Aku menolak untuk putus asa meski perasaan pedih masih menggelayuti ragaku yang sudah tak sehebat dulu. Punggung gampang pegal, gigi sensitif, penglihatan berkurang, makan sudah pilih-pilih, kulit menua dan semua perasaan di dunia ini yang sudah aku rasakan membuatku berusaha lirih.
Aku tak mengerti kenapa di usia yang konon katanya sudah mendekati aroma tanah masih di beri uji kompetensi hati yang butuh kesabaran tingkat tinggi. Aku ingin menentang takdir, tapi aku tidak berani. Aku hanya hamba berselimut prahara cinta trah Adiguna Pangarep Hadiningrat yang tidak pernah usai.
Aku dibanjiri perasaan kelu, perasaanku remuk. Sepasang mata penuh cinta itu hampa hingga berbulan-bulan kemudian, Nanang kesulitan melupakan momen saat pesona Sakila yang mengangkatnya dari getirnya cintaku dan Kaysan meninggalkannya selama-lamanya.
Nanang hanya bekerja sebisanya, menghindari orang-orang yang berusaha merangkulnya, dan mengabaikan kelima anaknya.
Tidak ada senyum yang merekah di wajahnya, senyum dan canda yang kerap kali membuat rumah ini berwarna di tengah-tengah situasi paling genting di rumah ini. Dulu. Nanang telah berubah, dia mencicipi kembali patah hati untuk kedua kalinya. Patah hati yang tidak bisa ditanggung dengan mudah. Patah hati setelah mengetahui aku menjadi istri kakaknya.
Aku menatap senja di ufuk langit, di rooftop rumah Dalilah dengan kedua tangan yang tertumpu di perut. Semilir angin sore tidak menjanjikan daun jatuh ke bumi, realita cinta ini seperti segitiga bermuda.
Andaikan situasinya memungkinkan, topeng yang dia gunakan bisa aku pinjam untuk menghiburnya. Sayangnya, topeng itu sudah remuk. Aku sendiri kehilangan topengku yang memudar oleh waktu. Nanang lebih pandai dalam hal itu. Dia mengetahui lebih baik apa yang aku rasakan saat ini. Harapan tidak ada. Mustahil untuk dijembatani.
Aku menunduk, setetes air mata jatuh di punggung tanganku. Sampai kapan Gusti?
“Sejauh ini Ayahanda belum bertemu dengan om Nanang, Bunda?” tanya Dalilah sembari meremas lenganku seakan menyalurkan energi.
Aku menggeleng. Negosiator andal yang sanggup menggunakan kemampuan diplomasinya dalam urusan apa saja itu sedang isolasi mandiri di kamar yang harus menggunakan APD demi kenyamanan bersama. Sementara sudah lama kami pisah ranjang, tepatnya saat Kaysan mulai menunjukkan tanda-tanda awal radang paru-paru dengan di awali dengan demam berhari-hari dengan batuk berdahak dan berdarah.
Kamu berpisah demi kebaikan kami. Droplet yang keluar saat Kaysan bersin dan batuk bisa menular—meski pengobatan sudah jalan terus.
Kaysan bilang kepadaku dengan senyumnya yang masih sering membuatku malu.
“Tidur sendiri di kamar Dalilah, saya sudah tidak bisa puk-puk kamu lagi.”
Aku tersenyum tipis waktu itu, dia masih ingat kali pertama aku meminta di puk-puk. Malam pertama kami. Dan biar hatinya lega dalam menjagaku, kami berpisah sudah lama dalam kesendirian yang terpisahkan oleh virus. Awalnya aku tak mampu, berpisah dengan Kaysan menyiksaku. Aku tidak bisa berdiri dengan satu kaki. Kaysan menuntunku sampai di posisi paling mentereng di rumah dan kerajaan bisnis keluarga kami.
Namun kadang-kadang aku bisa melihatnya dari jendela kaca, terbaring lemah ia di kasur meski senyumnya slalu ada untukku. Jangan menyerah mas.
Aku tidak ingin membebaninya dengan situasi rumah yang terjadi. Maka aku tersenyum semringah dan saban kali aku bersama Anjani dan Anjana aku ceritakan pengalaman bersama si kembar tanpa memberitahu keadaan Nanang saat ini. Walau pun sedikit banyak Kaysan tahu, ia yang mendengarnya mengacungkan jempol. Ah dia... si irit bicara. Tambah irit ketika sakit, sungguh matahariku hilang dari rotasi.
“Om-mu masih sulit di gapai, di dekati saja langsung mencelat pergi. Kucing-kucingnya bagaimana? Sehat?”
Dalilah tidak bisa tidak senyum. Selusin kucing peliharaan Nanang yang tidak bisa tinggal semuanya di rumah utama terpaksa kami titipkan di rumahnya.
“Sehat, Bunda.”
“Baguslah, jangan sampai kucingnya sakit, om-mu bisa-bisa tambah sedih. Kalau perlu Jati suruh cari dokter hewan untuk mengontrol kesehatan.”
“Ibunda perhatian banget.” ledek Dalilah sambil memelukku dari belakang. “Aku kehilangan om, kehilangan senyum dan semangatnya ”
Aku mendekap tangan Dalilah sembari mengangguk samar.
“Kamu datang ke rumah, ajak om-mu ngobrol hal-hal ringan. Jangan lupa kasih tahu dia punya anak lima, lima, masih kecil-kecil semua. Jadi kamu harus semangat bujuk om-mu untuk kembali menjadi matahari.”
Dalam sunyi dan pudarnya sinar matahari yang tenggelam, Dalilah terdiam meski kepalanya beristirahat di bahuku.
Aku menekuk lengan seraya mengelus rambutnya. “Yang kuat, kamu satu-satunya yang Ibunda harap bisa menemani kesendirian Nanang. Sementara Ibunda tidak mungkin, Pandu apalagi, dia cuma berani ngintip kamarnya lalu tidur nemenin Jalu.”
“Lilah usahakan, Bunda.”
Rinjani mengecek arlojinya. Sudah cukup lama ia meninggalkan rumah dan anak-anaknya.
“Ya sudah, bunda tunggu di rumah. Temui Ayahanda juga. Ibunda gemas dengan ayahmu, kemarin beliau menolak minum obat. Infus intravena saja di tolak, katanya tangannya kebal.” Aku menggelengkan kepala sembari memutar tubuh.
”Minta Jati cari dokter yang cantik, biar ayahmu seneng di perhatikan dokter muda.”
“Maksudnya Bunda biar Ayahanda cuci mata?”
Aku menutup mulutku, menyembunyikan senyum geli. Yang aku mau mas Kaysan semangat menjalani pengobatannya, jika sudah menyerah begitu, intuisiku mati-matian mengusir sesuatu yang buruk akan terjadi. Sia-sia pengobatan yang sudah dijalani selama enam bulan penuh di Singapura.
Dalilah terlihat berusaha keras tampil tenang dan tidak menunjukkan perasaannya. Hanya saja wajahnya perlahan gelisah dan menundukkan kepala.
“Ayahanda pernah telepon Lilah, Ayahanda sudah lelah, Bunda.” Dalilah mengangkat wajahnya, menatapku seraya meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
Jantungku lantas bergerak begitu aktif seakan mendapat vonis mati. Tubuhku mematung, kegelisahanku tidak terhingga. Dan kematian yang terduga kapan datangnya menghantuiku.
“Ibunda tahu maksud Ayahanda. Ayahanda—”
Keras kepala aku menggeleng, slalu ada jalan keluar. “Ayahanda hanya butuh perhatian. Kalian semua mulai rutin menjenguknya. Apa pun yang terjadi, berjanjilah.” kataku sungguh-sungguh. Dalilah mengangguk cepat tanpa pikir dua kali.
Kembali aku menatap ufuk yang membiru. Andai bisa mengulang masa itu. Aku sangat ingin semua yang dipaksakan, bisa mencari jalan keluar terlebih dahulu sebelum memaksakan semua kehendak rasa. Aku tidak keberatan untuk melakukan itu di atas segala rasaku. Sebab aku merasa seperti bulan dikekang malam.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
nadya
lama ga buka apk,tiba2 kangen dalilah.. ternyata banyak kisah lain yg blm terbaca. dan sampailah pada cerita yg terasa pilu di awal. meskipun aku pendukung garis keras jani nanang tapi sakitnya mas kaysan mampu membuat derai airmata, ada rasa tak rela
2024-11-29
1
Anna Nurhasanah
sy suka gaya bahasanya,penuh makna tp lembut
2025-02-14
0
Aya
haduuhhhh ... bab ini dari awal baca part ini, ngerangkai kata²nya itu loh, bagus bgd. ciri khas tulisan othor bgd ini, dari gw baca novel²nya. indah, damn !
2024-03-02
0