RUMAH BELANDA DI ATAS KUBURAN

RUMAH BELANDA DI ATAS KUBURAN

Episode 1, MALAM SATU SURO

Dua belas obor

api menyala bersamaan. Melahap malam yang teramat dingin dan menjadi panas

manakala api melahap bambu-bambu kuning dengan minyak tanah. Menerangi malam

yang semakin pekat. Obor-obor api itu membentuk lingkaran. Sementara

wajah-wajah sinis dan bengis terus berceloteh dan berkicau bagaikan burung

gagak berebut bangkai. Meneriaki, memaki dan melakukan tindakan-tindakan keji.

Wajah mereka

kelihatan beringas, bagaikan binatang buas. Tatapan mata mereka tajam bagaikan

anjing kelaparan. Dan melihat seonggok daging yang tergeletak di rerumputan.

Seorang wanita

baya, dukun beranak, janda. Rambutnya acak-acakan dan mulai memutih. Pakaian

kumal dan kusam. Beberapa sobekan di depan dan di beberapa bagian lain. Entah

sudah berapa lama ia berada di tempat itu. Tempat yang sangat menakutkan

baginya. Dan juga semua orang, pasti. Dia bahkan tidak tahu mengapa mereka

memperlakukan dirinya seperti binatang. Meletakkan tubuhnya pada sebuah kayu

besar yang tergeletak. Dan di tengahnya dibuat dua buah lubang kecil. Lalu

memasukkan kakinya dan menguncinya dengan erat. Meski wanita itu memberontak,

mereka tidak perduli dengan apa yang mereka lakukan.

Pandangan

wanita itu terlihat nanar, pekat dan hitam. Mulutnya tertutup namun berteriak.

Bibirnya berteriak namun tak bersuara. Matanya terlihat basa, namun tak

mengeluarkan air mata. Wajahnya yang memelas tak membuat wajah-wajah sinis itu

berubah iba.

Pohon-pohon

tinggi bagaikan rahwana dari pewayangan. Memelototi dirinya dengan dengki dan

sombong. Seakan ingin mengulitinya hidup-hidup. Dan hewan malam berkicau

semakin menyeramkan.

Sesekali

perempuan itu merintih lirih ketika lukanya dibubuhi abu rokok. Kemudian asap

tembakaunya dihembuskan ke wajah perempuan itu dengan dramatis.

‘Hei, apa yang

kalian lakukan pada diriku?’ sering dia bertanya pada mereka. Namun wajah sinis

dan menakutkan menghardiknya. Memakinya serta memukulnya beberapa kali. Wanita

itu ketakutan, sangat ketakutan.

Seseorang

meludahi wajahnya. Kemudian menarik rambutnya dengan kasar, serta memotongnya

dengan asal. Membotaki rambutnya dengan gunting pagar.

“Dasar dukun

santet!” teriak seorang wanita berbaju daster. Rambutnya sudah memutih, namun tak

sedikitpun ia menaruh rasa iba. Wanita itu memang seorang dukun beranak di desa

mereka. Namun

beberapa kali ibunya ingin melahirkan mati mengenaskan kehabisan darah. Sang

dukun beranak panik ketika warga menghujatnya.

“Kuntilanak!

Penghisap darah!!” celotehnya lagi dengan sebuah amarah.

Perempuan itu

menatapnya dengan tajam. Matanya melotot menahan amarah yang sangat membara.

Dia bahkan tidak tahu mengapa wanita itu sangat membencinya. Bahkan menyakiti

tubuhnya berkali-kali.

‘Dia

menyebutku penghisap darah,’ desisnya pelan. Perut yang kini dirasakan sangat

sakit dan teramat sakit telah menyadarkannya dari sebuah kejadian tragis yang

menimpa dirinya beberapa waktu yang lalu.

@###@

Dua belas obor

api masih menyala. Perempuan itu masih berada pada sebuah kayu besar dengan

kaki terkunci di selanya. Dia dipasung oleh warga desa. Dan mereka kembali

meneriakinya dengan makian pedih. Menendang tubuhnya yang sudah tidak berdaya

dan menyiramnya dengan air dingin. Walau malam masih terasa sangat dingin.

Perempuan itu menggigil dengan bibir bergetar. Memperhatikan satu-persatu

dari mereka yang meneriakinya.

“Dia pantas

mati di pasungan! Biar tahu rasa!” celoteh yang lain dengan bengis. Yang lain

menjambak rambutnya hingga perempuan itu terseret beberapa meter. Beberapa di

antara mereka melemparinya dengan batu dan tepat mengenai bibirnya. Pecah dan

berdarah. Meneteskan darah segar dengan menebar bahu yang sangat amis.

“Cueh!”

kembali ludah kental muncrat di wajahnya. Mata wanita itu kembali menatapi

wajah-wajah sinis yang tegah memasungnya di tengah hutan.

“Biar dia

dimakan binatang buas!” hardik yang lain.

Perempuan itu

kembali menangis. Namun kini air matanya tidak mengalir. Dia hanya diam sambil

menahan sakit di sekujur tubuhnya. Menyaksikan celotehan-celotehan ibu-ibu yang

sangat membenci dirinya.

“Bakar saja dia!

Dia telah menghisap darah warga kampung kita!” Sambung yang lain. Mata wanita tu

beralih pada seorang yang berceloteh. Seorang lelaki baya.

Warga desa

kembali meneriakinya. Memukulnya bagaikan binatang dalam perangkap. Tak berapa

lama warga menyiramnya dengan minyak tanah. Bau nya sangat memabukkan. Dan api

perlahan menyala. Lamat-lamat menghabiskan daun kering di sekitarnya. Membakar

kayu dan ranting yang sengaja dikumpulkan diantara sisi perempuan tak berdaya

itu. Warga membiarkannya tergeletak di atas pasungan. Meski teriakan perempuan

itu seperti lolongan anjing, mereka tidak perduli. Lolongan panjang itu sangat

histeris. Dua belas obor api itu pun satu persatu raib dari pandangannya.

Meninggalkan jasadnya yang berubah bagaikan kayu bakar. Api telah melahapnya

dengan sangat bengis. Bau daging panggang menyebar di seluruh desa. Sangat

memuakkan! Menyengat bagaikan bau bangkai.

@###@

Sebuah rumah tua berdiri kokoh dengan

angkuhnya. Sebagian rumah tua itu sudah keropos dan retak ditelan masa. Konon,

rumah tua itu sudah berusia ratusan tahun. Tampak dari bangunannya, bekas

peninggalan zaman Belanda. Rumput dan ilalang menjalar panjang di mana-mana,

rimbun sekali. Rimbunan pohon dan akar yang mulai menjalar ke seluruh bangunan

rumah, tampak sangat angker. Banyak yang menyebut bangunan itu sebagai kastil

berdarah, karena banyak kejadian berdarah yang mengerikan terjadi di sana. Oleh

karena itu, tak seorang pun yang berani memasukinya.

Dulu rumah itu dihuni seorang kapten

Belanda bernama Sebastian Buch. Ia tewas mengenaskan tertimpa lampu hias yang

jatuh mengenai kepalanya. Setelah kematiannya, keluarganya pun tewas

mengenaskan dibantai orang tak dikenal. Jika masuk ke dalam rumah itu, makan

akan ditemukan bercak-bercak darah pada dindingnya yang mulai berlumut, membuat

rumah itu makin terkesan angker.

Malam itu awan hitam berarak gelisah,

menghasilkan titik air yang turun dengan ama deras. Kilatan cahaya sesekali

berseliweran, disusul suara petir yang terdengar menyambar. Angin

berhembus teramat kencang. Tak seekor pun hewan nocturnal yang berani keluar,

seolah mereka pun tahu malam itu akan ada kejadian tragis yang mengerikan.

Dari kejauhan tampak seorang bocah

berlari-lari kecil dengan napas tersengal. Dia berusaha mencari tempat berteduh

dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Wajahnya mulai pucat dan bibirnya

bergetar kedinginan.

Dengan kaki gemetar, bocah perempuan itu

memasuki sebuah rumah tua, tanpa berpikir panjang. Yang dibutuhkannya hanyalah

tempat berteduh dan berlindung. Pada sebuah atap yang sudah bocor dan rapuh,

dia jongkok sambil menggigit bibirnya beberapa kali. Dia menggigil.

Kilatan cahaya menyambar lagi.

Spontan bocah itu menjerit, apalagi ketika melihat sebuah kilatan menyambar

ujung pohon sampai terbelah dan mengeluarkan kepulan asap. Bocah itu langsung

menutup telinganya sambil berteriak meminta tolong, namun tak seorang pun

mendengarnya.

Bocah itu tertatih lagi mencari

tempat yang lebih hangat. Dari ruangan satu ke ruangan lainnya. Setengah merunduk,

dia memasuki ruangan yang gelap gulita. Pecahan-pecahan lampu hias berserakan,

kayu lapuk dan genteng yang jatuh bertaburan di mana-mana. Bocah itu merintih

kesakitan ketika sebilah kaca menusuk kaki kanannya. Bocah itu menangis

tersedu. Suaranya lirih menahan sakit.

Angin sayup yang menerobos lewat celah

ventilasi menerpa tubuhnya, semakin teramat dingin. Bocah itu menggigil lagi

sambil meratap sedih. Tangannya yang bergetar sesekali menghapus percikan air

hujan yang tadi membasahi wajahnya.

Bocah itu agak kurus. Kulitnya hitam,

wajahnya pucat dan matanya cekung ke dalam. Pandangannya sayu sekali. Keadaanya

sangat menyedihkan. Ia berjalan lagi menelusuri ruang-ruang gelap. Sesekali ia

merintih lagi sambil memegangi kakinya yang terasa sangat perih. Ia berharap

dapat berteduh dengan nyaman dan menghilangkan rasa sakit serta dingin yang

terus menderanya. Ia sangat kelaparan. Perutnya kempis melilit. Sudah dua hari

perutnya tidak terasa nasi. Untuk makan saja ia harus mengemis dari rumah ke

rumah. Namun, banyak orang yang menghempaskan nya dengan keji. Keji sekali. Ia

hidup hanya sebatang kara setelah beberapa waktu lalu ibunya tewas dibakar

warga.

Bocah itu merintih lagi ketika luka di

kakinya menginjak pecahan genteng. Ia menangis tersedu sambil terus berharap

malam ini cepat berlalu dan esok ia akan mencari sisa makanan di tempat sampah.

Namun, kenyataan lain dari harapannya. Tiba-tiba saja ia terpeleset dari anak

tangga dan jatuh tergelincir. Ia menjerit meminta tolong berulang-ulang.

Suaranya serak dan parau.

Teriakan itu tiba-tiba saja terhenti

ketika sebuah benda tajam menembus dan menusuk tenggorokannya. Bocah itu

terjerembab. Kepalanya terpenggal dan jatuh ke selokan. Air matanya terhenti

seketika. Lumuran darah segar muncrat deras dan hangat membasahi anak tangga.

Darah itu mengalir bak air hujan turun ke bumi. Bocah itu tewas dengan

mengenaskan!

Malam semakin panjang dan larut. Tidak

ada lagi jerit tangis dan rintihan seorang bocah yang kelaparan meminta sesuap

nasi. Suasana semakin dingin. Angin yang berhembus membawa bahu anyir darah

segar. Amis! Rumah itu semakin angker!

Terpopuler

Comments

Yurnita Yurnita

Yurnita Yurnita

mampir thor

2023-08-08

0

Naradifr🌸

Naradifr🌸

ini udah pernah di saya baca di novel
judulnya Rumah Belanda

film juga udah ada

2022-02-16

0

Darma Aloena

Darma Aloena

mampir ah, bacanya sepotong2 takut ga bisa tidur😀🙏 bagus Lo pilihan katanya

2021-01-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!