Bab #05

Mobil yang dikendarai Thalita menembus jalanan sepi dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Rasa panik yang menyelimutinya membuat Thalita tidak bisa berpikir lebih jernih. Yang ada di otaknya sekarang adalah, lari sejauh mungkin ke tempat dimana dia bisa menemukan perasaan yang aman. 

"Ini kedua kalinya kamu dilarikan ke rumah sakit ini. Kayaknya kamu emang benar-benar nggak sayang sama nyawa kamu, ya?"

Samar tubuh Thalita bergetar saat ingatan itu tiba-tiba saja menyeruak masuk dalam pikirannya. 

"Ini bukan urusan kamu! Obati aja yang bener! Nggak perlu protes! Toh, saya juga bayar kan, di rumah sakit ini?!"

"Kamu itu benar-benar, ya…! Udah syukur Tuhan masih ngasih kesempatan buat kamu untuk bernapas! Bukannya berterima kasih, kamu malah ngeluh, karena diobatin! Kalo nggak mau sakit, ya jangan cari penyakit!"

"Berisik! Urus aja kenapa, sih?! Toh, harusnya kalian itu bersyukur, masi ada orang kayak saya ini mau berobat di rumah sakit kalian! Kalo nggak, kalian mau makan apa?!"

"Maksud kamu, harus bersyukur karena adanya orang bodoh kayak kamu?"

"Heh! Kok—"

"Orang pinter itu, tau gimana caranya untuk menghargai hidup. Kecuali ya, orang kayak kamu ini. Orang bodoh, yang kerjaannya cuma nyari tau gimana caranya buat mati."

"Eh, kurang ajar, ya! Lo dokter kan? Emang lo boleh bicara kayak gitu, sama pasien, hah?!"

Thalita baru ingat, bagaimana reaksi Evan saat menatapnya waktu itu, persis seperti saat Evan saat bertemu dengannya tadi. Dan sialnya, kenapa Thalita tidak menyadari itu sama sekali padahal belum sampai satu minggu berlalu?

Ciiiiiit! 

Suara decit ban mobil Thalita yang bergesekan dengan aspal, terdengar sedikit memekakkan telinga. Dengan napas memburu, Thalita menghentikan mobilnya tepat di pinggir jalan. 

Lagi-lagi, dia menyandarkan kepalanya di jok mobil, tatkala ingat dengan kalimat terakhir Evan saat akan melepaskannya pergi dari rumah sakit tempo hari. 

"Ingat ya, Bu Thalita Yang Terhormat. Saya harap ini adalah pertemuan terakhir kita. Dan kalau sampai kita ketemu lagi dalam bentuk apapun, saya pastikan saya tidak akan melepaskan Anda,"

"Sial…." Gumam Thalita, memejamkan mata, sebelum akhirnya berteriak dan memukul kemudinya beberapa kali. 

"Sial! Sial! Sial!" maki perempuan itu keras, hingga wajahnya memerah dan napasnya tidak beraturan. 

Tiba-tiba, dia menjadi cemas. Apa maksud Evan tidak akan melepaskannya? Tadi, saat dia ingat siapa pria itu sebenarnya, Thalita langsung pergi begitu saja. Perasan takut tiba-tiba kembali menghampiri Tahlita hingga membuatnya kabur selayaknya seorang pengecut. Dia belum siap, jika harus bertemu dengan orang yang tahu tentang apa yang Thalita lakukan akhir-akhir ini terhadap dirinya sendiri. 

"Apa yang bakal dia lakuin? Kenapa… aku bisa ketemu sama dia lagi?" gumam Thalita muram, lantas menenggelamkan wajahnya sejenak di atas kemudi. 

Sedang pusing dengan apa yang sebenarnya terjadi serta tindakannya, Thalita dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering dari dalam tas jinjingnya. 

Buru-buru dia mengambil ponsel pintar miliknya dari dalam tas, kemudian menjawab panggilan telepon itu dengan nada suara yang sudah dia atur sedemikian rupa. 

"Halo, Mama,"

Ternyata, yang menghubunginya adalah Marlia. 

"Kamu jadi ketemu sama Evan hari ini?"

Tidak berbasa-basi sama sekali, Marlia langsung bertanya pada Thalita yang bahkan tidak sempat berpikir tentang alasan Marlia yang sebelumnya hampir tidak pernah menghubungi Thalita sama sekali. 

"Eum, udah, Ma…. Baru aja Lita balik dari ketemuannya," jawab Thalita menggigit bibir bawahnya, dengan ekspresi yang sedikit bersalah. 

Dia memang baru bertemu dengan Evan. Tapi dia kembali, dengan cara kabur dari pria itu bahkan sebelum mereka sempat membahas apapun tentang hubungan mereka. 

"Oh, ya? Gimana? Apa ada perkembangan?" tanya Marlia terkesan terburu-buru, membuat Thalita sedikit bingung hingga tanpa sadar membuang napas panjang. 

"Lita?"

"Ah, ya, Ma? Ya?"

Seperti dikagetkan, Thalita tersentak dan langsung geragapan menjawab Marlia. 

"Semua baik-baik aja kan? Evan… nggak nolak perjodohan ini, kan?"

Meski tidak melihat raut wajah Marlia secara langsung, tapi dari nada bicaranya, Thalita yakin kalau Marlia tengah menunggu jawaban Thalita dengan sorot wajah yang tajam. 

"Eum…, ya! Nggak papa kok, Ma…. Dokter Evan nggak nolak perjodohan ini sama sekali. Dia… keliatan… senang,"

Di akhir kalimat, Thalita sedikit ragu. Dan itu membuat Marlia yang cukup peka, menjadi aneh di ujung panggilan. 

"Senang?" tanyanya tentu dengan nada bicara tidak yakin. 

"He'um, senang. Katanya…. Dia senang ketemu Thalita lagi… setelah malam itu,"

Merasa agak bodoh, Thalita mengusap tengkuknya yang mendadak dingin. Otaknya yang lambat tiba-tiba saja mengutuk diri sendiri tentang kalimat terakhir yang seharusnya tidak diucapkan sama sekali. Bagaimana jika Marlia curiga dengan apa yang Thalita ucapkan barusan? 

Untuk sesaat, tidak ada balasan apapun yang diberikan oleh Marlia. Sampai akhirnya suara desah napas panjang wanita paruh baya itu terdengar, yang mana Thalita juga merasa agak was-was mendengarnya. 

"Baguslah, kalau begitu. Semoga emang nggak terjadi hal buruk apapun yang bisa menghambat rencana pernikahan kalian. Karena kalau hal buruk itu terjadi, saya benar-benar nggak yakin kalau saya nggak bakal merasa kecewa sama sekali,"

Setelah mengatakan hal itu, perasaan bersalah di hati Thalita semakin besar. Mungkin ini adalah hal yang memang diharapkan oleh Marlia. Dan apa mungkin kalau Thalita itu akan mengabaikannya begitu saja? 

"Iya, Ma…. Thalita… bakal berusaha untuk perjodohan ini. Mama… doakan yang terbaik buat Lita, ya?"

Thalita tidak mendengar jawaban apapun dari Marlia. Yang ada, hanya suara sambungan telepon yang terputus, hingga membuat Thalita lagi-lagi menghembuskan napas panjang sambil menelungkupkan wajahnya di atas kemudi mobil. 

"Ini pasti keputusan yang salah, deh…." gumam Thalita seorang diri, semakin memejamkan matanya dengan rapat. 

"Andai aja Papa ada di sini,"

...🍂...

Keesokan harinya, setelah tidak bisa tidur satu malaman, Thalita memutuskan untuk kembali menghubungi Evan. 

Entah kenapa, kecemasannya semakin menjadi, saat membayangkan kalau mungkin saja Evan akan mengatakan pada Marlia tentang dimana dan kapan pertemuan pertama Evan dan Thalita terjadi sebenarnya. Atau yang lebih parahnya lagi, bisa saja Evan mengadu pada ibunya untuk membatalkan perjodohan mereka dengan alasan mental Thalita yang mungkin bisa dikatakan sedikit terganggu. 

Thalita sudah tiba di rumah sakit dimana Evan bekerja saat ini. Tempat itu adalah rumah sakit terdekat dengan apartemen Thalita. Karena alasan sedang bekerja, Evan meminta Thalita untuk datang menemuinya di sana, dengan dalih kalau yang membutuhkan sekarang adalah Thalita. 

"Permisi, saya mau tanya kalau mau ketemu sama dokter Evan, dimana ya?" tanya Thalita pada seorang perempuan di meja resepsionis, begitu dia tiba di sana dan bercelingak-celinguk sebentar. 

"Maaf, apa ibu sudah ada janji?" tanya gadis berpakaian perawat di sana sopan. 

"Udah,"

"Oh, kalau begitu, dengan ibu siapa?" tanya perawat itu lagi, yang tak lama kemudian Evan muncul tepat sebelum Thalita menyebutkan namanya. 

"Aku pikir udah nggak ada lagi yang mau dibicarakan, melihat kamu langsung main kabur aja kemarin,"

Thalita segera menoleh. Terkejut dengan Evan yang ternyata sudah berdiri di belakangnya dengan jarak yang cukup rapat hingga membuatnya harus mendongak menatap pria tersebut. 

"Dia tamu saya," kata Evan pada perawat di meja resepsionis, yang tadi ditanya oleh Thalita. 

"Oh," sahut perempuan itu tersenyum, kemudian mulai mengabaikan Evan yang menarik pelan lengan Thalita untuk menjauh. 

"Udah makan?" tanya Evan saat menggiring Thalita, ke arah sebuah ruangan di rumah sakit itu yang bertuliskan 'kantin' di atasnya. 

"Udah," sahut Thalita agak bingung, namun tetap mengikuti langkah kaki Evan menuju sebuah meja. 

"Aku mau pesan kopi. Hari ini pasienku cukup banyak. Jadi, aku pengen nyantai sebentar,"

Evan mendorong bahu Thalita untuk duduk di sebuah kursi di sana. Lalu, meninggalkan perempuan itu sebentar, menuju bar kantin yang dijaga oleh seorang pria muda. 

Evan datang dengan membawa dua gelas kardus. Meletakkan satu di depannya kemudian satu lagi dia taruh di atas meja depan Thalita. 

"Susu stroberi," kata Evan, tak ayal membuat Thalita melebarkan matanya sejenak. 

"Untuk?" tanya Thalita konyol, pantas membuat Evan berhenti menyeruput kopinya dan memandang aneh ke arahnya. 

"Luluran," kata Evan asal, kontan membuat Thalita semakin membesarkan ukuran matanya. "Kan mau nikah," tambahnya, sontak membuat Thalita tidak mampu berkedip. 

Satu detik, dua detik, Evan dan Thalita hanya diam saling memandang dengan ekspresi datar dan tidak berbaca. 

"Susu stroberi itu untuk diminum. Kalo mau luluran, pasti lain lagi lah, susunya," kata Evan akhirnya, kembali menyeruput kopi di tangannya dengan tenang sambil membuang pandangan ke arah lain. 

Meski masih terdiam, Thalita menunduk melihat segelas susu stroberi hangat yang Evan pesankan untuknya. 

Heran. Bukankah sangat jarang ya, ada susu stroberi hangat di jual di rumah sakit seperti ini? 

Tidak berpikir panjang, Thalita yang memang merasa agak gugup pun, mengambil gelas kardus itu dan mulai menyeruput susu hangat miliknya. 

"Jangan terlalu sering mengkonsumsi makanan atau minuman asam. Apalagi, kalau kamu tipe orang yang banyak pikiran," nasehat Evan tiba-tiba, pada Thalita yang baru saja meletakkan gelas susunya ke atas meja. 

"Biarpun manis, tetap aja stroberi itu mengandung asam yang bisa memicu asam lambung kamu meningkat. Nanti kamu bisa kena maag, kalau terlalu sering makan atau minum yang asam-asam," kata Evan melihat Thalita, kali ini membuat Thalita mengerjap beberapa kali. 

"Kan kamu yang ngasih minuman ini. Ya kali aku buang gitu aja," kisah Thalita heran, yang memang sebenarnya agak bingung dengan sikap Evan terhadapnya. 

Maksudnya kan, yang memberikan minuman asam itu pada Thalita kan, Evan. Terus, Evan menasehati Thalita karena ulah Evan sendiri, begitu? 

"Aku ngasih itu, karena aku pikir, kamu memang suka. Kamu kelihatan lagi banyak pikiran. Jadi, aku pikir, lebih baik ngasih sesuatu yang mungkin kamu suka," jawab Evan acuh tak acuh, membuang pandangannya ke arah lain, tidak memperhatikan Thalita yang diam menatapnya. 

Jadi, maksudnya, Evan mengira Thalita suka rasa stroberi? 

"Jadi, apa yang membuat kamu datang menemui aku lagi?"

...Bersambung...

Terpopuler

Comments

Nysa Barasa

Nysa Barasa

🙃🙃

2023-05-22

0

Decy zifara fatul

Decy zifara fatul

😍😍😍😍

2023-05-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!