Bab Empat

"Aya, ada apa?" tanya Tante Laksmi saat melihat Cahaya masih diam. "Aya!" panggilnya lagi.

"I... iya, Tante," jawab Cahaya.

"Kenapa? Ada apa? Apa kamu kenal orang itu?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Laksmi.

Kembali Cahaya terdiam. Laksmi memang tahu, jika bea siswa keponakannya dicabut karena fitnah yang dilakukan oleh seorang pemuda kepada Cahaya. Namun, Laksmi tidak pernah melihat wajah pemuda yang dimaksud secara langsung.

"Tidak. Jika, aku mengatakan kepada Tante bahwa dialah orang yang sudah membuat bea mahasiswaku dicabut dan dia pula yang sering membullyku di kampus, Tante pasti tidak akan mau menolongnya. Bagaimana pun ini menyangkut nyawa manusia dan aku tidak mungkin membiarkan dia disini tanpa pertolongan." Cahaya berbicara dalam hati.

"Aya!" panggil Tante Laksmi yang kali ini dengan sedikit menaikan intonasi suaranya.

"Tidak, Tante. Aya... Aya tidak mengenalnya," jawab Cahaya. Ia terpaksa harus membohongi tantenya agar tetap bisa menolong Bintang.

Iya, orang yang baru saja mereka bawa dari tepi sungi adalah Bintang. Pemuda arogan yang sering membullynya di kampus. Pemuda itu pula yang sudah membuat bea mahasiswanya dicabut oleh pihak kampus.

"Terus ngapain kamu bengong barusan? Oh iya, gimana? Apa dia masih hidup?" tanya Laksmi lagi. "Tante tidak mau lho kalau harus berurusan dengan polisi."

Bintang memeriksa denyut nadi pada pergelangan pemuda arogan yang dikenalnya itu dengan menggunakan dua jarinya.

"Alhamdullillah, Tante dia masih hidup," jawab Cahaya.

"Syukurlah kalau dia masih hidup." Laksmi ikut senang mendengarnya.

"Tante, tapi jika kita tidak menghubungi polisi bagaimana cara kita menolongnya? Kalau kita membawanya ke rumah sakit pun, kita pasti akan dimintai keterangan oleh pihak rumah sakit. Jadi, bukankah lebih baik kalah kita lapor polisi saja sekalian," jelas Cahaya.

"Tidak! Pokoknya, Tante nggak mau berurusan dengan yang namanya polisi. Kita bawa saja dia ke rumah, terus panggilkan mantri yang tinggal di dekat rumah kita," jawab Tante Laksmi.

"Lalu bagaimana cara kita membawanya pulang ke rumah, Tante?"

Laksmi memperhatikan pemuda yang baru diselamatkannya barusan. Pemuda itu memiliki postur tubuh yang cukup ideal. Jika diperhatikan, tinggi badannya sekitar 180 sentimeter dan berat badan pemuda itu diperkirakan lebih dari 65 kg. Laksmi yakin, meski mampu menggotong pemuda tersebut bersama dengan Cahaya pasti akan memakan waktu yang lebih lama. Dia kemudian menatap gerobak yang berisi perkakas dan sisa barang dagangannya. Bentuk gerobak dagangan laksmi tidak seperti gerobak bakso atau yang lainnya, tapi lebih seperti gerobak milik pemulung. Dulu, sebelum suaminya mengalami kecelakaan, gerobak itu ditarik menggunakan motor. Namun, mereka terpaksa menjual motor itu untuk membiayai perawatan suaminya yang menjadi korban tabrak lari.

"Tante, mau ngapain?" tanya Cahaya ketika melihat tantenya menumpuk perkakas yang bisa ditumpuk dan memasukkan sisa brang jualan ke dalam kantong plastik besar dan menyisakan tempat yang lumayan longgar.

"Kita bawa pemuda itu ke rumah dengan ini. Taruh dia di sini!" terang Laksmi. Dia menjelaskan hal yang akan mereka lakukan untuk menolong pemuda itu.

"Tapi, Tante.... "

"Sudah, ayo kita angkat dia ke sini. Atau kamu ingin membiarkan pemuda itu tetap berada di sini? Tante sudah bilang kan, kalau Tante tidak mau berurusan dengan polisi?" kembali Laksmi menyela perkataan Cahaya.

"Baiklah," jawab Cahaya. Dia dan tantenya kemudian menggotong pemuda yang diketahui adalah Bintang ke atas gerobak. Mereka memposisikan Bintang seperti orang yang sedang duduk dengan kepala yang di sandarkan pada gulungan tenda agar muat di gerobak mereka.

"Tante yakin mau bawa sisa dagangan dengan tangan?" tanya Cahaya saat melihat kedua tangan tantenya menentang dua kantong plastik dengan ukuran besar.

"Ya mau gimana lagi? Kita kan nggak mungkin menaruhnya di gerobak," jawab Laksmi. "Sudah. Buruan tarik gerobaknya! Tante akan bantu dorong!"

Cahaya mengangguk. Dia kembali menarik gerobak dengan tenaga yang lebih besar dari sebelumnya karena adanya beban tambahan.

Cahaya dan tantenya membutuhkan waktu yang lama dari hari-hari sebelumnya. Biasanya mereka akan tiba sebelum pukul 1 malam dini hari, namun kali ini mereka baru tiba di rumah mereka sekitar pukul 01.15 WIB.

Begitu tiba di rumah, Tante Laksmi langsung membawa sisa dagangannya ke dapur. Ia kemudian kembali lagi untuk membantu Cahaya memapah pemuda yang masih tak sadarkan diri di atas gerobak. Keduanya langsung membawa pemuda tadi ke ruang tengah dan membaringkannya di atas dipan.

"Kenapa kalian baru pulang? Lihat ini sudah jam berapa? Aku sampai tidak bisa tidur karena memikirkan kalian," ujar Om Cahyono yang baru saja keluar dari kamar menggunakan kursi rodanya. "Lho siapa dia? Kenapa kalian membawanya pulang?" tanyanya lagi ketika melihat seorang pemuda yang terbaring di dipan.

"Kami tidak mengenalnya, Om. Tadi kami menemukan dia tertelungkup di atas batang pohon di pinggir sungai," jawab Cahaya.

"Iya, Mas. Tadi saat kami dalam perjalanan pulang tanpa sengaja kami melihat dia. Karena tidak tega, kami membawanya pulang untuk diobati," terang Tante Laksmi. Dia ikut menjelaskan bagaimana dirinya dan Cahaya sampai membawa pemuda tersebut pulang ke rumah.

"Kenapa tidak membawanya ke rumah sakit? Atau menghubungi polisi dan biarkan polisi yang mengurusnya?" Om Cahyono kembali bertanya.

"Kamu tahu sendiri kan, Mas, aku paling malas kalau harus berhubungan dengan yang namanya polisi," sahut Laksmi. "Ingat kan kejadian beberapa tahun yang lalu?"

Om Cahyano kembali mengingat kejadian yang menimpa ia dan istrinya beberapa tahun yang lalu sebuah kejadian yang akhirnya membuat Laksmi kapok jika harus bersinggungan dengan institusi berseragam coklat tersebut.

"Tapi, tidak semua polisi seperti orang itu. Aku yakin, masih banyak kok polisi jujur yang mengedepankan keadilan dan kebenaran," jelas Om Cahyono. Dia tidak mau sang istri beranggapan bahwa semua polisi itu sama dengan oknum polisi yang mereka temui beberapa tahun lalu.

"Terserah, Mas. Pokoknya, aku nggak mau lagi berurusan sama yang namanya polisi," kekeh Laksmi. "Bagiku semua polisi podo wae, sama saja."

Cahyono hanya bisa mengehela napasnya. Dia tidak mungkin bisa merubah pemikiran istrinya mengenai polisi. "Terus bagaimana kamu akan memngobati pemuda itu?"

"Kita panggil saja mantri yang tinggal di sebelah rumah kita. Bilang saja kalau pacarnya Aya kecelakaan di jalan dan jatuh ke sungai saat mau kesini," jawab Laksmi sekenanya.

"Tapi, Tan.... "

"Wes, gak usah banyak debat. Kamu kan yang pingin bantu pemuda itu. Jadi, manut saja sama Tante." Lagi-lagi Laksmi menyela perkataan Cahaya. "Sudah sana, panggil Pak mantri suruh ke sini! Bilang saja, Tante yang nyuruh!" Laksmi memberikan perintah.

Cahaya melihat ke arah Bintang yang terbaring. "Kalau bukan karena perikemanusiaan, aku juga enggan menolongmu. Apalagi selama di kampus dulu kamu sering membully-ku," batin Cahaya.

"Hei, sana! Kok malah bengong!" Tante Laksmi memberi cubitan kecil di lengan keponakannya tersebut.

"Aw, sakit Tante." Cahaya mengusap lengan bekas cubitan tantenya tersebut.

"Makanya jangan melamun! Sana panggil Pak Mantri!" suruh Tante Laksmi lagi.

"Iya-iya, Tante." Cahaya segera melakukan perintah tantenya untuk memanggil mantri yang tinggal di sebelah rumah mereka.

Beberapa saat kemudian sang mantri pun datang. Awalnya dia bertanya tentang apa yang terjadi dengan pemuda yang masih tak sadarkan diri itu. Tante Laksmi pun menjawab sesuai dengan jawaban yang diberikan kepada suaminya beberapa waktu yang lalu. Dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah pacarnya Cahaya yang mengalami kecelakaan saat hendak menemui Cahaya ke rumah ini. Sontak saja itu membuat Sang Mantri terkejut, pasalnya selama ini ia jarang melihat Cahaya bergaul dengan lawan jenis.

"Namanya anak muda wajar kan punya pacar yang penting mereka pacaran nggak melebihi batas," tambah Tante Laksmi.

"Iya sih, Mbak, wajar. Cuma jarang sekali saya melihat Cahaya bergaul dengan orang lain apalagi laki-laki," jawab Pak Mantri yang merasa tidak enak dengan reaksinya sendiri.

"Gimana kondisinya? Parah?" tanya Laksmi mengabaikan ucapan sang mantri barusan.

"Sepertinya hanya gegar otak ringan. Tapi, untuk memastikan lebih jelasnya lebih baik bawa saja ke rumah sakit," terang Pak Mantri. "Peralatan saya kan terbatas."

"Pak Mantri bisa nginfus kan? Kasih saja dia infus sama obat-obatan yang murah. Kebetulan keluarga dia juga miskin, lebih miskin dari saya. Jadi, untuk berobat ke rumah sakit pasti tidak ada biaya," jawab Laksi mengada-ada. Padahal dia sendiri tidak tahu siapa keluarga pemuda tersebut.

Sang Mantri berpikir sejenak. Dia kembali mengamati kondisi pemuda tersebut. Kalau dilihat secara kasat mata, luka pada pemuda itu tidak cukup parah. Hanya ada luka baretan di kepala, tangan, kaki, dan memar di punggung.

"Baiklah, sementara saya suntik dia dengan obat anti tetanus. Berikutnya berikan dia obat sesuai dengan yang saya resepkan," jawab Pak Mantri sambil menulis beberapa resep pada selembar kertas. Dia kemudian memberikan kertas tersebut kepada Laksmi.

"Ini sudah obat yang paling murah kan?" Tante Laksmi memastikan. Dia tidak mau jika harus mengeluarkan banyak uang untuk orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Apalagi kondisi perekonomiannya saat ini masih sulit.

"Itu paling murah kok," jawab Sang Mantri. "Saya permisi sekarang. Tapi, kalau nanti dia demam atau apa hubungi saya lagi. Takutnya tetanusnya sudah menyebar."

"Berapa biayanya? Jangan mahal-mahal sama tetangga sendiri?" tanya Tante Laksmi.

"Untuk jasa saya, gratis. Bu Laksmi tinggal ganti biaya cairan infusnya saja."

Tante Laksmi terlihat menggaruk kepalanya.

"Karena dia pacarnya Cahaya, saya gratiskan juga untuk cairan infusnya," tambah Sang Mantri. Dia sudah hapal dengan perilaku tetangganya jika tidak memiliki uang.

"Terima kasih ya, Pak Mantri. Pak Mantri memang orang paling baik sedunia," puji Laksmi agak lebay.

"Sama-sama Bu Laksmi, kita kan tetangga. Sudah seharusnya saling tolong menolong," jawab Pak Mantri. "Ya sudah, Bu, Pak Cahyono, saya pamit pulang ya. Besok saya harus berangkat pagi."

"Silakan, Pak, silakan! Sekali lagi makasih ya." Kali ini Pak Mantri hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumah tersebut.

"Nih, resepnya. Besok kamu beli obatnya di apotik." Tante Laksmi memberikan kertas resep yang diberikan oleh sang mantri tadi.

"Baik, Tante. Tapi.... "

"Apa lagi?" tanya Laksmi sedikit ketus.

"Baju orang itu kan basah, kalau kita biarkan bisa-bisa sakitnya tambah parah karena masuk angin." Cahaya menunjuk baju yang melekat di tubuh Bintang. Baju itu memang basah dan kotor.

"Ambil saja baju Pamanmu. Cari yang muat di badan dia!"

"Kalau itu aku tahu. Maksudku siapa yang akan mengganti bajunya?" jawab Cahaya sembari bertanya.

Laksmi kembali berpikir. Dia tidak mungkin mengganti baju pemuda karena bukan muhrim, bisa-bisa lehernya digorok oleh sang suami kalau dia melakukannya. "Kamu saja mengganti bajunya. Tante siapkan air panas buat mengelap tubuhnya."

"Tap.... "

"Paman akan membantu mengganti bagian yang belum boleh kamu lihat. Nanti kamu lap tubuhnya dengan sapu tangan!" Cahyono mengerti dengan hal yang menjadi pikiran keponakannya.

"Iya, Paman. Terima kasih ya," ucap Cahaya.

Cahyono mengangguk.

Laksmi menyiapkan air hangat di dalam baskom. Ia kemudian membawanya ke ruang tengah dimana pemuda yang ditolongnya tersebut belum sadarkan diri. Dia pun memberikan baskom berikut saputanganya tersebut kepada Cahaya.

Dengan dibantu oleh Cahyono, Cahaya mulai mengelap dan mengganti baju Bintang dengan baju pamannya. Meski kekecilan karena tubuh Bintang jauh lebih kekar dari Cahyono, setidaknya itu lebih baik daripada Bintang harus memakai bajunya yang basah dan kotor.

"Paman dan Tante istirahat dulu ya. Kamu juga tidur saja. Lagian sepertinya pemuda juga tidur nyenyak!"

"Iya, Paman," jawab Cahaya sambil tersenyum.

Cahyono masuk ke kamarnya, setelah Laksmi terlebih dulu ke tempat paling nyaman untuk beristirahat tersebut. Sebelumnya Cahaya mendengar Tantenya yang sedang membereskan tempat tidurnya. Tidak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari kamar tersebut. Cahaya bisa mendengar suara apa pun dari dalam kamar Paman dan tantenya, maklum saja kamar itu bukanlah kamar yang dibuat kedap suara.

"Sebaiknya aku juga tidur. Badanku juga sudah sangat capek."Cahaya menggerakan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. "Aku taruh baju ini dulu di bak." Dia pun pergi meninggalkan Bintang yang terbaring di dipan.

***

Keesokan paginya....

Sinar matahari pagi masuk melalui celah ventilasi rumah. Membuat tubuh Bintang sedikit gerah akibat terkena sinarnya. Pelan-pelan matanya terbuka saat suara cempreng mengganggu indera pendengarannya. Anehnya dia merasakan seluruh tubuhnya terasa remuk.

"Eh, dimana ini?" gumam Bintang. Dia bingung dengan keberadaan dirinya saat ini. Apalagi ada selang infus yang masih menancap di tangan kanannya. Pemuda yang memiliki paras tampan, berkulit putih, dan hidung bangir itu mencoba mengingat kejadian yang menimpa dirinya semalam.

Iya, Bintang ingat. Jika semalam ia sedang beradu balap dengan ketua Geng Motor Tiger. Saat itu semua bubar saat ada polisi yang tiba-tiba datang ke lokasi balapan. Bintang juga ingat kejadian saat ia sedang bersembunyi dari kejaran polisi. Seseorang yang sangat ia kenal, tiba-tiba memukulnya dengan balok kayu. Dalam keadaan setengah sadar, Bintang merasakan tubuhnya dilempar ke sungi. Beruntung, ia masih bisa menyelamatkan diri dengan berpegangan pada batang sebuah pohon setelah itu ia benar-benar tak sadarkan diri. Entah berapa lama ia pingsan, namun dia kembali tersadar ketika merasa tubuhnya dipapah oleh orang yang tak dikenal. Bukan hanya seorang, tapi dua orang. Meski samar-samar ia tahu bahwa yang memapahnya adalah perempuan.

"Sudah bangun? Ini makanlah, setelah itu minum obatmu!" Suara seseorang dari belakang, refleks membuatnya menoleh. Mata Bintang membulat kala tahu siapa pemilik suara itu. "Lo!" ucapnya sambil menunjuk.

Terpopuler

Comments

Suyatno Galih

Suyatno Galih

utk Tante Laksmi jempol4, Podo wae sami mawon, Krn mrk sll buat kaum jelata tmbh susah kl terjerat kasus masalah, sprt sy kena tilang gak bs Nebus wkwkwkwkkwk

2023-12-25

0

Yuli maelany

Yuli maelany

kenapa ....kaget yaa orang yang kamu hina bully sampe kehilangan beasiswa kuliah malah jadi orang yang nolongin kamu.....

2023-05-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!