Love Of Bad Boy
Setiap anak pasti menginginkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Namun sayangnya, tidak semua anak dapat merasakan kenikmatan kasih sayang yang lengkap dari sebuah keluarga. Begitupun dengan Omar Zen, seorang lelaki dengan postur tubuh 170cm. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia bukan anak yang cerdas. Sedari kecil prestasinya di sekolah biasa saja. Berbanding terbalik dengan Zain, Putra sulung dari pasangan Oswald Ahmed Zen dan Nuril Oshaira. Itu sedari kecil memiliki prestasi gemilang di bidang akademik. Pola pikir Pak Ahmed, bahwa nilai akademik yang selalu bagus, menjadi dokter, atau insinyur serta sekolah karena mendapatkan beasiswa prestasi merupakan definisi anak pintar. Atau dengan kata lain mereka yang meraih nilai rapor atau prestasi tertinggi setiap di sekolah. Itu semua tidak ada pada diri Zen, putra bungsunya.
Padahal bagusnya nilai raport, NEM atau IPK ketika kuliah tidak menjadi satu-satunya faktor penentu untuk kesuksesan seseorang di masa depan. Kecerdasan seseorang, itu tidak cukup dibuktikan atau dicapai melalui lembaga pendidikan dan deretan angka di raport atau ijazah. Namun, perlu proses dalam pembentukan dan penanaman nilai-nilai emosional, sebagai contoh kedisplinan,jujur, patuh/loyal, yang akan membentuk seseorang pada “kecerdasan” yang lebih kompleks ketika menyelesaikan pendidikan. Dan hal itu biasanya dibentuk di lingkungan keluarga. Malang Zen tidak mendapatkan pendidikan itu, hubungannya dengan Pak Ahmed tak berjalan harmonis. Zen seakan anak yang tidak ada artinya sama sekali bagi Pak Ahmed. Hal yang paling tak dilupakan oleh Zen dalam hidupnya saat malam hari raya Idul Fitri. Malam dimana semua keluarga bercanda tawa, berkumpul bersama. Zen justru harus pergi dari rumah.
Sebuah motor memasuki area parkir di rumah yang mewah. Tampak seorang pelayan setengah berlari ke arah pintu depan. Knalpot racing motor milik Zan bisa membangunkan penghuni rumah, bahkan bisa satu komplek. Pukul menunjukan jam 3 dini hari. Asisten rumah tangga itu sedari tadi tak tidur. Ia menanti Zen pulang. Ibu Nuril menitipkan pesan pada asisten rumah tangganya agar menunggu kepulangan Zen. Namun baru beberapa langkah kaki Zen menaiki anak tangga, ia dikagetkan dengan suara bariton kepala keluarga di rumah megah itu.
“Masih ingat pulang kamu?!” Suara Pak Ahmed yang berdiri di lantai dua seraya menatap Zen dengan tajam.
Ibu Nuril segera mendekati suaminya, ia sudah bisa menduga hal ini. Kembali akan terjadi keributan antara Zen dan suaminya. Zen berdiri terpaku di posisinya. Ia menggenggam erat kanopi anak tangga di sisi kirinya. Ia pun mengusap hidungnya dengan jari telunjuk. Seraya tersenyum mengejek, ia memprovokasi orang nomor satu dalam keluarga Zen.
“Papa mengusirku?” Tanyanya dengan tatapan tak suka pada Pak Ahmed.
“Ya, aku sudah muak melihat kelakuan mu yang hanya bersenang-senang. Kapan kamu akan menyelesaikan kuliah mu? Kau pikir aku mesin ATM mu? Tagihan kartu kredit mu setiap bulan bahkan lebih besar dari anggaran belanja dapur!” Bentak Pak Ahmed.
Suasana yang makin tegang, Zen yang sedari tadi merasa kesal. Ia baru saja dikalahkan oleh rival bebuyutannya di balap liar yang biasa ia menangkan. Baru tiba di rumah, ia kembali di bentak, di tatap dengan sarkas. Merasa kesal, ia pun berbalik dan menuruni anak tangga. Baru saja beberapa langkah, kembali ia harus menarik napas dalam.
“Heh, pecundang! Selalu lari dari masalah, dan membuat masalah!” Suara Pak Ahmed yang menuruni anak tangga.
Zen menahan gerahamnya, bulu-bulu halus pada punggungnya pun berdiri karena emosi yang sedang naik.
“Jangan pernah kembali kemari jika malam ini kamu kembali pergi dari rumah hanya karena tidak mau disalahkan!” Ujar Pak Ahmed.
“Papa!” Ingat Ibu Nuril pada suaminya.
“Jangan selalu membela anak manja mu, kita tidak mungkin hidup selamanya. Kamu pikir anak manja mu itu akan bisa hidup jika kita tidak ada?” Ucap Pak Ahmed seraya menatap tajam istrinya.
Zen berbalik dan menatap nyalang Papa nya.
“Papa pikir aku tidak bisa hidup tanpa papa?” Beo Zen.
Pak Ahmed tertawa melihat ekspresi putra bungsunya.
“Ya, Selama ini kamu seperti benalu dalam keluarga ini. Apa yang telah kamu berikan untuk keluarga ini selain rasa malu karena setiap kelakuan mu?” Kedua netra Pak Ahmed kian lebar menatap putranya.
“Baik, aku akan buktikan jika aku bisa hidup tanpa Papa!” Bentak Zen.
Baru saja mahasiswa fakultas politik itu ingin meninggalkan rumah itu, ia harus semakin menahan rasa emosinya.
“Tunggu, jangan bawa apapun jika kamu ingin pergi. Buktikan jika tanpa Papa, kamu bisa hidup dan menyelesaikan kuliah mu.” Ucapan Pak Ahmed membuat darah muda Zen mendidih.
Di kampus ia suka dipanggil mahasiswa Abadi, kini lelaki yang seharunya memberikan motivasi untuk dirinya justru merendahkan dirinya.
“Baik! Saya akan buktikan!” Ucap Zen seraya melemparkan kunci motor Honda Yamaha YZF, yang baru tiga bulan menjadi miliknya.
“Zen, Tunggu.” Teriak Bu Nuril pada putra bungsunya yang telah menghilang dari balik pintu utama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
Assalamu'alaikum
Dr Bram Aira cus kesini... ☺🙏
2023-08-10
1
abdan syakura
Assalamu'alaikum
Karya baru ni Mbak Butir...
ato lg ikutan event ya?☺️
kuy ah..baca....
2023-06-14
0
Wulan Dary
aq mampir kk butir.....🙏🙏🙏🙏
2023-06-09
0