Mr. Evan'S Brides
Thalita menatap lurus jalanan yang ada di depannya dengan sorot mata datar dan tidak terbaca. Siang ini, Ricko menjemputnya dari rumah sakit untuk mengantarkannya pulang ke apartemen. Setelah lebih dari dua minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Thalita bisa bernapas sedikit lega.
Terkelebat kembali bayangan pembicaraannya dengan dokter Evan kemarin. Setelah Thalita tahu kalau ternyata dia pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya, cara pandang Evan kepadanya jadi terasa begitu berbeda.
Saat itu, Thalita yang putus asa karena perlakuan keluarganya yang ingin memanfaatkan pernikahannya dengan Ricko hanya untuk memperalat pria itu, membuat hati Thalita terasa begitu hancur. Dia tidak berani memanfaatkan Ricko yang sangat baik kepadanya hanya untuk kesenangan keluarganya semata.
Dia sayang Ricko. Sebagai teman, Ricko mau menerima Thalita apa adanya, sudah cukup, daripada Ricko yang harus diperdaya oleh keluarga Thalita. Rasanya, Thalita tidak akan sanggup.
Waktu itu, pikiran Thalita sangat kalut. Dia pergi ke sebuah klub malam dan minum sepuasnya di sana. Pulang-pulang, dia sudah mabuk berat dengan pikiran yang sangat kacau.
Kapan keluarganya akan memikirkan Thalita? Kapan dirinya bisa bebas dari jerat bayang-bayang kedua orang tuanya? Kapan dia bisa bernapas lega tanpa ada rasa cinta di hatinya?
"Aku pengen banget jadi psikopat, yang nggak punya perasaan, biar bisa bunuh mereka semua!" racau Thalita malam itu, meninggalkan mobilnya di parkiran klub dan berjalan menyusuri pekatnya malam.
"Aku mau bebas! Aku mau terbang! Aku mau keluar dari badan sialan ini! Aku mau ketemu Papa! Aku mau ketemu Papa!"
Thalita yang sudah berjalan entah sampai ke mana itu pun, tiba-tiba berteriak. Jalanan yang terbilang cukup sunyi rasanya semakin menambah kesan sepi di hatinya yang sebatang kara.
Tin! Tin!
Dari jauh, terdengar suara mobil yang mengklakson. Tapi, bukannya menyingkir, Thalita malah terlihat tersenyum, dan berlari ke tengah jalan.
Menahan silau yang menyerang pandangannya, Thalita membentangkan kedua tangannya lebar dan memaku tubuhnya di sana. Dalam hati, dia berteriak, "Tabrak aku… Please…." Dengan sangat putus asa.
Dia sudah memejamkan kedua matanya rapat, mencoba memasrahkan diri dengan apa yang akan terjadi berikutnya, saat tiba-tiba dia mendengar suara decitan yang sangat nyaring dari arah depannya.
Seperti suara ban yang bergesekan dengan aspal kering di hadapannya.
Thalita kian memejamkan kedua matanya, tatkala cahaya lampu mobil itu terasa semakin silau menembus kulit matanya. Air mata sudah mengalir deras di kedua pipinya, berharap kematian akan segera menjemputnya.
Namun, belum juga sempat Thalita merasakan tubuhnya dihantam oleh sesuatu yang sangat keras, tubuhnya justru lebih dulu jatuh ke aspal dan terbaring tidak berdaya.
"Astaga!"
Orang yang tadi hampir menabrak Thalita --si pemilik mobil yang hampir saja dijadikan Thalita sebagai tersangka tabrakan dirinya-- langsung keluar dari dalam mobil dan menghampiri wanita itu.
Jarak antara mobilnya dengan tubuh Thalita yang terbilang cukup dekat. Nyaris bersinggungan, andai saja tadi dia tidak lekas menginjak remnya dalam-dalam.
"Mbak…! Mbak, bangun! Mbak nggak papa? Mbak!" panggil pria itu cemas, memangku kepala Thalita dan menepuk pipi wanita itu beberapa kali.
"Mbak…!"
"Ehmm…"
Thalita yang ternyata tidak pingsan sepenuh, dan tidak pula sepenuhnya sadar, hanya bergumam merespons panggilan tersebut. Dia mencoba membuka kedua matanya yang terasa begitu berat dengan sekuat tenaga.
"Ini…"
"Mbak, Mbak nggak papa?" tanya pria itu masih terligah cemas, pada Thalita yang mengerutkan dahinya samar.
"Ini masih di bumi, atau di jalan menuju akhirat?" tanya wanita itu bingung, malah membuat pria di dekatnya merasa heran.
"Mbak di Jalan Pratiwi. Dan lagi di tengah jalan." Sahut pria itu datar, dengan mimik wajah heran menatap gelagat Thalita yang persis orang linglung.
Sepertinya, perempuan di depannya ini tengah mabuk. Terlihat dari bahasanya yang melantur dan bau alkohol yang menyeruak dari napasnya, membuat pria itu yakin, kalau wanita di depannya ini pastilah orang yang sedang mengalami stress berat.
"Hah? Jadi belum mati juga?" tanya Thalita saat itu, terdengar begitu kecewa.
Sejenak, pria di depannya menaikkan sebelah alis. Siapa yang dimaksud wanita ini? Dirinya?
Masih dengan perasaan bingung, dia melihat perempuan di depannya itu menyeringai. Rahangnya terlihat bergetar, dengan tatapan mata merah yang menatap dalam lampu mobil tersebut tanpa merasa silau sedikit pun.
"Kenapa kamu berhenti?" gumam perempuan, membuat si pemilik mobil merasa tidak yakin kalau dia mendengar sesuatu.
"Apa?"
"Kenapa kamu berhenti?" tanya perempuan itu lagi geram, pada pria tersebut kali ini menoleh dan menatapnya tajam.
"Aku tanya, kenapa kamu berhenti? Kenapa kamu nggak tabrak aku aja? Aku kan udah pasrah! Kenapa kamu stop gitu aja?! Kamu ini bego' atau bagaimana?!" bentak Thalita marah, bangkit dari posisi duduknya dan menuding dada pria itu dengan jari telunjuknya.
"Kamu itu bisa bawa mobil, nggak sih?! Tau caranya nabrak orang, nggak sih?! Kalau tahu, kenapa kamu nggak bawa mobil dengan benar?! Kenapa kamu nggak tabrak aku pas aku udah berdiri di depan kamu?! Kamu mau aku ajarin, kayak gitu aja?! Kamu itu, ngambil SIM dimana?! Di dinas peternakan? Masa gitu aja, kamu nggak tahu!" maki Thalita berapi-api, tidak memandang siapa orang yang ada di depannya.
"Mbak…"
"Dasar bego'! Cowok nggak becus! Ada orang yang pasrah ditabrak, bukannya ditabrak, malah dianggurin gitu aja! Dasar nggak guna!"
Tanpa mengindahkan orang di depannya, Thalita pun berdiri dari tempatnya duduk saat ini. Dengan sedikit sempoyongan, dia pun berjalan meninggalkan pria yang tadi sudah habis dia maki-maki dalam keadaan yang terpelongo.
Tidak tahu letak kesalahannya yang sebenarnya ada di mana, laki-laki yang tadi hampir menabrak Thalita itu pun hanya bisa diam memandang punggung Thalita yang menjauh dengan jalan yang hampir jatuh terseok-seok.
"Sayang…. udah mulai gila,"
...🍂...
Thalita langsung tersungkur ke atas lantai apartemennya, begitu dia masuk dan membuka pintu. Air matanya mengalir seperti anak sungai ke atas dinginnya keramik. Perasaan, dia tadi sudah mabuk berat. Tapi, kenapa sekarang rasanya kesadarannya sangat penuh?
Berapa menit Thalita habiskan dengan merenung seperti itu. Secara perlahan, dia bangkit dan menyeret kakinya menuju pantry dan membuka pintu kulkasnya. Berbagai jenis minuman kaleng rasa buah serta susu kemasan siap minum sudah berjajar rapi di sana.
Tangan Thalita terangkat mengambil dua kotak susu siap minum itu dan membawanya ke sofa ruang tamu. Dia merenung kembali di sana, sambil meminum susu kemasannya itu menggunakan sedotan yang tersedia.
Dia melakukan itu demi menetralkan rasa mabuk yang mungkin tersisa. Biasanya, dia memang melakukan itu, tanpa tahu apakah yang dia lakukan itu memang benar atau tidak. Kalau benar, syukur. Kalau tidak, juga tidak masalah. Toh, kalaupun salah, paling dia harus mati karena salah mengkonsumsi sesuatu. Bukankah itu jadinya jauh lebih baik?
"Aku harap, ini terakhir kalinya aku dengar kamu masuk rumah sakit karena hal ini,"
Thalita tampak melamun, mengingat pesan Ricko saat akan meninggalkannya tadi sore. Alasan Thalita gelap mata dan pergi ke club malam demi memabukkan diri, dan juga alasan Thalita untuk berpikir jernih saat ini.
"Kalau kamu mengharapkan kebahagiaan dari orang lain, itu nggak akan pernah bisa, Ta…! Kamu yang tahu apa yang membuat kamu bahagia! Orang lain cuma bisa memikirkan apa yang membuatnya bahagia, tanpa tau kamu juga merasakan hal yang sama atau enggak! Sama kayak aku!"
Thalita tersenyum kecut mengingat kalimat itu. Demi apapun, dia bahagia saat pria itu masih menjadi tunangannya. Hanya saja, dia cemas, karena sadar orang baik seperti Ricko yang tidak akan bahagia bersamanya. Walaupun mereka itu saling cinta —dulu—, tapi Thalita tidak pernah mengatakan tentang keluarga Thalita yang sebenarnya pada pria itu. Dia takut, Ricko kecewa karena tahu Thalita itu bukan berasal dari keluarga yang baik.
Bahkan saat pertunangan terjadi pun, Thalita harus memohon kepada Marlia, ibunya, untuk bersikap lembut pada Thalita agar keluarga Ricko tidak curiga pada mereka.
Akhirnya, terlihat mau tidak mau, Marlia dan keluarga kecilnya pun melakukan sandiwara dengan berpura-pura harmonis di depan keluarga Ricko.
Sampai pada akhirnya, hari bahagia itupun datang, dan Thalita justru memutuskan untuk kabur layaknya orang yang menghilang ditelan bumi meninggalkan Ricko seorang diri.
Dan sekarang, haruskah dia menyalahkan Ricko yang sudah menemukan pengganti dirinya?
......Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments