Bab 5 Mencari Teman

"Kamu mau tinggal dimana, Nak? bumi Allah itu luas, mama akan kesulitan mencarimu nanti. Kita bicara baik-baik dengan papa, ya," ucap ibu Nuril, menatap wajah putranya dengan pandangan sayu. Tangan yang mulai keriput itu mengelus lengan Zen lembut, berharap belaian ini membuat dia luluh.

Putra bungsu Ahmed, memandang wajah bundanya. Banyak terbersit rasa bersalah memenuhi ruang hati membuat Zen kian sesak di dera sesal. Namun, perkataan sang ayah yang menantang di masa silam, kembali memicu darah muda itu mendidih. Dia akan tetap pada keputusan awal. Berusaha mandiri hingga tegap menapak bumi dengan kedua kaki sendiri.

"Doakan saja Zen, Ma. Aku pamit, makasih atas segala bantuan dan kasih sayang Mama padaku. Zen takkan lupa," balas Zen bangkit. Dia mencium kening ibunya dan mendekap raga sepuh itu lama saat beliau menyodorkan sebuah amplop, merasakan hangat kasih sayang tulus orang tua.

Nuril tak lagi dapat mencegah, air mata pun luruh tanpa permisi melihat kepergian putra bungsu. Dia kehilangan satu jiwa akibat kekeraskepalaan keduanya. Wanita paruh baya itu melangkah gontai menuju mobil yang akan membawa dia pulang.

"Ya Robb, jagalah putraku. Jauhkan dari orang yang ingin menjerumuskannya lagi. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik penjaga amanah," gumam Nuril seraya menyeka sisa bulir bening dari ujung netra, masuk ke dalam mobil mewah.

Perpisahan sementara yang dialami oleh keluarga Ahmed Zen menyisakan banyak luka di setiap hati penghuninya. Nuril hanya berharap langkah sang putra bungsu tetap di jalan lurus meski Tuhan telah menggariskan jejak nasib setiap mahluk.

Setelah meneguhkan diri, berbekal uang terakhir pemberian sang mama, Zen mencari kontrakan di daerah ramai dan sedikit kumuh. Tujuannya satu, agar apa yang akan dia lakukan nanti tersamarkan.

Hari berganti menjadi pekan dan bulan. Zen masih kesulitan mendapatkan pekerjaan. Menjadi buruh panggul di pasar terpaksa dia lakoni sekedar untuk mencari tambahan nutrisi pengganjal perut.

Obrolan para preman kala dia pulang sore hari, menggelitik lagi nuraninya. Dia teringat Billy. Pria itu kemungkinan akan bebas dari penjara. Zen berniat mengunjungi ke lapas esok hari.

Menjelang siang, Omar Zen telah menapak pelataran Umapi, universitas mantan napi dimana dia lulus beberapa bulan yang lalu. Zen memasuki ruang besuk dan meminta bertemu Billy pada petugas lapas.

Tak lama, keduanya bertemu. Sempat saling ejek dan baku hantam ringan sebelum sipir menegur mereka. Pembicaraan penuh kode rahasia pun di lancarkan untuk menyamarkan misi.

Keduanya sepakat untuk membangun kembali masa kejayaan akan tetapi kali ini menggunakan sumber daya yang lebih canggih. Billy meminta Zen untuk menyiapkan sesuatu.

"Oke. Aku akan siapkan. Kunjungi tempat ini jika kau bebas nanti," pinta Zen, menyerahkan sebuah alamat dalam secarik kertas.

Billy membaca sekilas, dia hafal daerah itu. Seringai mengejek pun tercetak jelas di wajah tampan napi judi online ini.

"Gak salah nih? kemunduran jaman dong! gak terserang panu dan kerabatnya, lo?" ejek Billy, dia bangkit sebab waktu jenguk telah berakhir.

"Penting gue bebas lah, gak kek lo, ndekem di dalam," kekeh Zen tak ingin kalah pamor, meski keadaannya sama menyedihkan.

Zen melangkah keluar lapas dengan isi otak yang terus berputar. Bagaimana cara mendapatkan modal begitu banyak saat ini. Saat perjalanan menuju pasar menggunakan jasa tukang ojek. Obrolan ojol yang mengeluh kawannya memberi inspirasi pada Zen. Dia penasaran dengan percakapan ilmu gasak Om Gogon dan Jum di lapas, dia pun tersenyum licik di balik punggung pengemudi motor.

Omar Zen, membuat kunci letter T nya sendiri, berbekal sedikit ilmu yang di dapat di lapas, Zen berhasil menciptakan alat yang tak merusak signifikan lubang kunci saat akan menggasak motor.

Aksi coba-coba akan dia praktekkan kala kondisi sepi. Zen menyasar pertokoan tanpa tukang parkir dan tak banyak lalu lalang kendaraan. Mata elangnya jeli melihat ketiadaaan cctv di plafon bangunan. Menjelang Maghrib, calon korban pun telah diintai olehnya.

Zen mulai melancarkan aksi, degup jantung berdebar saat mendekati objek sasaran. Dia berpura mengikat tali sepatu seraya mengamati berbagi cakram sepeda motor yang berjajar. Tidak ada yang di gembok, pikirnya.

Tak lama kemudian, sebuah motor matic warna putih berlogo Yemehe, menjadi daya pikat bagi Zen sebab saat berpura hendak pergi, dia melihat wanita yang baru saja masuk salon itu tak mengunci stang.

Hanya butuh waktu sepuluh detik, Zen berhasil menggasak kendaraan milik wanita tadi, sebab kecerobohannya. Tawa riang memecah angkasa petang itu musabab aksi perdananya berhasil.

"Guyssss!!! Gue berhasil!!" teriak Zen, sedikit merasa bangga.

"Sab-leng emang, tapi gimana ya? terpaksa!" gumam Zen, merasa apa yang dia lakukan mulai kelewat batas.

Kini, Zen membawa motornya ke sebuah bengkel gelap. Mempreteli semua komponen dan menjualnya secara terpisah untuk menyamarkan aksi.

Langkah pertama telah rampung, dia membutuhkan kawan untuk melanjutkan aksi, sebab bisnis kali ini membutuhkan dana besar. Omar Zen perlu seorang yang gesit melajukan kendaraan apabila mereka tertangkap basah nanti. Zen akan merekrut anggota dari para anak jalanan atau bahkan pemuda sepertinya yang biasa melakukan trek-trekan liar.

Tengah malam nanti, Zen akan menjadi penonton balap liar di salah satu kawasan belakang gedung GOR yang terbengkalai.

Baru saja kaki panjang itu berhenti dan mengamati situasi. Peluit panjang polisi dan satpol PP terdengar. Zen yang tak siap, kelimpungan berlari tanpa arah hanya ikut gerombolan massa.

"Ikut gue!" seru sebuah pengendara motor, menarik jaket Zen hingga dia hampir terjungkal.

"Hah!" sahut Zen, cengok. Antara panik dan bingung.

"Buruan napa!!!!!" sentaknya lagi, meminta Zen segera naik.

Putra bungsu Ahmed, tak menyiakan kesempatan emas. Dia menaiki sepeda motor Yinja 250cc dan tak lama melesat cepat meninggalkan lokasi hingga memicu adrenalin.

Tiada percakapan di antara keduanya, hingga pria itu menurunkan Zen di sebuah pedestrian.

"Thansk, Buddy!" ucap Zen, menepuk lengan pemuda asing. "Aku Zen, tadi liat kamu keren di sana," imbuhnya basa basi.

Pemuda itu hanya menyeringai di balik helm fullface. Zen menilai, dia bukan dari kalangan biasa jika menilik kostum dan motor yang di kenakan. Mungkin seseorang sepertinya.

"Gue Aldrich. Ngapain Borju di sana? lo anak baru kan?" tebak Al pada Zen, masih duduk di atas motor dan bersedekap.

"Ehm, mau lihat dan nyari yang bisa buat partner adu nyawa. Nantang malaikat maut, lah," kekeh Zen, memicu penasaran.

"Maksud lo? gue tahu, lo bukan orang kismin, mana ada pake jaket ginian. Sebutkan dengan jelas tujuan lo," desak Al kemudian.

Zen menjelaskan sekilas rencananya pada Al, dan dia mendapat jawaban yang di mau.

"Gue ikut!" ujar pemuda tampan. Uluran tangan dan tos sebagai ikatan perjanjian pun mereka lakukan.

"See you,Tomorrow!" kata Zen, setelah keduanya bertukar nomer ponsel.

.

.

_________________

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

Support karya kami berdua...?
mksdne opo, Thor???

2023-08-12

0

Wulan Dary

Wulan Dary

😭😭😭😭😭😭ah...kan

2023-06-09

1

naynay

naynay

semangat thor

2023-05-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!