Vita terkekeh merasa lucu dengan aktingnya yang menurutnya luar biasa, sampai-sampai Lala pun tidak mengetahui kalau itu hanya sebuah akting.
Lala menggeleng, ia sendiri masih kesal dengan Vita yang berhasil mengelabuinya hingga membuatnya seperti orang tidak waras memohon kepada ustadz Dafi untuk membawanya ke ruang UKS.
Pergerakan kenop pintu membuat obrolan ke duanya terhenti. Vita kembali berakting dengan wajahnya yang ia buat seperti orang kekurangan oksigen.
"Minumlah teh hangat ini!"
"Tarok aja disitu ustadz, sekarang kepalaku masih pusing," ucap Vita membuat Lala mual seketika mendengarnya.
Ustadz Dafi pergi ke kantor dan meminta salah satu guru perempuan untuk membuatkan teh hangat. Karena merasa bersalah, ustadz Dafi memutuskan untuk mengantarkannya sendiri dan memastikan bahwa Vita meminumnya.
"Makasih, ustadz," ucap Vita sambil memijat-mijat pelipisnya.
Ustadz Dafi mengangguk, ia memutar badan hendak pergi meninggalkan ruangan itu.
"Ustadz!"
"Ya, kenapa?"
"Bahasa arabnya Ibu apa?"
"Umi."
"Kalo Ayah?"
"Abi."
"Kalo aku cinta kamu?"
"Anaa uhibbuka."
Vita tersenyum mendengar jawaban ustadz Dafi yang membuat hatinya semakin berdebar tak karuan.
Dirasa tidak ada lagi pertanyaan dari Vita, ustadz Dafi melangkah pergi.
"Ustadz!"
Langkahnya kembali terhenti di depan pintu dan memutar badan menatap lawan bicaranya.
"Anaa Uhibbuka, ustadz."
Wajah ustadz Dafi memerah dengan sorot matanya yang tak bersahabat. Entah karena malu atau apa, ia buru-buru pergi tanpa memperdulikan kalimat terakhir Vita. Vita terkekeh merasa gemas melihat raut wajah ustadz Dafi, antara marah dan malu. Uh, gmueeess
"Gila lo, Vit!" Lala geleng-geleng tak percaya dengan keberanian Vita yang to the point tanpa basa-basi.
"Kenapa memangnya kalo gue nembak duluan?"
"Ya gak salah kalo cowoknya normal."
"Maksud lo ustadz Dafi gak normal? Pisang perang sama terong gitu?"
"Bukan, bukan itu maksud gue. Ya secara lo tau kan kalo dia itu guru kita, dan lo muridnya. Ya kali guru mau sama murid."
Ucapan Lala memang benar, tapi apalah perduli Vita yang sudah terlanjur basah menaruh hati pada guru bahasa arabnya.
****
Pagi ini, Vita merasa tidak enak badan dan memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Sial banget sih, pake sakit segala, jadi gak taukan jawaban ustadz Dafi.
Ingin sekali rasanya memaksakan diri untuk tetap berangkat, tapi Ibu melarangku.
Tak apalah, aku sudah berpesan pada Lala untuk mengawasi gerak-gerik ustadz Dafi. Jangan sampai ada yang nemplok selain Vita seorang.
Sakit memang membosankan, Vita hanya bisa berdiam diri di kamarnya merasakan tulang-tulang tubuhnya seperti ingin runtuh. Melihat jam dinding baru menunjukan pukul 9 dan tidak akan lama lagi jam istirahat di sekolahnya. Menunggu kepulangan Lala rasanya benar-benar membuat Vita jengah. Berdiam diri tanpa melalukan apapun ternyata membuat waktu bergerak sangat lambat.
Suara yang tidak asing membuat Vita mengerjapkan matanya.
"Bangun woy, bedug."
"Eh, gimana ustadz Dafi? Ada yang mencurigakan gak?" Vita justru mengubah topik pembicaraan tentang ustadz Dafi. Rasa penasarannya membuat ia tidak sabar menunggu kedatangan Lala ke rumahnya.
Lala melongo tidak percaya dengan sahabatnya. Ternyata cinta membuatnya secerewet ini.
"Dih malah bengong. Gimana ustadz kesayangan gue, La?" Tanyanya lagi.
"Gak ada yang mencurigakan. Tapi gue sempet denger para guru besok mau pada jenguk lo."
"Seriusan?" Mata Vita berbinar setelah Lala meyakinkannya.
Kembali lagi Vita harus menunggu esok hari untuk bisa bertemu dengan ustadz kesayangannya. Padahal, banyak sekali yang ingin ia tanyakan padanya, terutama jawaban akan perasaannya.
Lala memutuskan untuk pulang setelah ia menyampaikan apa yang sedari tadi Vita tunggu.
Karena terlalu bosan berada di kamar, Vita menemui Ibunya yang tengah memasak di dapur.
"Bu.."
"Loh, gak tidur?" Tanya Ibu Rahma tanpa menoleh dan masih fokus dengan masakannya.
"Bosen bu, makin pusing tidur mulu."
"Emmm, Bu.."
"Kenapa to cah ayu?"
Entah mulai dari mana Vita ingin berbicara. Rasanya benar-benar malu menanyakan hal ini pada Ibu. Hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk menanyakan kisah cinta Ayah dan Ibunya. Vita cukup penasaran cinta seperti apa yang orangtuanya rasakan.
"Kok tiba-tiba nanya kisah Ibu sama Ayah. Apa anak Ibu ini lagi jatuh cinta, hem?" Tanya Bu Rahma menghampiri anaknya kemudian ikut duduk di sampingnya.
Vita menunduk malu, Bu Rahma tersenyum melihat putri semata wayangnya ternyata telah tumbuh menjadi anak remaja yang saat ini tengah jatuh cinta pada lawan jenisnya.
"Gak apa-apa to cerita ke Ibu. Ibu juga pernah muda, sudah ngalamin cinta-cintaan anak sekolah," ucapnya tersenyum.
"Ibu gak marah?"
"Kenapa musti marah? Jatuh cinta itu hal wajar selagi tau batasannya. Dan yang kamu rasain sekarang Ibu sering ngalamin dulu sebelum ketemu Ayahmu."
"Berarti Ibu sering jatuh cinta ke lelaki yang berbeda dong?"
Ibu Rahma mengangguk,"Sebelum memutuskan untuk menikah, Ibu sering kok ngalamin jatuh cinta, dan itu wajar, karna rasa itu gak bisa ditebak."
"Iya Ibu bener, rasa itu gak bisa ditebak."
'Dan saking gak bisa ditebaknya aku sampai mencintai guruku sendiri,' lanjutnya dalam hati.
****
Sudah dua hari Vita merasakan ketidakenakan pada tubuhnya. Ditambah lagi kulit tangan dan kakinya mengeluarkan bintik-bintik merah. Bu Bidan yang memeriksanya menyatakan bahwa Vita terkena demam berdarah. Baru dua hari ia sakit, tetapi bagi Vita rasanya seperti setahun. Benar-benar membosankan berada di rumah tanpa melakukan aktifitas apapun. Beruntung Lala tak pernah absen menjenguk sahabatnya yang sakit tanpa takut tertular penyakit yang sama.
Siang ini, Lala kembali menjenguk Vita dengan barang bawaannya yang banyak. Dia bilang itu adalah cemilan dari teman-teman sekolahnya. Terlebih lagi saat Lala memberikan silverqueen titipan ustadz Dafi, Vita berbinar penuh semangat untuk sembuh.
"Gak segitunya kali, Vit," Lala geleng-geleng kepala melihat Vita memeluk dan mencium berulang kali coklat silverqueen dari ustad Dafi.
"Biarin wlee.."
"Lo gak tau sih gimana usaha gue buat nodong ustadz Dafi kasih buah tangan ke lo. Dia bilang gak bisa dateng jenguk, makanya nitipin tu coklat."
Raut wajah Vita berubah masam. Kalimat menyakitkan harus ia dengar, padahal ia berharap banget bisa ketemu ustadz Dafi.
"La, gue pengen banget dijenguk ustadz Dafi."
"Sudah gue duga." Lala merebahkan tubuhnya di ranjang milik Vita, ia malah fokus membaca buku novel yang sebelumnya tergelatak di sana.
"Please, La! Lo gak mau emang lihat gue sembuh?"
"Pengen sembuh ya minum obat, bukan dijenguk."
Vita mengangkat sedikit kepalanya meskipun tertatih. Lala membantunya meletakan beberapa bantal untuk Vita bersandar. Melihat tatapannya yang Iba membuat Lala menghembuskan nafasnya dalam-dalam.
"Please! Gue sakit malarindu tropi kangen, La," ucap Vita dengan tatapan memohon.
❣️TBC❣️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments