NovelToon NovelToon

Cahaya Untuk Bintang

Bab Satu

"Apa-apaan ini?" Suara menggelegar terdengar dari seorang pria berumur sekitar 52 tahun itu memekakkan telinga. Pria itu terlihat meremas kertas di tangan. Sebuah kertas pemberitahuan yang menyatakan bahwa putra keduanya itu mendapat surat peringatan dari kampusnya sekarang.

"Ada apa sih, Pa? Kenapa teriak-teriak ih?" Mara menghampiri suaminya dan ikut melihat kertas yang ada di tangan suaminya tersebut. "Ini kan.... "

"Iya, itu surat peringatan dari kampus," sela Arya.

"Ini sudah ke dua kalinya putramu itu mendapat surat peringatan dari kampusnya. Kalau sampai dapat yang ketiga artinya dia harus keluar dari kampus itu. Padahal ini sudah kampus yang ke tiga dia pindah." Arya Bimantara terlihat kesal. "Mau jadi apa dia nanti. Semakin lama bukannya tambah dewasa malah makin menjadi-jadi. Sudah hobinya berkelahi, mabuk-mabukan, ikut balapan liar, dan membully teman sekampus. Mana bisa papa menyerahkan tanggungjawab perusahaan kepadanya kelak? Padahal cuma dia satu-satunya harapan kita untuk meneruskan perusahaan karena Cakra sudah memilih untuk menjadi dokter."

Cakrawala Satya Bimantara, putra sulung dari Arya Bimantara sudah menjadi dokter bedah di usianya yang menginjak 28 tahun. Sejak kecil, Cakra-sapaan akrabnya diberi kebebasan untuk memilih hal yang menjadi minatnya. Berbeda dengan Bintang yang harus melakukan segala hal yang sudah diatur oleh sang ayah.

Arya melempar kertas ke tubuh putra keduanya yang saat ini berdiri di hadapannya. "Kamu tahu? Dulu kakakmu, Si Cakra tidak pernah mendapat surat peringatan apa pun saat ia bersekolah. Dia bahkan sering membantu pekerjaan papa saat dia seumuran denganmu sekarang. Tapi kamu? Jangankan diandalkan, tidak membuat ulah saja sudah untung."

Lagi. Bintang harus dibandingkan dengan kakak pertamanya tersebut. Entah sudah yang kesekian ribu kali, Bintang harus mendengar ayahnya membandingkan dirinya dengan sang kakak.

Cakrawala Satya Bimantara adalah alasan Bintang membenci kedua orang tuanya. Bintang yang selalu dituntut harus bersikap sempurna seperti Cakra merasa sangat muak. Apalagi dia tidak pernah diberi kebebasan sama seperti kakaknya tersebut.

"Kalau papa tahu kamu hanya akan bikin masalah, lebih baik papa kirim kamu ke luar negeri ikut dengan om-mu," tambah Arya.

"Pa, sudahlah. Jangan marah-marah terus! Ingat terakhir kali papa marah-marah tensi darah papa jadi naik." Amara mendekati suaminya dan mengusap pundak untuk menenangkan.

"Ini juga salah kamu! Sebagai seorang ibu kamu gagal mendidik anakmu! Coba kamu fokus jadi ibu rumah tangga dan merawat anak-anakmu, Bintang pasti tidak akan menjadi pembakang seperti sekarang!" Amara selalu menjadi pihak kedua yang disalahkan.

"Kok aku yang salah? Buktinya aku bisa menghantarkan Cakra menjadi dokter hebat di usianya yang terbilang muda." Amara tentu tak terima disalahkan. "Itu anakmunya saja yang malas dan tidak mau belajar lebih keras lagi." Alih-alih membela anaknya, Amara malah ikut menyalahkan putra keduanya itu.

Bintang menghela napasnya. "Sudah selesai? Kalau sudah aku mau masuk ke kamar, mau istirahat, capek." Bintang naik ke lantai dua menuju ke kamarnya. Dia memilih untuk tidak menanggapi ocehan kedua orang tuanya.

***

Bintang melempar tas punggungnya ke sembarang tempat. Menghempaskan tubuhn yang lelah di atas kasur berukuran besar miliknya, tempat ternyaman di rumahnya. Setidaknya hal itulah yang pemuda berusia 21 tahun itu rasakan.

Kamar dengan ukuran 4×5 meter, berlantaikan marmer dengan lampu gantung yang cukup mewah itu memang didekor oleh desain interior kepercayaan sang ayah. Meski tempat itu menjadi tempat ternyaman, nyatanya Bintang juga tidak memperoleh kebebasan untuk mengatur kamar itu sesuai dengan keinginannya sendiri karena semua sudah ditentukan oleh sang diktator.

Bintang bangun dari posisinya saat ini manakala benda pipih yang ada di dalam saku celananya itu bergetar. Nama Adit terpampang di layar benda pipih yang kini sudah berada di tangannya. Pemuda dengan hidung bangir, berkulit putih dengan rambut sedikit gerondong itu menghela napas sambil berujar, "Ngapain sih tuh bocah telepon?"

Bintang segera menarik tombol hijau di layar benda pipih tersebut. "Ada apa, Dit?" tanya Bintang dengan nada malas. Ia dia masih sedikit lelah karena sudah melakukan banyak hal seharian tadi.

"Si Mario nantangin Bos buat balapan," jawab Adit. Bos adalah sebutan yang disematkan oleh anggota geng motor yang Bintang pimpin.

"Sudah kalah aja masih belagu tuh bocah. Nggak kapok apa ngajak tanding balapan, tapi kalah mulu?" oceh Bintang.

Iya, dua hari yang lalu Bintang yang mewakili anggota geng motor Mortal enemy sudah melakukan balapan dengan geng motor yang dipimpin oleh Mario, Tiger, dengan kemenangan yang lagi-lagi diraih oleh geng motor pimpinan Bintang.

"Tapi, Bos. Si Mario dan gengnya masih maksa buat kita balapan. Katanya kali ini dia pasti bisa ngalahin Bos." Aditya Permana, nama panjang dari Adit itu kembali berbicara.

"Kapan dia ngajakin balapan?" akhirnya Bintang memutuskan untuk menerima tantangan dari geng motor musuh bebuyutannya tersebut.

"Katanya malam jam sebelas di tempat biasa," jawab Adit.

Bintang melihat jam dinding yang tergantung di dinding kamarnya. Jam seharga 20 jutaan itu sengaja dibeli sang ayah sebagai pelengkap dekorasi kamarnya minggu kemarin. Jam itu sudah menunjuk pukul sembilan malam yang artinya dua jam lagi menuju ke waktu pertandingan. Gegas Bintang bangun dan mengambil kembali tas punggung yang dilemparnya beberapa saat yang lalu dari lantai. "Gue otw sekarang. Lo kumpulkan semua anggota geng kita, kita berkumpul di lokasi balapan!" titahnya kepada Adit sebelum mengakhiri panggilan.

Buru-buru Bintang keluar dari kamarnya, dia mengambil helm dari atas meja dan langsung memakainya.

"Mau kemana lagi kamu? Tadi papa belum selesai bicara sudah main nyelonong saja dan sekarang?" Arya menatap tajam sang putra bungsu.

"Bintang ada urusan," jawab Bintang singkat.

"Urusan apa? Balapan lagi? Papa sudah sering bilang kan ke kamu, jangan bergaul dengan geng motormu lagi. Mereka semua itu adalah manusia-manusia yang nggak berguna!" Sudah berkali-kali Arya Bimantara menyuruh putranya tersebut menjauh dari mereka.

"Mungkin dimata Papa mereka adalah orang-orang yang nggak berguna. Tapi, mereka semua adalah orang-orang yang selalu ada buat Bintang," balas Bintang. "Dan yang paling penting, mereka nggak pernah nuntut Bintang harus ini dan itu," sambungnya.

"Bintang! Papa melakukan semuanya demi kamu. Papa mau kamu menjadi orang sukses seperti kakakmu, Cakra!" sentak Arya.

Bintang hanya tersenyum sinis. "Seperti Kak Cakra? Papa membiarkan Kak Cakra memilih hal yang dia inginkan, tapi Papa nggak pernah ngertiin Bintang dan selalu ngatur hidup Bintang. Kenapa Papa nggak ngebiarin Bintang melakukan hal yang Bintang inginkan sama seperti Papa membiarkan Kak Cakra memilih impiannya?" tak mau kalah, Bintang membalas semua perkataan papanya.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Bintang.

"Selalu saja begini. Setiap Bintang memprotes perlakuan Papa, Papa selalu memukul Bintang?" Bintang mengusap pipinya yang terasa panas setelah itu pergi meninggalkan sang papa yang lagi-lagi terpaku di tempatnya.

Bab Dua

Bintang menuju ke tempat dimana semua anggota geng motor Mortal Enemy menunggunya. Aditya yang tadi menelepon menjadi orang pertama yang menghampiri Bosnya itu.

"Gimana Bos, sudah siap?" tanya Aditya. Dia ingin memastikan bahwa orang yang dipanggil dengan sebutan Bos tersebut sudah mempersiapkan diri untuk balapan kali ini.

"Apanya yang harus gue siapin? Buat adu kecepetan sama geng motor Tiger nggak perlu lah gue nyiapin apa-apa. Paling juga seperti biasanya, mereka bakalan kalah lagi," jawab Bintang penuh percaya diri. Ia yakin sama dengan balapan sebelum-sebelumnya, dialah yang akan menjadi pemenang.

"Jangan gitu, Bos. Siapa tahu kali ini mereka udah mempersiapkan diri. Meski gue sangat yakin, kemampuan Bos diatas mereka, tapi nggak menutup kemungkinan kan kalau mereka bakalan melakukan apa aja buat menang?" sahut Aditya.

Bintang sedikit mencerna omongan Aditya barusan. Rasanya memang tidak salah kalau dia harus sedikit waspada.

"Bos harus inget, Bos harus hati-hati saat sedang berhadapan dengan Mario!" kembali Aditya mengingatkan.

"Oke, tenang saja. Gue bakalan hati-hati kok." Bintang menepuk lengan Aditya beberapa kali.

"Bos, pipi Bos kelihatan sedikit bengkak. Bos jatuh?" Ternyata Aditya memperhatikan pipi Bintang yang terlihat sedikit memar karena tamparan dari sang ayah beberapa saat yang lalu.

"Ouh, ini... ini bukan sesuatu yang harus dikhawatirin kok. Lagian besok juga bengkaknya bakalan ilang," jelas Bintang sambil mengusap pipi. "Sudah. Bahas yang lain saja!"

Aditya mengangguk. Dia paham, jika Bintang paling tidak suka dengan orang yang ikut campur dengan kehidupan pribadinya.

"Kita ke lokasi balapan sekarang atau bentar lagi?" tanya Bintang.

Aditya melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam tersebut sudah menunjukan pukul sembilan lebih empat puluh lima menit, kurang sekitar satu jam lima belas menit lagi menuju pertandingan.

"Sekarang saja yuk, Bos. Siapa tahu ada sesuatu yang harus kita periksa saat tiba di sana," jawab Aditya.

"Hm, baiklah ayo!" Bintang kembali menyalakan mesin motornya. Namun, sebelum mereka benar-benar berangkat ke lokasi, Bintang kembali mengamati anggota geng motornya.

"Si Deny mana?" tanya Bintang ketika ia tidak mendapati keberadaan anggota geng motornya tersebut.

"Iya-iya, perasaaan tadi dia di sini," jawab Aditya. Dia juga bingung dengan keberadaan teman satu gengnya itu. "Ya udah, kita ke lokasi aja dulu. Ntar kita share lok suruh dia nyusul ke sana."

"Lo urus ya!" Bintang memberikan perintah.

"Sip." Aditya mengacungkan kedua ibu jari.

"Ya udah kita ke lokasi sekarang, yuk! Jangan sampai Geng Tiger nganggap kita nggak punya nyali!" Bintang dan anak-anak Mortal Enemy yang lain bergegas menuju ke lokasi yang menjadi lokasi balap liar.

Tidak butuh waktu lama, akhirnya Bintang dan anggota Geng motor Mortal Enemy tiba di lokasi yang sudah di sepakati. Sebuah lokasi yang agak jauh dari pemukiman penduduk setempat.

"Woy, akhirnya yang ditunggu-tunggu dateng juga. Kirain lo nggak bakalan nerima tantangan gue," seloroh Mario, ketua Geng motor Tiger.

"Sebenarnya males juga sih gue nanggepin tantangan lo. Karena gue yakin lo bakalan kalah kayak sebelum-sebelumnya." Cibir Bintang.

Mendengar hal tersebut tentu membuat Mario geram dengan tangan yang mengepal kuat. "Tapi, gue yakin kali ini gue bakalan jadi pemenangnya," ucap Mario penuh percaya diri.

"Benarkah? Semoga lo bisa buktiin ucapan lo barusan," sahut Bintang. Dia tetap yakin kalau kali ini, dia tetap yang akan menjadi pemenangnya.

Tepat jam sebelas malam, Bintang dan Mario sudah berada di atas motor mereka masing-masing. Keduanya sudah menyalakan mesin dan tinggal menunggu aba-aba untuk melaju.

"Seperti biasa, kalian harus berputar sebanyak 3 kali dan siapa yang paling cepat sampai di garis finish dialah pemenangnya. Ingat! Dilarang menggunakan kekerasan saat bertanding dan satu hal lagi. Apa pun yang terjadi pada saat pertandingan kalian dilarang mengajukan tuntutan karena hal tersebut termasuk dalam resiko pertandingan. Bagaimana? Sudah jelas?" tanya salah seorang anggota yang ditunjuk sebagai pengadil setelah menjelaskan aturan balapan kali ini.

"Tenang, gue selalu bertanding sesuai dengan aturan. Nggak tahu kalau dia!" jawab Bintang yang sengaja mengeluarkan kalimat sindiran buat Mario.

Iya, Mario dan Bintang sudah bertanding balapan motor puluhan atau bahkan ratusan kali dan seringkali Mario selalu berbuat curang, meski pada akhirnya Bintang tetap keluar menjadi pemenang.

"Banyak bacot lo!" desis Mario. Bintang hanya tersenyum dengan senyum mengejek.

"Oke, kita mulai pertandingannya. Kalian siap?" sang pengadil kembali memastikan.

Bintang dan Mario sudah mulai menarik gas motor mereka. Keduanya sudah bersiap untuk saling mengalahkan.

"Bintang! Bintang! Bintang!"

"Mario! Mario! Mario!"

Anggota kedua geng meneriakkan nama ketua mereka masing-masing.

Seorang wanita mengangkat sapu tangan ke atas sebagai tanda bahwa pertandingan akan segera dimulai.

"Satu... Dua... Tiga!"

Motor Bintang dan Mario mulai melaju bersamaan dengan jatuhnya sapu tangan yang dipegang oleh wanita tadi ke atas aspal.

Awalnya pertandingan berjalan lancar hingga suara sirine mobil polisi memporak-porandakan semua yang ada di sana. Baik anggota Geng Motor Mortal Enemy maupun Geng Motor Tiger, sibuk melarikan diri karena takut dengan kedatangan polisi, tak terkecuali Bintang dan Mario.

"Sial! Kenapa bisa ada polisi ke sini?" umpat Bintang.

"Alah, gue yakin ini pasti ulah lo kan?" Mario mengira jika kedatangan polisi atas inisiasi Bintang.

"Woi, lo mikir kagak? Kalau gue yang ngasih tahu tentang balapan ini ke polisi, nggak hanya lo yang bakalan ketangkep, gue juga. Bangsat!" Tak terima dituduh Bintang membentak Mario. "Atau jangan-jangan justru lo yang sengaja jadi mata-mata polisi? Lo sengaja ngajakin gue tanding supaya gue ketangkep kan? Dan nggak ada lagi yang jadi pesaing geng motor lo. Pantesan lo ngajakin gue tanding lagi."

"Jangan asal nuduh ya, meski gue kadang suka bermain curang, nggak bakalan lah gue lapor polisi. Gila apa, lo!" Mario juga menolak menjadi tertuduh.

Kedua ketua geng motor itu turun dari motot mereka untuk saling adu jotos. Keduanya sama-sama lupa bahwa mereka harus segera melarikan diri dari polisi.

"Berhenti!" suara salah seorang polisi yang baru saja tiba mampu membuat kedua ketua geng motor itu menghentikan perkelahian.

Bintang dan Mario saling tatap sambil memikirkan cara agar mereka bisa melarikan diri. Hingga pada akhirnya pada saat polisi itu mendekati keduanya, Bintang dan Mario memukul polisi itu dan segera kabur dari sana menggunakan motor mereka masing-masing.

Mario dan Bintang melarikan diri ke tempat yang terpisah.

"Akhirnya, gue bisa lolos juga dari kejaran tuh polisi," desis Bintang ketika sudah berhasil melarikan diri dari kejaran polisi itu.

"Lo sembunyi di sini juga?" tanya Bintang kepada seseorang yang kebetulan dikenalnya. Orang itu hanya tersenyum.

"Lebih baik kita berdua tetap disini sampai pagi tiba. Kalau kita keluar sekarang, takutnya polisi-polisi itu tiba-tiba nongol," ujar Bintang.

Bintang terkejut ketika orang yang dikenalnya tersebut tiba-tiba memukulnya dengan sebuah balok hingga membuatnya tak sadarkan diri.

"Rasain lo, Bintang!" seringai orang itu. Dia menarik tubuh Bintang dan menjatuhkannya ke sungai yang berada tidak jauh dari tempat tersebut. Tak lupa, orang itu juga ikut menjatuhkan motor milik Bintang.

"Dengan begini orang akan ngira kalau lo mati karena kecelakaan," gumam orang tersebut.

Bab Tiga

Seorang gadis berkaca mata, berkulit putih dengan baju gamis berwarna maroon dan hijab dengan warna senada terlihat sibuk membereskan tenda tempat tantenya berdagang. Hampir setiap hari gadis itu menemani tantenya berjualan dari mulai jam 2 siang hingga jam 12 malam. Nama gadis itu adalah Cahaya. Sejak menjadi yatim piatu 5 tahun lalu, Aya-biasa gadis itu disapa diasuh dan dibesarkan oleh om dan tantenya. Namun, sebuah kecelakaan membuat om dari Aya itu lumpuh dan hanya bisa terbaring di tempat tidur tanpa bantuan kursi roda.

"Padahal kita jualan sampai selarut ini, tapi dagangan kita masih saja belum habis. Kalau begini terus bisa-bisa tante bangkrut," gerutu Laksmi, wanita berusia 40 tahun. Dia melanjutkan dagangan suaminya yang berjualan ayam dan lele pecel. Dulu mereka memiliki lapak khusus untuk berdagang, namun sejak suaminya lumpuh dan penjualan semakin merosot, Laksmi tak mampu membayar sewa lapak dagang mereka dan terpaksa mereka berjualan di pinggir.

"Jangan suka mengeluh, Tante. Bersyukur saja setidaknya kita masih diberi kesehatan untuk bisa mencari rezeki," sahut Cahaya. Gadis berumur 19 tahun itu selalu berusaha menatap semua hal yang terjadi dengan pikiran positif. Ia yakin dan percaya bahwa dibalik apa pun yang menimpanya di dunia pasti ada hal baik yang Tuhan rencanakan untuknya.

"Kamu tahu apa soal kebutuhan hidup? Sudah pamanmu lumpuh gara-gara ditabrak oleh orang yang nggak dikenal dan sekarang tante harus kerja keras mencari nafkah buat gantiin paman kamu. Belum lagi biaya berobatnya." Laksmi tak berhenti mengeluh. Memang sejak suaminya lumpuh, dialah yang menggantikan posisi suaminya untuk mencari nafkah.

"Andai bea mahasiswamu nggak dicabut, 2 tahun lagi kamu pasti sudah lulus dan bisa bekerja di kantoran. Setidaknya biaya berobat pamanmu bisa kamu tanggung. Tapi sekarang? Gara-gara tak punya biaya, terpaksa kamu harua cuti." Laksmi menatap keponakannya sebentar. Meski kadang mulutnya pedas melebihi pedasnya mie gacoan level 10, Laksmi tergolong tante yang baik. Dia masih mau mengeluarkan uang untuk Aya membayar kuliahnya. Sayangnya, kecelakaan itu harus membuat Laksmi memprioritaskan untuk berobat suaminya yang lumpuh.

"Maafin Aya ya, Tante. Aya pasti akan bekerja keras mengumpulkan uang untuk membantu tante dan untuk melanjutkan kuliahku nanti." Hanya ucapan maaf yang bisa Cahaya berikan saat ini. Dia belum bisa menjajikan apa pun kepada wanita yang sudah sudi merawatnya tersebut.

"Sudahlah. Itu juga bukan salah kamu, itu salah pemuda yang sudah memfitnahmu itu. Kalau sampai tante melihat pemuda itu lagi, mungkin tante tidak akan bisa menahan diri." Laksmi mengerti dicabutnya bea siswa keponakannya bukanlah kesalahan Cahaya, tetapi kesalahan temannya. "Ayo sekarang kita buruan pulang! Pamanmu pasti kepikiran karena kita belum pulang selarut ini."

Cahaya mengikat tenda yang terbuat dari terpal itu menggunakan tali rafiah. Dia lalu meletakkan tenda yang sudah tergulung rapih tersebut diatas gerobak.

Jarak tempat Cahaya dan tantenya berjualan lumayan jauh dari tempat tinggal mereka karena mereka berjalan kaki, membutuhkan waktu kurang lebih empat puluh lima menit. Cahaya bertugas menarik gerobak dagangan tantenya dari depan, sementara Laksmi bertugas mendorong dari belakang. Jalanan yang mereka lalui lumayan sepi. Bahkan malam ini mereka belum berpapasan dengan kendaraan ataupun orang lain.

Laksmi hampir saja terjatuh saat tiba-tiba Cahaya menghentikan langkahnya.

"Aduh, Aya... kenapa berhenti tiba-tiba sih? Hampir saja kamu bikin tante jatuh," omel Laksmi.

"Maaf, Tante. Aya nggak sengaja," ucap Cahaya.

"Ya sudah ayo jalan lagi!" suruh Tante Laksmi. Dia kembali mendorong gerobaknya. Namun ternyata Cahaya belum bergerak sama sekali. Gadis berhijab itu masih diam di tempatnya.

"Aya! Kenapa belum jalan? Ayo cepet jalan! Ini sudah malem banget lho, kasihan paman kamu!" seru Laksmi sekali lagi.

"Tapi, Tante.... "

"Ada apa?" sela Laksimi.

"Itu sepertinya ada orang yang hanyut di sungai itu," jawab Cahanya sambil menunjuk aliran sungai yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.

Laksmi ikut melihat ke arah yang ditunjuk oleh keponakannya tersebut. Ia bahkan menyalakan senter untuk mempertajam penglihatannya. Mulut Laksmi ternganga mana kala ia melihat sesosok tubuh yang tertelungkup di atas sebatang pohong di pinggiran sungai.

"Kita... kita bantu dia ya, Tante?" Cahaya meminta izin. Dia kemudian beranjak dari tempatnya untuk menuju ke pinggiran sungai tersebut.

"Tunggu, Aya!" Suara sang tante membuat Cahaya menghentikan langkahnya.

"Ada apa, Tante?"

"Bagaimana kalau kita pura-pura saja tidak melihat itu?" usul Tante Laksmi.

"Lho kok?" Cahaya menatap sang tante dengan tatapan bingung.

Laksmi berjalan mendekati keponakannya itu dan berdiri tepat di sampingnya.

"Aya, bagaimana kalau orang itu sudah meninggal? Tante tidak mau berurusan dengan polisi." Laksmi menyampaikan keresahannya. Dia memang paling tidak suka jika harus sibuk dengan hal yang tidak bisa memberinya keuntungan.

"Tapi, Tante.... "

"Aya, hidup kita itu sedang susah. Tante tidak mau makin susah dengan berurusan dengan polisi. Bagaimana jika keluarga orang itu mengira kita yang sudah membunuhnya? Tante tidak mau harus bolak-balik ke kantor polisi hanya untuk memberikan keterangan," sela Laksmi.

Cahaya terdiam. Ia paham dengan hal yang dikhawatirkan oleh tantenya. Namun, membiarkan orang yang membutuhkan pertolangan sangat bertentangan dengan hati kecilnya saat ini.

"Ayo, kita cepat pergi dari sini! Pura-pura saja kita tidak melihat apa pun!" ajak Laksmi. Dia menarik tangan Cahaya agar kembali ke gerobak.

"Errrggg."

Suara erangan membuat Cahaya kembali menghentikan langkahnya.

"Tante, Tante dengar itu kan?" tanya Cahaya. Dia mempertajam indera pendengarannya.

"Tante tidak dengar apa pun, ayo kita cepat pergi dari sini!" jawab Laksmi yang masih enggan jika harus berurusan dengan polisi nantinya.

"Eeerrrggg... to... tol... tolong!"

"Tante, dia masih hidup. Ayo kita tolong dia, Tante!" Cahaya yang mendengar suara erangan sekaligus suara minta tolong merasa tidak tega untuk meninggalkannya.

"Sudahlah, Aya! Kita pulang saja. Ingat! Hidup kita itu sudah sudah susah!" Tante Laksmi tetap bersikeras menyuruh Cahaya untuk mengabaikan.

"Tapi, Tante... dia masih hidup. Jika kita tidak segera menolongnya, bisa-bisa dia beneran meninggal. Dan itu berarti kita sudah menjadi pembunuh secara tidak langsung, Tante," ujar Cahaya. "Aya mohon, Tante. Ayo kita bantu dia!" pintanya.

Laksmi masih diam. Hatinya masih bimbang antara membantu atau membiarkan orang itu. Dia masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bakalan terjadi, jika dia nekat menolong orang tersebut. Namun, membiarkan orang itu di sana juga tidak membuatnya tenang. Saat suaminya menjadi korban tabrak lari dan tidak ada seorang pun yang menolongnya, dia merasa sangat sakit hati. Laksmi bahkan menyumpahi semua orang yang dengan sengaja tidak mau menolong suaminya.

"Baiklah, ayo kita tolong dia. Tapi... bagaimana pun, tante tidak mau berurusan dengan polisi." Akhirnya Laksmi setuju untuk menolong orang tersebut.

Cahaya mengangguk. "Iya, Tante. Kita tidak perlu menghubungi polisi. Yang penting sekarang ayo kita bantu dia!"

Cahaya dan Laksmi berjalan mendekati orang tersebut ke pinggiran sungai. Dari perawakan tubuh dan pakaiannya, mereka tahu bahwa orang yang tertelungkup di atas batang pohon tersebut berjenis kelamin laki-laki. Keduanya kemudian membawa orang tersebut menjauhi sungai dengan memapahnya.

"Ah, berat juga," ujar Laksmi saat ia dan Cahaya membaringkan orang tersebut di atas aspal. "Coba kamu periksa lagi! Apa dia beneran masih hidup!" Laksmi menyuruh Cahaya.

"Iya, Tante." Cahaya berjongkok dan menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah orang tersebut. Setika ia menghentikan gerakannya. "Tidak mungkin!" desisnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!