Kampung Rentenir
Kampung tempat aku tinggal memang sedikit berbeda dan cukup unik dengan kampung lainnya yang ada di kota kami, aku tinggal seorang diri sejak duduk di bangku sekolah dasar, karena ayah dan ibuku meninggal dunia, dulunya ayah meninggal karena di kejar-kejar rentenir, bahkan sampai sekarang hutangnya masih ada dan terus berbunga, padahal ayah dan ibu sudah tiada.
Jangan tanya namaku tapi aku sendiri yang akan memperkenalkan diri, aku Tiktik, bukan tiktok apalagi tiktuk, aku manusia, dan itu nama pemberian ibuku, tidak tahu kenapa dia memberiku nama yang terdengar sedikit melenceng, padahal aku ingin memiliki nama yang setidaknya lebih bagus dari kehidupanku yang mengenaskan ini, misalnya Enjely, Amelda, Claudya, atau nama lainnya yang lebih keren, tapi apalah dayaku orang se kampung sudah tahu namaku Tiktik sejak kecil, tidak bisa aku ubah lagi, meski aku sangat ingin merubahnya, bukan apa-apa tapi kalau mau merubah nama pasti harus merayakan syukuran dan acara lainnya, itu merepotkan, aku tidak punya banyak uang untuk melakukan hal seperti itu, bahkan untuk makan sehari-hari saja aku masih butuh memalak jongko di pasar, eehh... Tapi jangan salah, aku bukan preman brandalan yang kejam dan tidak ada ampun, aku hanya menjaga keamanan pasar dari para preman musiman, dan aku sudah di tugaskan langsung oleh umi Salma, kepala desa wanita pertama di sini.
Dia islami sekali dan sangat baik hati, setiap kali memandang wajah umi Salma rasanya hati terasa tentram dan perut akan kenyang, ya tentu saja setiap bertemu denganku umi Salma selalu memberiku makan, jadi pasti perutku kenyang tiap kali bertemu dengannya.
Dia tidak punya anak dan suaminya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, jadi bisa dikatakan beliau ini ibu kepala janda, ehh..salah, maksudku ibu kepala desa.
Selain ada umi Salma yang baik hati dan memberiku pekerjaan di pasar, di kampung yang isinya bedebah semua ini ada juga rentenir sialan yang sangat merajalela, hampir semua warga di kampung ku ini semuanya adalah rentenir bukan hanya tukang meminjamkan uang lalu harus bayar lebih saja, tetapi aku pernah di beri santunan anak yatim dari salah satu orang kaya di kampungku dan kalian tahu apa? Ya aku harus mengembalikan santunan itu kepada anaknya sendiri dengan jumlah yang dilebihkan, karena dia bilang anaknya juga sudah tidak punya ayah, jadi dia anak yatim dan harus di berikan santunan juga olehku.
Benar-benar sangat menjengkelkan bukan. Aku juga sudah sangat muak tinggal di kampung rentenir ini, semua orang di dalamnya selalu mengutamakan uang adalah segalanya dalam hidup, dan selalu perhitungan bahkan untuk hal sekecil beras, makanya aku lebih suka nongkrong di pasar dengan banyak anak buahku yang bisa aku ajak bercanda ataupun bersantai dalam menikmati hidup.
Sama seperti hari ini kejadian menjengkelkan harus aku alami lagi untuk ke sekian kalinya, di saat aku hendak meminta bayaran pajak sewa tempat di pasar, ada satu penjual yang sangat keras kepala sekali, dia terus saja tidak mau membayar uang sewa tempatnya dengan banyak alasan yang dia katakan saat itu, padahal aku tahu bahwa dia sudah mendapatkan hasil yang sangat banyak dari dagangannya tersebut, tapi dia tetap saja tidak mau mengeluarkan sepeserpun uangnya untuk membayar uang sewa yang bahkan tidak semahal harga jualannya itu.
"Pak Dodi, ayo cepat bayar kalau kau tidak mau bayar mulai besok tidak usah jualan lagi kemari!" bentakku kepadanya dengan berkacak pinggang dan sedikit menggebrak meja dagangannya saat itu.
"Maaf neng tapi bapak belum dapet banyak, lihat saja ini dagangannya belum sempat laku, masih ada lagi disana yang belum di keluarkan juga, apalagi anak bapak si Teri dia lagi demam, bapak butuh uang buat beli obatnya, bisa di satuin sama besok aja ya neng bapak janji besok kalo dagangannya laku, bakal dilunasi juga kok neng." Balas pak Dodi dengan alasan yang sama setiap hari dan penyakit anaknya yang selalu berbeda beda.
Aku bahkan sudah sangat bosan mendengar alasan sampah seperti itu. Bahkan saat ini aku sudah harus menghela nafasku dengan sabar untuk menghadapi manusia seperti ini, sebenarnya aku tidak ingin melakukan hal yang sering di lakukan oleh hampir seluruh warga di kampungku, tetapi jika bukan dengan cara ini mungkin pak Dodi yang kikir melintir ini bisa saja tidak akan membayar uang sewa kiosnya hingga dia mati.
"Hei..pak Dodi kau boleh saja tidak membayarnya hari ini tapi kalau kau membayarnya besok aku akan memberikan denda dua puluh persen atas keterlambatan kau membayarnya, bagaimana?" Ucapku kepadanya mengikuti apa yang sering dilakukan oleh semua orang disana.
Seketika pak Dodi langsung saja protes kepadaku dengan keras, matanya terbelalak lebar bahkan dia sampai menggebrak meja dagangannya sendiri saking kagetnya mendengar apa yang aku katakan, padahal jika di hitungkan atas keterlambatan yang sudah dia lakukan seperti ini selama 10 Minggu, tentu saja semua itu tidak akan cukup.
"Brak....heh neng kau mau memeras saya ya? Apa kamu tidak tahu saya ini pak Dodi pemilik jongko terbesar di pasar, istri saya juga guru di sekolah dasar Mekar Jaya, kau pernah sekolah disana kenapa sekarang berani tidak memberikan sedikit toleransi kepada saya, saya hanya pedagang kenapa harus ada denda yang mencekik seperti ini, apa kau sudah berani berlagak di pasar ini ya!" Bentak pak Dodi kepadaku saat itu.
Aku benar-benar terus saja mengeratkan gigiku dan mengepalkan kedua tanganku dengan sangat kuat saat itu.
Lalu langsung saja aku cengkram kerah pakaian pak Dodi sialan tersebut dengan sangat kuat dan bicara sangat dekat dengan wajahnya.
"Pak Dodi apa kau lupa, sudah berapa kali kau mencoba untuk menghindari ku, ini sudah sepuluh Minggu kau tidak bayar harusnya denda itu menjadi lima puluh persen, aku sudah baik tidak memberikanmu denda untuk kau membayarnya sekarang, tapi kau masih mau mengundurnya, apalagi alasan yang kau katakan sangat tidak masuk akal, apa kau pikir aku ini buta, anakmu tiap hari bermain sepeda melewati rumahku bagaimana bisa dia terus sakit setiap kali aku menagih uang sewa padamu, aku tidak akan pandang bulu pada siapapun termasuk rentenir pelit seperti dirimu, cepat bayar atau dendanya akan semakin aku naikkan!" Bentakku mengancamnya dengan keras.
Seketika pak Dodi terlihat gemetaran takut dan dia segera saja mau membayar uang sewa yang sudah dia tunggak selama sepuluh bulan itu.
"Ba..ba..baik neng, aku bayar sekarang aku bayar, le...le...lepaskan dulu ini," ucap pak Dodi yang langsung saja aku dorong tubuhnya ke belakang sedikit kuat hingga dia sempoyongan dan hampir jatuh saat itu.
Dengan cepat pak Dodi segera mengambil uang di lacinya dan aku kaget ternyata ada banyak uang disana bahkan uangnya itu lebih banyak daripada uang yang aku pegang hari ini dari hasil pembayaran sewa kios di pasar ini.
"Wahh..... benar-benar kau manusia kikir, apa kau tidak takut mati ya, dasar sini, ini masih belum semuanya ada masih kurang bayaran tiga Minggu, aku akan menagihmu besok atau lusa, dan kau tidak di izinkan untuk mengelak lagi dariku!" Bentakku sambil membelalakkan mata dengan lebar kepadanya.
Ku pakai topiku kembali dan menggunakannya dengan terbalik lalu mulai langsung pergi dari sana melanjutkan menagih sewa kios ke tempat lainnya.
"Hahayy....kenapa aku tidak membentak si tua Bangka sialan itu sejak dulu, mungkin jika aku melakukannya dari kemaren-kemaren sudah lama aku bisa gajihan dengan full dari umi Salma, aishh.. benar-benar manusia kikir itu, apa dia mau mati di kubur dengan uang apa?" Gerutuku di sepanjang jalan sambil terus menghitung hasil tagihanku hari ini dan segera memasukkannya ke dalam tas kecil yang aku selempangkan di dada.
Saat aku hendak kembali ke posko tempat aku dan anak buah lainnya kumpul, tidak sengaja aku melihat ada seorang kakek tua yang tengah di tagih hutang oleh rajanya rentenir di kampungku, yang tidak lain dan tidak bukan adalah bu Yati dia juga yang dulu terus mendesak bapak dan ibuku sampai mereka harus bekerja keras banting tulang hingga lupa makan dan tidak menjaga kesehatan, tidak bisa hidup tenang bahkan sampai meninggal dunia dan rumahku hampir saja di gusur olehnya, aku melihat dia tengah melakukan hal yang sama kepada seorang kakek yang memiliki jongko kecil di pojok pasar saat itu.
Aku tidak bisa membiarkan hal seperti ini terjadi di depan mataku tanpa aku melakukan apapun sehingga saat melihat bu Yati yang mendorong kakek tersebut sampai dia jatuh tersungkur ke dekat pembuangan sampah aku semakin marah dan emosiku tidak terkendali saat itu.
"Cepat kau bayar hutangmu, atau aku akan mengambil alih kiosmu ini, dan juga rumah serta tanah yang kau tempati!" Bentak ibu Yati di saat kakek tua itu sudah sulit bergerak akibat dia dorong sampai jatuh sebelumnya.
"Wah....wah..si Yati ini benar-benar manusia pencari gara-gara, aku tidak bisa diam saja menghadapi manusia biang kerok sepertinya." Ucapku samb segera menggulung kedua lengan pakaianku dan langsung menghampirinya sambil berjalan tegas dan mulai membantu sang kakek tua terlebih dahulu.
"Kek ayo bangun apa kau baik-baik saja?" Tanyaku pada kakek itu lalu mendudukkannya perlahan di dekat jongko nya.
"Heh...kau kenapa kau membantunya aku sedang menangis hak milikku dari manusia yang hampir mati ini!" Bentak ibu Yati sambil mendorong bahuku saat itu.
Padahal aku belum mengatakan apapun untuk melawannya tetapi dia sudah berani bermain fisik padaku saat itu.
Langsung saja aku berbalik sekaligus dan menarik tangannya lalu memelintirkan tangannya itu sampai dia meringis kesakitan.
"Aaaaa....aaa...adududuh.....hei..hei..Tiktik sialan lepaskan tanganku aaahh..kau brandal tidak tahu diri aaaahh lepaskan!" Teriak dia meringis kesakitan dan barulah aku melepaskan dia sambil mendorongnya menjauh dari diriku.
"Heh...aku peringatkan kau, jangan pernah berani-beraninya mendesak pedagang yang ada di wilayahku atau kau akan menerima akibat yang lebih parah dari ini!" Ucapku memberikan peringatan kepadanya.
Tetapi dia sama sekali tidak takut dengan peringatan yang aku berikan saat itu, dan justru malah semakin berani menantang aku.
"CK ...kau pikir aku akan takut dengan bocah ingusan sepertimu, ingat Tiktik kau masih memiliki hutang lima ratus ribu kepadaku kau masih harus membayarnya beserta bunganya dia ratus ribu!" Bentak dia kepadaku.
Lagi-lagi masalah hutang dan hutang, aku sangat muak ketika wanita sialan itu terus membicarakan hutang di hadapanku, bahkan sejak kecil hingga sebesar sekarang aku tidak pernah berhutang atau meminjam uang pada siapapun, karena aku tahu semua orang di kampung ini nyatanya adalah rentenir di dunia nyata, sekecil apapun yang kita pinjam dari mereka akan selalu harus di kembalikan dalam jumlah yang lebih dan itu sangat membuat aku emosi.
Karena tidak ingin dia terus mengungkit-ungkit hutangku aku terpaksa harus memberikan gaji yang aku punya selama dua bulan tidak aku pakai dan aku tabung untuk keperluanku kedepannya, kini harus aku bayarkan pada dia seluruhnya.
"Aishh....ini aku sudah membayar semua hutangku beserta bunga yang kau harapkan itu, jadi sekarang semua hutangku lunas padamu. Dan kau sekarang aku tidak memiliki ikatan apapun lagi denganmu, aku bebas melakukan apapun terhadap rentenir sialan sepertimu, pergi kau dari sini, ayo cepat pergi!" Bentakku kepadanya sambil memberikan uangku padanya.
"CK...awas kau jika nanti mengemis untuk berhutang padaku, aku tidak akan memberikan pinjam padamu, bocah ingusan!" Balas bu Yati kepadaku yang semakin membuat emosi.
Tapi di saat aku hendak mengejarnya bu Yati sudah langsung berlari terbirit-birit dengan penuh ketakutan saat itu, padahal aku hanya menggertak dia saja, agar cepat pergi dari tempat itu.
Tapi setelah dia pergi dengan membawa uang bekal untuk makanku tiga Minggu lagi, aku sudah langsung menjadi miskin sekarang, tidak ada uang yang tersisa di dompetku hanya selembar uang seratus ribu saja yang ada, dan tentu itu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya makanku selama tiga Minggu sampai aku bisa gajian lagi bulan depan.
"Aaahhh...sial sekali, dasar manusia biadab, kenapa aku harus tinggal di kampung yang konyol seperti ini, kalau terus begini bagaimana caranya aku bisa cepat-cepat minggat dari sini, aku sudah seperti tinggal di dalam sel saja yang terkurung dengan banyaknya rentenir dan manusia perhitungan di kampungku, benar-benar membuat kepalaku pusing." Gerutuku sangat kesal sendiri saat itu.
Tiba-tiba kakek tua tadi memanggilku dan dia malah memberikan aku beras satu kilogram, aku tersentak kaget dan sudah siap langsung berjaga-jaga takutnya ini hanya pemberian semata saja, karena aku sudah sangat mengenali sifat-sifat dari orang yang tinggal di lingkungan rentenir ini.
"Neng ini ambil saja beras dari kakek setidaknya kamu masih bisa makan," ucap kakek itu kepadaku.
"Eehhhh.....untuk apa memberiku beras, sudahlah palingan nanti aku harus balik memberimu hal lain dengan jumlah yang lebih banyak atau tidak aku harus mengembalikan berasmu lagi nantinya aaahh aku tidak mau, jadi kau tidak perlu memberikan aku apapun, jual saja berasmu itu dengan benar dan lunasi semua hutangmu pada si rentenir gila itu, atau hidupmu akan berakhir mengenaskan seperti ayahku." Ucapku padanya lalu segera pergi dari sana dengan cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments