NovelToon NovelToon

Our Long Story

Chapter 01

Permasalahan orang kaya itu nggak akan jauh-jauh dari, 'kamu harus menikah dengan orang yang sudah kami pilihkan.'

Yaaa, sederhananya dijodohkan, jangan berpikir hal semacam itu udah nggak ada, karena ternyata masih sangat banyak.

"Pa, yang bener aja deh!" gadis yang baru pulang dan baru saja menaruh tas itu mendengus tidak habis pikir, bahkan dia belum ganti baju dan tubuhnya gerah bukan main.

"Lagi pula aku udah punya pacar, apa susahnya sih buat nunggu dia."

"Bukannya papa udah bilang ke kamu, papa tunggu dalam satu bulan ini, terus dia dateng dan nemuin papa nggak? Enggak kan! Itu tandanya dia enggak serius sama kamu, jadi udah, tinggalkan dia dan menikah sama laki-laki pilihan papa."

"Ya nggak bisa gitu dong," sela Rania, apalagi dia sudah menjalani hubungan itu dalam kurung waktu tiga tahun, nggak akan mudah buat dia, terus apa kabar juga dengan pacarnya? Bukannya sangat keterlaluan ketika Rania tiba-tiba meminta putus dan berterus terang kalau dia akan menikah dengan laki-laki lain?

Gadis itu mengurut pelan pelipisnya, semua ini berawal dari minggu lalu, ketika salah satu teman lama papa datang ke rumah dan bercerita soal anaknya, yang katanya telah kembali ke Indonesia setelah sempat menetap di luar negri selama dua tahun, sebenarnya wajar-wajar saja ketika mereka saling bercerita soal anaknya, yang nggak wajar itu ketika terbesit pemikiran untuk menjodohkan dua orang yang sebelumnya belum saling mengenal dalam benak masing-masing, kalau kata Rania, 'Apaan banget cuyy, kocak parah!' bahkan saat itu Rania sudah mengerang kesal dan mengadukan papa ke mama, sayangnya alih-alih dapat pembelaan respon mama justru luar biasa membuat Rania kaget.

"Lho, ya bagus dong, anaknya Pak Gunawan itu bukan cuma ganteng Ran, dia juga sholeh loh, mama sih nggak akan nolak kalau Pak Gunawan berniat menjodohkan kamu sama dia."

Nggak! Rania menolak, dan Rania nggak peduli gimana anak Gunawan, selagi gantengnya belum sebelas dua belas sama Lee Jeno dia masih mampu menolak dan memilih buat setia sama pacarnya kok. Lagian yang akan menikah itu kan Rania, ya harusnya yang memilih juga Rania.

"Ma, bisa nggak sih jangan gini sama aku, mama kan tahu, aku sama Bagas udah pacaran sejak lama, aku nggak mungkin ninggalin dia gitu aja, aku juga sayang sama dia." Gadis itu langsung membuntuti mamanya yang melesat ke dapur, membuat mamanya menghela napas panjang.

"Ran, jujur aja mama tuh kurang suka sama Baskara, sejak sama dia kamu sering banget pulang malem, dia juga nggak pernah ke sini buat bicarain kelanjutan kalian, kalau kata mama, dia ini sebenarnya nggak punya tujuan buat hubungan kalian Ran, jadi ya udah, dengerin kata papa kamu dan coba sama Adam."

Pundak Rania langsung lemas. Adam lagi Adam lagi. Lagi pula kan katanya Adam ini anak baik-baik, masa dia mau begitu saja dijodohkan sama Rania. Rania coba berpikir sebaiknya dia gimana? Dan gadis itu langsung tersenyum smirk, persis seperti tokoh antagonis yang telah menemukan ide cemerlang untuk menjatuhkan musuhnya.

"Kamu kenapa?" tanya mama, turut heran dengan perubahan ekspresi Rania yang berubah drastis, beberapa saat tadi dia masih cemberut, ketara sekali kalau dia kesal, dan sekarang, dia malah tersenyum mengerling, mama jadi melihat lagi sekitarnya, takut-takut kalau anaknya itu kesurupan.

"Ran,"

"Nggak apa-apa kok, aku mau ke atas dulu deh, mama lagi nggak seru belakangan ini."

Kemudian gadis itu langsung berderap ke kamarnya, dan merebahkan tubuh penatnya di sana, usianya saat ini sudah menginjak dua puluh tujuh tahun, dan mungkin, untuk beberapa orang, usia tersebut bisa dibilang sudah cukup pantas untuk menikah, tapi bukannya lucu ya ketika pernikahan dikaitkan dengan umur alih-alih persiapan yang matang?

Jujur saja kalau ditanya soal sudah siap atau belum, maka jawabanya ya belum, nyatanya Rania malah tidak punya persiapan apa-apa untuk ke arah sana, dia rasa, kalau pun terlalu dipaksakan juga akibatnya tidak begitu baik, lagi pula bicara soal menikah, nantinya kan Rania ini akan menjadi seorang istri, iya kalau dia bisa menjadi istri yang baik untuk suaminya, kalau tidak? Hhahh, gadis itu menghela napas panjang, bisa tidak sih dia mengulang waktu, kalau bisa dia akan mengulang dengan sangat jauh, kalau perlu dia ulang sampai dia menemukan dirinya yang kembali kecil.

"Nggak bisa begini sih, gue harus minta ditemuin sama Adam, dan gue harus ngomong ke dia kalau gue udah punya pacar, emang dia mau dicap sebagai orang yang ngerusak hubungan orang lain? Ewhh, kalau gue sih ogah."

"Kak bukain pintunya dong! Gue mau masuk!"

Rania memejamkan matanya erat-erat begitu pintu kamarnya diketuk dari luar, siapa lagi kalau bukan adiknya.

"Nih orang tau konsep capek ngga sih?" Kemudian gadis itu setengah mendengus ketika beranjak dan coba membukakan pintu dengan tenaganya yang memang masih tersisa, meski sepertinya sangat sedikit.

"Apaan sih? Mau pinjem laptop? Laptop lo kemana hah? Pinjem flashdisk? Gue kata juga apa? Beli! Apa pinjem cash? Lo kenapa nggak modal banget sih jadi makhluk hidup?"

"Dihh!" Revan menatap Rania dingin, lalu sekonyong-konyong dia masuk begitu saja ke kamar Rania dan duduk di depan meja rias gadis itu, tapi Revan sengaja memutar kursi, sehingga dia langsung berhadapan dengan wajah Rania yang sudah layu bukan main.

"Lo tau cowok yang bakal dijodohin sama lo?"

Rania diam, mau menjawab tidak, dia tahu, ya meski hanya sebatas nama. Dan tahu-tahu di depannya sana Revan memekik heboh.

"Dia dosen gue, Kak, gilaaa! Bisa aman posisi gue kalau lo beneran nikah sama tuh orang!"

"Dia dosen baru, tapi harus gue akui sih kalau dia cakep parah, nyampe temen-temen gue betah di kelas selagi mata kuliah dia yang berlangsung."

Terus, Revan pikir Rania peduli begitu? Gadis itu kembali mengambil posisi tidur, membuat Revan berdecak gemas.

"Ya elahhh, kusut amat tuh muka, minimal seneng lah, kata gue nihh, kalau pun lo nikah sama dia, kayaknya lo nggak rugi-rugi banget dahh, malah bisa dikatakan lo bakal untung banyak. Dia sih yang rugi." Di akhir kalimatnya Revan berkata pelan, tapi Rania masih bisa mendengar itu hingga matanya nyalang melirik Revan.

"Lagian, Kak, menurut gue Pak Adam emang lebih baik dari Kak Abas deh."

"Sopan lo banding-bandingin Abas sama Revan di depan gue begini?" tanya Rania. Dia nggak peduli sebagus apa penilain orang-orang kepada Adam, Rania aja nggak kenal sama dia, belum pernah ketemu juga, dan Rania tetap akan memilih Bagas.

"Gue nggak suka sama Kak Abas."

'Ya terus?' lagi-lagi Rania membatin, urusan Rania kalau Revan tidak suka dengan Bagas?

"Udahlah, Kak, putus aja sama dia." Revan adalah orang ketiga yang menyuruh Rania putus dengan Bagas hari ini, tepatnya setelah papa dan mama.

"Kalian tuh nggak tahu apa-apa, jadi bisa nggak sih berhenti ikut campur sama hidup gue?"

Chapter 02

"Namanya Rania," kata papa yang baru saja menyerahkan beberapa foto ke Adam, di sana ada potret seorang perempuan yang tengah tersenyum dengan anggun, tubuhnya dibalut dengan dress merah sederhana, sedang senyumnya mengembang dan rambutnya yang bergelombang dia biarkan terurai, sedang difoto lain, ada potret yang di ambil secara tidak sengaja, lebih tepatnya seperti candid, di sana ada Adam ketika dia masih begitu kecil, dan seorang anak kecil yang sibuk duduk diatas trampolin, sedang gigi atasnya habis dan terlihat begitu lucu.

"Dulu kalian emang pernah beberapa kali ketemu, papa sama ayahnya Rania ini teman, jadi yaa, nggak jarang kami liburan bersama, dan tentunya dengan kamu dan Rania."

"Dan ini yang mau papa kenalkan ke kamu."

"Kamu nggak keberatan kan, kalau papa menjodohkan kamu dengan dia?"

Adam diam, dia masih sibuk memperhatikan foto Rania, dan itu membuat papa menghela napas pelan.

"Kalau memang kamu sudah mencintai wanita lain, papa nggak masalah kok, Dam, papa nggak akan maksa-maksa kamu."

"Adam nggak lagi dekat sama siapa pun, jadi nggak masalah."

Dan melihat foto tadi membuat Adam mengingat beberapa hal.

"Nanti kalau udah besar, janji yaaa, kakak bakal nikahin aku, terus kita buat rumah yang besaaarrr bangett."

Celotehan itu...

"Ya kak Adam, janji yaaaa sama Raraa!"

Adam tersenyum, Kira-kira saat itu umur Rania berapa sih? Umurnya juga berapa? Bukannya gimana-gimana, tapi kalau dia ingat lagi, dia jadi gemas sendiri, bagaimana seorang anak kecil yang belum genap sepuluh tahun sudah membahas soal pernikahan.

"Besok kita datang ke rumah Rania dan meluruskan soal ini."

"Iya Pa."

°°°

Revan hampir menyemburkan susu yang dia minum ketika dia keluar kamar dan berpapasan dengan Rania, bukannya apa-apa, tapi ada angin dari mana sampai Rania berdandan ala-ala metal begitu?

"Lo—punya masalah hidup apa sih?" tanya laki-laki yang lebih muda, membuat si perempuan menatap rambutnya sekali lagi dan tersenyum lebar ke Revan.

"Kenapa sih? Cantik kali kalau gue begini, apa kurang tebel ya make up gue?"

"Kak Adam udah dibawah nungguin lo, lo gila hah?"

"Lho, ya justru bagus dong kalau dia ngelihat gue begini, ntar kalau gue bagus-bagusin image gue di awal, takutnya dia kaget pas udah nikah, jadi lebih baik dia tahu dan mempertimbangkan lagi niatnya."

Revan menahan lengan Rania ketika gadis itu akan beranjak.

"Lo nggak lagi jadi diri sendiri, lo cuma berusaha ngebuat dia ilfil kan?" Jangan coba membodohi Revan deh, nggak akan mempan, lagian tampilan Rania saat ini bukan gaya dia, sejak kapan coba dia suka metal begini? Wong lagu-lagu di hpnya saja full indie.

"Ganti dulu sana, kasian gue sama papa kalau sampe jantungan gegara penampilan lo."

"Paan sih, lebay lo!"

Rania menepis tangan Revan, membuat Revan mengigit bibir bawahnya dengan sedikit berdecak, memang Rania itu keras kepala, dan seperti dugaan Revan, semua orang yang ada di ruang tamu dibuat melongo dengan penampilan Rania, bahkan papa sampai tersedak dengan kopi yang baru dia minum, mama apalagi, sedangkan Pak Gunawan, dia melongo, mungkin Adam adalah satu-satunya orang yang reaksinya tidak berlebihan, dia hanya menatap Rania dengan pandangan yang biasa saja, tidak kaget, sedangkan Revan, laki-laki itu menepuk pelan jidatnya dari atas sana.

"Eheheh, maklum ya, Om, namanya juga bergaul nya sama anak band, jadi ya gini," kata Rania ketika dia duduk, dan dia menatap Adam dengan senyum lebar, dalam hati gadis itu tersenyum lebih lebar lagi.

'Mampus, ilfil-ilfil dah lu!'

"Anak band tuh pergaulannya bebas banget Om, kayak saya nih misalnya, duhhh, itu kalau malam minggu ya, bisa nggak pulang loh saya."

"Ran," mama coba memanggil gadis itu dengan sedikit berbisik, dan ketika Rania menoleh, Rania tahu bahwa tatapan mama adalah sebuah peringatan, tapi dia tetap gencar dengan aksinya.

"Saya juga hobi mabuk-mabukan gitu, yaa namanya juga masih muda kan, intinya mahh nggak sampe narkoba aja."

"Kamu nih ngomong apa sih, Ran?" tanya papa, yang nyalang menatap Rania karena tidak tahan lagi dengan celotehan gadis itu, kenapa harus mengarang cerita? Bahkan Gunawan sampai meneguk ludahnya berkali-kali, mungkin sekarang ini dia tengah berpikir kalau menjodohkan Rania dengan Adam adalah awal dari kesalahan yang sangat fatal, apa artinya Rania berhasil? Tapi di sebelah Gunawan Adam tidak bereaksi apa-apa, bahkan dengan santainya dia minum, seolah bukan masalah besar kalau dia punya calon istri yang pergaulannya bebas dan hobby mabuk-mabukan.

'Nggak bener nih orang!'

"Saya rasa kamu sudah tahu apa yang membawa saya datang ke sini. Dan setelah saya bicara dengan papa kamu, beliau setuju kalau saya melamar kamu." Di beberapa detik setelahnya Adam berterus terang, dan dia tahu kalau Rania terkejut dengan perkataannya barusan, sebab bukan ini kan yang Rania harap dengan penampilannya tadi?

"Saya mau tanggal pernikahannya dipercepat."

"Heh? Lo gila?"

Sudahlah, mama cuma bisa memejamkan matanya kuat-kuat, malu sekaligus sungkan dengan Pak Gunawan, meski di depannya sana Pak Gunawan malah terkekeh.

"Saya setuju dengan Adam." kata Pak Gunawan.

°°°

"Kenapa kamu masih mau menikahi Rania Dam? Kamu yakin kalau dia orang yang tepat buat kamu? Dan yang tadi itu, apa kamu nggak keberatan?"

Adam yang tengah menyetir menyempatkan diri untuk menoleh ke papa dengan seulas senyum tipis.

"Adam tahu kalau sebenarnya dia bukan orang yang seperti itu, yang tadi cuma upaya dia biar Adam mengira kalau dia adalah gadis yang buruk."

Papa diam beberapa saat, dan dia hanya sibuk memperhatikan Adam dari sisi sana, kalau Adam memang tidak keberatan ya perjodohan ini akan dia lanjutkan, lagi pula papa juga lebih percaya dari apa yang orang tuanya katakan soal Rania dari pada perkataan dari Rania sendiri tadi.

Semuanya memang seperti dibuat-buat.

Sementara di ruangan lain, Rania menghentakkan kakinya berulang kali dengan teramat kesal, apa-apaan sih, dia sudah totalitas begini tapi hasilnya malah seperti itu.

"Nih orang ngebet banget pengen nikah heran! Lagian kan bisa nikah sama orang lain, kenapa mau-mau aja dijodohin sama gue coba? Udah cosplay jadi cewek nggak bener juga tetep aja dia mau. Emang pesona gue nggak bisa ditolak apa gimana sih?"

Rania jadi bingung sendiri dengan Adam. Dan sekarang dia malah kesusahan menghapus make up, mana wajahnya terlihat sedikit seram lagi kalau dandan begini.

"Tapi Ran, lo harus inget, banyak jalan menuju roma." Gadis itu bicara sendiri dengan pantulan dirinya di cermin.

"Kalau cara ini gagal, kan bisa pake cara kedua? Harus sih, harus pake cara kedua."

"Liat aja yaa, gue bakal ngebuat lo berubah pikiran dalam waktu dekat, jadi jangan berpikir kalau gue nyerah gitu aja."

Chapter 03

Rania mengernyitkan keningnya heran begitu dia keluar kantor dan dia langsung mendapati sosok Adam. Maksutnya tuh apa sih? Jelas gadis itu menggerutu. Apa Adam betulan menunggu dia? Tapi kalau bukan dia juga siapa lagi? Memangnya dia punya kenalan lain selain Rania di sini? Rania memperat pegangan tasnya dan melangkah dengan buru-buru, sedang beberapa orang yang berlalu lalang ikut memperhatikan Adam seakan-akan mereka tersihir dengan pesona laki-laki itu, padahal sih kalau kata Rania Adam biasa-biasa saja tuh! Nggak yang ganteng-ganteng banget, yaa masih wajar lah gantengnya. Orang-orang saja yang berlebihan.

"Lo ngapain ke sini sih?" tanya Rania, dari nadanya sudah sangat tidak enak, ya bukannya gimana-gimana, tapi kalau sampai Baskara juga ke sini harus berkata apa Rania ke pada laki-laki itu?

"Lagian gue juga bisa pulang sendiri, lebay tau nggak?" Lalu sekonyong-konyong Rania malah masuk ke dalam mobil Adam, membuat Adam memiringkan kepalanya sejenak, nyaris seperti anak kecil yang tengah bingung dan mencoba memahami keadaan.

Sebentar,

Adam kira setelah marah-marah Rania akan meninggalkan dia dan mencari taksi untuk pulang, atau paling tidak dia akan naik ojek, tapi diluar dugaan dia malah masuk ke mobil Adam begitu?

"Saya kira kamu bakal naik ojek," kata Adam, yang setelah itu dia menarik gas dan menyempatkan waktu sebentar untuk melirik Rania, tapi yang dia lirik hanya berdecak pelan.

"Ya tadinya gue emang mau naik ojek, tapi ada yang mau gue bicarain sama lo, jadi ya udah gue masuk aja ke mobil lo."

"Soal?"

"Kenapa lo mau-mau aja dijodohin sama gue?"

"Cari pacar sanaa, terus nikah sama pacar lo, jangan ngebuat hidup gue jadi ribet gini deh!"

"Gue udah punya cowok dan nggak mungkin gue malah nikah sama orang lain."

"Gue juga nggak cinta sama lo, kenal aja baru kemarin, ujug-ujug nikah tuh gimana coba maksutnya?"

"Woii! Denger gue ngomong nggak sih?" Rania makin tersulut emosi, sebab dari tadi Adam malam diam saja, tapi begitu dia mengeraskan suaranya laki-laki itu terdengar menghela napas panjang.

"Ya gimana mau ngomong, orang kamu ngomongnya nggak berhenti-berhenti dari tadi." Laki-laki itu menanggapi santai. Dia nggak maksut membela diri kok, dia hanya menunggu jeda, tapi sepertinya Rania masih punya banyak uneg-uneg yang mau dikeluarkan, jadi ya sudah, Adam memilih untuk menunggu sampai gadis itu selesai, tapi ternyata begitu pun Adam salah.

"Pacaran lama-lama buat apa sih? Ngapain juga pacaran sama orang yang nggak bisa ngasih kamu kepastian."

"Kok lo nyebelin ya?" tanya Rania, gadis itu menatap Adam takjub, sedangkan Adam lagi-lagi terkekeh.

"Pacaran lama-lama cuma nambah dosa kamu, lagian kalau nggak jodoh ya emang begitu."

"Dihh, pede banget kalau lo jodoh gue."

"Kamu nggak nanya kita mau kemana?"

Rania diam sesaat, kemudian dia menatap lagi jalanan yang dia lewati dengan Adam, dan dia baru nggeh kalau ini bukan jalan menuju ke rumahnya.

"Lo—mau bawah gue ke mana?" jelas dong dia panik, kalau Adam macam-macam kan bahaya, mau minta tolong ke siapa juga dia.

"Jangan bilang lo mau apa-apain gue?"

"Apa-apain gimana?" tanya yang laki-laki, ambigu tahu nggak pertanyaan Rania tadi.

"Saya mau ajak kamu ke butik langganan almarhum mama."

"Buat?"

"Ya buat pesen baju."

"Baju apaan lagi sih, ah elahhh, gue capek mau pulang aja."

"Ya buat nikah."

Rania baru akan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, tapi urung dan dia langsung melotot saat menoleh ke arah Adam, sedang yang ditatap hanya tersenyum simpul, iya, mereka akan ke butik untuk fitting baju pernikahan, dan ini sudah dibicarakan juga sebenarnya, cuma sepertinya Rania sengaja tidak diberitahu oleh orang tuanya, kasihaan.

°°°

"Dam, bentar deh!" Rania menahan lengan Adam yang sudah akan masuk ke dalam, membuat laki-laki itu menatap pergelangan tangannya yang dipegang oleh Rania, dan sadar akan lirikan Adam, Rania langsung melepaskan tangan Adam.

"Sorry,"

"Lagian lo juga, asal masuk aja."

Kan, jadi Adam lagi yang salah, padahal Adam juga nggak berbuat apa-apa, cuma diam sedari tadi.

"Lo inget kan, waktu gue bilang gue kena pergaulan bebas, itu beneran tau, lo kira gue bohong? Gue juga cewek nggak bener, asli deh, bahkan, gue udah nggak perawan, ck, buruk banget kan? Emang. Jadi lo harus pikirin lagi mateng-mateng, jangan sampai aja lo nyesel karena buru-buru begini."

Rania terkekeh, tapi di sampingnya Adam masih diam, dan di detik berikutnya dia malah melirik Rania dengan lirikan menyebalkan.

"Terus?" dan pertanyaan itu terdengar begitu santai.

"Kok terus sih? Lo nggak denger gue ngomong apa barusan? Gue bukan cewek baik-baik, nggak pantes sama lo, gue juga gonta-ganti cowok, nggak bener pokoknya, gue juga suka clubing sampai pagi, parahhh!"

"Kata pemilik butiknya mereka bakal tutup lebih awal hari ini, jadi sebaiknya kita langsung masuk, nggak enak kalau mereka udah lama nungguin."

'What thee??'

'Adam ****!' Rania membatin dengan kacau, bahkan tangannya terkepal lebih erat dan dia berakhir memekik dengan tertahan.

"Dia tuh bego atau apa coba? Nggak tau lagi gue!"

°°°

Sesekali Adam melirik Rania yang tengah memainkan kuku-kukunya selagi menunggu pemilik butik yang tengah ke dalam untuk mengambil baju, ada beberapa baju yang mereka siapkan untuk Rania dan nantinya Rania memilih satu dari beberapa baju itu. Sebenarnya Adam penasaran apakah Rania benar-benar tidak mengingatnya atau bagaimana? Secara dulu mereka sering bertemu dan bisa dibilang dekat ketika kecil, tapi saat itu sepertinya Rania masih berumur enam tahun, jadi wajar juga kalau dia betulan tidak ingat.

"Apa liat-liat?"

Adam langsung mengalihkan pandangannya, bukan takut, lebih ke malas, padahal dulunya Rania sangat manis, kenapa sekarang jadi segalak ini ya?

"Adam, laperr!" gadis itu memekik di beberapa detik setelahnya, wajahnya melas, sepertinya yang ini dia tidak bohong.

"Kenapa nggak bilang kalau belum makan?" tanya Adam, bahkan di sepanjang jalan tadi mereka melewati banyak sekali rumah makan, kalau pun Rania minta berhenti sejenak sudah pasti Adam turuti.

"Mau saya belikan makanan dulu?"

"Nggak usah deh, lagian cuma sebentar kan, fitting bajunya?"

"Nggak tahu juga." Karena untuk Adam ini juga baru pertama kalinya, jadi dia tidak tahu akan berlangsung lama atau sebentar, dan jawaban Adam barusan membuat Rania berdecak.

"Kalian tuh pada jahat banget ya sama gue, kalian nggak ngasih tahu kalau sekarang fitting baju, padal yang nikah siapa sih?"

"Nggak enak tau diginiin."

"Apa!" Rania menatap nyalang pada Adam ketika laki-laki itu menyodorkan telponya.

"Lo mau gue banting HP lo?"

"Masukin nomer kamu, biar kalau ada apa-apa saya bisa kasih tahu kamu secara langsung."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!