KINASIH

KINASIH

KINASIH 1

...( KINASIH - Yang Terkasih )...

...Prahara cinta trah Adiguna Pangarep Hadiningrat yang tak pernah usai....

...***...

Pada pagi yang cerah sehabis hujan deras yang mengguyur taman pribadi rumah utama keluarga Adiguna Pangarep di jantung kota Yogyakarta, tanpa alas kaki aku membelai segarnya rerumputan yang basah seraya memandangi sebuah pemandangan langit yang membentang dengan mega-meganya yang putih menyerap keindahan sang surya.

”Minyak cem-cemannya, Ndoro.” Ningsih, pelayan pribadiku menyerahkan cawan kaca sembari membungkuk sopan di sampingku.

“Saya masih tidak menyangka Sakila meninggalkan kedua anak kembarnya, anak saya tambah banyak, Ning.” Aku meraih cawan minyak cem-ceman itu seraya duduk di bangku taman yang di naungi kanopi bunga melati Thailand yang sedang berbunga lebat.

“Ndoro tidak ikhlas ngasuh keponakan sendiri?” Ningsih yang memakai terusan daster batik cap yang kami beli di pasar Beringharjo meraih Anjani dari stroller bayi.

“Bukannya tidak ikhlas, hanya saja rasanya apa yang saya alami sekarang seperti yang di alami Nanang dulu waktu muda, Ning. Baca buku diary saya kamu, biar tahu.”

“Itu privasi, Ndoro. Ningsih tidak berani.” Ia yang aku pilih menjadi pelayan pribadiku setelah Citra pelayan lama menikah dengan anak angkatku Bimo—pengawal Dalilah saat SMA menggelengkan kepala. Belum lama Ningsih menginjak megahnya rumah tua ini dan mengetahui cerita-cerita gelapku bersama Nanang.

Tanganku terjulur, menerima Anjani dan menimangnya sementara Ningsih menimang Anjana yang rewel meminta susu. Di dekat stroller, pengasuh si kembar yang menunggu gegas menghangatkan donor ASI dari yayasan yang di kelola oleh mantuku, Jati.

“Buku diary itu sudah uzur seperti saya. Sudah menguning, rapuh, isinya juga sudah tidak penting dan seprivasi dulu.”

Aku mengoles minyak cem-ceman kelapa asli yang di campur dengan kemiri dan zaitun dari cawan seraya mengurapi rambut Anjani yang tipis biar rambutnya tumbuh legam dan tebal.

Sejak Dalilah lahir hingga anak kelima Nanang lahir aroma minyak cem-ceman ini slalu sanggup menyeretku pada bayang-bayang peristiwa yang telah aku lewati selama berjuang di rumah ini.

Dari naluriku senantiasa bergaung sabda yang menuntunku pada kebaikan dan ketulusan. Kiranya perbuatan itu membuatku semakin waskita, aku senang melakukannya, namun jika takdir menyeretku pada peristiwa lama yang meminta balas saat ini. Sudah habis air mataku sampai di posisi ini.

Mengasuh Anjani dan Anjana seperti anak sendiri di tengah kondisi mas Kaysan yang sudah setahun lebih menderita radang paru-paru akut rasanya seperti berada di tengah situasi yang tidak pernah aku bayangkan betapa rumitnya langkah ini.

Andaikan kalian tahu, beban di pundakku masih sama seperti awal-awal aku menginjak rumah ini. Aku menangis dalam senyuman.

“Ya nanti Ningsih ambil buku diary-nya, Ndoro. Sekarang gantian, Anjana yang di kasih minyak cem-ceman. Sudah kenyang ini.”

“Saya ini gething sebenarnya sama Nanang, ngasih nama anak kok harus Anjani dan Anjana, biar apa gitu lho. Mentang-mentang budhe-nya yang ngasuh, terus di sama-samakan.”

Aku menatap mata bening Anjani yang mirip dengan Nanang, mata itu, di usiaku yang sudah tua rasanya mata bening anak ini membawaku pada puluhan tahun yang lalu. Mata bening Nanang yang menatapku penuh cinta.

Ningsih mendesis lalu menggelengkan kepala seperti mengusir godaan untuk berceloteh panjang, menasihatiku.

“Sudah dong, Ndoro. Kalau ikhlas jangan banyak gersulo. Semua itu kan sudah di atur yang Kuasa.” Ningsih menaruh jari telunjuknya seraya meraih Anjani dari dekapanku seraya menyerahkannya pada pengasuh si kembar dan menyerahkan Anjana kepadaku.

Aku mengurapi rambut Anjana, anak terakhir Nanang dan Sakila memiliki berat badan rendah dan lahir secara prematur sebab kehamilan ketiga Sakila yang obesitas mengalami preeklamsia ‘tekanan darah tinggi dan protein dalam urine yang menimbulkan hipertensi gestasional’. Kondisi gawat darurat itu menyebabkan pendarahan dan mengharuskannya operasi sesar.

Beberapa jam setelah Sakila melahirkan, komplikasi yang terjadi dan transfusi darah yang tidak lancar membuatnya kehilangan nyawa.

Aku masih ingat tiga bulan lalu Nanang tersuruk-suruk masuk ke ruang ICU, dengan tangis yang berderai-derai serupa hujan di bulan Januari, napas yang sesak tertahan wanita yang begitu dicintai tiada sambil menggenggam tangannya dengan senyum bahagia.

”Anakmu mas, lima, mirip mas Kaysan.”

Kalimat terakhir Sakila telak menghantam dadaku dan Nanang dalam sekali tembak. Tungkaiku lemas, aku bersimpuh saat Nanang bersujud sembari memukul-mukul lantai dengan pilu ketika kain putih menutup jasad Sakila. Meninggalkan kami dalam duka yang mendalam, dengan pelangi yang berpadu dengan tangisan awan.

...------...

Terpopuler

Comments

💕Rose🌷Tine_N@💋

💕Rose🌷Tine_N@💋

mampirrrr.....

2024-11-07

1

Nelly Mulyanti

Nelly Mulyanti

ya Ampyunn.. miss u soo much kk author, baru sempat buka apl oren lagi dan ketemu ini❤❤❤❤

2024-09-10

0

maytrike risky

maytrike risky

Ini kisahnya mas nanang dimana? Kok aku agak bingung yaa🙄

2023-11-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!