Bagaimana jika yang kamu temui setelah hujan bukanlah pelangi warna-warni, melainkan badai yang lebih hebat dan menerpa tanpa henti?
Anara tidak pernah berharap akan menemukan pelangi setelah titik-titik hujan jatuh membasahi diri selepas pemakaman kedua orang tuanya dilaksanakan. Sebab sejak dua raga tak bernyawa itu dimasukkan ke dalam lubang sempit dan ditimpa dengan tanah, Anara tidak tahu lagi apa itu warna-warni. Yang bisa ia lihat hanya warna hitam, putih, dan abu-abu. Karena selama hidup, hanya mereka yang memberitahu Anara tentang warna lain di muka bumi ini.
Anara tidak pandai berteman. Tes MBTI yang pernah dia lakukan ketika duduk di bangku SMA menunjukkan bahwa dirinya 100 persen introvert dan ia setuju akan hal tersebut. Sepanjang hidup, ia hanya memiliki sedikit teman, satu yang akrab dia temui di penghujung masa SMA dan sudah tidak tahu lagi di mana keberadaannya sejak mereka lulus dan pergi ke universitas yang berbeda.
“Mama dan Papa kamu sudah banyak berjasa dalam hidup Bunda. Mereka yang membantu Bunda bertahan di saat keputusasaan hampir membuat Bunda menyerah atas kehidupan yang menyedihkan. Kalau bukan karena mereka, Bunda mungkin enggak akan bisa membesarkan Arsenio menjadi laki-laki tampan dan sukses seperti sekarang. Kalau bukan karena mereka, kehidupan yang sekarang kami miliki mungkin enggak akan sebaik ini.”
“Jadi, Anara, sekarang waktunya Bunda untuk membalas budi. Menikahkan kamu dengan Arsenio adalah cara Bunda untuk mengatakan kepada mendiang orang tua kamu bahwa mereka enggak perlu khawatir tentang anak gadis yang mereka tinggalkan, karena ada Bunda dan Arsenio yang akan menjaga kamu mulai sekarang.”
Anara tersenyum getir saat mengingat kembali apa yang Bunda sampaikan kepada dirinya setelah acara pemakaman selesai. Bunda dan Arsenio menjadi orang terakhir yang ada di sana, menemani Anara menuntaskan tangis dan mendengarkan berapa banyak gadis itu mengutuk Tuhan karena telah mengambil harta yang paling berharga—meninggalkan dirinya sendirian.
Sore itu, sepulangnya dari makam, di teras rumah yang masih terdapat puntung rokok bekas Papa dan cangkir bekas teh milik Mama, Anara mengiyakan permintaan Bunda tanpa tahu bahwa rasanya akan sesulit ini untuk menjalani pernikahan dengan Arsenio.
Baru seminggu berlalu, tapi sudah banyak sekali rasa sakit yang Anara terima atas sikap dingin dan kasar yang selalu Arsenio tunjukkan kepada dirinya. Mula-mula, ia hanya menganggap itu semua sebagai angin lalu dan tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati. Tapi setelah dia pikir-pikir kembali, Anara akan menjalani kehidupan yang seperti ini untuk waktu yang cukup lama, dan rasanya ia tidak setangguh itu untuk bisa bertahan.
Tapi, sekali lagi, apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Seperti apa yang selalu Papa katakan untuk tidak menyesali apa pun, Anara akan berusaha untuk tidak menyesal.
Anara menghirup napas dalam-dalam sebagai upaya untuk melegakan dada yang terasa sesak sehabis menangis. Lalu dengan mata yang sembab dan langkah sempoyongan, ia berderap turun dari ranjang. Kamarnya sudah gelap sejak satu setengah jam yang lalu karena ia memang sudah bersiap untuk tidur—ketika tiba-tiba saja kembali merasa sedih dan berakhir menangis meraung-raung.
Langkah sempoyongan Anara masih terayun. Satu demi satu anak tangga ia turuni demi bisa sampai ke dapur. Percayalah, menangis itu melelahkan dan sehabis itu, tenggorokan Anara jadi terasa kering kerontang. Meneguk segelas air seharusnya akan membantu dirinya merasa lebih baik.
Prang!!!
Anara terlonjak kaget saat suara benda jatuh itu mengudara. Langkah kakinya otomatis terhenti, pas di anak tangga terakhir. Jantung Anara mendadak berdegup lebih cepat, napasnya mulai memburu.
Maling? Pikirnya. Sebab tidak ada siapa pun di rumah ini mengingat Arsenio belum kembali.
Akhirnya, dengan tubuh yang gemetar, Anara memberanikan diri untuk mengecek. Gadis itu berjalan menghampiri sumber suara bising yang tadi, yang menurut indra pendengarannya, berasal dari dapur.
Katakan Anara ceroboh, atau bodoh, atau apa pun itu karena ia berjalan ke sana tanpa membawa persiapan apa-apa. Padahal seingatnya, di ujung dekat tangga tadi ada tongkat baseball yang setidaknya bisa digunakan untuk memukul kepala maling yang sedang berusaha menjarah seisi rumah ini.
Langkah Anara mengendap-endap. Matanya memicing kala menemukan sosok laki-laki bertubuh tinggi besar berdiri di depan lemari pendingin, membelakangi dirinya.
Anara memutuskan untuk berhenti beberapa langkah jauhnya di belakang sosok itu, berpikir bahwa cara itu akan membuatnya lebih mudah kabur seandainya si maling berbalik dan hendak menyerang. Diam-diam, di dalam hati, Anara juga merutuk pada Arsenio yang pergi meninggalkannya seorang diri tengah malam begini—demi menemui sang kekasih hati yang merengek kelaparan.
“S—siapa?” tanya Anara gugup. Suaranya terdengar bergetar, sama hebatnya dengan gemetar di tubuh gadis itu saat ini.
Jantung Anara berdegup semakin kencang saat sosok itu berbalik. Dan seluruh tubuhnya mendadak lemas saat manik kelam—yang anehnya masih terlihat jelas di tengah pencahayaan yang redup—itu menatap tajam.
“Lo ngagetin!” sosok yang semula Anara kira maling itu menggerutu. Laki-laki itu lalu menyeka mulutnya. Anara pikir, lekaki itu baru saja menumpahkan minuman karena terkejut akan suara Anara yang datang tiba-tiba.
“Ar—arsenio?” tanya Anara ragu-ragu. Sekadar informasi, ia menderita rabun jauh, sehingga dalam kondisi pencahayaan yang minim seperti ini, kemampuannya untuk melihat objek dari jarak tertentu juga semakin payah.
Terdengar dengusan kasar dari seberang, membuat Anara refleks memundurkan langkah.
“Ngapain sih malam-malam keluyuran?” tanyanya saat Anara masih terus berjalan mundur.
“Lo takut sama gue?” sambungnya lagi ketika ia akhirnya menghentikan langkah di dekat meja makan.
Di titik ini, Anara sudah bisa mengenali bahwa yang berdiri beberapa langkah di depannya itu memang benar Arsenio, namun ia masih tidak bisa membaca ekspresi wajah lelaki itu dengan jelas.
“Aku pikir kamu maling.” Anara berkata jujur, masih enggan menarik langkah maju. Lalu tak berapa lama, ia mendengar helaan napas pelan.
“Ngapain malem-malem keluyuran? Lo butuh apa?” tanya Arsenio lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut—tidak se-ngegas tadi.
“Mau minum.” Jawab Anara pelan. Entah apa Arsenio bisa mendengarnya atau tidak.
Kemudian, tanpa berkata apa-apa—yang artinya lelaki itu mendengar ucapan Anara—Arsenio berjalan kembali menuju kulkas. Ia membuka pintu, hendak mengambil sebotol air mineral kemasan dari dalam sana. Namun sebelum tangannya sempat bersentuhan dengan botol itu, Anara lebih dulu menginterupsi.
“Aku enggak minum air dingin.” Kata Anara. Yang sekali lagi, membuat Arsenio berdecak sebal.
Arsenio lalu menutup kembali pintu kulkas dengan kasar. Kemudian kakinya melangkah menuju rak penyimpanan alat makan, mengambil gelas bersih lalu berjalan kembali ke meja makan dan menuangkan air dari teko kaca ke dalam gelas yang dia bawa.
“Nih,” ucapnya sembari mengulurkan gelas berisi air itu kepada Anara yang masih tidak bergerak sedikit pun dari posisi terakhirnya.
“Buruan, tangan gue pegal!" gerutu lelaki itu tak lama kemudian setelah tidak mendapati Anara bergerak.
Enggan membuat keributan tengah malam, Anara buru-buru meraih gelas tersebut, meminum airnya sampai tandas lalu meletakkan kembali gelas kosong ke atas meja makan.
“M-makasih.” Ucap Anara masih dengan suaranya yang pelan.
Namun alih-alih menyahut, Arsenio malah menanyakan hal lain. “Lo habis nangis?” seraya mendekat ke arah Anara hingga hanya menyisakan jarak yang tipis di antara tubuh mereka berdua.
Dari jarak ini, Anara bisa melihat dengan jelas pahatan sempurna yang Tuhan ciptakan dalam bentuk manusia bernama Arsenio Galandra ini. Walaupun sering bersikap dingin dan seolah acuh, namun dari sorot mata yang sekarang ia tunjukkan, Anara seperti bisa melihat kekhawatiran yang coba disembunyikan rapat-rapat di balik manik kelam yang memabukkan itu.
“Enggak.” Anara menjawab cepat. Berusaha meredam kegugupan dengan mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Mata lo sembab. Kenapa nangis?” desaknya. Satu tangannya bahkan sudah mencekal lengan Anara sehingga membuat sang gadis kesulitan untuk meloloskan diri.
Mau tidak mau, Anara kembali menatap Arsenio. Kali ini ia terpaku cukup lama pada manik kelam yang seolah menyeretnya untuk tenggelam lebih dalam. Lalu saat kenyataan bahwa ada nama gadis lain yang tersembunyi di balik tatapan itu, Anara kembali membuang muka dengan cepat.
“Habis nonton drama.” Bohongnya. Tidak mungkin juga ia berkata jujur kepada Arsenio bahwa lelaki itu adalah penyebab turunnya air mata Anara malam ini.
“Cengeng.”
Mendengar cibiran itu, Anara mendadak kesal. Kembali, ia menoleh ke arah Arsenio, hanya untuk menatap tajam laki-laki yang menatapnya tanpa dosa itu.
“Biarin.” Anara berucap ketus—entah mendapat kekuatan dari mana.
“Jangan nangis.”
“Mata, mata aku, suka-suka aku lah mau nangis atau enggak. Kenapa kamu yang repot?”
“Jelas repot.” Akhirnya, Arsenio melepaskan cekalan tangannya di lengan Anara, lalu bersedekap angkuh di depan gadis yang hanya setinggi dada bidangnya itu.
“Kalau lo nangis dan Bunda tahu, gue bisa dituduh jadi penyebabnya. Bunda pasti bakal mikir kalau gue yang udah jahatin lo.”
“Ya emang.” Celetuk Anara.
Arsenio menaikkan sebelah alis, pertanda bahwa ia tidak mengerti dengan apa yang barusan gadis itu katakan. “Ya emang apa?”
Detik itu, Anara mengatupkan bibir rapat-rapat. Bisa-bisanya dia kelepasan berkata demikian. Apa Anara baru saja kehilangan kewarasan? Bagaimana bisa dia hampir berkata jujur bahwa Arsenio lah yang menjadi penyebab dirinya menangis, di saat lelaki itu tidak tertarik untuk tahu apa pun soal dirinya dan bagaimana ia hidup selama ini? Maka sebelum mulut sialannya kembali berulah, Anara buru-buru memutar otak untuk melarikan diri.
“Bukan apa-apa. Udah malam, aku mau tidur. Bye, Arsenio.” Anara berucap cepat kemudian berlari meninggalkan Arsenio yang masih berdiri di posisinya.
Saking serabutan langkah yang ia buat, Anara nyaris tersandung dan jatuh menggelinding dari tangga. Sepanjang perjalanan melarikan diri, ia tidak berhenti merutuk.
“Anara tolol.” Sepertinya, ia memang harus mengganti namanya secara resmi menjadi ‘Aishalma Tolol Anara’.
...🥀🥀🥀...
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Dewi Payang
itu kenyataan
2023-10-04
1
Fenti
kirain udah peduli ternyata hanya untuk menjaga perasaan bundanya
2023-05-30
1