Our Long Story
Permasalahan orang kaya itu nggak akan jauh-jauh dari, 'kamu harus menikah dengan orang yang sudah kami pilihkan.'
Yaaa, sederhananya dijodohkan, jangan berpikir hal semacam itu udah nggak ada, karena ternyata masih sangat banyak.
"Pa, yang bener aja deh!" gadis yang baru pulang dan baru saja menaruh tas itu mendengus tidak habis pikir, bahkan dia belum ganti baju dan tubuhnya gerah bukan main.
"Lagi pula aku udah punya pacar, apa susahnya sih buat nunggu dia."
"Bukannya papa udah bilang ke kamu, papa tunggu dalam satu bulan ini, terus dia dateng dan nemuin papa nggak? Enggak kan! Itu tandanya dia enggak serius sama kamu, jadi udah, tinggalkan dia dan menikah sama laki-laki pilihan papa."
"Ya nggak bisa gitu dong," sela Rania, apalagi dia sudah menjalani hubungan itu dalam kurung waktu tiga tahun, nggak akan mudah buat dia, terus apa kabar juga dengan pacarnya? Bukannya sangat keterlaluan ketika Rania tiba-tiba meminta putus dan berterus terang kalau dia akan menikah dengan laki-laki lain?
Gadis itu mengurut pelan pelipisnya, semua ini berawal dari minggu lalu, ketika salah satu teman lama papa datang ke rumah dan bercerita soal anaknya, yang katanya telah kembali ke Indonesia setelah sempat menetap di luar negri selama dua tahun, sebenarnya wajar-wajar saja ketika mereka saling bercerita soal anaknya, yang nggak wajar itu ketika terbesit pemikiran untuk menjodohkan dua orang yang sebelumnya belum saling mengenal dalam benak masing-masing, kalau kata Rania, 'Apaan banget cuyy, kocak parah!' bahkan saat itu Rania sudah mengerang kesal dan mengadukan papa ke mama, sayangnya alih-alih dapat pembelaan respon mama justru luar biasa membuat Rania kaget.
"Lho, ya bagus dong, anaknya Pak Gunawan itu bukan cuma ganteng Ran, dia juga sholeh loh, mama sih nggak akan nolak kalau Pak Gunawan berniat menjodohkan kamu sama dia."
Nggak! Rania menolak, dan Rania nggak peduli gimana anak Gunawan, selagi gantengnya belum sebelas dua belas sama Lee Jeno dia masih mampu menolak dan memilih buat setia sama pacarnya kok. Lagian yang akan menikah itu kan Rania, ya harusnya yang memilih juga Rania.
"Ma, bisa nggak sih jangan gini sama aku, mama kan tahu, aku sama Bagas udah pacaran sejak lama, aku nggak mungkin ninggalin dia gitu aja, aku juga sayang sama dia." Gadis itu langsung membuntuti mamanya yang melesat ke dapur, membuat mamanya menghela napas panjang.
"Ran, jujur aja mama tuh kurang suka sama Baskara, sejak sama dia kamu sering banget pulang malem, dia juga nggak pernah ke sini buat bicarain kelanjutan kalian, kalau kata mama, dia ini sebenarnya nggak punya tujuan buat hubungan kalian Ran, jadi ya udah, dengerin kata papa kamu dan coba sama Adam."
Pundak Rania langsung lemas. Adam lagi Adam lagi. Lagi pula kan katanya Adam ini anak baik-baik, masa dia mau begitu saja dijodohkan sama Rania. Rania coba berpikir sebaiknya dia gimana? Dan gadis itu langsung tersenyum smirk, persis seperti tokoh antagonis yang telah menemukan ide cemerlang untuk menjatuhkan musuhnya.
"Kamu kenapa?" tanya mama, turut heran dengan perubahan ekspresi Rania yang berubah drastis, beberapa saat tadi dia masih cemberut, ketara sekali kalau dia kesal, dan sekarang, dia malah tersenyum mengerling, mama jadi melihat lagi sekitarnya, takut-takut kalau anaknya itu kesurupan.
"Ran,"
"Nggak apa-apa kok, aku mau ke atas dulu deh, mama lagi nggak seru belakangan ini."
Kemudian gadis itu langsung berderap ke kamarnya, dan merebahkan tubuh penatnya di sana, usianya saat ini sudah menginjak dua puluh tujuh tahun, dan mungkin, untuk beberapa orang, usia tersebut bisa dibilang sudah cukup pantas untuk menikah, tapi bukannya lucu ya ketika pernikahan dikaitkan dengan umur alih-alih persiapan yang matang?
Jujur saja kalau ditanya soal sudah siap atau belum, maka jawabanya ya belum, nyatanya Rania malah tidak punya persiapan apa-apa untuk ke arah sana, dia rasa, kalau pun terlalu dipaksakan juga akibatnya tidak begitu baik, lagi pula bicara soal menikah, nantinya kan Rania ini akan menjadi seorang istri, iya kalau dia bisa menjadi istri yang baik untuk suaminya, kalau tidak? Hhahh, gadis itu menghela napas panjang, bisa tidak sih dia mengulang waktu, kalau bisa dia akan mengulang dengan sangat jauh, kalau perlu dia ulang sampai dia menemukan dirinya yang kembali kecil.
"Nggak bisa begini sih, gue harus minta ditemuin sama Adam, dan gue harus ngomong ke dia kalau gue udah punya pacar, emang dia mau dicap sebagai orang yang ngerusak hubungan orang lain? Ewhh, kalau gue sih ogah."
"Kak bukain pintunya dong! Gue mau masuk!"
Rania memejamkan matanya erat-erat begitu pintu kamarnya diketuk dari luar, siapa lagi kalau bukan adiknya.
"Nih orang tau konsep capek ngga sih?" Kemudian gadis itu setengah mendengus ketika beranjak dan coba membukakan pintu dengan tenaganya yang memang masih tersisa, meski sepertinya sangat sedikit.
"Apaan sih? Mau pinjem laptop? Laptop lo kemana hah? Pinjem flashdisk? Gue kata juga apa? Beli! Apa pinjem cash? Lo kenapa nggak modal banget sih jadi makhluk hidup?"
"Dihh!" Revan menatap Rania dingin, lalu sekonyong-konyong dia masuk begitu saja ke kamar Rania dan duduk di depan meja rias gadis itu, tapi Revan sengaja memutar kursi, sehingga dia langsung berhadapan dengan wajah Rania yang sudah layu bukan main.
"Lo tau cowok yang bakal dijodohin sama lo?"
Rania diam, mau menjawab tidak, dia tahu, ya meski hanya sebatas nama. Dan tahu-tahu di depannya sana Revan memekik heboh.
"Dia dosen gue, Kak, gilaaa! Bisa aman posisi gue kalau lo beneran nikah sama tuh orang!"
"Dia dosen baru, tapi harus gue akui sih kalau dia cakep parah, nyampe temen-temen gue betah di kelas selagi mata kuliah dia yang berlangsung."
Terus, Revan pikir Rania peduli begitu? Gadis itu kembali mengambil posisi tidur, membuat Revan berdecak gemas.
"Ya elahhh, kusut amat tuh muka, minimal seneng lah, kata gue nihh, kalau pun lo nikah sama dia, kayaknya lo nggak rugi-rugi banget dahh, malah bisa dikatakan lo bakal untung banyak. Dia sih yang rugi." Di akhir kalimatnya Revan berkata pelan, tapi Rania masih bisa mendengar itu hingga matanya nyalang melirik Revan.
"Lagian, Kak, menurut gue Pak Adam emang lebih baik dari Kak Abas deh."
"Sopan lo banding-bandingin Abas sama Revan di depan gue begini?" tanya Rania. Dia nggak peduli sebagus apa penilain orang-orang kepada Adam, Rania aja nggak kenal sama dia, belum pernah ketemu juga, dan Rania tetap akan memilih Bagas.
"Gue nggak suka sama Kak Abas."
'Ya terus?' lagi-lagi Rania membatin, urusan Rania kalau Revan tidak suka dengan Bagas?
"Udahlah, Kak, putus aja sama dia." Revan adalah orang ketiga yang menyuruh Rania putus dengan Bagas hari ini, tepatnya setelah papa dan mama.
"Kalian tuh nggak tahu apa-apa, jadi bisa nggak sih berhenti ikut campur sama hidup gue?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments