NovelToon NovelToon

Love Of Bad Boy

Bab 1 Di Usir dari Rumah

Setiap anak pasti menginginkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya. Namun sayangnya, tidak semua anak dapat merasakan kenikmatan kasih sayang yang lengkap dari sebuah keluarga. Begitupun dengan Omar Zen, seorang lelaki dengan postur tubuh 170cm. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia bukan anak yang cerdas. Sedari kecil prestasinya di sekolah biasa saja. Berbanding terbalik dengan Zain, Putra sulung dari pasangan Oswald Ahmed Zen dan Nuril Oshaira. Itu sedari kecil memiliki prestasi gemilang di bidang akademik. Pola pikir Pak Ahmed, bahwa nilai akademik yang selalu bagus, menjadi dokter, atau insinyur serta sekolah karena mendapatkan beasiswa prestasi merupakan definisi anak pintar. Atau dengan kata lain mereka yang meraih nilai rapor atau prestasi tertinggi setiap di sekolah. Itu semua tidak ada pada diri Zen, putra bungsunya.

Padahal bagusnya nilai raport, NEM atau IPK ketika kuliah tidak menjadi satu-satunya faktor penentu untuk kesuksesan seseorang di masa depan. Kecerdasan seseorang, itu tidak cukup dibuktikan atau dicapai melalui lembaga pendidikan dan deretan angka di raport atau ijazah. Namun, perlu proses dalam pembentukan dan penanaman nilai-nilai emosional, sebagai contoh kedisplinan,jujur, patuh/loyal, yang akan membentuk seseorang pada “kecerdasan” yang lebih kompleks ketika menyelesaikan pendidikan. Dan hal itu biasanya dibentuk di lingkungan keluarga. Malang Zen tidak mendapatkan pendidikan itu, hubungannya dengan Pak Ahmed tak berjalan harmonis. Zen seakan anak yang tidak ada artinya sama sekali bagi Pak Ahmed. Hal yang paling tak dilupakan oleh Zen dalam hidupnya saat malam hari raya Idul Fitri. Malam dimana semua keluarga bercanda tawa, berkumpul bersama. Zen justru harus pergi dari rumah.

Sebuah motor memasuki area parkir di rumah yang mewah. Tampak seorang pelayan setengah berlari ke arah pintu depan. Knalpot racing motor milik Zan bisa membangunkan penghuni rumah, bahkan bisa satu komplek. Pukul menunjukan jam 3 dini hari. Asisten rumah tangga itu sedari tadi tak tidur. Ia menanti Zen pulang. Ibu Nuril menitipkan pesan pada asisten rumah tangganya agar menunggu kepulangan Zen. Namun baru beberapa langkah kaki Zen menaiki anak tangga, ia dikagetkan dengan suara bariton kepala keluarga di rumah megah itu.

“Masih ingat pulang kamu?!” Suara Pak Ahmed yang berdiri di lantai dua seraya menatap Zen dengan tajam.

Ibu Nuril segera mendekati suaminya, ia sudah bisa menduga hal ini. Kembali akan terjadi keributan antara Zen dan suaminya. Zen berdiri terpaku di posisinya. Ia menggenggam erat kanopi anak tangga di sisi kirinya. Ia pun mengusap hidungnya dengan jari telunjuk. Seraya tersenyum mengejek, ia memprovokasi orang nomor satu dalam keluarga Zen.

“Papa mengusirku?” Tanyanya dengan tatapan tak suka pada Pak Ahmed.

“Ya, aku sudah muak melihat kelakuan mu yang hanya bersenang-senang. Kapan kamu akan menyelesaikan kuliah mu? Kau pikir aku mesin ATM mu? Tagihan kartu kredit mu setiap bulan bahkan lebih besar dari anggaran belanja dapur!” Bentak Pak Ahmed.

Suasana yang makin tegang, Zen yang sedari tadi merasa kesal. Ia baru saja dikalahkan oleh rival bebuyutannya di balap liar yang biasa ia menangkan. Baru tiba di rumah, ia kembali di bentak, di tatap dengan sarkas. Merasa kesal, ia pun berbalik dan menuruni anak tangga. Baru saja beberapa langkah, kembali ia harus menarik napas dalam.

“Heh, pecundang! Selalu lari dari masalah, dan membuat masalah!” Suara Pak Ahmed yang menuruni anak tangga.

Zen menahan gerahamnya, bulu-bulu halus pada punggungnya pun berdiri karena emosi yang sedang naik.

“Jangan pernah kembali kemari jika malam ini kamu kembali pergi dari rumah hanya karena tidak mau disalahkan!” Ujar Pak Ahmed.

“Papa!” Ingat Ibu Nuril pada suaminya.

“Jangan selalu membela anak manja mu, kita tidak mungkin hidup selamanya. Kamu pikir anak manja mu itu akan bisa hidup jika kita tidak ada?” Ucap Pak Ahmed seraya menatap tajam istrinya.

Zen berbalik dan menatap nyalang Papa nya.

“Papa pikir aku tidak bisa hidup tanpa papa?” Beo Zen.

Pak Ahmed tertawa melihat ekspresi putra bungsunya.

“Ya, Selama ini kamu seperti benalu dalam keluarga ini. Apa yang telah kamu berikan untuk keluarga ini selain rasa malu karena setiap kelakuan mu?” Kedua netra Pak Ahmed kian lebar menatap putranya.

“Baik, aku akan buktikan jika aku bisa hidup tanpa Papa!” Bentak Zen.

Baru saja mahasiswa fakultas politik itu ingin meninggalkan rumah itu, ia harus semakin menahan rasa emosinya.

“Tunggu, jangan bawa apapun jika kamu ingin pergi. Buktikan jika tanpa Papa, kamu bisa hidup dan menyelesaikan kuliah mu.” Ucapan Pak Ahmed membuat darah muda Zen mendidih.

Di kampus ia suka dipanggil mahasiswa Abadi, kini lelaki yang seharunya memberikan motivasi untuk dirinya justru merendahkan dirinya.

“Baik! Saya akan buktikan!” Ucap Zen seraya melemparkan kunci motor Honda Yamaha YZF, yang baru tiga bulan menjadi miliknya.

“Zen, Tunggu.” Teriak Bu Nuril pada putra bungsunya yang telah menghilang dari balik pintu utama.

Bab 2 I am alone

Zen keluar dari rumah ke dua orangtuanya dengan hanya membawa sebuah ponsel miliknya. Ia menghubungi temannya yang bernama Zaki. Seorang sahabat juga sekelasnya yang sudah menyusun skripsi, tinggal sidang skripsi saja.

"Bro, jemput gue. Gue di pos satpam komplek perumahan di depan." Ucap Zen seraya medial layar ponselnya.

Ia berdiri di depan pos satpam. Beberapa satpam bingung,mereka juga tak menyapa Zen. Karena anak bungsu Pak Ahmed itu begitu angkuh dan sombong. Hampir 35 menit Zen pun di jemput oleh Zaki. Mereka telah tiba di salah satu tempat kawasan rumah kost. Zen pun menuju dapur ketika Zaki membuka pintu kamar kostnya.

"Lo yakin mau tinggal disini?" Tanya Zaki heran, ia melanjutkan rasa penasarannya pada ucapan Zen ketika selama di perjalanan menuju rumah kostnya.

"Iya, Sementara gue belum dapat kerjaan atau uang. Ntar Gue cari kostan sendiri. Lo keberatan gue disini?" Tanya Zen setelah menenggak hampir setengah botol minuman bersoda dari lemari pendingin yang ada di dapur Zaki.

"Bukan gitu Bro. Besok gue mau mudik, lo yakin ga mau ikut gue mudik?" Tanya Zaki.

Zen menggeleng. Ia membuka sepatunya dan melemparkannya ke sembarang tempat. Ia juga membuka baju kaosnya, dan melemparnya ke arah sofa di kamar Zaki. Ia membuka lemari Zaki dan mengambil satu kaos bola yang sedikit kekecilan untuk postur tubuhnya.

"Ya udah, terserah Lo. Gue satu minggu di kampung." Ucap Zaki.

Malam itu, sepasang sahabat itu pun tidur dengan berdesakan karena kasur Zaki yang hanya cukup untuk satu orang. Keesokan pagi, Zen mencabut kontak motor CBR milik Zaki.

"Woi! Apa si Zen! Gue buru-buru." Ucap Zaki kesal. Baru satu malam Zen tinggal bersama dirinya, ia sudah merasa tidak nyaman.

Bukan hanya itu, kamarnya yang rapi menjadi berantakan. Semua itu ulah Zen yang memang anak Mommy. Ia tak pernah membereskan kamarnya atau sekedar menata kamarnya.

"Pinjemin gue duit. Gue butuh makan, Lo pikir gue robot cuma di charge doang. Gue makan nasi." Ucap Zen dengan senyum tengilnya.

Zaki mendengus kesal. Ia pun berjinjit dan menarik dompetnya. Ia keluarkan 5 lembar uang kertas yang berwarna merah. Namun saat uang itu telah berpindah ke tangan Zen. Mahasiswa abadi itu pun tidak terima diberi pinjaman hanya setengah juta rupiah.

"Lo becanda Zak?" Ucap Zen kesal.

"Lah, emangnya mau berapa? Gue seminggu cukup segitu buat makan doang Bro." Uca Zaki kesal.

Baru ia akan memasang helmnya lagi, Zen justru menarik dompet di kantung belakang Zaki.

"Zen!" Teriak Zaki.

Zen mengambil beberapa lembar lagi hingga menyisahkan 5 lembar uang berwarna merah.

"Lo lupa selama ini di kampus yang sering bayar makanan lo siapa?" Ucap Zen seraya menyerahkan dompet Zaki ke tangan sahabat nya itu.

Zaki begitu kesal. Selama ini ia berteman dengan Zen hanya karena ia bisa memanfaatkan Zen yang tajir. Namun kali ini, Zen tak lagi berguna.

Zaki pun menyusun siasat. Satu minggu setelah mudik, waktu libur kuliah telah hampir habis. Ia pun kembali ke kost an secara diam-diam. Ia mengambil semua barang-barang miliknya, tanpa sepengetahuan Zen. Betapa kagetnya Zen ketika ia kembali dari makan siang, kost an Zaki telah kosong. Ia begitu marah pada Zaki. Ibu kost pun meminta Zen membayar uang muka jika ingin tetap tinggal disana.

"Brengsek Lo Zak. Cari mati Lo!" Ucap Zen kesal.

Saat jadwal perkuliahan telah masuk, Zen menyusuri kampus dari kantin, taman, kelas hingga ia menemukan Zaki sedang bermain bola basket bersama anak-anak ekstrakurikuler di kampus mereka.

"Bugh! Bugh!"

"Brengsek Lo Zak! Temen macem apa Lo!" Ucap Zen seraya menarik kerah baju Zaki dengan kedua tangan nya.

Dua sahabat itu bertemu tatap dengan tatapan tajam dan saling tidak suka.

Zaki menarik kerah baju Zen.

"Lo yang brensek! Dengar bro. Hidup itu keras. Ada uang Lo punya banyak teman. Ga ada uang, Lo jangan harap punya teman. You are alone!" Ucap Zaki dengan kesal.

"Buuugh! Buughh! Buugh!"

"Ok, I am alone." Ucap Zen puas karena telah membuat hidung, mata dan bibir Zaki berdarah.

Ia meninggalkan lapangan basket dengan semua mata tertuju pada dirinya. Dengan wajah tanpa dosa ia tak menghiraukan tatapan orang-orang padanya.

'Baiklah, aku sendiri. Aku akan buktikan aku bisa sendiri!' Batin Zen seraya berjalan ke arah gerbang kampus.

Bab 3 Terciduk

Merasa putus asa, Zen menghubungi Ibu Nuril. Ia tak tahu pada siapa lagi meminta bantuan, jika dulu ada neneknya yang selalu menjadi tempatnya berlindung. Kini ia betul-betul merasa sendiri. Ia sedari tadi hanya duduk di sebuah taman. Perempuan yang ia nanti kini hadir di sisinya. Tampak Ibu Nuril membawa satu ransel dan satu koper.

“Mama tidak bisa membantu kamu lebih sayang, kartu debit dan kredit milik Mama di sita Papa. Tapi, bulan depan mama akan kirim kamu lagi lewat sopir.” Ucap Bu Nuril.

Zen melihat isi uang di dalam amplop coklat yang cukup tebal. Ia pun memutuskan untuk mencari kostan yang tak jauh dari kampus. Karena ia tak ingin terlalu banyak pengeluaran, ia tahu Pak Ahmed sengaja menahan kartu debit dan kredit ibu Nuril.

“Ya Ma. Zen janji, Zen akan buktikan sama Papa kalau semua Zen bisa hidup mandiri dan menyelesaikan kuliah Zen.” Ucap Zen.

Siang itu ia bersama Ibu Nuril memcari kamar kost di sekitar area kampus. Setelah cukup lama, Bu Nuril tampak terburu-buru meninggalkan kost an baru Zen. Pak Ahmed mengirimkan pesan, suaminya mengirimkan pesan, ia melihat jika istrinya bersama putra bungsunya.

‘Lihat aja, gue bakal buktiin sama Papa. Gue bisa hidup tanpa uang dia. Gue bisa dapetin gelar sarjana Gue.’ Batin Zen selepas kepergian Mamanya.

Satu bulan berlalu, Zen merasa uang yang ada ditangannya mulai menipis, sedangkan judul skripsi yang ia ajukan sudah 4 kali di tolak oleh dosen. Saat berada di kantin, ia di kagetkan dengan Billy. Seorang teman satu angkatan namun beda jurusan. Lelaki itu mendekati Zen dan memesan makanan dan juga minuman.

“Lo udah makan?” tanya Billy pada Zen.

Zen hanya mengangguk.

“Pesan aja lagi Bro, ntra gue yang bayar.” Ucap Billy.

Zen mendengus, ia tahu jika Billy memang orang yang sombong. Sama seperti dirinya di waktu SMA. Dulu ia sering merendahkan temna-temannya yang sekolah di sekolah favorit dengan jalur beasiswa.

“Gue pesen rokok aja.” Ucap Zen yang memang melihat bungkus rokoknya yang seharga 45ribu tinggal sebatang.

Kebiasaan hedonnya terpaksa berhenti, Zen biasa menggunakan vape atau yang lebih sering disebut vaporizer, sebuah rokok elektrik dengan harga Rp. 500.000,00. Kini ia hanya bisa menikmati rokok filter yang ia rasa tidak nikmat karena rasanya yang tak memiliki banyak variasi.

Saat pesanan Billy datang, lelaki itu pun menawari Zen sesuatu yang memang sangat ia nanti.

“Lo katanya lagi butuh duit?” Tanya Billy yang menghisap Vape miliknya.

“Gue ga bisa balikin kalau Lo berniat minjemin gue.” Tolak Zen yang dari kemarin mencari pekerjaan namun beberapa teman justru menawari dirinya uang berbunga.

“Hahaha…. Lo masih angkuh juga ya Zen, kabarnya lo diusir dari rumah. Gue ga pernah minjemin uang ke teman. Gue Cuma lagi butuh orang buat urus bisnis gue.” Ucap Zaki.

Zen membuang rokok miliknya yang tinggal seujung ruas jari.

“Bisnis apa?” Tanya Zen datar.

“Jadi gini, lo cukup gabung di grub. Terus ntar lo buat rekening, dan lo aktif aja di satu grub, ntar disana lo jadi adminnya. Setiap ada orang yang transfer dana ke Elo. Lo bakal dapat 10 persennya. Intinya semakin banyak orang transfer ke rekening Lo. Semakin gede penghasilan Lo. Gimana?” Tanya Billy.

Zen merasa tertarik dengan bisnis yang ditawarkan. Bisnis yang menguntungkan dirinya, tidak perlu mengeluarkan keringat, cukup duduk bermodalkan ponsel.

“Jangan bilang kalo gue jadi perantara jual beli narkoba.” Ucap Zen curiga.

“Bukan bro, Lo Cuma bertugas menjalankan dan menerima deposit dan mengirim withdraw ke member yang mengikuti situs. Terserah lo, kemarin ada yang mau minta job ke gue. Tapi gue lebih kepikiran Lo. Secara, lo pasti udah ada rekening dan biasa dong main slot. Jadi gue sebagai koordinator ga ribet ngajarin lagi.” Ucap Billy.

Zen termenung, ia memikirkan tawaran yang diberikan Billy padanya. Ia jarang bermain slot, selama ini akun gamenya atau akun emailnya, Zaki yang sering menggunakannya. Namun merasa keuangan semakin menipis, belum lagi kondisi dirinya yang tahun depan akan di DO dari kampus. Ia pun menerima tawaran Billy. Satu bulan, dua bulan hingga hampir 5 bulan Zen begitu menikmati hidupnya tanpa campur tangan orang tuanya. Ia bisa hidup bebas dan sesuka hati. Uang mengalir deras, judul skripsi pun diterima, ia bahkan mengupah salah seorang jasa pembuatan skripsi. Kini ia hanya menikmati kehidupannya dengan ikut bermain judi online dan balap liar. Provit sehari bisa mencapai 2 juta, maka ia sebagai admin di berikan gaji oleh Billy hampir 5 juta rupiah. Ia membeli motor yang biasa ia gunakan untuk taruhan balap liar. Hingga satu malam naas, saat Zen tertidur lelap di kost annya, Beberapa lelaki berbaju hitam dan kaos, menggedor kamar Zen.

“Zen, buka pintunya.” Suara ibu kost Zen.

Saat pintu di buka oleh Zen, tangannya langsung di borgol dan ia di dorong hingga menghadap dinding. Tubuhnya di geledah beserta kamarnya. Dari ponsel, atm, buku tabungan di sita oleh polisi.

Malam itu Zen di giring ke salah satu Mapolres untuk di periksa sesuai proses hukum. Tiba di Mapolres. Kedua orang tua Zen pun dihubungi oleh pihak kepolisian.

“Apa yang terjadi dengan anak kami Pak?” Tanya Pak Ahmed yang tampak geram.

“Putra bapak dan ibu terbukti menjadi salah satu admin judi online, kami telah menahan koordinator dan rekan lainnya.” Ucap pihak kepolisian.

“Atas perbuatan tersebut, pelaku akan dikenai Pasal 27 ayat 2 jo. Pasal 45 ayat 2 UU ITE mengancam pihak yang secara sengaja mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya judi online, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah,” Jelas salah seorang polisi.

Pak Ahmed pun merasa kesal. Ia tidak habis pikir, bagaiamana bisa anak bungsunya begitu berbeda dengan sulungnya. Perdebatan terjadi antara Pak Ahmed dan Bu Nuril saat kembali ke rumah.

“Pa, Zen masih muda, masa depannya masih panjang! Papa tidak malu kalau dia sampai masuk penjara?” Tanya Bu Nuril.

Pak Ahmed tak menjawab pertanyaan istrinya. Ia ingin memberikan pelajaran kepada Zen. Ia pun menghubungi pengacara.

“Saya minta ia tetap di hukum namun usahakan hukumannya cukup ringan.” Ucap Pak Ahmed melalui sambungan telepon.

“Kita bahkan bisa membebaskan putra anda pak, saya ada jalan pintasnya. Sebelum masuk perkara ke pengadilan.” Tawar pengacara itu.

“Tidak, aku ingin dia belajar dengan kasus ini. Dia harus belajar kerasnya hidup. Usahakan hukumannya dibawah satu tahun. Aku serahkan pada mu, jangan sampai istri saya tahu masalah ini.” Ucap Pak Ahmed.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!