"Kamu…. Nggak serius minta maaf sama anak itu, kan?"
Marlia masih menatap jauh pada mobil Thalita yang perlahan meninggalkan restoran. Kini, tinggal dirinya dan Edwin yang berdiri di samping mobil mereka sambil terus memperhatikan kendaraan Thalita yang tenggelam di kegelapan malam.
"Memangnya kenapa? Apapun itu, yang penting dia percaya," sahut Marlia datar, membuat Edwin sontak menoleh dan menatap tidak percaya ke arahnya.
"Dia pasti ngiranya kamu serius. Abis itu, dia pasti berharap, kalau kamu bakal sayang sama dia seperti apa yang dia mau," ujar Edwin dengan nada sedikit tinggi, melihat raut wajah tenang istrinya itu mendesis dengan senyuman sinis.
"Biar aja. Selama dia nggak merusak rencana perjodohan yang udah aku buat,"
"Ma!"
Marlia pun menoleh ke arah Edwin.
"Dia itu anakku. Aku yang tahu harus bersikap apa sama dia. Kamu nggak usah ikut campur!" ujar Marlia pada Edwin, yang seketika membuat pria itu terpelongo dan mendengus tidak percaya.
"Dia itu anakku juga! Aku juga—"
"Kamu nggak berhak sama sekali, Edwin." Sela Marlia dingin, menghentikan ucapan Edwin.
Marlia yang sempat membuang pandangan ke arah lain, kembali menoleh ke arah suaminya.
"Kamu lebih nggak berhak buat ngatur hidup anak itu," kata Marlia, perlahan mendekat ke arah Edwin. "Kamu pikir, aku nggak tau, apa yang udah kamu lakuin di belakang aku?" tekan Marlia datar, mengintimidasi Edwin dengan kata dan tatapannya. "Kamu dan anak itu sama aja. Sama-sama brengsek!"
"Marlia!"
"Diam, kamu!" ujar Marlia tegas, tak kalah tajam menatap Edwin.
"Cuma ini satu-satunya cara untuk anak itu lepas dari keluarga kita. Dan aku harap, kamu nggak berpikiran konyol untuk menggagalkan perjodohan ini. Atau kalau nggak, kamu juga bakal tau akibatnya!" ancam Marlia tegas, pada Edwin yang mendadak diam di tempatnya.
Sementara itu, Thalita yang merasa sudah jauh dari restoran tempat mereka bertemu tadi, berhenti di sebuah tempat yang cukup sepi. Menarik napas panjang, dan menyandarkan kepalanya ke jok mobil yang dia kendarai.
Sebenarnya, Thalita tahu kalau apa yang dilakukannya saat ini sangat bodoh. Naif dan juga konyol. Tidak seharusnya dia mengemis seperti itu terhadap Marlia. Sebagai seorang yang mandiri dan independen, Thalita harusnya mampu menjauhkan diri dari Marlia dan orang yang disebut wanita itu sebagai keluarga. Memulai kehidupan barunya sendiri dan tidak usah melihat ke belakang sama sekali.
"Tapi,"
Thalita bingung. Ada kalimat 'Tapi' di dalam dirinya yang sangat sulit untuk diuraikan. Sejak lahir, yang Thalita kenal itu hanya Johan. Ayah kandungnya.
Sejak kecil Marlia tidak hadir dalam hidup Thalita. Hanya Johan yang membesarkan Thalita selayaknya ayah sekaligus ibu. Tidak pernah sekalipun Johan mengajarkan hal buruk pada Thalita tentang Marlia. Bahkan, ayahnya itu memberikan pandangan yang sangat menyenangkan tentang hadirnya seorang ibu. Membuat Thalita merasa haus, akan kasih sayang ibu yang sejujurnya tidak bisa diperankan dengan sangat baik oleh Johan sebagai orang tua tunggal.
Lalu, setelah Johan meninggal, keinginan Thalita memiliki seorang ibu semakin besar. Selama ini, hanya Johan yang dia tahu memberikan kasih sayang besar kepadanya. Melindunginya dan menjaganya membuat Thalita mengharapkan sosok itu terus ada untuk dirinya.
Namun, Thalita sadar, kalau dia yang seorang anak tunggal dari Johan itu tidak memiliki siapapun lagi selain Marlia sebagai ibu kandungnya. Meskipun Thalita tahu kalau Marlia itu sangat membenci Johan, tapi tetap saja Thalita berharap Marlia mau menerimanya meskipun itu harapan sulit dan sia-sia.
...🍂...
Dua hari berlalu, hari ini adalah janji temu Thalita dan juga Evan. Setelah berkomunikasi sekedar menanyakan tempat bertemu mereka, keduanya pun akhirnya sepakat untuk bertemu di restoran sebelumnya.
Thalita yang tiba lebih dulu, memesan segelas jus stroberi. Dia menunggu Evan sambil sesekali memperhatikan penampilannya di cermin bulat miliknya.
"Oke, Lita, kamu cantik. Jadi, nggak mungkin dia bakal nolak perjodohan ini, kan?" gumam Thalita seorang diri, mengembalikan cermin bulatnya ke dalam tas.
Sebenarnya, Thalita bukan tidak percaya diri atas penampilannya. Hanya saja, mengingat beberapa waktu ini dia mengalami penolakan oleh dua pria yang dia harapkan, dia jadi merasa minder dan berpikir kalau mungkin ada sesuatu yang salah dengan penampilannya. Apalagi dengan reaksi Evan yang terkesan dingin sejak pertama bertemu, membuat Thalita cemas kalau mungkin saja pria itu sebenarnya tidak tertarik terhadapnya.
Suara derit kursi yang ditarik menyita perhatian Thalita yang sempat menoleh ke arah lain.
Di depannya, Evan sudah duduk dengan ekspresi wajah datar sambil memandangnya dengan sorot mata cukup dalam.
"Udah datang?"sapa Thalita basa-basi, mencoba terlihat ramah dengan terus tersenyum manis.
"Hm," sahut Evan singkat, melihat sekilas jus stroberi milik Thalita yang hampir setengah gelas.
"Udah lama?" balas Evan basa-basi juga, kali ini memperhatikan Thalita yang melihat ke arah lain sebentar dan tertawa sedikit renyah.
"Enggak. Baru lima menit," ucap gadis itu, membuat Evan hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.
"Mau pesan apa?" tanya Thalita, hendak memanggilkan seorang pelayan.
"Es kopi aja,"
Thalita masih terlihat tenang sambil tersenyum pada pria itu. Mengatakan pesanannya pada waitress yang tadi dipanggil, tanpa menyadari kalau Evan terus memperhatikan dengan sorot mata menyelidiki.
"Jadi, apa yang harus kita bahas dulu soal perjodohan kita? Apa kita bisa langsung bicara soal pernikahan?"
Lagi-lagi, Thalita tersenyum. Begitu ringan dan juga ramah, hingga membuat Evan mengernyit samar dan berpikir untuk sejenak.
"Maaf, kalau mungkin ini terdengar sedikit lancang. Tapi, aku cuma mau memastikan sesuatu dari kamu," kata Evan, melihat Thalita menaikkan kedua alisnya tanda bertanya.
"Apa kamu nggak ingat sama aku?"
"Ya?"
"Aku rasa, ini bukan pertemuan pertama kita," ujar Evan lagi, kali ini membuat Thalita mengernyit.
"Ya, emang bukan, kan? Kita emang udah pernah ketemu kemarin malam," kata Thalita tertawa, lalu menutup mulutnya dengan anggun. "Masa kamu lupa, sih?" kekeh gadis itu kemudian, tampak seperti menertawakan Evan yang terbengong.
Evan merasa, perempuan itu seperti pura-pura tidak mengenalnya
Sedikit mendecak, Evan sempat membuang pandangannya ke arah lain.
"Ternyata kamu itu buaya juga, ya? Apa ini salah satu cara kamu buat narik perhatian cewek?" ledek Thalita sekonyong-konyong, berlagak seperti seorang gadis sombong yang baru saja digoda oleh pria sembarang.
Pikirnya, Evan itu mungkin seperti pria pada umumnya yang gemar menggoda perempuan dengan teknik yang pasaran.
"Buaya?" beo Evan mendengus, lantas ikut menggeleng melihat kepercayaan diri Thalita yang terlihat begitu mengerikan.
Lalu, tanpa aba-aba, Evan menarik lengan kiri Thalita dan menyingsingkan lengan baju gadis itu hingga menampakkan bekas luka yang begitu kentara di kulit perempuan itu.
Thalita yang kaget, hanya terpekik dan hendak menarik lengan yang dipegang kuat oleh Evan.
"Bukannya kemarin aku udah bilang, kalau perbannya itu baru boleh dibuka kalau lukanya udah benar-benar kering?" kata Evan memperhatikan pergelangan tangan Thalita, hingga membuat gadis itu terdiam seketika.
"Gimana kalau nanti lukanya terbuka lagi? Bisa repot, karena lukanya ini benar-benar ada di urat nadi kamu,"
Thalita seperti kehabisan oksigen ketika Evan menatapnya tepat di bola mata. Sorot mata coklat yang dingin itu membuat Thalita menelan ludahnya dengan susah payah.
"D—dokter...itu---"
Seperti tanpa sadar, kata itu keluar dari mulut Thalita, ketika Evan yang secara perlahan mengangkat tangan Thalita ke udara dan mendekatkan pergelangan tangan wanita itu ke bibirnya.
"Pertemuan ketiga…. Aku nggak pernah ngelepasin kamu."
......Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Decy zifara fatul
semangat lita km bisa bahagia 💪
2023-05-03
2