KINASIH 4

Tempat yang aku pijak sekarang memiliki empat bangunan yang masing-masing terhubung dengan jalan setapak berlantai klasik yang membelah rumput hijau.

Rumah utama di bangunan paling depan menjadi rumah pribadi Kaysan sebagai anak tertua Adiguna Pangarep Hadiningrat, dua bangunan di samping kanan kiri yang memanjang ke belakang menjadi bagian adik-adiknya—bangunan di samping kanan di tempati Nanang. Sementara bangunan batu bata paling belakang menjadi tempat tinggal para pelayan kami dan penyimpanan barang-barang. Di belakangnya ada lapangan olahraga yang dikelilingi pepohonan besar sebagai perindang dilengkapi jalan berkerikil yang menghubungkan.

Aku berhenti, bersembunyi tak jauh dari tempat tiga orang dewasa menyaksikan dua bayi kembar merangkak di atas rumput hijau. Di tengah-tengah bangunan ini memiliki kolam ikan koi dan air mancur. Taman pribadi kami.

“You're a lovely man. A sweet home. Menjadikanku dewasa dengan suka cinta dan tawa. Om jangan tersesat, ada kami yang menghangatkanmu.” Lilah menepuk bahunya.

Dengan pasrah, Nanang menyandarkan kepalanya di sana. Pria berusia 52 tahun itu sedang berkeluh kesah tanpa suara. Manja sekali.

Terbit senyum di wajahku, rupanya Nanang lebih nyaman dengan teman masa mudanya. Anakku yang slalu menerima yang terbaik darinya. Dalam benak aku berharap Dalilah bisa membalas momen yang Nanang berikan kepadanya waktu kecil dengan sabar.

Ada keras kepala yang sukar pudar dalam turunan Trah Adiguna Pangarep. Keras kepala dalam mendidik sekaligus darah leluhurnya tiada bisa di kikis.

“Gusti...” Aku berjingkat kaget sampai terhuyung-huyung ke samping, tanganku terangkat menyingkirkan kucing peliharaan Nanang yang mencelat dari jendela, cakarnya mencengkram sanggul rambutku yang berhias tusuk konde motif gondang-gondang.

“Piye to iki...” ( Gimana sih ini... )

Meong... Meong...

“Yungalah... Nang... Kucingmu iki lho kurang ajar.” seruku sembari menarik kucingnya yang semakin kutarik semakin mencengkram di jaring sanggulku.

“Nang...” seruku.

Tawa Dalilah dan Ningsih terdengar terpingkal-pingkal setelah melihatku ngenes.

“Tulungono, ibu.” ( Tolonglah )

Dalilah dan Nanang berdiri, sekilas aku melihat senyum samar terbit di wajah Nanang sebelum ia berjalan ke arahku.

Bayangannya menyentuhku, sementara sorot matanya mendarat ke kucingnya yang bernama Chiki tangannya terulur. Nanang mengambil kucingnya sembari berdecak-decak dengan mudah.

Aku merapikan rambutku yang semrawut seraya mendengus.

“Minta maaf!” kataku jengah namun sebal.

“Maksud bunda kucingnya apa om Nanang yang minta maaf?” sahut Dalilah yang meredakan tawanya susah payah di samping Nanang. Di belakang jauh menjaga si kembar, Ningsih meringis lebar-lebar.

“Bisa di wakili! Tidak pernah kepalaku dihinggapi kucing, brutal sekali kelakuannya.”

Nanang menentang tatapanku seraya menjulurkan tangan kucingnya. Mengajak salaman.

Aku mendelik, yakin ini salaman dengan kucing? Kenapa mendadak rasanya jadi konyol.

“Ayo, Bun. Kucingnya sudah bersedia minta maaf.”

Ucapan Dalilah menyentil ku bagai cakar kucing menyentuh kulit. Aku memalingkan wajah dengan ekspresi jengkel-jengkel geli sambil menggenggam tangan kucingnya yang mengeong.

“Chiki minta maaf budhe.” kata Nanang dengan suara setengah mungkin.

Aku mengangguk, melepas tangan kucing itu seraya minggat dari tempat yang membuat mereka bisa menduga-duga aku sedang apa di samping rumah di belakang pohon kepel. Tidak lucu jika Nanang menduga aku mengintipnya.

“Ngurus rambut, ngurus kantor, ngurus mas Kaysan, sekarang punya urusan dengan kucing. Hidupku meriah sekali, Gusti.”

Mbok Ajeng membuka pintu belakang rumah utama lebar-lebar. “Bisa saya bantu, Ndoro?”

“Saya butuh menyendiri. Jangan ada yang mendekati sa—.”

“Bunda.”

Kepalaku menoleh, Dalilah mengangkat tangannya, wajahnya cengengesan menghampiriku padahal aku hendak menyembunyikan kekacauan ini di kamarnya.

“Bunda sakit nggak? Kata om kalo ke cakar kucing harus di basuh air mengalir langsung.”

Aku menghela napas, “Yang sakit harga diri bunda. Kucing lho itu yang nangkring di kepala ibu. Mana pernah ada yang berani menyentuh kepala ibu kecuali ayahmu.”

Bola mataku yang harus di bantu kacamata untuk memperjelas penglihatanku mengerjap.

“Wadududu... Sadis sekali.” Dalilah menyunggingkan senyumnya yang berseri-seri seakan menyiratkan kesenangan yang berarti.

“Tapi tadi om Nanang kelihatan lebih berwarna, terima kasih bunda.”

Detik itu juga, kutatap mata indah Dalilah lalu mengembuskan napas panjang. Cukup lama aku tidak memberi tanggapan atas pernyataan itu tetapi baguslah sedikit saja kekonyolan tadi membuatnya tidak loyo.

“Bunda harus ngurus rambut. Kamu temui Ayahanda di kamar, ada Jati dan Manda di sana kalau belum keluar.”

“Aku bantu Bunda saja.” Dalilah mengandeng tanganku seraya mengayunkan tangannya.

Masuk ke kamar, kaca oval di meja rias antik langsung memantulkan tubuh kami yang ramping berkebaya.

“Ningsih ke mana?” tanyaku sembari duduk di kursi persegi.

“Ngurus si kembar, siap-siap sarapan sama om terus mandi.”

“Kucingnya?”

“Di masukin kandang. Biar nggak Bunda usir katanya om tadi.”

Aku menyunggingkan senyum sembari melepas tusuk konde dan penjepit sanggul.

“Mana berani bunda mengusir kucingnya, nanti Bunda kualat. Repot sendiri nanti. Pusing.”

Dalilah mengambil sisir emas dari wadah kayu. Berdiri di belakangku ia menyugar rambutku dengan lembut seraya menyisirnya dengan hati-hati.

“Nggak mungkin kalau kualat, Bun. Cuma om Nanang pasti cemberut setiap hari, tambah bikin susah hati bunda.”

Selaku anak sulungku yang telah digembleng pelbagai culture lokal dan internasional saat mengenyam pendidikan di Australia. Mengerti kisah cinta kami saat muda adalah hal lumrah baginya.

Aku menegakkan tubuh, hanya takdir baik yang bisa menyulap menyelamatkan suasana hati Nanang dan kami semua.

“Bunda juga tidak paham, Lil. Kenapa takdir suka main keroyokan, padahal ibunda tidak sekuat itu.”

Dalilah mengumpulkan rambutku dan menjepitnya dengan hair pin.

“Jalani saja, Bun. Yang penting tetap waras dan sehat.” Dia tersenyum sembari meletakkan sisir emas kembali ke wadah kayu. “Terus kabar baiknya semalam aku sama mas Jati memutuskan untuk tinggal di sini. Anak-anak nyusul setelah pulang sekolah.”

Aku cuma bisa mendesah panjang. Anak-anak kumpul semua? Keceriaan di rumah ini semoga hidup kembali meski punggungku lekas pegel kembali.

...-----------...

Terpopuler

Comments

may

may

Brutal kayak bunda jani😂

2023-11-21

0

ummu rekyhan

ummu rekyhan

mengko akeh sing mijeti kanjeng bunda...anak mantu cucu ponakan... 😊🥰

2023-08-10

0

ummu rekyhan

ummu rekyhan

😺🐈😻

2023-08-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!