melakukannya. Atau dia mungkin akan kembali menjadi bulan-bulanan lelaki itu.

Anara hendak berjalan kembali ke kamar, ketika bel di pintu depan berbunyi nyaring dan ia terpaksa membelokkan langkah ke arah sana. Pukul sembilan, masih teralu pagi untuk menerima tamu, namun Anara tetap membukakan pintu karena siapa tahu saja itu adalah tamu penting.

Dan ternyata, dugaan Anara tidak meleset terlalu jauh. Sebab yang kini berdiri di hadapannya adalah Sarah, ibunda Arsenio yang kini juga merupakan ibu mertuanya.

“Hai, Sayang.” Sapa wanita berambut sebahu itu seraya tersenyum.

Anara hanya membalas sapaan itu dengan senyum tipis, lalu menggiring Bunda masuk ke dalam rumah selagi perempuan itu menggamit lengannya begitu erat.

“Arsen mana?” tanya Bunda.

Otomatis, langkah Anara terhenti. Ia tidak mungkin mengatakan kepada Bunda bahwa Arsenio sudah pergi sejak pagi, dan ia sendiri bahkan tidak tahu di mana pastinya lelaki itu berada sekarang, benar? Kalau dilakukan, itu namanya bunuh diri.

“An? Kok malah melamun?”

Anara terkekeh canggung. “Arsenio lagi keluar Bun, katanya mau ke supermarket beli beberapa kebutuhan.” Bohongnya, sebab tidak mampu mencari alasan yang lebih baik.

Kening Bunda tampak berkerut karena jawaban Anara, entah kenapa. “Tumben.” Gumam perempuan itu.

Membiarkan Bunda terdiam lebih lama hanya akan membuat pertanyaan lain yang kemungkinan tidak bisa dihadapi bermunculan. Maka untuk mencegahnya, Anara segera menarik lengan Bunda menuju dapur, membujuknya untuk duduk sebentar mencicipi masakan yang sengaja ia buat lebih banyak sambil memikirkan bagaimana caranya menyuruh Arsenio segera pulang.

...🥀🥀🥀🥀🥀...

Di dalam dekapan Arsenio, Olin tak banyak bergerak. Hidung mancungnya yang terus mengendus leher sang kekasih yang terbuka sama sekali bukan sebuah gangguan. Bagi Arsenio, itu justru sesuatu yang menyenangkan.

“Kamu enggak tidur sama dia, kan?”

Percaya atau tidak, tapi Olin sudah menanyakannya sebanyak 12 kali sejak pertama kali Arsenio muncul di hadapan perempuan itu tiga jam yang lalu. Padahal, jawaban yang Arsenio berikan masih sama; tidak. Tetapi Olin seakan tidak puas dan berencana untuk terus menanyakannya kepada Arsenio, sebanyak apa pun yang dia bisa.

“Enggak atau belum?”

“Enggak, Sayang. Enggak akan. I promise I won’t touch her, even just the slice of her hair. “ Ucap Arsenio, berusaha meyakinkan. “Kamu enggak perlu khawatir, aku milikmu, kayak yang aku selalu bilang.”

Olin tidak menyahut. Ia menenggelamkan wajahnya kian dalam di dada bidang Arsenio, tangannya pun bergerak memeluk kekasihnya lebih erat, seakan tidak ingin melepaskan lelaki itu sama sekali. Seakan ini adalah kesempatan terakhir bagi mereka untuk bisa saling mendekap satu sama lain.

Arsenio tahu kata maaf tidak akan berarti banyak, jadi ia berhenti mengatakannya tepat setelah menyadari itu. Setelahnya, yang bisa diusahakan adalah untuk tidak menyakiti Olin lebih banyak. Untuk tidak meremukkan hatinya lebih parah. Untuk tidak membuatnya luluh lantak.

“Aku milikmu, Lin. Selalu, dan selamanya akan terus begitu.” Kelopak mata Arsenio kemudian tertutup, bersamaan dengan mengeratnya pelukan di tubuh Olin yang menguarkan aroma mawar dari Bvlgari Omnia Amethyste yang dia semprotkan di beberapa bagian tubuhnya. Arsenio selalu suka aromanya, menenangkan—sama seperti bagaimana Olin selalu punya seribu satu cara untuk membuat keresahannya menghilang.

“Gal,” Olin memanggil dari dalam pelukan.

Arsenio hanya berdeham, masih enggan membuka mata atau sekadar melonggarkan pelukan. Sementara masih di dalam pelukan, Olin tidak kunjung melanjutkan ucapannya bahkan sampai hampir satu menit kemudian.

“Kamu tahu, kan, kalau aku cuma punya kamu di dunia ini?” adalah kalimat pertama yang Olin lontarkan setelahnya. Dada Arsenio terasa sesak mendengarnya, namun ia tetap menganggukkan kepala dan akhirnya membuka mata.

Olin bukan yatim piatu seperti Anara. Kedua orang tuanya masih hidup, bahkan dalam gelimang harta. Ayahnya merupakan pemilik perusahaan penyiaran terbesar di Indonesia, sementara ibunya adalah kepala rumah sakit di sebuah rumah sakit elite tempat para pejabat dan kaum jetset mempercayakan penanganan kesehatan mereka. Olin memiliki satu kakak laki-laki yang usianya enam tahun lebih tua dan seorang adik laki-laki yang usianya baru menginjak 16 tahun.

Mungkin, kalian akan berpikir menjadi Olin terlihat mudah karena dia adalah satu-satunya anak perempuan yang ada di dalam keluarga. Dimanja, dielu-elukan, diprioritaskan.

Akan tetapi, kalian salah.

Menjadi satu-satunya anak perempuan justru membuat Olin terasingkan. Meski zaman sudah modern dan kesetaraan gender sudah lantang dibahas di mana-mana, kedua orang tua Olin masih saja menganut paham bahwa anak perempuan tidak bisa diharapkan untuk mewarisi apa yang sudah ada di dalam keluarga.

Memimpin perusahaan? Kakak laki-laki Olin yang sudah terjun lebih dulu ke dalam dunia bisnis jelas menjadi pilihan yang lebih baik. Meneruskan jejak sebagai dokter andal yang jabatannya terus naik dari waktu ke waktu, dan dielu-elukan oleh semua orang karena kompetensi yang tidak perlu diragukan? Tidak bisa juga. Olin memiliki kondisi di mana dia tidak bisa masuk ke jurusan kedokteran sehingga mau tak mau, dia malah berakhir mengambil jurusan ekonomi sebagai gantinya.

Intinya, Olin selalu merasa bahwa dia ada, namun keberadaan hanya sebatas pelengkap di keluarga. Hanya agar dia bisa dipamerkan kepada kerabat dan kolega sebagai anak yang cantik dan manis. Hanya seputar itu. Apa yang orang tuanya selalu banggakan kepada orang-orang hanya seputar kecantikan fisik Olin yang bisa dibilang jauh di atas rata-rata.

Di luar, hidup Olin tampak sempurna. Tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya, Olin sudah sekarat dan hampir mati saking seringnya dia merasa tidak berharga.

“Aku cuma punya kamu, Galandra. Jadi tolong, tolong jangan pernah kamu punya pikiran untuk meninggalkan aku.”

Enggak akan, Olin. Tetapi Arsenio tidak berhasil mengatakan itu. Lidah lelaki itu mendadak kelu.

“Satu tahun. Dua tahun. Lima belas tahun sekalipun kamu harus terjebak di dalam pernikahan ini, aku enggak peduli. Asal jangan pernah lepasin aku. Asal kamu enggak pernah ninggalin aku sendirian.” Pintanya lagi. Penuh kesungguhan yang terpancar jelas dari kedua bola matanya.

Arsenio tidak menjawab, hanya kembali menarik tubuh Olin dan memeluknya lebih erat. Benar, yang harus Arsenio lakukan hanya tidak meninggalkan Olin sendirian. Maka seharusnya, ia bisa melakukan itu, benar?

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!