Cahaya Untuk Bintang

Cahaya Untuk Bintang

Bab Satu

"Apa-apaan ini?" Suara menggelegar terdengar dari seorang pria berumur sekitar 52 tahun itu memekakkan telinga. Pria itu terlihat meremas kertas di tangan. Sebuah kertas pemberitahuan yang menyatakan bahwa putra keduanya itu mendapat surat peringatan dari kampusnya sekarang.

"Ada apa sih, Pa? Kenapa teriak-teriak ih?" Mara menghampiri suaminya dan ikut melihat kertas yang ada di tangan suaminya tersebut. "Ini kan.... "

"Iya, itu surat peringatan dari kampus," sela Arya.

"Ini sudah ke dua kalinya putramu itu mendapat surat peringatan dari kampusnya. Kalau sampai dapat yang ketiga artinya dia harus keluar dari kampus itu. Padahal ini sudah kampus yang ke tiga dia pindah." Arya Bimantara terlihat kesal. "Mau jadi apa dia nanti. Semakin lama bukannya tambah dewasa malah makin menjadi-jadi. Sudah hobinya berkelahi, mabuk-mabukan, ikut balapan liar, dan membully teman sekampus. Mana bisa papa menyerahkan tanggungjawab perusahaan kepadanya kelak? Padahal cuma dia satu-satunya harapan kita untuk meneruskan perusahaan karena Cakra sudah memilih untuk menjadi dokter."

Cakrawala Satya Bimantara, putra sulung dari Arya Bimantara sudah menjadi dokter bedah di usianya yang menginjak 28 tahun. Sejak kecil, Cakra-sapaan akrabnya diberi kebebasan untuk memilih hal yang menjadi minatnya. Berbeda dengan Bintang yang harus melakukan segala hal yang sudah diatur oleh sang ayah.

Arya melempar kertas ke tubuh putra keduanya yang saat ini berdiri di hadapannya. "Kamu tahu? Dulu kakakmu, Si Cakra tidak pernah mendapat surat peringatan apa pun saat ia bersekolah. Dia bahkan sering membantu pekerjaan papa saat dia seumuran denganmu sekarang. Tapi kamu? Jangankan diandalkan, tidak membuat ulah saja sudah untung."

Lagi. Bintang harus dibandingkan dengan kakak pertamanya tersebut. Entah sudah yang kesekian ribu kali, Bintang harus mendengar ayahnya membandingkan dirinya dengan sang kakak.

Cakrawala Satya Bimantara adalah alasan Bintang membenci kedua orang tuanya. Bintang yang selalu dituntut harus bersikap sempurna seperti Cakra merasa sangat muak. Apalagi dia tidak pernah diberi kebebasan sama seperti kakaknya tersebut.

"Kalau papa tahu kamu hanya akan bikin masalah, lebih baik papa kirim kamu ke luar negeri ikut dengan om-mu," tambah Arya.

"Pa, sudahlah. Jangan marah-marah terus! Ingat terakhir kali papa marah-marah tensi darah papa jadi naik." Amara mendekati suaminya dan mengusap pundak untuk menenangkan.

"Ini juga salah kamu! Sebagai seorang ibu kamu gagal mendidik anakmu! Coba kamu fokus jadi ibu rumah tangga dan merawat anak-anakmu, Bintang pasti tidak akan menjadi pembakang seperti sekarang!" Amara selalu menjadi pihak kedua yang disalahkan.

"Kok aku yang salah? Buktinya aku bisa menghantarkan Cakra menjadi dokter hebat di usianya yang terbilang muda." Amara tentu tak terima disalahkan. "Itu anakmunya saja yang malas dan tidak mau belajar lebih keras lagi." Alih-alih membela anaknya, Amara malah ikut menyalahkan putra keduanya itu.

Bintang menghela napasnya. "Sudah selesai? Kalau sudah aku mau masuk ke kamar, mau istirahat, capek." Bintang naik ke lantai dua menuju ke kamarnya. Dia memilih untuk tidak menanggapi ocehan kedua orang tuanya.

***

Bintang melempar tas punggungnya ke sembarang tempat. Menghempaskan tubuhn yang lelah di atas kasur berukuran besar miliknya, tempat ternyaman di rumahnya. Setidaknya hal itulah yang pemuda berusia 21 tahun itu rasakan.

Kamar dengan ukuran 4×5 meter, berlantaikan marmer dengan lampu gantung yang cukup mewah itu memang didekor oleh desain interior kepercayaan sang ayah. Meski tempat itu menjadi tempat ternyaman, nyatanya Bintang juga tidak memperoleh kebebasan untuk mengatur kamar itu sesuai dengan keinginannya sendiri karena semua sudah ditentukan oleh sang diktator.

Bintang bangun dari posisinya saat ini manakala benda pipih yang ada di dalam saku celananya itu bergetar. Nama Adit terpampang di layar benda pipih yang kini sudah berada di tangannya. Pemuda dengan hidung bangir, berkulit putih dengan rambut sedikit gerondong itu menghela napas sambil berujar, "Ngapain sih tuh bocah telepon?"

Bintang segera menarik tombol hijau di layar benda pipih tersebut. "Ada apa, Dit?" tanya Bintang dengan nada malas. Ia dia masih sedikit lelah karena sudah melakukan banyak hal seharian tadi.

"Si Mario nantangin Bos buat balapan," jawab Adit. Bos adalah sebutan yang disematkan oleh anggota geng motor yang Bintang pimpin.

"Sudah kalah aja masih belagu tuh bocah. Nggak kapok apa ngajak tanding balapan, tapi kalah mulu?" oceh Bintang.

Iya, dua hari yang lalu Bintang yang mewakili anggota geng motor Mortal enemy sudah melakukan balapan dengan geng motor yang dipimpin oleh Mario, Tiger, dengan kemenangan yang lagi-lagi diraih oleh geng motor pimpinan Bintang.

"Tapi, Bos. Si Mario dan gengnya masih maksa buat kita balapan. Katanya kali ini dia pasti bisa ngalahin Bos." Aditya Permana, nama panjang dari Adit itu kembali berbicara.

"Kapan dia ngajakin balapan?" akhirnya Bintang memutuskan untuk menerima tantangan dari geng motor musuh bebuyutannya tersebut.

"Katanya malam jam sebelas di tempat biasa," jawab Adit.

Bintang melihat jam dinding yang tergantung di dinding kamarnya. Jam seharga 20 jutaan itu sengaja dibeli sang ayah sebagai pelengkap dekorasi kamarnya minggu kemarin. Jam itu sudah menunjuk pukul sembilan malam yang artinya dua jam lagi menuju ke waktu pertandingan. Gegas Bintang bangun dan mengambil kembali tas punggung yang dilemparnya beberapa saat yang lalu dari lantai. "Gue otw sekarang. Lo kumpulkan semua anggota geng kita, kita berkumpul di lokasi balapan!" titahnya kepada Adit sebelum mengakhiri panggilan.

Buru-buru Bintang keluar dari kamarnya, dia mengambil helm dari atas meja dan langsung memakainya.

"Mau kemana lagi kamu? Tadi papa belum selesai bicara sudah main nyelonong saja dan sekarang?" Arya menatap tajam sang putra bungsu.

"Bintang ada urusan," jawab Bintang singkat.

"Urusan apa? Balapan lagi? Papa sudah sering bilang kan ke kamu, jangan bergaul dengan geng motormu lagi. Mereka semua itu adalah manusia-manusia yang nggak berguna!" Sudah berkali-kali Arya Bimantara menyuruh putranya tersebut menjauh dari mereka.

"Mungkin dimata Papa mereka adalah orang-orang yang nggak berguna. Tapi, mereka semua adalah orang-orang yang selalu ada buat Bintang," balas Bintang. "Dan yang paling penting, mereka nggak pernah nuntut Bintang harus ini dan itu," sambungnya.

"Bintang! Papa melakukan semuanya demi kamu. Papa mau kamu menjadi orang sukses seperti kakakmu, Cakra!" sentak Arya.

Bintang hanya tersenyum sinis. "Seperti Kak Cakra? Papa membiarkan Kak Cakra memilih hal yang dia inginkan, tapi Papa nggak pernah ngertiin Bintang dan selalu ngatur hidup Bintang. Kenapa Papa nggak ngebiarin Bintang melakukan hal yang Bintang inginkan sama seperti Papa membiarkan Kak Cakra memilih impiannya?" tak mau kalah, Bintang membalas semua perkataan papanya.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Bintang.

"Selalu saja begini. Setiap Bintang memprotes perlakuan Papa, Papa selalu memukul Bintang?" Bintang mengusap pipinya yang terasa panas setelah itu pergi meninggalkan sang papa yang lagi-lagi terpaku di tempatnya.

Terpopuler

Comments

~🌺~

~🌺~

baru sempat buka novel baru Qm Thor 🤣🤣🤣

2023-06-20

1

Arumi

Arumi

next thor..

2023-05-30

0

Yuli maelany

Yuli maelany

kenapa gak d tanyain baik baik maunya bintang apa dan bagaimana....

2023-05-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!