NovelToon NovelToon

Mr. Evan'S Brides

Bab #01

Thalita menatap lurus jalanan yang ada di depannya dengan sorot mata datar dan tidak terbaca. Siang ini, Ricko menjemputnya dari rumah sakit untuk mengantarkannya pulang ke apartemen. Setelah lebih dari dua minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Thalita bisa bernapas sedikit lega. 

Terkelebat kembali bayangan pembicaraannya dengan dokter Evan kemarin. Setelah Thalita tahu kalau ternyata dia pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya, cara pandang Evan kepadanya jadi terasa begitu berbeda.

Saat itu, Thalita yang putus asa karena perlakuan keluarganya yang ingin memanfaatkan pernikahannya dengan Ricko hanya untuk memperalat pria itu, membuat hati Thalita terasa begitu hancur. Dia tidak berani memanfaatkan Ricko yang sangat baik kepadanya hanya untuk kesenangan keluarganya semata. 

Dia sayang Ricko. Sebagai teman, Ricko mau menerima Thalita apa adanya, sudah cukup, daripada Ricko yang harus diperdaya oleh keluarga Thalita. Rasanya, Thalita tidak akan sanggup. 

Waktu itu, pikiran Thalita sangat kalut. Dia pergi ke sebuah klub malam dan minum sepuasnya di sana. Pulang-pulang, dia sudah mabuk berat dengan pikiran yang sangat kacau.

Kapan keluarganya akan memikirkan Thalita? Kapan dirinya bisa bebas dari jerat bayang-bayang kedua orang tuanya? Kapan dia bisa bernapas lega tanpa ada rasa cinta di hatinya?

"Aku pengen banget jadi psikopat, yang nggak punya perasaan, biar bisa bunuh mereka semua!" racau Thalita malam itu, meninggalkan mobilnya di parkiran klub dan berjalan menyusuri pekatnya malam.

"Aku mau bebas! Aku mau terbang! Aku mau keluar dari badan sialan ini! Aku mau ketemu Papa! Aku mau ketemu Papa!"

Thalita yang sudah berjalan entah sampai ke mana itu pun, tiba-tiba berteriak. Jalanan yang terbilang cukup sunyi rasanya semakin menambah kesan sepi di hatinya yang sebatang kara.

Tin! Tin!

Dari jauh, terdengar suara mobil yang mengklakson. Tapi, bukannya menyingkir, Thalita malah terlihat tersenyum, dan berlari ke tengah jalan.

Menahan silau yang menyerang pandangannya, Thalita membentangkan kedua tangannya lebar dan memaku tubuhnya di sana. Dalam hati, dia berteriak, "Tabrak aku… Please…." Dengan sangat putus asa.

Dia sudah memejamkan kedua matanya rapat, mencoba memasrahkan diri dengan apa yang akan terjadi berikutnya, saat tiba-tiba dia mendengar suara decitan yang sangat nyaring dari arah depannya. 

Seperti suara ban yang bergesekan dengan aspal kering di hadapannya.

Thalita kian memejamkan kedua matanya, tatkala cahaya lampu mobil itu terasa semakin silau menembus kulit matanya. Air mata sudah mengalir deras di kedua pipinya, berharap kematian akan segera menjemputnya. 

Namun, belum juga sempat Thalita merasakan tubuhnya dihantam oleh sesuatu yang sangat keras, tubuhnya justru lebih dulu jatuh ke aspal dan terbaring tidak berdaya.

"Astaga!"

Orang yang tadi hampir menabrak Thalita --si pemilik mobil yang hampir saja dijadikan Thalita sebagai tersangka tabrakan dirinya-- langsung keluar dari dalam mobil dan menghampiri wanita itu.

Jarak antara mobilnya dengan tubuh Thalita yang terbilang cukup dekat. Nyaris bersinggungan, andai saja tadi dia tidak lekas menginjak remnya dalam-dalam. 

"Mbak…! Mbak, bangun! Mbak nggak papa? Mbak!" panggil pria itu cemas, memangku kepala Thalita dan menepuk pipi wanita itu beberapa kali.

"Mbak…!"

"Ehmm…"

Thalita yang ternyata tidak pingsan sepenuh, dan tidak pula sepenuhnya sadar, hanya bergumam merespons panggilan tersebut. Dia mencoba membuka kedua matanya yang terasa begitu berat dengan sekuat tenaga. 

"Ini…"

"Mbak, Mbak nggak papa?" tanya pria itu masih terligah cemas, pada Thalita yang mengerutkan dahinya samar.

"Ini masih di bumi, atau di jalan menuju akhirat?" tanya wanita itu bingung, malah membuat pria di dekatnya merasa heran.

"Mbak di Jalan Pratiwi. Dan lagi di tengah jalan." Sahut pria itu datar, dengan mimik wajah heran menatap gelagat Thalita yang persis orang linglung. 

Sepertinya, perempuan di depannya ini tengah mabuk. Terlihat dari bahasanya yang melantur dan bau alkohol yang menyeruak dari napasnya, membuat pria itu yakin, kalau wanita di depannya ini pastilah orang yang sedang mengalami stress berat. 

"Hah? Jadi belum mati juga?" tanya Thalita saat itu, terdengar begitu kecewa.

Sejenak, pria di depannya menaikkan sebelah alis. Siapa yang dimaksud wanita ini? Dirinya? 

Masih dengan perasaan bingung, dia melihat perempuan di depannya itu menyeringai. Rahangnya terlihat bergetar, dengan tatapan mata merah yang menatap dalam lampu mobil tersebut tanpa merasa silau sedikit pun. 

"Kenapa kamu berhenti?" gumam perempuan, membuat si pemilik mobil merasa tidak yakin kalau dia mendengar sesuatu. 

"Apa?"

"Kenapa kamu berhenti?" tanya perempuan itu lagi geram, pada pria tersebut kali ini menoleh dan menatapnya tajam. 

"Aku tanya, kenapa kamu berhenti? Kenapa kamu nggak tabrak aku aja? Aku kan udah pasrah! Kenapa kamu stop gitu aja?! Kamu ini bego' atau bagaimana?!" bentak Thalita marah, bangkit dari posisi duduknya dan menuding dada pria itu dengan jari telunjuknya. 

"Kamu itu bisa bawa mobil, nggak sih?! Tau caranya nabrak orang, nggak sih?! Kalau tahu, kenapa kamu nggak bawa mobil dengan benar?! Kenapa kamu nggak tabrak aku pas aku udah berdiri di depan kamu?! Kamu mau aku ajarin, kayak gitu aja?! Kamu itu, ngambil SIM dimana?! Di dinas peternakan? Masa gitu aja, kamu nggak tahu!" maki Thalita berapi-api, tidak memandang siapa orang yang ada di depannya.  

"Mbak…"

"Dasar bego'! Cowok nggak becus! Ada orang yang pasrah ditabrak, bukannya ditabrak, malah dianggurin gitu aja! Dasar nggak guna!"

Tanpa mengindahkan orang di depannya, Thalita pun berdiri dari tempatnya duduk saat ini. Dengan sedikit sempoyongan, dia pun berjalan meninggalkan pria yang tadi sudah habis dia maki-maki dalam keadaan yang terpelongo. 

Tidak tahu letak kesalahannya yang sebenarnya ada di mana, laki-laki yang tadi hampir menabrak Thalita itu pun hanya bisa diam memandang punggung Thalita yang menjauh dengan jalan yang hampir jatuh terseok-seok.

"Sayang…. udah mulai gila,"

...🍂...

Thalita langsung tersungkur ke atas lantai apartemennya, begitu dia masuk dan membuka pintu. Air matanya mengalir seperti anak sungai ke atas dinginnya keramik. Perasaan, dia tadi sudah mabuk berat. Tapi, kenapa sekarang rasanya kesadarannya sangat penuh? 

Berapa menit Thalita habiskan dengan merenung seperti itu. Secara perlahan, dia bangkit dan menyeret kakinya menuju pantry dan membuka pintu kulkasnya. Berbagai jenis minuman kaleng rasa buah serta susu kemasan siap minum sudah berjajar rapi di sana. 

Tangan Thalita terangkat mengambil dua kotak susu siap minum itu dan membawanya ke sofa ruang tamu. Dia merenung kembali di sana, sambil meminum susu kemasannya itu menggunakan sedotan yang tersedia. 

Dia melakukan itu demi menetralkan rasa mabuk yang mungkin tersisa. Biasanya, dia memang melakukan itu, tanpa tahu apakah yang dia lakukan itu memang benar atau tidak. Kalau benar, syukur. Kalau tidak, juga tidak masalah. Toh, kalaupun salah, paling dia harus mati karena salah mengkonsumsi sesuatu. Bukankah itu jadinya jauh lebih baik?

"Aku harap, ini terakhir kalinya aku dengar kamu masuk rumah sakit karena hal ini,"

Thalita tampak melamun, mengingat pesan Ricko saat akan meninggalkannya tadi sore. Alasan Thalita gelap mata dan pergi ke club malam demi memabukkan diri, dan juga alasan Thalita untuk berpikir jernih saat ini. 

"Kalau kamu mengharapkan kebahagiaan dari orang lain, itu nggak akan pernah bisa, Ta…! Kamu yang tahu apa yang membuat kamu bahagia! Orang lain cuma bisa memikirkan apa yang membuatnya bahagia, tanpa tau kamu juga merasakan hal yang sama atau enggak! Sama kayak aku!"

Thalita tersenyum kecut mengingat kalimat itu. Demi apapun, dia bahagia saat pria itu masih menjadi tunangannya. Hanya saja, dia cemas, karena sadar orang baik seperti Ricko yang tidak akan bahagia bersamanya. Walaupun mereka itu saling cinta —dulu—, tapi Thalita tidak pernah mengatakan tentang keluarga Thalita yang sebenarnya pada pria itu. Dia takut, Ricko kecewa karena tahu Thalita itu bukan berasal dari keluarga yang baik. 

Bahkan saat pertunangan terjadi pun, Thalita harus memohon kepada Marlia, ibunya, untuk bersikap lembut pada Thalita agar keluarga Ricko tidak curiga pada mereka. 

Akhirnya, terlihat mau tidak mau, Marlia dan keluarga kecilnya pun melakukan sandiwara dengan berpura-pura harmonis di depan keluarga Ricko. 

Sampai pada akhirnya, hari bahagia itupun datang, dan Thalita justru memutuskan untuk kabur layaknya orang yang menghilang ditelan bumi meninggalkan Ricko seorang diri. 

Dan sekarang, haruskah dia menyalahkan Ricko yang sudah menemukan pengganti dirinya?

......Bersambung......

Bab #02

Suasana rumah sakit terlihat cukup ramai pagi ini. Perubahan cuaca ekstrem yang akhir-akhir ini terjadi membuat banyak orang jatuh sakit dan datang untuk berobat. Terlebih itu adalah orang-orang tua dan juga anak-anak. 

Sebagai salah satu dokter di rumah sakit itu, Evan merasa cukup prihatin. Andai saja semua orang bisa menjaga kesehatan dengan banyak mengkonsumsi air mineral dan juga beristirahat cukup, setidaknya mereka tidak perlu mengalami sakit yang tentu rasanya pasti sangat membuat tidak nyaman. 

"Dokter Evan mau pulang?"

Saat melewati meja resepsionis, Evan berhenti. Dia yang sedang memegang leher bagian belakangnya —karena pegal— menoleh ke arah seorang perempuan berdiri di balik meja resepsionis tersebut. 

"Hm,"

"Hari ini, dokter nggak ada jadwal?" tanya gadis yang Evan kenal sebagai perawat bernama Dinda itu tersenyum. 

"Hari ini saya off," kata Evan, yang kemudian melanjutkan ucapannya ketika melihat gadis itu hendak membuka mulutnya kembali. 

"Saya mau istirahat karena ada janji nanti sore,"

Tampak perempuan muda itu kecewa dengan jawaban Evan. Raut wajahnya yang tadi terlihat begitu senang, mendadak masam dengan pipi yang menggembung sebelah. 

Tanpa mempedulikan tatapan sedih itu, Evan segera berlalu begitu saja. Membiarkan suara-suara sumbang dari belakangnya yang pasti mulai bergosip lagi tentang dirinya. 

"Ditolak lagi, sama dokter Evan?" 

Tanya seorang perawat lain yang ada di sebelah perawat bernama Dinda itu, setelah melihat punggung Evan yang menjauh dari mereka. 

Tidak langsung menjawab, Dinda hanya bisa menggerutu sebentar dan menghentakkan kakinya ke atas lantai. 

"Sebenarnya, dokter Evan itu udah punya pacar belum, sih?!" rutuknya pada perawat sebelah, yang mana langsung mendapat sahutan dari perawat lain dari sisi yang satunya lagi. 

"Gosipnya sih, belum. Boro-boro punya pacar. Lah, kelakuannya aja dingin banget gitu. Asal kamu tahu, ya, kamu itu udah termasuk orang yang dibalas cukup ramah sama beliau. Karena selain dokter Jenna, nggak ada lagi tuh, dokter ataupun perawat yang bisa berinteraksi lama sama dokter Evan kayak kamu," ujar perawat lainnya itu, sejenak membuat Dinda berpikir sesaat. 

"Berarti, dokter Evan itu ada hubungan khusus dong, sama dokter Jenna?" tanya Dinda, yang lebih mengarah pada tuduhan ataupun anggapannya sendiri.

"Kalau hubungan khusus yang kamu maksud itu sahabatan sih, iya…."

"Sahabatan?" ulang Dinda menoleh sejenak, kemudian tertawa sambil mendengus. "Bullshit!" ujarnya ke arah lain. 

"Kalian percaya, sama yang namanya sahabatan antara laki-laki sama perempuan?" kata Dinda pada dua temannya itu, dimana kedua perempuan sama mudanya itu saling melihat satu sama lain, dan menarik sudut bibir mereka datar. 

"Katanya begitu," ujar dua orang itu sambil mengedikkan bahu acuh tak acuh. 

"Aku sih nggak percaya, ya! Secara, jaman sekarang itu nggak ada tuh yang namanya persahabatan antara cowok sama cewek! Yang ada, kalo nggak salah satu dari mereka yang suka, ya pasti dua-duanya pasti saling suka. Jadi—"

"Jadi, kamu mau bergosip satu harian di sini sambil terus membicarakan soal dokter Evan dan dokter Jenna?"

Sedang asyik mengoceh, tiba-tiba Dinda didatangi oleh seseorang yang menginterupsi ucapannya dan membuatnya terdiam. 

Sedikit terkejut, Dinda melebarkan kedua matanya sambil bergumam, "Dokter Bayu," dan langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. 

"Ckckck! Kalian ini, bisa-bisanya kalian buka forum sendiri, sementara pagi ini udah banyak pasien yang harus diurus," omel seorang dokter dengan gaya rambut halus namun berantakan itu pada Dinda dan kedua temannya. "Kalian mau jadi perawat, apa jadi tukang bawa acara gosip?"

"Ma—maaf, dokter Bayu. Ka—kami benar-benar bakal kerja sekarang,"

Lantas dengan gaya terburu-buru, Dinda dan kedua temannya tadi pun langsung merapatkan mulut mereka untuk membahas hal penting dan mulai mengerjakan apa yang seharusnya sejak tadi dikerjakan oleh ketiganya. 

Melihat salah satu dari tiga orang itu yang menjatuhkan beberapa barang-barang saking terburu-burunya, dokter yang bernama Bayu itu pun hanya bisa menggeleng dan meninggalkan meja resepsionis. 

"Itu lagi satu. Dasar bujang lapuk! Ganteng-ganteng, tapi bawelnya minta ampun. Siapa coba yang—"

"Hust! Kamu lupa, dokter Bayu udah nikah?" tegur salah satu teman Dinda itu, yang mendengar gerutuan Dinda yang menatap punggung Bayu menjauh dari mereka. 

Setelah berpikir sesaat, Dinda yang termenung pun menjentikkan jari dan membuka mulutnya sedikit lebar. 

"Ah…. Iya, ya…. Dia udah nikah. Kalo nggak salah, sama anak magang yang waktu itu, kan?" ujar Dinda, yang diangguki oleh kedua temannya. 

Saat sedang melihat ke arah Bayu lagi, ketiga tukang gosip itu tiba-tiba kembali kaget melihat Bayu yang mendadak membalikkan tubuhnya dan melihat ke arah mereka bertiga. 

Sontak, tiga orang itu langsung memperhatikan pekerjaan mereka lagi dengan membuang pandangan mereka dari Bayu. 

"Ya ampun, mudah-mudahan aja anak magang waktu itu nggak menderita, ya…."

...🍂...

Evan menghempaskan tubuh kurus nan tingginya ke atas sofa panjang yang ada di ruang tamu. Dia mendesahkan napas panjang sambil membuka satu per satu kemeja biru yang saat ini dia kenakan. 

"Kamu baru pulang?" 

Seorang wanita paruh baya yang sedang memegang pot berisikan bunga berwarna kuning, berjalan melewati Evan yang tengah duduk menuju teras samping yang pintunya sedang terbuka. 

"Hm," sahut Evan tidak begitu mempedulikan, kemudian merebahkan kepalanya di badan sofa. 

"Akhir-akhir ini kamu sering lembur, ya? Emang nggak ada lagi, dokter yang bisa jaga malam di rumah sakit? Kok kayaknya, Mama perhatikan kamu sering banget jaga malam, ketimbang masuk pagi ataupun sore,"

Ibunya Evan, orang yang tadi membawa pot bunga dari teras depan menuju samping, bertanya sambil fokus merawat tanamannya. 

"Itu karena dokter Vika lagi cuti menikah, Ma…. Jadi, ya jadwalnya dokter Vika untuk sementara aku yang handle."

"Semua? Enggak nggak bisa dibagi rata sama dokter yang lain?"

Evan melirik ke arah ibunya sebentar. Tampak, ibunya itu masih fokus dengan tanamannya. 

"Mama juga pengen kali, kamu itu ada di rumah pas udah malam. Kamu pikir, Mama nggak kesepian, kalo kamu nggak ada di rumah? Setidaknya, Mama pengen makan malam sama anak Mama satu-satunya," kata Laila jujur, kali ini menoleh ke arah Evan dan tersenyum. 

Pelan, orang tua itu bangkit dari posisi duduknya di kursi teras samping. Lalu berjalan membersihkan tangan di wastafel yang ada di dekat pintu, sebelum akhirnya duduk di sebelah Evan yang terus memperhatikannya. 

Sebenarnya, alasan Evan bukan begitu. Selain menggantikan salah satu dokter yang sedang cuti menikah, Evan juga diam-diam mempunyai alasan khusus kenapa dia mau mengambil jadwal jaga malam di rumah sakit. 

"Mungkin aja, tadi malam dia larikan lagi ke rumah sakit kayak waktu itu."

"Evan?"

Evan mengerjap, dan tersadar dari lamunannya saat Laila menyentuh sebelah punggungnya. Ingatan Evan tentang seorang gadis yang beberapa kali masuk rumah sakit karena mencoba untuk bunuh diri membuat Evan sedikit mengusik hati. Bagaimana jika malam ini dia dilarikan lagi ke rumah sakit seperti waktu itu? Atau, bagaimana kalau malam ini dia terlambat diketemukan, dan akhirnya dia mati sia-sia seperti apa yang perempuan itu harapkan selama ini?

"Kamu kenapa? Kamu baik-baik aja?"

Merasa cemas, Laila menyentuh kening Evan. Tapi, secara buru-buru, anaknya itu menangkap tangan ibunya dan mencoba tersenyum sebaik yang dia bisa. 

"Evan cuma capek aja kok, Ma. Evan mau istirahat dulu, ya?" ujar Evan berdiri dari tempat duduknya. 

"Kamu udah sarapan?" tanya Laila cepat, melihat Evan membalikkan tubuhnya sebentar. 

"Udah, tadi sebelum pulang," jawab anak itu, lantas berbalik lagi menuju sebuah kamar tidur yang ada di lantai satu. 

"Oh, ya, Van! Nanti kamu nggak jaga, kan? Mama mau minta temenin kamu ke suatu tempat," ujar Laila pada Evan, yang baru saja mencapai pintu kamar tidurnya. 

"Kemana?" tanya Evan mengernyit samar, dibalas Laila dengan gerakan alis yang naik sebelah. 

"Kamu nggak ada shift malam, kan?" tanya Laila menekan, kali ini membuat Evan berpikir sejenak. 

"Nggak ada,"

"Oke, kalo gitu, kamu istirahat. Ntar malam, kamu temenin Mama ke suatu tempat!" ujar Laila semangat, beranjak dari tempat duduknya, menuju teras samping lagi untuk membenahi tanamannya. 

Melihat Laila yang seperti menghindari pertanyaan dari Evan, membuat anak itu mencoba untuk pasrah. Toh, sekarang dia benar-benar sedang lelah dan membutuhkan yang namanya istirahat. 

......Bersambung......

Bab #03

Thalita merasa kalau sebentar lagi mungkin dadanya akan meledak. Setelah menunggu sekian tahun, untuk kali pertamanya Thalita menerima telepon dari Marlia yang mengajaknya pergi  ke sebuah restoran di pusat kota. Jaraknya tidak begitu jauh dari apartemen tempat Thalita tinggal. 

Sejenak, Thalita yang sudah sampai di parkiran restoran pun diam di tempat dan memperhatikan luar restoran itu dari dalam mobil. Pikirnya, ini pasti acara makan malam. Meskipun tidak dilakukan di restoran milik Thalita sendiri karena Marlia tidak mau, tetap saja Thalita merasa senang karena mendapat undangan dari ibu kandungnya tersebut. Dan dia harap, acara makan malam ini hanya dirinya dan Marlia saja. 

Mencoba untuk tenang, Thalita yang merasa deg-degan pun segera turun dari dalam mobil. Mungkin ini lebih mendebarkan daripada akan bertemu dengan calon mertua. Padahal, Marlia itu adalah ibu kandungnya. Tapi rasa senangnya itu seperti berkali-kali lipat dan tidak bisa Thalita bandingkan dengan kata-kata. 

"Selamat malam, Bu. Ada yang bisa dibantu?"

Begitu masuk, Thalita disambut oleh penjaga pintu yang sangat ramah. Setelah menyebutkan nama yang dipesankan oleh Marlia kepadanya, Thalita dibimbing untuk masuk ke sebuah ruangan yang didesain sedikit tertutup di restoran tersebut. 

Begitu pintu terbuka, wajah Marlia yang datar langsung menyambut Thalita. Dan itu tidak urung membuat Thalita tersenyum lebar dan berhambur memeluk tubuh Sang Mama. 

"Mama," ujar Thalita, yang saking semangatnya sampai resfleks mencium sebelah pipi Marlia dan tidak menyadari perubahan raut muka wanita itu. 

"Ah, kamu udah datang. Ayo, duduk," kata Marlia mencoba tersenyum, agar terlihat baik di mata dua orang yang ada di tempat itu. 

Namun, senyum terpaksa Marlia itu justru disalah artikan oleh Thalita yang mengira kalau Marlia itu hanya canggung untuk bersikap manis kepadanya. 

"Mama," 

Thalita yang naif, yang sepertinya sudah dibutakan oleh cintanya pada Marlia, tidak menyadari tempat lagi. Dia memeluk lengan Marlia dan menyandarkan kepalanya di sana sambil memejamkan mata. 

Sesaat, dia tidak menyadari suasana yang tercipta di sekitarnya. Sampai akhirnya sebuah tawa halus yang berderai, menyadarkan Thalita kalau di tempat itu bukan hanya ada mereka berdua. 

"Wah, kayaknya Thalita ini tipe-tipe anak manja sama Mamanya, ya? Benar-benar anak Mama banget, kayaknya, ya…."

Ziiiiitz! 

Seketika, Thalita menegang. Dia membuka mata dan memperhatikan meja yang ada di depan mereka. 

Di seberang sana, ternyata ada seorang wanita paruh baya yang tengah tersenyum manis ke arahnya dan seorang pria dengan wajah datar terus menatapnya tanpa berkedip. 

"Ma,"

"Nggak gitu juga kali, Mbak. Biar kayak gini juga, aslinya Lita itu mandiri banget. Kan udah saya bilang, saking mandirinya dia, dia bahkan tinggal di apartemen sendiri dan bahkan bisa mengelola restoran punyanya sendiri," kata Marlia pada wanita paruh baya di depannya, dengar terus tersenyum tanpa mengindahkan Thalita di sebelahnya. 

"Eh, Lita, kamu udah datang, Nak?"

Belum sembuh keterkejutan Thalita dengan dua orang di depannya, dia kembali dikejutkan oleh suara pria yang sangat tidak ingin dia dengar. 

Saat berbalik, ternyata Edwin sudah berdiri satu langkah di depannya dan memeluk Thalita tanpa sempat gadis itu berpikir untuk menghindarinya. 

"Papa kangen sama kamu," bisik pria itu, seketika membuat wajah Thalita memucat. Tubuhnya pun bahkan sampai bergidik dan tanpa sadar mencengkram lengan Marlia yang masih dia pegang. 

"Duduklah, Pa. Nanti Mbak Laila pikir, Thalita juga anak yang manja sama Papanya," ucap Marlia terdengar datar, langsung membuat Edwin melepaskan pelukannya dari Thalita secara halus dan duduk tepat di samping Marlia. 

Rasanya, otak Thalita menjadi kosong. Dia yang termakan oleh ekspektasinya sendiri hanya bisa terbengong tanpa bisa memahami situasi yang terjadi saat ini. 

Alasan sebenarnya Marlia mengundang Thalita untuk datang, dan siapa dua orang yang ada di depannya saat ini. 

"Jadi, Thalita. Ini Evan. Anak Tante. Dia ini dokter, loh. Dan Tante rasa, mukanya juga ganteng. Jadi, Tante harap, kamu suka sama anak Tante ini," ujar Laila tiba-tiba, menarik perhatian Thalita yang beberapa detik lalu menunduk dan merenung. 

"Ya?" respons Thalita bodoh, tanpa melirik sedikitpun wajah pria yang baru dikenalkan itu padanya. 

Melihat wajah Thalita yang bingung, Laila mengubah arah pandangnya pada Marlia. Seolah bertanya, apakah Thalita tidak tahu dengan rencana perjodohan mereka ini sebelumnya? 

"Thalita pasti terkejut, melihat wajah Nak Evan yang ternyata jauh lebih ganteng dari yang kami duga. Kami udah membicarakan soal ini kemarin. Dan Thalita bilang, dia setuju. Makanya dia datang ke sini sekarang," jelas Marlia tentu saja mengarang, karena hal itu seketika membuat Thalita terbelalak dan menatap kaget ke arahnya. 

Merasa butuh penjelasan, Thalita justru dikecewakan dengan cara Marlia yang bahkan tidak melirik sedikitpun ke arahnya. Mencoba untuk mencari jawaban, Thalita akhirnya paham kalau Marlia tidak ada niatan untuk bersikap baik kepadanya. 

Di sisi lain, Evan yang sejak awal memperhatikan Thalita, menyadari hal aneh dari keluarga gadis itu. Dia bukannya orang bodoh yang akan percaya begitu saja kalau Thalita menerima perjodohan ini. Dari ekspresinya saja, Evan bisa menduga dengan jelas kalau gadis itu tidak mengetahui tentang perjodohan ini sebelumnya. Ya, walaupun Evan sendiripun baru diberitahukan oleh ibunya tentang perjodohan ini saat mereka tiba, tapi tidak seperti Thalita, Evan bisa mengatur mimik wajahnya dengan sangat baik. 

Dan hal yang paling mengejutkan Evan sampai kehilangan kendali ekspresi untuk sesaat adalah, Thalita yang muncul dan tidak menyadari kalau ini bukanlah kali pertamanya mereka berdua bertemu. 

...🍂...

"Thalita,"

Langkah kaki Thalita berhenti, saat mendengar suara rendah Marlia memanggilnya dari arah belakang. 

Saat menoleh, dia melihat ibunya itu menatapnya dalam seolah tengah memikirkan sesuatu yang berat. 

Sekarang, Thalita, Marlia dan juga Edwin sedang berjalan keluar dari restoran. Tadi, Laila dan anaknya, Evan, sudah pamit pulang lebih dulu. Meninggalkan ketiganya dalam suasana agak canggung, mengingat Marlia tidak mengatakan apapun pada Thalita perihal perjodohan nya dengan Evan sebelum ini. 

"Kamu… benar-benar mau menerima perjodohan ini, kan?" tanya Marlia hati-hati, pada Thalita yang terus menatapnya untuk beberapa saat. 

Tidak segera menjawab, Thalita hanya melihat satu per satu bola mata Marlia, sebelum akhirnya tersenyum. 

"Mama pengennya gitu kan?" tanya Thalita tersenyum manis, dibalas Marlia dengan sebuah anggukan kepala ragu. 

"Ya udah, kalo itu yang Mama mau," sahut Thalita singkat, kemudian berbalik berjalan meninggalkan Marlia yang masih terdiam. 

"Lita udah nggak punya siapapun lagi di dunia ini. Semua hal yang kata orang seru juga udah pernah Lita coba. Tapi, membuat Mama bahagia, belum pernah Lita lakuin," ujar Thalita berhenti, menundukkan kepalanya sejenak, dengan posisi masih membelakangi Marlia. 

"Kalau memang pernikahan Lita dengan anaknya temen Mama itu bisa bikin Mama senang, Lita bakal coba," kata Thalita lagi, kali ini terdengar sedikit murung. "Biarpun Lita nggak yakin, apa Lita bisa bahagia ataupun enggak,"

Sejenak, Thalita merenung. Dia sudah cukup kaget dan kecewa dengan apa yang Marlia lakukan padanya. Dia ingin menyendiri dulu untuk menenangkan hati dan pikirannya dulu seperti biasa yang dia lakukan. 

Namun, suara lembut Marlia yang memanggilnya barusan membuat semua kekesalan Thalita menjadi luntur. Jiwanya yang lembek seperti kotoran ayam pun jadi goyah kembali untuk menoleh ke arah belakang. 

"Mama bilang, Lita dan anaknya Tante Laila bakal nikah 2 bukan lagi, kan?"

Thalita terbalik dan melemparkan senyum ke arah Marlia. 

"Oke, lusa Lita bakal ketemuan sama anaknya Tante Laila. Dan Lita janji, kali ini nggak akan bikin Mama malu lagi kayak yang waktu itu," ujar Thalita masih mempertahankan senyumannya sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan Marlia serta Edwin yang berdiri di belakangnya. 

......Bersambung......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!