RUMAH BELANDA DI ATAS KUBURAN
Dua belas obor
api menyala bersamaan. Melahap malam yang teramat dingin dan menjadi panas
manakala api melahap bambu-bambu kuning dengan minyak tanah. Menerangi malam
yang semakin pekat. Obor-obor api itu membentuk lingkaran. Sementara
wajah-wajah sinis dan bengis terus berceloteh dan berkicau bagaikan burung
gagak berebut bangkai. Meneriaki, memaki dan melakukan tindakan-tindakan keji.
Wajah mereka
kelihatan beringas, bagaikan binatang buas. Tatapan mata mereka tajam bagaikan
anjing kelaparan. Dan melihat seonggok daging yang tergeletak di rerumputan.
Seorang wanita
baya, dukun beranak, janda. Rambutnya acak-acakan dan mulai memutih. Pakaian
kumal dan kusam. Beberapa sobekan di depan dan di beberapa bagian lain. Entah
sudah berapa lama ia berada di tempat itu. Tempat yang sangat menakutkan
baginya. Dan juga semua orang, pasti. Dia bahkan tidak tahu mengapa mereka
memperlakukan dirinya seperti binatang. Meletakkan tubuhnya pada sebuah kayu
besar yang tergeletak. Dan di tengahnya dibuat dua buah lubang kecil. Lalu
memasukkan kakinya dan menguncinya dengan erat. Meski wanita itu memberontak,
mereka tidak perduli dengan apa yang mereka lakukan.
Pandangan
wanita itu terlihat nanar, pekat dan hitam. Mulutnya tertutup namun berteriak.
Bibirnya berteriak namun tak bersuara. Matanya terlihat basa, namun tak
mengeluarkan air mata. Wajahnya yang memelas tak membuat wajah-wajah sinis itu
berubah iba.
Pohon-pohon
tinggi bagaikan rahwana dari pewayangan. Memelototi dirinya dengan dengki dan
sombong. Seakan ingin mengulitinya hidup-hidup. Dan hewan malam berkicau
semakin menyeramkan.
Sesekali
perempuan itu merintih lirih ketika lukanya dibubuhi abu rokok. Kemudian asap
tembakaunya dihembuskan ke wajah perempuan itu dengan dramatis.
‘Hei, apa yang
kalian lakukan pada diriku?’ sering dia bertanya pada mereka. Namun wajah sinis
dan menakutkan menghardiknya. Memakinya serta memukulnya beberapa kali. Wanita
itu ketakutan, sangat ketakutan.
Seseorang
meludahi wajahnya. Kemudian menarik rambutnya dengan kasar, serta memotongnya
dengan asal. Membotaki rambutnya dengan gunting pagar.
“Dasar dukun
santet!” teriak seorang wanita berbaju daster. Rambutnya sudah memutih, namun tak
sedikitpun ia menaruh rasa iba. Wanita itu memang seorang dukun beranak di desa
mereka. Namun
beberapa kali ibunya ingin melahirkan mati mengenaskan kehabisan darah. Sang
dukun beranak panik ketika warga menghujatnya.
“Kuntilanak!
Penghisap darah!!” celotehnya lagi dengan sebuah amarah.
Perempuan itu
menatapnya dengan tajam. Matanya melotot menahan amarah yang sangat membara.
Dia bahkan tidak tahu mengapa wanita itu sangat membencinya. Bahkan menyakiti
tubuhnya berkali-kali.
‘Dia
menyebutku penghisap darah,’ desisnya pelan. Perut yang kini dirasakan sangat
sakit dan teramat sakit telah menyadarkannya dari sebuah kejadian tragis yang
menimpa dirinya beberapa waktu yang lalu.
@###@
Dua belas obor
api masih menyala. Perempuan itu masih berada pada sebuah kayu besar dengan
kaki terkunci di selanya. Dia dipasung oleh warga desa. Dan mereka kembali
meneriakinya dengan makian pedih. Menendang tubuhnya yang sudah tidak berdaya
dan menyiramnya dengan air dingin. Walau malam masih terasa sangat dingin.
Perempuan itu menggigil dengan bibir bergetar. Memperhatikan satu-persatu
dari mereka yang meneriakinya.
“Dia pantas
mati di pasungan! Biar tahu rasa!” celoteh yang lain dengan bengis. Yang lain
menjambak rambutnya hingga perempuan itu terseret beberapa meter. Beberapa di
antara mereka melemparinya dengan batu dan tepat mengenai bibirnya. Pecah dan
berdarah. Meneteskan darah segar dengan menebar bahu yang sangat amis.
“Cueh!”
kembali ludah kental muncrat di wajahnya. Mata wanita itu kembali menatapi
wajah-wajah sinis yang tegah memasungnya di tengah hutan.
“Biar dia
dimakan binatang buas!” hardik yang lain.
Perempuan itu
kembali menangis. Namun kini air matanya tidak mengalir. Dia hanya diam sambil
menahan sakit di sekujur tubuhnya. Menyaksikan celotehan-celotehan ibu-ibu yang
sangat membenci dirinya.
“Bakar saja dia!
Dia telah menghisap darah warga kampung kita!” Sambung yang lain. Mata wanita tu
beralih pada seorang yang berceloteh. Seorang lelaki baya.
Warga desa
kembali meneriakinya. Memukulnya bagaikan binatang dalam perangkap. Tak berapa
lama warga menyiramnya dengan minyak tanah. Bau nya sangat memabukkan. Dan api
perlahan menyala. Lamat-lamat menghabiskan daun kering di sekitarnya. Membakar
kayu dan ranting yang sengaja dikumpulkan diantara sisi perempuan tak berdaya
itu. Warga membiarkannya tergeletak di atas pasungan. Meski teriakan perempuan
itu seperti lolongan anjing, mereka tidak perduli. Lolongan panjang itu sangat
histeris. Dua belas obor api itu pun satu persatu raib dari pandangannya.
Meninggalkan jasadnya yang berubah bagaikan kayu bakar. Api telah melahapnya
dengan sangat bengis. Bau daging panggang menyebar di seluruh desa. Sangat
memuakkan! Menyengat bagaikan bau bangkai.
@###@
Sebuah rumah tua berdiri kokoh dengan
angkuhnya. Sebagian rumah tua itu sudah keropos dan retak ditelan masa. Konon,
rumah tua itu sudah berusia ratusan tahun. Tampak dari bangunannya, bekas
peninggalan zaman Belanda. Rumput dan ilalang menjalar panjang di mana-mana,
rimbun sekali. Rimbunan pohon dan akar yang mulai menjalar ke seluruh bangunan
rumah, tampak sangat angker. Banyak yang menyebut bangunan itu sebagai kastil
berdarah, karena banyak kejadian berdarah yang mengerikan terjadi di sana. Oleh
karena itu, tak seorang pun yang berani memasukinya.
Dulu rumah itu dihuni seorang kapten
Belanda bernama Sebastian Buch. Ia tewas mengenaskan tertimpa lampu hias yang
jatuh mengenai kepalanya. Setelah kematiannya, keluarganya pun tewas
mengenaskan dibantai orang tak dikenal. Jika masuk ke dalam rumah itu, makan
akan ditemukan bercak-bercak darah pada dindingnya yang mulai berlumut, membuat
rumah itu makin terkesan angker.
Malam itu awan hitam berarak gelisah,
menghasilkan titik air yang turun dengan ama deras. Kilatan cahaya sesekali
berseliweran, disusul suara petir yang terdengar menyambar. Angin
berhembus teramat kencang. Tak seekor pun hewan nocturnal yang berani keluar,
seolah mereka pun tahu malam itu akan ada kejadian tragis yang mengerikan.
Dari kejauhan tampak seorang bocah
berlari-lari kecil dengan napas tersengal. Dia berusaha mencari tempat berteduh
dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Wajahnya mulai pucat dan bibirnya
bergetar kedinginan.
Dengan kaki gemetar, bocah perempuan itu
memasuki sebuah rumah tua, tanpa berpikir panjang. Yang dibutuhkannya hanyalah
tempat berteduh dan berlindung. Pada sebuah atap yang sudah bocor dan rapuh,
dia jongkok sambil menggigit bibirnya beberapa kali. Dia menggigil.
Kilatan cahaya menyambar lagi.
Spontan bocah itu menjerit, apalagi ketika melihat sebuah kilatan menyambar
ujung pohon sampai terbelah dan mengeluarkan kepulan asap. Bocah itu langsung
menutup telinganya sambil berteriak meminta tolong, namun tak seorang pun
mendengarnya.
Bocah itu tertatih lagi mencari
tempat yang lebih hangat. Dari ruangan satu ke ruangan lainnya. Setengah merunduk,
dia memasuki ruangan yang gelap gulita. Pecahan-pecahan lampu hias berserakan,
kayu lapuk dan genteng yang jatuh bertaburan di mana-mana. Bocah itu merintih
kesakitan ketika sebilah kaca menusuk kaki kanannya. Bocah itu menangis
tersedu. Suaranya lirih menahan sakit.
Angin sayup yang menerobos lewat celah
ventilasi menerpa tubuhnya, semakin teramat dingin. Bocah itu menggigil lagi
sambil meratap sedih. Tangannya yang bergetar sesekali menghapus percikan air
hujan yang tadi membasahi wajahnya.
Bocah itu agak kurus. Kulitnya hitam,
wajahnya pucat dan matanya cekung ke dalam. Pandangannya sayu sekali. Keadaanya
sangat menyedihkan. Ia berjalan lagi menelusuri ruang-ruang gelap. Sesekali ia
merintih lagi sambil memegangi kakinya yang terasa sangat perih. Ia berharap
dapat berteduh dengan nyaman dan menghilangkan rasa sakit serta dingin yang
terus menderanya. Ia sangat kelaparan. Perutnya kempis melilit. Sudah dua hari
perutnya tidak terasa nasi. Untuk makan saja ia harus mengemis dari rumah ke
rumah. Namun, banyak orang yang menghempaskan nya dengan keji. Keji sekali. Ia
hidup hanya sebatang kara setelah beberapa waktu lalu ibunya tewas dibakar
warga.
Bocah itu merintih lagi ketika luka di
kakinya menginjak pecahan genteng. Ia menangis tersedu sambil terus berharap
malam ini cepat berlalu dan esok ia akan mencari sisa makanan di tempat sampah.
Namun, kenyataan lain dari harapannya. Tiba-tiba saja ia terpeleset dari anak
tangga dan jatuh tergelincir. Ia menjerit meminta tolong berulang-ulang.
Suaranya serak dan parau.
Teriakan itu tiba-tiba saja terhenti
ketika sebuah benda tajam menembus dan menusuk tenggorokannya. Bocah itu
terjerembab. Kepalanya terpenggal dan jatuh ke selokan. Air matanya terhenti
seketika. Lumuran darah segar muncrat deras dan hangat membasahi anak tangga.
Darah itu mengalir bak air hujan turun ke bumi. Bocah itu tewas dengan
mengenaskan!
Malam semakin panjang dan larut. Tidak
ada lagi jerit tangis dan rintihan seorang bocah yang kelaparan meminta sesuap
nasi. Suasana semakin dingin. Angin yang berhembus membawa bahu anyir darah
segar. Amis! Rumah itu semakin angker!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Yurnita Yurnita
mampir thor
2023-08-08
0
Naradifr🌸
ini udah pernah di saya baca di novel
judulnya Rumah Belanda
film juga udah ada
2022-02-16
0
Darma Aloena
mampir ah, bacanya sepotong2 takut ga bisa tidur😀🙏 bagus Lo pilihan katanya
2021-01-25
0